Oleh:
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Tata Negara
Melihat
semua langkah dan hasil upaya pemberantasan korupsi selama Era Reformasi,
rasanya kita menjadi pesimistis untuk bisa mengatasi korupsi di Indonesia.
Padahal,
kita melakukan reformasi, utamanya, untuk memberantas korupsi agar negara ini
bisa berjalan baik. Sekarang korupsi terasa semakin menggunung dan kita mati
langkah untuk memeranginya.
Mungkin
ada baiknya kita segera memilih langkah dan strategi baru memerangi korupsi,
yakni memutuskan hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu. Sebab, sulitnya
menangani kasus-kasus korupsi saat ini karena kita tersandera masa lalu. Setiap
kita akan bersikap tegas terhadap korupsi, selalu saja muncul hadangan karena yang
harus ditindak dan yang harus menindak sering kali sama-sama terlibat korupsi
di masa lalu. Ini terjadi karena pada masa lalu korupsi sudah sistemik sehingga
penggawa yang tidak ikut korupsi tak bisa survive.
Akibat
hadangan yang seperti itu, maka—selain korupsi-korupsi lama tak
terselesaikan—semakin hari selalu muncul korupsi baru yang jumlah ataupun
caranya begitu fantastis. Sementara saling kunci dan saling sandera terus
berlangsung sehingga penanganan korupsi semakin tak memberi arah yang jelas. Masa
transisi untuk institusionalisasi penegakan dan penegak hukum semakin kabur
pula.
Oleh
sebab itu, jalan terbaik untuk mengatasi situasi ini adalah segera memutus
hubungan dengan korupsi masa lalu. Caranya adalah dengan menyelesaikan atau
menganggap selesai secara ”luar biasa” kasus-kasus korupsi di masa lalu itu.
Setelah itu, sejak titik penyelesaian itu, kita mulai langkah-langkah baru yang
lebih tegas.
Lustrasi
dan pemutihan
Berdasarkan
teori dan pengalaman di negara-negara lain, ada dua alternatif yang ditawarkan
untuk menggunting atau memutus hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu itu,
yaitu amputasi dan ampuni.
Dengan
amputasi dimaksudkan kita perlu membuat kebijakan lustrasi nasional (national
lustration policy), semacam pemotongan satu atau dua generasi untuk para pemain
dan pejabat-pejabat lama. Semua politikus dan pejabat pemerintah dari rezim
korup yang sudah dijatuhkan harus diberhentikan dengan undang-undang dari semua
jabatan publik tanpa pengadilan hukum.
Asumsinya,
karena korupsi masa lalu itu bersifat sistemik sehingga tak bisa dihindarkan
oleh mereka yang ingin kariernya terjamin, maka semua yang terlibat politik dan
pemerintahan pada masa itu dianggap tercemar sehingga harus diseleksi ulang dan
diganti dengan pemain-pemain atau pejabat-pejabat yang baru. Ada yang harus
dilarang untuk aktif selamanya dan ada yang diberi kurun tertentu, misalnya
selama sepuluh atau lima tahun tak boleh aktif di politik atau ikut dalam
pemerintahan. Beberapa negara di Amerika Latin menempuh kebijakan lustrasi ini.
Pejabat-pejabat
baru itu diseleksi dari mereka yang benar-benar bersih sebagai generasi baru
dalam politik dan pemerintahan yang menjamin keterputusan hubungan dengan
korupsi masa lalu. Persoalannya adalah pilihan lustrasi ini akan sulit diambil
karena mereka yang harus memberi persetujuan atas kebijakan lustrasi ini boleh
jadi adalah mereka yang akan terkena lustrasi dan harus keluar dari panggung
politik dan pemerintahan. Sulit membayangkan ada politikus dan pejabat
pemerintah yang mau menyetujui undang-undang yang akan mencopot dirinya
sendiri.
Oleh
sebab itu, ada alternatif kedua, yakni menggabungkan pengalaman Afrika Selatan
dan China dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan menghukum para
koruptor dengan membuat kebijakan mengampuni, rekonsiliasi, atau national
pardon. Dalam kebijakan yang demikian, semua pelaku korupsi masa lalu
kesalahannya diputihkan, dianggap selesai, dan tidak perlu diajukan ke
pengadilan. Dapat juga disertai pemberian kesempatan mengembalikan kekayaan secara
sukarela. Namun, sejak titik dinyatakannya pemutihan itu, ada ancaman hukuman
berat apabila melakukan korupsi, yakni dihukum seumur hidup atau lebih berat
dari itu.
Terarah
dan tegas
Dengan
pemutihan atau pengampunan ini, selanjutnya para politikus dan pejabat harus
ikut berperang melawan korupsi tanpa harus tersandera oleh korupsi-korupsinya
di masa lalu. Hakim, jaksa, dan polisi yang korup di masa lalu, misalnya, tidak
perlu takut diungkit-ungkit korupsinya ketika menangani kasus korupsi.
Tak
mudah bagi kita untuk menentukan mana yang harus kita pilih, lustrasi
(amputasi) ataukah pemutihan (ampunan), sebab keduanya berisiko besar.
Akan
tetapi, tidak tepat juga kalau kita menangani kasus korupsi dengan cara
berputar-putar secara tak jelas seperti sekarang. Sebuah kebijakan yang lebih
terarah dan tegas memang sudah diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar