Oleh Aniyatus Sholihah
Pemerhati Sosial
juga Anggota Pusatakawan Mahasiswa
(PusMa) Universitas Trunojoyo Madura
Tak terasa
bangsa ini sudah menapaki umur 67 tahun. Usia yang tak lagi muda, bisa
dikatakan mulai memasuki masa-masa udzur. Sepanjang 67 tahun dari kemerdekaan,
banyak hal sudah terlewati. Ingin rasanya bernostalgia, mengenang masa silam
ketika bangsa ini belajar merangkak hingga menginjak masa remaja. Entah benar
atau tidak, sejarah mengatakan kondisi bangsa sedia kala tidaklah lebih buruk
ketimbang sekarang. Jauh lebih baik bahkan!
Kebutuhan hidup gampang didapati, harga komoditas tidak melambung
tinggi. Dan pejabatnya pun dekat dengan rakyat. Tidak congkak, dan tidak pula
bejat. Namun sekarang?
Nampaknya,
semakin negeri ini tambah umur semakin pula para “wayangnya” tambah makmur.
Buktinya, kualitas para aparat pemerintah kian wah. Mobil mewah, rumah megah,
dan kekayaan mereka pun tambah melimpah. Tengok saja gaya hidup para pejabat,
mayoritas berada di atas kelas rata-rata. Bukan tidak mungkin jika pada suatu
saat pejabat kita akan tercantum sebagai orang terkaya sedunia. Hebat!
Banyak yang
bilang negeri ini adalah surga. Surga bagi koruptor dan surga bagi kaum
berduit. Asalkan punya kekuasaan dan wewenang apapun bisa dilakukan sesuka
hati. Entah itu mau memanipulasi, kolusi, korupsi. Buktinya, banyak pejabat
nakal berkeliaran. Hebatnya, tahanan koruptor pun bisa jalan-jalan. Entah itu
melancong keluar negeri atau sekadar hanya belanja di berbagai tempat wisata.
Akibatnya, kekayaan negara raib, hak rakyat pun jadi ghaib. Anehnya meski sudah
jelas-jelas terbukti, masih saja bisa dipelintirkan. Seabrekan kasus dan
skandal KKN hilang. Kasus Century misal.
Adalah
wajar jika dengan realitas seperti ini beredar asumsi luas bahwa negara kita
sedang dirundung pesakitan. Seakan tak pernah habis persoalan kebangsaan muncul
dimana-mana, dan berbagai macam problem datang dari setiap penjuru negeri. Jika
bukan masalah sosial muncul masalah lain yang tak kalah pelik. Bencana alam,
banjir, longsor, dan persoalan akut lainnya. Hal lazim rasanya jika media
kerapkali menyuguhkan berita memilukan perihal fenomena krisis sosial yang
menerpa saudara-saudara sebangsa kita.
Tak usah
jauh-jauh, dalam minggu-minggu ini tak terhitung rasanya sudah berapa banyak
berita memilukan mengitari telinga dan televisi kita. Mulai dari media
elektronik hingga media cetak semuanya pada ramai mengisi rubrik perihal
dinamika persoalan dalam negeri. Mulai dari mengguritanya kemiskinan, mahalnya
kesehatan, dan sulitnya mencari keselamatan. Masih segar mungkin dalam ingatan
kita tentang kasus pemerkosaan di Polres Poso yang melibatkan aparat kepolisian
setempat, di mana seorang tahanan perempuan menjadi korban. Ironinya, perilaku
bejat tersebut tidak saja dilakukan sekali, melainkan berkali-kali. Parahnya
lagi pelakunya bukan hanya satu aparat, melainkan berjemaah (Detik.com,
01/04/2013)
Pesakitan
negeri kita kian kronis ketika dihadapkan pada persoalan lain menyangkut
kelakuan nakal pejabat kita. Krisis identitas menjadi satu jenis virus
mematikan. Pejabat yang sejatinya berperan sebagai pengayom rakyat kini berubah
arah, senang mempermainkan hak rakyat dan hoby melakukan kongkalikong. Identitas
diri sebagai aparatur negara tidak membuat diri mereka sadar atas amanah dan
kewajiban yang diemban. Kepentingan untuk memperkaya diri lebih diperioritaskan
dari pada memperbaiki kondisi bangsa ynng dari hari kehari semakin tak jelas
nasibnya.
Betapa buruknya
kinerja pemimpin kita sampai-sampai negeri sekaya ini dibuat jatuh bangun,
jungkar balik di bawah bayang-bayang kaum penjilat yang selalu rakus menimbun
harta dan tahta. Sulit dibayangkan bagaimana kesedihan para pahlawan melihati
generasinya terjebak dalam kemunafikan.
Keserakahan
yang ditontonkan kaum elit politisi bukan saja membuat bangsa terhimpit pada
kesenjangan sosial yang menganga. Melainkan turut pula membuat perjuangan para
pahlawan kita seakan hangus sia-sia. Niat para pejuang untuk membebaskan rakyat
dari cengkraman hegemoni penjajah nampaknya harus berbenturan dengan
keberingasan dan ketamakan kaum pribumi yang duduk santai di gedung senayan dan
perlemen.
Persoalan
lain yang tak kalah parah bikin pesakitan negara tambah kritis adalah timpangnya
hukum dan lembaga peradilan. Persoalan mendasar yang hingga kini menjadi momok
menakutkan bagi masyarakat bawah. Betapa tidak, selama ini hukum seakan
dikendalikan orang-orang berduit. Sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke
bawah, hukum bagaikan produk mahal yang hanya bisa didapati jika terlebih
dahulu melakukan proses transaksi. Materi seakan menjadi senjata ampuh.
Keadilan bukan lagi subtansi institusi peradilan kita, melainkan uang. Asal ada
fulus, kasus berjalan mulus. Jika tidak, mampus!
Uang seolah
menjadi dewa di negeri ini. Apa-apa selalu saja diukur dengan uang, sekalipun
itu harus menggadaikan harga diri dan mengorbankan hak rakyat. Dapat
dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa ke depan jika setiap permasalahan yang
timbul selalu saja dihadapkan pada nilai materi. Hedonisme seakan menjadi
identitas para pilar penegak hukum kita. Entah itu polisi, hakim, jaksa,
apalagi pengacara. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini
berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang.
konsekuensinya,
hak rakyat pun banyak berlarian lantaran pemegang tampuk kekuasaan cenderung
mata duitan. Bagaimana bangsa ini bisa makmur jika untuk menagih hak pribadi
saja sudah harus ditukar dengan uang. Nampaknya sifat materialisme sudah
menjadi identitas dan karakter. Jika kondisi negara tetap saja demikian, lantas
sampai kapan bangsa ini bisa mendapati rakyatnya hidup tenteram jika diusianya
yang ke 67 ini lembaga peradilan kita dipenuhi mafia-mafia peradilan yang rajin
memeras rakyat.
Melihat
realitas di atas, hal lumrah manakala lembaga peradilan kita memperoleh nilai
miring, bukan saja oleh mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Melainkan
tersebar luas dilingkup masyarakat. Istilah miring pun ramai bertebaran, KUHP
yang semula singkatan dari kitab undang-undang hukum pidana berubah makna,
menjadi kasih uang habis perkara. Begitu buruknya penataan hukum di negeri kita
sampai-sampai kasus yang sudah jelas masih bisa dibuat abu-abu. Yang salah
berubah benar, dan yang benar berbalik salah. Terang saja rakyat jadi bulan-bulanan. Hukum layaknya pisau,
tajam jika dihadapkan pada kelas kecil, namun tumpul jika berhadapan kelas
kakap.
Sampai di
sini, maka sudah saatnya pesakitan negeri tercinta ini diobati. Jangan biarkan
bangsa kita terlunta, menjerit kesakitan di bawah perasan tangan tak
bertanggung jawab. Sulit memang memulihkannya, meski demikian harapan harus
ada. Secepat mungkin perbaikan wajib kita lakukan, syukur-syukur kalau bisa
melakukan perubahan. Jika tidak, saya khawatir negeri ini akan menjadi budak.
Rakyat terhimpit, dan arwah pahlawan pun menangis histeris. (haluankepri.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar