ad

Selasa, 16 Juli 2013

Upaya Polri dalam Penanggulangan Konflik dalam Rangka Memperkokoh NKRI


 
Oleh Brigjen Polisi Drs. M. Zulkarnain, Karo Analis Baintelkam Polri

Secara kuantitas konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dikatakan menurun jika dibandingkan pada awal reformasi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama pada masa awal reformasi terjadi berbagai konflik di tanah air baik horizontal maupun vertikal yang mengancam disintegrasi bangsa seperti kerusuhan Mei 1998, konflik dayak dan madura di Sambas, konflik ambon, konflik poso, konflik aceh, dan konflik papua. Bahkan terjadi pula konflik elite politik terkait penentuan bentuk negara, apakah negara kesatuan atau negara federal. Begitu juga dengan dasar negara, ada yang berkeinginan untuk menggantinya dengan ideologi lain. Meningkatnya gerakan radikal yang pada gilirannya dapat menurunkan wibawa pemerintah, serta tidak harmonisnya hubungan kemitraan dan kurang lancarnya komunikasi politik antara lembaga eksekutif dengan legislatif, antara pusat dengan daerah, antara pemerintah dengan rakyat. Kondidi tersebut tentunya menjadi ancaman bagi kelangsungan atau keutuhan NKRI. Masa kritis telah kita lalui dan kita masih dapat hidup dalam satu bangsa dan negara kita masih tetap utuh dalam bentuk NKRI. Walaupun demikian masih menjadi pertanyaan apakan era reformasi sekarang ini masih ada ancaman terhadap keutuhan NKRI. Hal inilah yang perlu kita sikapi dengan melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di bidang para politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama.

Berdasarkan data selama dua tahun terakhir, isu konflik yang terjadi di Indonesia adalah berupa:
·         Konflik pemilukada / pemilu presiden / pemilu legislatif
Pada tahun 2010 pemilukada diselenggarakan di 244 daerah, yang sudah selesai dilaksanakan sebanyak 128 daerah. Dari 128 daerah tersebut, terjadi konflik kekerasan di 8 daerah kabupatem, yaitu di Mojokerto, Toli-Toli, Ketapang, Bengkayang, Humbang Hasundutan, Tana Toraja, Bima, dan Sopeng. Sebagai faktor penyebabnya adalah ketidakpuasan kandidat maupun pendukungnya terhadap keputusan panitia penyelenggara pemilukada, baik terkait penentuan kelulusan calon maupun hasil perhitungan suara
·         Konflik pemekaran wilayah
Pemekaran wilayah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaannya sering disertai dengan konflik yang disebabkan karena adanya perbedaan pendapat atau kepentingan antar kelompok masyarakat di suatu daerah. Perbedaan tersebut antara lain dalam penentuan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran, penentuan letak ibukota wilayah, batas wilayah, dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya seringkali terjadi pemaksaan oleh kelompok tertentu sehingga menimbulkan gangguan keamanan.
·         Konflik politik lokal
Konflik politik lokal disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah atau daerah dengan masyarakatnya. Misalnya kontroversi terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM / TDL atau proses penegakan hukum oleh aparat CJS yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan aspirasi rakyat.
·         Konflik separatisme
Konflik separatisme berupa keinginan untuk merdeka dari kelompok masyarakat tertentu, adalah sebagai wujud adanya ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dianggap diskriminatif dalam pembangunan daerah, pelaksanaan otsus yang dianggap tidak memenuhi aspirasi masyarakat, pengelolaan sumber daya alam daerah yang dianggap hanya menguntungkan pemerintah pusat dan oknum tertentu serta penugasan anggota TNI dan Polri di daerah konflik yang dianggap masih melakukan praktik-praktik kekerasan.
·         Konflik sumber daya alam
Konflik sumber daya alam antara lain dalam hal pemanfaatan hutan, pertambangan dan penangkapan ikan di wilayah perairan, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha, masyarakat setempat, dan kelompok lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pengusaha berdasarkan izin dari pemerintah berorientasi pada keuntungan perusahaan, meningkatnya pendapatan daerah serta penyerapan tenaga kerja, sementara masyarakat berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat setempat, dan kelompok lingkungan hidup berorientasi pada pelestarian lingkungan hidup.
·         Konflik sengketa tanah
Konflik sengketa tanah disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran status kepemilikan tanah, antara pengusaha dengan masyarakat di mana pemerintah memberikan izin-izin HGU/KP pengeolaan hutan/kebun/pertambangan kepada pengusaha, sementara masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah hak adat/ulayat atau belum dibayarkan ganti rugi.
·         Konflik persoalan buruh
Konflik persoalan buruh disebabkan adanya persoalan antara buruh dengan pihak majikan yang dianggap tidak memperhatikan kepentingan buruh, antara lain berupa masalah PHK/pesangon, masalah UMR dan jaminan lainnya, serta kontroversi terhadap UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
·         Konflik agama (inter dan antar agama)
Konflik intern agama antara lain terkait adanya kelompok penganut agama tertentu yang mengajarkan aliran agama tertentu namun dianggao menyimpang dari ajaran agama yang benar. Sedangjan di pihak lain kurangnya rasa toleransi antar sesama umat beragama, sehingga sering diakhiri dengan tindakan main hakin sendiri berupa pengrusakan tempat ibadah.
Konflik antar agama terkait dengan masalah penggunaan rumah/gedung untuk kegiatan ibadah dan masalah penyebaran agama oleh penganut agama tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya sehingga sering terjadi kasus pembubaran paksa dan bahkan sering disertai perusakan gedung yang digunakan sebagai tempat ibadah tersebut.
·         Konflik etnik
Konflik etnik disebabkan berkembangnya fanatisme sempit kesukuan dan perlakuan diskriminatif dari kelompok masyarakat lokal terhadap pendatag. Namun konflik tersebut pada 2009 dan 2010 tidak berkembang menjadi gangguan nyata.
·         Konflik antar golongan
Konflik antar golongan berupa konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat tertentu seperti parpol, kampung, mahasiswa, geng, dan lain-lain, disebabkan oleh adanya arogansi kelompok.

Dari isu-isu konflik yang ada di berbagai aspek kehidupan sosial, apabila tidak dapat diantisipasi sejak dini pada gilirannya dapat berkembang menjadi gangguan nyata sehingga mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, bangsa dan negara berupa gangguan kemanan atau kriminalitas, menurunnya kepercayaan masyarakat indonesia dan dunia internasional terhadap pemerintah RI serta melemahnya persatuan dan kesatuan bangsa yang berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan nasional dan keutuhan NKRI.

Bagaimana upaya Polri dalam menanggulangi konflik, terlebih dahulu perlu kiranya kami gambarkan secara umum tentang persepsi Polri pasca amandemen UUD 1945 yaitu di mana Polri dalam merumuskan konsep maupun kebijakan dan strategi keamanan negara tetap konsisten terhadap landasan konstitusional dengan merujuk alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan bab XII pasal 30 tentang pertahanan dan keamanan negara yang pelaksanaan operasionalnya diatur secara normatif dalam UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 dengan berbagai peraturan pelaksananya.

Dalam UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Polri (Pasal 13) dirinci lebih lanjut dalam rumusan tugas-tugas (Pasal 14) yang mencakup tatran tugas pre-emptif, preventif, represif non yustisial dan represif yustisial. Pada setiap tataran tugas tersebut, senantiasa diperluakan koordinasi, kerja sama, bantuan, dan partisipasi dari berbagai komponen bangsa, instansi dan masyarakat. Tanpa adanya kerja sama dengan komponen lain terutama dengan TNI, pemerintah daerah dan instansi lain serta masyarakat, maka upaya pemeliharaan keamanan dalam negeri tidak akan terbebas dari ancaman keamanan.

Mencermati sumber ancaman berupa potensi gangguan yang mengendap di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang setiap saat dapat berkorelasi bahkan terpicu menjadi konflik, maka upaya polri dalam penanggulangan konflik dengan langkah-langkah yang berupa upaya pencegahan dan penindakan.

Hampir setiap hari kita menyaksikan, membaca, dan bahkan mungkin mengalami sendiri situasi konflik dan berbagai akibat baik bagi diri sendiri, kelompok, maupun organisasi. Konflikmerupakan pertentangan yang wajar dan alamiah antara individu atau kelompok tersebut sebagai hasil atau akibat adanya perbedaan sikap, keyakinan, nilai, atau kebutuhan.

Konflik tidak selalu berarti negatif, apabila dicegah melalui pengelolaan secara efektif bisa menjadi konflik yang sehat atau positif, bisa menghasilkan pertumbuhan, inovasi wawasan baru, serta pilihan manajemen alternatif. Namun permasalahan muncul ketika konflik yang terjadi disertai dengan tindak kekerasan yang jelas-jelas melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia, yang intensitasnya semakin meningkat dan menimbulkan penderitaan masyarakat, bahkan mengancam keutuhan bangsa dan negara RI.

Dengan melihat ciri-ciri individu, kelompok masyarakat dan faktor penyebab konflik, maka upaya yang dapat dilakukan Polri untuk mencegah terjadinya konflik adalah melalui implementasi tugas Polri yang bersifak pre-emptif dan preventif sesuai dengan tugas, fungsi dan peran Polri yang lebih memprioritaskan dalam meredam gejolak agar tidak meluas ke permasalahan lain yang mengakibatkan konflik menjadi kompleks dan rumit, dengan tetap berperan secara fungsional dan proporsional melalui upaya pencegahan sebagai berikut.

Kegiatan diawali dengan kegiatan intelijen, guna mengidentifikasi dan assessment potensi gangguan yang mengendap pada berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti yang telah diuraikan di atas, yang diikuti dengan kegiatan cipta kondisi agar potensi gangguan tersebut tidak berkorelasi dan terpicu menjadi gangguan nyata. Di samping itu dapat dipetakannya berbagai daerah rawan konflik di seluruh Indonesia.

Langkah berikutnya adalah melalui strategi operasional dengan menerapkan strategi pemolisian masyarakat (community policing) yang pada intinya membangun kemitraan masyarakat dan polisi untuk bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi.

Upaya pencegahan terhadap situasi atau lokasi yang memungkinkan terjadiya konflik berupa ambang gangguan dilaksanakan dengan pola dan strategi preventif meliputi turjawali (pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli) serta pembinaan yang dilakukan oleh semua aktor yang terkait dengan situasi yang dihadapi.

Pada upaya pencegahan ini, Polri tidak bisa langsung mengatasi sumber masalahnya karena menjadi kompetensi instansi teknis terkait dan masyarakat. Dalam hal ini Polri menerapkan asas partisipasi dan mengembangkan pola kerja lintas sektoral. Ditanggulangi dengan pola dan strategi deteksi dan pre-emptif melalui upaya engineering, pembinaan yang dilakukan oleh semua unsur bersama komponen masyarakat dan negara melalui kemitraan.

Dari pandangan Polri, penyelenggaraan keamanan selama ini telah berlangsung dengan baik dengan mendasarkan pada ketentuan normatif UU Nomor 2 Tahun 2002 (Bab VII Bantuan, Hubungan dan Kerja Sama Pasal 41 dan 42).  Koordinasi antara TNI, Pemda, dan Polri serta instansi terkait lainnya berlangsung dengan harmonis, walaupun sejauh ini disadari bahwa “aturan pelibatan” komponen lain pada setiap tataran tugas Polri masih perlu dipertegas dan disempurnakan. Koordinasi dan sinergi kegiatan di lapangan dimantapkan dengan pendekatan informal dan kemitraan.

Terhadap pelaksanaan penindakan konflik yang mengarah atau terjadinya kerusuhan dan tindakan anarkis, Polri tetap mengacu pada tataran tugas sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentunya dengan suatu strategi represif untuk preventif, yaitu melakukan tindakan tegas berdasarkanaturan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak asasi manusia dalam rangka mencegah meluasnya konflik. Langkah-langkah yang diambil meliputi:
·         Melokalisir meluasnya konflik dengan upayaa pengerahan kekuatan yang seimbang, memberdayakan tokoh-tokoh kedua pihak, berkoordinasi dengan aparat keamanan lain dan pemda setempat.
·         Penegakan hukum dengan mengidentifikasi pencetus konflik, melakukan penangkapan terhadap pelaku, dan melakukan proses penyidikan.
·         Penindakan kepolisian terbatas non pro yustisia antara lain berupa pengendalian massa, pembubaran massa, mendamaikan pihak-pihak yang konflik, pemulihan ketertiban umum yang terganggu.

Upaya Polri dalam penanggulangan konflik akan dapat berjalan dengan baik apabila mendapat dukungan dari semua pihak. Karena makna dan kekuatan akan lahir dari komitmen dan tanggung jawab kita bersama. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar