Oleh Prof. Dr. Ronny
Rachman Nitibraskara
Polisi
merupakan profesi yang dikatakan Hartjen dengan kutipan “Damn if you do, damn if you don’t” yang kurang lebih artinya
“berbuat salah, tidak berbuat salah”. Polisi senantiasa dihadapkan pada pilihan
serba salah. Sedangkan menurut Skolnick (1966), polisi diharapkan bisa menjadi
penegak peraturan, ayah, kawan, pelayan masyarakat, moralis, petarung jalanan,
pemberi arah, dan pejabat hukum. Tentu ditambah dengan perannya yang utama
yaitu sebagai crime hunter.
Patut
diingat, mereka juga manusia biasa yang terkadang menjalankan tugasnya dalam
kondisi lelah, penuh tekanan dan keadaan yang tidak pasti. Semua itu akan
mengkristal dalam penurunan kemampuan mengontrol diri yang berujung pada
menurunnya kemampuan profesional dalam melakukan tindakan diskresi.
Dengan
slogan “serve and protect”, polisi
selaku salah satu garda terdepan penegakan hukum di Indonesia, memiliki tugas
dan tanggung jawab yang berat. Untuk mewujudkan motto di atas, polisi kerap
dihadapkan pada pilihan yang sulit. Misalnya kondisi emosional dan tekanan yang
terjadi di saat bertugas.
Polisi dan Masyarakat
Sebagaimana
diketahui, pola pengamanan kejahatan khususnya oleh polisi masih menggunakan
pendekatan keamanan. Belum menggunakan pendekatan sosiologis sebagaimana
pendekatan community policing. Pada
contoh kasus-kasus kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap polisi,
menunjukkan polisi kurang dekat dengan masyarakat. Masyarakat sendiri juga
memiliki stigma negatif pada polisi akibat ulah-ulah tidak terpuji beberapa
oknumnya.
Dekatnya
polisi dengan masyarakat merupakan salah satu syarat profesionalitas polisi
sebagaimana diuraikan David C. Couper M.A., seorang mantan Kepala Kepolisisan
Wisconsin yang telah bertugas 30 tahun. Ia menyatakan untuk mencapai
profesionalitas harus ada benih yang ditanam sebagai berikut:
·
The Seed of Leadership
Kepolisian
harus melahirkan pimpinan yang tidak hanya ditakuti tetapi juga pimpinan yang
lebih bisa mendengar, melatih dan memberi dorongan (listening, coachingm and fostering) kepada bawahannya.
·
The Seed of Knowledge
Polisi
harus dibekali ilmu pengetahuan yang cukup agar dapat menjalankan tugasnya dengan
lebih baik.
·
The Seed of Creativity
Kreativitas
harus dilatih dan dikembangkan untuk semua jajarannya.
·
The Seed of Problem Solving
Polisi
harus memiliki kemampuan pemecahan masalah agar kekuasaan diskresi dalam
penegakan hukum yang dimilikinya dapat dijalankan. Benih ini hendaknya ditebar
pada setiap tingkat kepangkatan.
·
The Seed of Diversity
Personel
kepolisian harus berasal dari multi etnis dan bbudaya yang terdapat di negara
yang bersangkutan.
·
The Seed of Force Control
Polisi
senantiasa dilatih mengendalikan kekuatan yang dimilikinya. The use of deadly force only to save a human
life.
·
The Seed of Community Policing
Polisi
senantiasa dilatih untuk dekat dengan masyarakat. The police must get closer to the people they serve. Distance is
danger, closer is safer. (FBI Law Enforcement, Buletin, March, 1994).
Meskipun
merupakan kesatuan terorganisir dan terlatih, polisi tak luput juga diliputi
hal-hal insaniah. Tatkala secara kelompok dilanda kemarahan hebat, kesadaran
individual termasuk komandan yang memimpin di lapangan, menyatu dengan gemuruh
jiwa batin kelompok. Rasionalitas individu lebur dalam kesadaran kelompok.
Keadaan makin diperparah dengan adanya stimuli-provokasi dari luar yang makin
kencang yang akan membuat personil yang paling sadar pun terpancing turut
emosional.
Apabila
dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam menangani aksi kekerasan massa,
banyak petugas yang terpancing situasi non-kondusif tersebut, patut dicermati
bahwa kekerasan polisi yang dilakukan secara kolektif itu todak terlepas dari
beberapa faktor determinan yang disampaikan Neil Smelser (Theory Collective Behaviour, 1963) sebagai berikut:
·
Structural Conduciveness
Faktor
kondusivitas struktural ini tentu bagi polisi cukup tinggi, karena mereka
terikat dalam organisasi yang cukup kuat unsur komandonya.
·
Structural Strain
Faktor
ketegangan-ketegangan struktural ini di dalam kepolisian rendah, karena
organisasi kepolisian bersifat linier. Elemen struktural mempunyai pengaruh
signifikan bagi mobilitas pelaku pada saat tindak kekerasan kolektif polisii
dilakukan. Begitu komandan melakukan pembiaran atas terjadinya kekerasan,
tindakan ini segera menjadi kolektif, dilakukan oleh banyak lagi anggota dari
kesatuan yang sama.
·
Growth and Spread of Generalized
Belief
Faktor
ini bertalian dengan perkembangan dan penyebaran hal-hal yang dipercayai secara
umum, seperti pemahaman polisi atas perubahan sikap masyarakat terhadap
kekerasan yang dilakukan polisi, atau pemahaman atas tindak kekerasan dalam
pelaksanaan tugas.
·
Precipating Factors
Ini
adalah faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya tindakan kolektif.
·
Mobilization of Participants for
Action
Dalam
agresi polisi, mobilisasi terjadi berdasarkan struktur.
·
The Operation of Social Control
Sering
terjadinya kekerasan polisi secara kolektif, bisa jadi karena faktor sosial
terhadap polisi kurang berfungsi.
Kesemua
faktor di atas satu sama lain saling mempengaruhi bentuk kekerasan kolektif
polisi. Yang patut dicermati adalah orientasi polisi pada saat peristiwa yang
menyebabkan mereka secara individu maupun kelompok, memanfaatkan kewenangan
diskresi dan bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Kekerasan vis a vis
tugas
Kekerasan
yang terjadi antara masyarakat dan polisi, baik itu dilakukan massa terhadap
polisi maupun sebaliknya, selalu terjadi di Negara manapun. Sebagai contoh, di
Inggris dan Amerika Serikat. Pada tahun 1981 di Inggris, polisi setempat yang
kebetulan berkulit putih pernah bertindak brutal dan diskriminatif pada
kelompok minoritas kulit hitam. Di AS juga pernah terjadi peristiwa kekerasan
polisi terhadap minoritas kulit hitam, dikenal dengan peristiwa Rodney King.
Fenomena ini juga terjadi di Timur Tengah seperti di Mesir, Suriah, Libya dan
Irak (menjelang kejatuhan kedua pemimpinnya).
Perilaku
destruktif massa dan polisi selalu berhubungan. Masyarakat tidak akan melakukan
kekerasan bila polisi tidak memancingnya. Begitu pula sebaliknya, polisi tidak
akan melakukan kekerasan apabila tidak terpancing oleh masyarakat. Biasanya
kekerasan polisi terjadi apabila simbol korps dilukai. Masyarakat juga
menganggap demikian, tatkala simbol korps masyarakat dilukai oleh perilaku
oknum polisi, mereka akan terpancing melakukan kekerasan.
Berbagai
penyebab kekerasan kolektif dalam masyarakat dapat pula berupa kesenjangan
sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka, higga
karena tersumbatnya saluran sosial politis (Herlianto, 1997). Charles Tillu
sendiri membagi kekerasan kolektif sebagai berikut: kekerasan kolektif
primitif, reaksioner, dan modern (Tilly, 1966).
Kekerasan
kolektif primitif pada umumnya bersifat non politis. Ruang lingkupnya terbatas
pada suatu komunitas lokal. Kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan
reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal
dari suatu komunitas lokal melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan
dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap
tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk
mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan
terorganisir dengan baik.
Dalam
berbagai kasus kekerasan massa, setiap mass
violence dan police brutality
selalu berkaitan dengan ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Termasuk pada masyarakat yang melakukan tindak kekerasan itu sendiri. Tindakan
kekerasan kolektif ini, terkadang berujung pada kerusuhan.
Khalayak
tentu masih ingat aksi kekerasan daat melakukan unjuk rasa menolak kenaikan BBM
beberapa bulan lalu. Bentrokan antara pendemo dan petugas keamanan membuahkan
dirusaknya sejumlah fasilitas, mobil polisi dan pos polisi oleh demonstran.
Belum setahun kejadian tersebut berselang, baru-baru ini kembali terjadi aksi
serupa di Abepura Papua yang dipicu tewasnya Wakil Ketua Komite Nasional Papua
Barat (KNPB), Maco Tabuni, yang tertembak aparat keamanan. Pemicu kedua contoh
kekerasan di atas selalu sama, yaitu berupa suatu insiden yang dirasakan
melukai masyarakat. Kenyataan tersebut diperparaj dengan situasi dan kondisi
perekonomian masyarakat yang memprihatinkan.
Kejadian
di atas memiliki hubunga erat dengan ketegangan sosial berdasarkan
tahapan-tahapan berikut ini:
Adanya
suatu insiden yang dirasakan begitu buruk oleh suatu kelompok masyarakat,
sehingga peristiwa itu dijadikan katalisator kemarahan. Kelompok masyarakat itu
mulai resah dan tegang sehingga secara perlahan keresahan turut dirasakan
kelompok-kelompok lain di masyarakat.
Dalam
kondisi di atas, terdapat segolongan kecil orang dari kelompok yang marah,
bersifat sangat keras dan cenderung melakukan kekerasan, memancing timbulnya
kekerasan. lantas, mengumpulkan massa dengan slogan bombastis yang dapat
membangkitkan kemarahan dan fanatisme kelompok.
Massa
yang telah dihimpun dan terbakar emosinya, kemudian diberi contoh oleh kelompok
kecil tersebut tentang bagaimana seharusnya bertindak. Karena, masing-masing individu
telah hanyut dan menyatu dengan emosi kelompok. Dalam kondisi kejiwaan semacam
ini, mereka mudah mengikuti conroh yang dilakukan kelompok kecil tadi.
Selanjutnya, tanpa memerlukan contoh lagi, massa akan bertindak anarkis dengan
sendirinya, melakukan perusakan, pembakaran, penyerangan, penganiayaan bahkan
pembunuhan.
Jatuhnya
korban jiwa dapat memancing simpati dan emosi kelompok lain yang semula mampu
mengendalikan diri untuk turun ke gelanggang amuk massa.
Keterlambatan
penanganan aparat keamanan akan mengakibatkan kekacauan meluas dan konflik
menjadi sulit dihentikan.
Untuk
menanggulangi tindak kekerasan massa agar tidak menjadi kerusuhan yang meluas,
sebagaimana dikatakan De Jong (1994), “effective
preparation in fact, the best of prevention”, perlu persiapan yang lebih
baik oleh aparat keamanan. Hal tersebut merupakan langkah penting satu-satunya
yang berada sepenuhnya di dalam kendali aparat keamanan sesuai dengan peran dan
tugasnya. Dengan adanya persiapan yang baik, setiap gangguan keamanan kecil (small disturbance) tidak sempat tumbuh
menjadi besar.
Dalam
“persiapan” ini, ada beberapa faktor penting yang kesemuanya itu telah dikuasai
oleh setiap aparat kepolisian RI, yaitu personel, perencanaan operasional, dan
analisa kelompok massa seperti dijelaskan di bawah ini.
Personel
merupakan sumber daya terbesar yang memerlukan manajeman serius. Karena faktor
ini paling menentukan berhasil tidaknya operasi yang dijalankan. Permasalahan
yang harus diperhatikan mulai dari jumlah, kesiapan, kemampuan, hingga
penempatan mereka di kala keadaan tidak menentu. Tolok ukur yang digunakan bagi
kesiapan personel adalah pada tahap ketika kerusuhan berkecamuk.
Untuk
menanggulangi ketegangan sosial yang membuahkan tindak kekerasan massa seperti
diuraikan sebelumnya, perlu dibuat perencanaan operasional khusus. Meliputi perencanaan
personel yang akan diterjunkan, jumlah dan kesatuan, sistem komando,
persenjataan dan logistik, langkah-langkah taktis, dan lainnya.
Yang
perlu diperhatikan dalam perencanaan ini adalah elastisitas. Karena, dalam
situasi krisis perubahan berjalan dengan sangat cepat. Aparat keamanan dituntut
mampu mengkaji ulang dan memperbaharui rencananya sendiri. Pada saat ini,
semuatindakan aparat dituntut cepat dan akurat dalam arti tepat waktu, tepat
cara dan tepat tempat. Mungkin di saat inilah kemampuan diskresi amat
diperlukan. Selama tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Sebab,
musuh terbesar pada situsi krisis tersebut adalah waktu.
Analisa
kelompok massa dilakukan berdasarkan pada ketegangan sosial yang tengah
berlangsung di masyarakat. Yang hasilnya dapat digunakan untuk memetakan
kelompok masyarakat mana yang akan berpotensi besar memicu timbulnya kekacauan.
Serta, memetakan kemungkinan yang akan terjadi. Analisa ini diperlukan untuk
merumuskan tindakan pengamanan.
Tidak
berhenti di situ saja, di saat tindak kekerasan massa semakin meluas, perlu
diperhatikan 4 aspek penting lainnya, yaitu Containment,
Communication, Coordination, dan Control
(De Jong, 1994).
·
Containment atau pemblokiran bertujuan untuk
melokalisir tindakan kekerasan massa atau kerusuhan agar tidak meluas. Untuk
menciptakan ruang gerak bagi aparat guna mengantisipasi keseluruhan peristiwa
dan arah perkembangan.
·
Communication atau komunikasi harus dilakukan
secara efektif baik sebelum, ketika, maupun sesudah tindak kekerasan massa
terjadi. Komunikasi ini harus cepat dan efektif dari petugas lapangan ke pusat
komando begitu pula sebaliknya. Informasi yang disampaikan ke pusat komando
harus segera dicermati untuk memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan
situasi. Termasuk prediksi situasi tersebut. Maka, pusat komando juga harus
dapat bertindak sebagai pusat intelejen. Komunikasi ini juga dilakukan berupa
koordinasi dengan rumah sakit, dinas kebakaran, militer, maupun dinas lain yang
dapat membantu menangani tindak kekerasan massa.
·
Coordination akan lebih mudah dilakukan apabila
komunikasi sudah berjalan dengan baik. Karena, keberhasilan koordinasi amat
bergantung pada terpeliharanya komunikasi. Koordinasi ini merupakan masalah
vital, apabila ada kesatuan yang tidak terkoordinir, kemudian melakukan
tindakan di luar komando, akan membahayakan seluruh operasi. Hal ini dapat
mengakibatkan kerusuhan semakin meluas.
·
Aspek
Control adalah pengawasan segala
unsur operasional penanggulangan civil
disorder. Setiap tindakan terhadap personel dalam melaksanakan tugas di
dalam keadaan segenting apapun harus dapat dikontrol oleh para komandan.
Perintah yang diberikan pada kesatuan harus benar-benar akurat, sepenuhnya
dimengerti dan dapat diterjemahkan ke dalam tindakan sebagaimana mestinya.
Perhatian
serius pada kesemua faktor dan aspek di atas harus dipandang sebagai upaya
untuk mengantisipasi tindak kekerasan massa. Keseimbangan antara melaksanakan
tugas tanpa terpancing kondisi lapangan dengan bijak, mutlak diperlukan.
Karena, ketidakseimbangan atas keduanya akan menghasilkan lenturnya pencegahan
dan penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak kekerasan massa, dan
mempercepat proses terwujudnya masyarakat yang roboh (collapse society) dan masyarakat kejahatan (society of crime). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar