Oleh
Bambang Widodo Umar
Pengamat
Kepolisian
Terungkapnya
dugaan korupsi di Korlantas Polri yang dilakukan jenderal polisi dan dugaan
korupsi di Polres Sorong, Papua, yang dilakukan bintara polisi menguatkan
premis yang mengatakan bahwa korupsi mengikuti watak kekuasaan. Makin berwatak
tersentral kekuasaan, makin hebat korupsinya.
Ulah
korupsi polisi di negeri ini telah lama ditengarai. Korupsi oleh polisi itu
terjadi karena dalam menjalankan tugas, polisi menerima pemberian dengan cara
tercela atau melawan hukum berupa uang, barang, jasa, dan koneksi tertentu.
Karena itu, benar kata Tubagus Ronny Nitibaskara (2001), korupsi oleh polisi
itu mudah dirasakan dan dilihat, tetapi sulit dipegang.
Temuan
rekening tak wajar polisi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
ditetapkannya Irjen DS dan Brigjen (Pol) DP sebagai tersangka simulator SIM,
terungkapnya dugaan korupsi seorang bintara polisi hingga mencapai miliaran
rupiah, juga korupsi yang dilakukan pejabat polisi sebelumnya menunjukkan,
perilaku korupsi di lingkungan Polri perlu mendapat perhatian serius pemimpin
Polri dan pemimpin negara.
Jangan
lupa, polisi pada dasarnya merupakan garda terdepan dalam membangun disiplin
warga negara. Penyakit korupsi konon sudah cukup lama berjangkit di organisasi
kepolisian. Korupsi menjadi parah karena tidak saja terjadi di lingkungan
internal Polri, tetapi mungkin juga terkait dengan instansi di luar kepolisian
dalam konteks fungsional ataupun struktural dan dalam hubungan yang bersifat
simbiosis mutualisme.
Korupsi
yang terjadi di lingkungan Korps Lalu Lintas sesungguhnya juga tidak lepas dari
pelaksanaan Samsat dalam konteks jabatan. Terjadi pertukaran antara kekuasaan
yang diberikan dan peluang mendapatkan penghasilan tambahan baik dari luar
maupun dari dalam.
Maurice
Punch (1985) dalam bukunya, Police Organization, menjelaskan, korupsi bisa
terjadi karena polisi menerima atau dijanjikan keuntungan yang signifikan untuk
melakukan sesuatu yang ada dalam kewenangannya, melakukan sesuatu di luar
kewenangannya, melakukan diskresi dengan alasan tak patut, dan menggunakan cara
di luar hukum untuk mencapai tujuan. Keuntungan tersebut untuk kepentingan
pribadi polisi dan bisa juga dengan alasan untuk kepentingan operasional. Dalam
hal ini, Punch mengingatkan, korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan
sebaliknya: kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.
Korupsi
di lingkungan Polri
Pada
tahun 2004, ketika Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dipimpin Irjen
Farouk Muhammad, ia mendorong mahasiswa PTIK Angkatan 39-A melakukan penelitian
tentang gejala korupsi di lingkungan Polri. Hasilnya menunjukkan, ada korelasi
antara korupsi dan kekuasaan dalam suatu jabatan.
Korupsi
oleh polisi telah merambah baik di bidang operasional maupun pembinaan. Ada
korupsi internal, ada pula korupsi eksternal. Korupsi internal dilakukan
petugas tanpa melibatkan masyarakat. Korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku
di lingkup kedinasan, tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya
adalah korupsi jual beli jabatan, korupsi dalam penerimaan anggota polisi,
seleksi masuk pendidikan, serta korupsi dalam pendistribusian logistik dan
penyaluran dana keuangan.
Korupsi
eksternal merupakan korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara
langsung. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang terlibat atau berurusan
dengan polisi baik sebagai korban kejahatan, tersangka, saksi, maupun
masyarakat yang butuh pelayanan.
Korupsi
itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum
dan pelayanan masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat polisi yang melibatkan warga negara yang
bukan anggota polisi.
Korupsi
ini dapat menyangkut kepentingan warga negara secara langsung ataupun
menyangkut kepentingan polisi dalam konteks kedinasan. Contohnya, korupsi dalam
mendamaikan kasus perdata yang dianggap pidana, korupsi dalam hal tidak
melakukan penyidikan secara tuntas dengan merekayasa keterangan tersangka dan
saksi, serta korupsi dalam merekayasa barang bukti.
Contoh
lain adalah korupsi dalam hal permohonan pinjam pakai barang bukti oleh pemilik
atau korban kejahatan, korupsi berupa pungutan pada penerbitan berbagai bentuk
surat, seperti SIM, SCTK, STNK, BPKB, surat laporan kehilangan barang, pungutan
liar di jalanan terhadap pelanggar lalu lintas, pungutan liar terhadap truk
muatan yang akan masuk jalur lalu lintas tertentu, serta menerima suap dari
kasus perjudian ataupun tempat hiburan yang diduga tersua usaha ilegal.
Ditemukan
pula dua pola perilaku korup di lingkungan kepolisian. Pertama, pada strata
pemimpin. Perilaku korup cenderung dalam bentuk kejahatan kerah putih,
sedangkan pada strata bawahan cenderung dalam bentuk kejahatan kerah biru.
Keduanya merupakan proses pembelajaran yang berlangsung lama dan dalam hubungan
yang komplementer.
Lahirnya
perilaku korup dalam hubungan komplementer antara pemimpin dan anggota
dimungkinkan karena kedua belah pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi
yang menjamin adanya relasi personal yang bersifat kritis atas tanggung jawab
dan kewajiban yang diemban. Kebiasaan ”siap-ndan” dalam menerima setiap
perintah atau arahan cenderung mematikan daya korektif.
Reformasi
Polri yang telah berjalan sekitar 12 tahun ternyata tidak berpengaruh
signifikan terhadap kadar pengabdian polisi sesuai dengan Tri Brata.
Sesungguhnya, dugaan perilaku korup di lingkungan Polri sudah cukup lama,
antara lain penjualan aset perumahan dan perkantoran dan pembelian alat-alat
operasional. Namun, semua itu tidak terungkap secara tuntas.
Kondisi
itu dimungkinkan karena kontrol di dalam organisasi lemah, penindakan tak
tegas, dan sanksi lemah. Di sisi lain, dalam hal kepemimpinan cenderung belum
tampak mengagungagungkan sifat mulia, seperti kejujuran, kesederhaan,
keteladanan, dan ketegasan dalam hidup sehari-hari. Yang berkembang justru gaya
hidup pemuja harta.
Pekerjaan
polisi adalah pekerjaan mulia. Di sisi lain, pekerjaan itu juga paling rentan
terhadap godaan. Menurut Adrianus Meliala (2005), penyebab utama mudahnya
pekerjaan polisi diselewengkan adalah pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat
soliter, sangat otonom, dan sewaktu-waktu dapat bertindak atas pertimbangan
pribadi (diskresi fungsional). Dalam hal ini, unsur subyektivitas dan luasnya
kekuasaan polisi dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum dapat
mengondisikan terjadinya penyimpangan yang dilakukan polisi.
Meski
dalam organisasi Polri ada unsur pengawasan, mekanisme kontrol lewat Irwasum
dan Propam menghadapi situasi dan kondisi dilematis karena pengaruh rasa korps,
hubungan senioritas, dan rasa setia kawan yang berlebihan sehingga lemah dalam
pelaksanaannya. Karena itu, mustahil mengharapkan fungsi kontrol internal di kepolisian
dapat berjalan optimal.
Demikian
juga Kompolnas, yang seharusnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian dibentuk sebagai pengawas eksternal, ternyata hanya dirumuskan
sebagai ”penasihat” presiden di bidang kepolisian dan penerima keluhan
masyarakat, yang dicederai anggota Polri.
Mengatasi
korupsi polisi
Kecenderungan
perilaku korup di lingkungan kepolisian tak hanya di Indonesia. Di negara lain,
seperti Kanada, juga terjadi. Pemerintah Kanada sampai dua kali membentuk
komisi untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police: pertama pada tahun 1997
melalui Komisi Mac Donald dan kedua pada tahun 1981 melalui Komisi Keable.
Pemerintah
Amerika Serikat pada tahun 1970 pernah membentuk Komisi Knapp untuk memeriksa
kepolisian di Negara Bagian New York karena masalah korupsi. Inggris, pada
tahun 1990, juga pernah mengatasi masalah korupsi di lingkungan kepolisian.
Di
antara negara yang pernah memeriksa maraknya korupsi di lembaga kepolisian,
upaya Kepolisian Inggris dapat dikatakan cukup menarik. Melalui Scotland
Yard’s, mereka membentuk tim investigasi sebagai unit rahasia dengan nama Bent
Coppers untuk mengungkap korupsi di London Metropolitan Police yang meresahkan
masyarakat.
Unit
rahasia itu diawaki anggota polisi yang disusupkan ke bagian organisasi
kepolisian yang banyak melakukan korupsi. Anggota unit itu bekerja secara
”ultrarahasia”. Mereka dikenal dengan nama Ghost Squad dan bertugas menangkap
korupsi yang didalangi polisi, serta punya akses ke petinggi polisi yang
mendapat jatah dari anak buahnya. Ghost Squad bekerja kooperatif dengan pejabat
polisi korup untuk mendapatkan bukti bahwa mereka benar-benar korupsi.
Di pihak
lain, para anggota Ghost Squad harus mampu menahan diri dari godaan polisi
korup untuk korupsi. Selama itu, polisi korup memiliki kepercayaan tinggi bahwa
mereka tidak mungkin tersentuh. Mereka korupsi uang tunai dan barang, serta
menetralisasi barang bukti sehingga tak berlaku di pengadilan, dan menjual
informasi untuk menggagalkan kasus di pengadilan. Menghadapi hal itu, operasi
Ghost Squad membuat perangkap untuk menangkap basah polisi korup. Dalam
operasinya, Ghost Squad berhasil menangkap polisi korup dan membuat mereka
mendekam di penjara. Dengan operasi Ghost Squad itu, korupsi polisi di London
Metropolitan Police berkurang dan model itu terus dilembagakan.
Korupsi
polisi di lingkungan Polri merupakan salah satu bentuk korupsi sistemik sebagaimana
hasil penelitian yang pernah dilakukan di PTIK. Upaya pemberantasan perlu
dilakukan secara konsepsional. Model Ghost Squad dapat dijadikan acuan dalam
pemberantasan korupsi di lingkungan Polri sekaligus untuk menjawab semboyannya,
”Polisi Anti-KKN”.
Di sini
perlu komitmen seluruh pemimpin kesatuan Polri dari tingkat Mabes Polri hingga
kesatuan polsek. Tak dapat pula dikesampingkan kemauan politik pemimpin negara
karena kelembagaan Polri di bawah presiden. (www.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar