ad

Jumat, 29 Juli 2016

Penembakan Santoso Butuh Penjelasan


Cetak
PDF
137 READINGS
Edison Siahaan
Edison Siahaan

Oleh: Edison Siahaan *)

Enam hari setelah Presiden Jokowi melantik Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri di Istana Negara, atau 120 jam setelah serah terima jabatan dari Jenderal Badrodin Haiti di lapangan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Kamis 14 Juli 2016. Jenderal Tito Karnavian benar-benar membuktikan ucapannya.   


“ Kalau masalah penangkapan Santoso, ini masalah medan, its a matter of time saya kira. Kita akan tetap tingkatkan operasi ini, sampai dengan selesai, baik yang bersangkutan tertangkap hidup atau mati," kata Tito Karnavian, usai dilantik Presiden Jokowi sebagai Kapolri, Rabu 13 Juli 2016 lalu. Sejumlah media massapun membuat judul berita “ Tito Tangkap Santoso Hidup Atau Mati”.


Pernyataan Jenderal Tito Karnavian bak titah atau sabda sang raja yang harus terwujud. Sebab, Senin 18 Juli 2016 , dikabarkan Santoso alias Abu Wadah dan Basri, tewas ditembak oleh satuan tugas gabungan TNI-Polri setelah sempat terjadi kontak senjata sekitar pukul 17.00 Wita, di pegunungan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Sebelum operasi Tinombala yang melibatkan tim gabungan TNI –Polri digelar, Santoso, yang merupakan gembong teroris mujahidin Indonesia Timur, adalah  buronan nomor wahid aparat tim anti teror Polri. Dia berhasil lolos dari sejumlah penyergapan yang dilakukan aparat kepolisian. Sebelumnya, lewat pernyataan Kapolri maupun pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) publik mengetahui bahwa Santoso dan Basri yang tubuhnya penuh dengan tato adalah sosok pemimpin yang disegani oleh kelompoknya dan memiliki kemampuan menggunakan senjata api. Santoso disebut licin, nekat dan berbahaya serta berbagai predikat mengerikan lainnya disandang Santoso.

Bertahun-tahun Santoso bersama kelompoknya bersembunyi di kawasan hutan dan pegunungan Poso, Sulawesi Tengah. Mereka kerab melakukan kejahatan,pembantaian sadis, bahkan teror dengan membunuh warga, apabila dianggap membantu aparat Negara yang akan menangkapnya.

Selain itu, Kapolri dan pihak BNPT juga menyebut faktor alam dan letak geografis yang sangat sulit menjadi kendala serius penangkapan Santoso dan kelompoknya. Secara keseluruhan kelompok teroris bersenjata Poso, pimpinan Santoso alias Abu Wadah, merupakan cerita panjang penuh liku dan sarat dengan aksi menakutkan.

Tentu publik patut memberikan apresiasi atas upaya dan kerja keras anggota tim yang tergabung dalam operasi Tinombala, yang berhasil menembak mati gembong teroris yang sudah lama menjadi momok menakutkan di negeri ini. Pujian dan salut juga wajar disampaikan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang hanya hitungan 144 jam setelah menyatakan akan menangkap Santoso hidup atau mati, benar-benar terwujud.

Sebaliknya, kesempatan juga diberikan bagi pihak yang mengajukan pertanyaan kritis, dan berharap agar kronologis penembakan Santoso dan Basri dijelaskan secara rinci. Sehingga tewasnya Santoso dan Basri yang disebut gembong teroris paling berbahaya di negeri ini, tidak hanya seperti sebuah judul drama tanpa cerita.

Sebab, publik merekam  Santoso dan Basri adalah sosok teroris yang memiliki kemampuan luar biasa sehingga bertahun tahun lamanya belum berhasil  ditangkap. Maka, penjelasan kronologis dan proses, adalah cara efektif untuk meyakinkan publik bahwa tewasnya Santoso dan Basri bukanlah penggalan skenario dari sebuah pertunjukan yang menyimpan beragam cerita.

Kabar tertembaknya Santoso, menuai pujian terhadap upaya yang dilakukan anggota tim operasi Tinombala. Sekaligus membuat sebagian masyarakat kaget. Karena, penembakan Santoso dan Basri mendadak berubah menjadi sebuah cerita pendek yang sudah disiapkan, tinggal memilih waktu yang tepat untuk disajikan menjadi pertunjukan menarik.

Sehingga berbeda dengan dugaan publik yang sebelumnya yakin,  penangkapan maupun penembakan Santoso dan Basri layaknya seperti film action yang penuh dengan aksi-aksi menegangkan. Setidaknya seperti baku tembak saat menyergap Dr Ashari dan Noordin Top ditempat persembunyiannya beberapa tahun lalu. Agar masyarakat tidak menganggap tewasnya Santoso   menjadi anti klimax. Bahkan dinilai seperti sebuah pertunjukan yang disajikan dengan cerita yang kurang lengkap.

Santoso dan Basri yang awalnya disebut seorang perempuan tewas saat terjadi baku tembak yang terjadi sekitar pukul 17.00 Wita ,Senin 18 Juli 2016 di pegunungan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sementara tiga anggota Santoso berhasil melarikan diri dari sergapan petugas. Pasca tewasnya kedua tokoh teroris itu, aparat menemukan sepucuk senjata laras panjang jenis M16 di lokasi kejadian.

Sejatinya, apapun cerita dibalik kabar tewasnya gembong teroris Santoso, sedikitnya telah membuat masyarakat merasa aman dari ancaman aksi teroris. Meskipun harus tetap waspada, karena tewasnya Santoso belum menjamin aksi teror akan sirna. Sementara, Kapolri Jenderal Tito Karnavian seyogianya menjelaskan penembakan Santoso bukan  skenario untuk membuktikan pernyataan yang diucapkannya 144 jam lalu.  (Mantan Ketua Forum Wartawan Polri/FWP *)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar