ad

Senin, 15 Februari 2016

Lagi-lagi Mahkamah Agung


Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar praktek suap di Mahkamah Agung pada Jumat pekan lalu membenarkan kecurigaan publik bahwa lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu masih belum bersih benar. Mafia hukum masih bercokol di sana.

Janji KPK untuk menelusuri sampai tuntas semua jejaring pelaku suap di MA, di luar Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus MA, Andri Tristianto Sutrisna, yang ditangkap pada akhir pekan lalu, harus didukung. Aksi penyuapan senilai Rp 400 juta oleh seorang pengusaha dan pengacaranya itu tak mungkin melibatkan Andri seorang. Kita masih ingat bagaimana modus para calo peradilan dalam kasus serupa yang dibongkar KPK pada 2005. Ketika itu, penyidik KPK menangkap seorang mantan hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Harini Wiyoso, yang berperan sebagai makelar perkara untuk pengusaha kakap Probosutedjo. Dalam aksi ini, Harini bekerja sama dengan lima staf MA.

Untuk itu, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali harus berada di posisi paling depan. Hatta harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk menyapu bersih tikus-tikus koruptor di lembaga yudikatif. Para hakim agung tak boleh lagi berlindung di balik dalih independensi peradilan untuk menghalau semua upaya pengawasan dari pihak luar.

Selama ini ada kesan MA alergi terhadap upaya pihak lain yang ingin membersihkan lembaganya. Komisi Yudisial, misalnya, kerap mengeluhkan sulitnya berkoordinasi dengan Mahkamah untuk menjalankan tugas pengawasan. Padahal Komisi Yudisial mendapat mandat dari Undang-Undang Dasar Negara 1945 untuk menjaga perilaku hakim.

Pembersihan MA adalah persoalan mendesak karena sampai saat ini khalayak masih skeptis pada integritas sistem peradilan. Survei Transparency International Indonesia, yang dirilis pada Januari lalu, menunjukkan kepercayaan rakyat kepada lembaga peradilan amat rendah. Kondisi ini diperburuk oleh sikap MA yang terus-menerus kucing-kucingan dengan Komisi Yudisial, secara sistematis melemahkan undang-undang serta peraturan yang dibuat untuk memperbaiki mekanisme pengawasan peradilan, dan kerap kali defensif dalam menghadapi kritik.

Sampai sekarang, masih sering kita mendengar laporan publik soal perilaku negatif hakim yang tak direspons memadai. Rekomendasi sanksi KY untuk hakim Sarpin Rizaldi, misalnya, malah dijawab MA dengan mempromosikan hakim itu. Ini jelas tak sejalan dengan usaha menegakkan martabat dan kewibawaan sistem peradilan kita.

Maka tak ada lagi pilihan lain: MA harus berubah. Peradilan yang bersih adalah fondasi untuk stabilitas politik dan ekonomi. Mahkamah Agung harus mengambil posisi tegas: mau menjadi bagian dari solusi atau hanya menjadi masalah buat negeri ini.(https://www.tempo.co/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar