ad

Senin, 15 Juli 2013

Kisah Negeri Pesakitan





 
Oleh Aniyatus Sholihah
Pemerhati Sosial
juga Anggota Pusatakawan Mahasiswa (PusMa) Universitas Trunojoyo Madura

Tak terasa bangsa ini sudah menapaki umur 67 tahun. Usia yang tak lagi muda, bisa dikatakan mulai memasuki masa-masa udzur. Sepanjang 67 tahun dari kemerdekaan, banyak hal sudah terlewati. Ingin rasanya bernostalgia, mengenang masa silam ketika bangsa ini belajar merangkak hingga menginjak masa remaja. Entah benar atau tidak, sejarah mengatakan kondisi bangsa sedia kala tidaklah lebih buruk ketimbang sekarang. Jauh lebih baik bahkan!  Kebutuhan hidup gampang didapati, harga komoditas tidak melambung tinggi. Dan pejabatnya pun dekat dengan rakyat. Tidak congkak, dan tidak pula bejat. Namun sekarang?

Nampaknya, semakin negeri ini tambah umur semakin pula para “wayangnya” tambah makmur. Buktinya, kualitas para aparat pemerintah kian wah. Mobil mewah, rumah megah, dan kekayaan mereka pun tambah melimpah. Tengok saja gaya hidup para pejabat, mayoritas berada di atas kelas rata-rata. Bukan tidak mungkin jika pada suatu saat pejabat kita akan tercantum sebagai orang terkaya sedunia. Hebat!

Banyak yang bilang negeri ini adalah surga. Surga bagi koruptor dan surga bagi kaum berduit. Asalkan punya kekuasaan dan wewenang apapun bisa dilakukan sesuka hati. Entah itu mau memanipulasi, kolusi, korupsi. Buktinya, banyak pejabat nakal berkeliaran. Hebatnya, tahanan koruptor pun bisa jalan-jalan. Entah itu melancong keluar negeri atau sekadar hanya belanja di berbagai tempat wisata. Akibatnya, kekayaan negara raib, hak rakyat pun jadi ghaib. Anehnya meski sudah jelas-jelas terbukti, masih saja bisa dipelintirkan. Seabrekan kasus dan skandal KKN hilang. Kasus Century misal.

Adalah wajar jika dengan realitas seperti ini beredar asumsi luas bahwa negara kita sedang dirundung pesakitan. Seakan tak pernah habis persoalan kebangsaan muncul dimana-mana, dan berbagai macam problem datang dari setiap penjuru negeri. Jika bukan masalah sosial muncul masalah lain yang tak kalah pelik. Bencana alam, banjir, longsor, dan persoalan akut lainnya. Hal lazim rasanya jika media kerapkali menyuguhkan berita memilukan perihal fenomena krisis sosial yang menerpa saudara-saudara sebangsa kita.

Tak usah jauh-jauh, dalam minggu-minggu ini tak terhitung rasanya sudah berapa banyak berita memilukan mengitari telinga dan televisi kita. Mulai dari media elektronik hingga media cetak semuanya pada ramai mengisi rubrik perihal dinamika persoalan dalam negeri. Mulai dari mengguritanya kemiskinan, mahalnya kesehatan, dan sulitnya mencari keselamatan. Masih segar mungkin dalam ingatan kita tentang kasus pemerkosaan di Polres Poso yang melibatkan aparat kepolisian setempat, di mana seorang tahanan perempuan menjadi korban. Ironinya, perilaku bejat tersebut tidak saja dilakukan sekali, melainkan berkali-kali. Parahnya lagi pelakunya bukan hanya satu aparat, melainkan berjemaah (Detik.com, 01/04/2013)

Pesakitan negeri kita kian kronis ketika dihadapkan pada persoalan lain menyangkut kelakuan nakal pejabat kita. Krisis identitas menjadi satu jenis virus mematikan. Pejabat yang sejatinya berperan sebagai pengayom rakyat kini berubah arah, senang mempermainkan hak rakyat dan hoby melakukan kongkalikong. Identitas diri sebagai aparatur negara tidak membuat diri mereka sadar atas amanah dan kewajiban yang diemban. Kepentingan untuk memperkaya diri lebih diperioritaskan dari pada memperbaiki kondisi bangsa ynng dari hari kehari semakin tak jelas nasibnya.

Betapa buruknya kinerja pemimpin kita sampai-sampai negeri sekaya ini dibuat jatuh bangun, jungkar balik di bawah bayang-bayang kaum penjilat yang selalu rakus menimbun harta dan tahta. Sulit dibayangkan bagaimana kesedihan para pahlawan melihati generasinya terjebak dalam kemunafikan.

Keserakahan yang ditontonkan kaum elit politisi bukan saja membuat bangsa terhimpit pada kesenjangan sosial yang menganga. Melainkan turut pula membuat perjuangan para pahlawan kita seakan hangus sia-sia. Niat para pejuang untuk membebaskan rakyat dari cengkraman hegemoni penjajah nampaknya harus berbenturan dengan keberingasan dan ketamakan kaum pribumi yang duduk santai di gedung senayan dan perlemen.

Persoalan lain yang tak kalah parah bikin pesakitan negara tambah kritis adalah timpangnya hukum dan lembaga peradilan. Persoalan mendasar yang hingga kini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat bawah. Betapa tidak, selama ini hukum seakan dikendalikan orang-orang berduit. Sedangkan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, hukum bagaikan produk mahal yang hanya bisa didapati jika terlebih dahulu melakukan proses transaksi. Materi seakan menjadi senjata ampuh. Keadilan bukan lagi subtansi institusi peradilan kita, melainkan uang. Asal ada fulus, kasus berjalan mulus. Jika tidak, mampus!

Uang seolah menjadi dewa di negeri ini. Apa-apa selalu saja diukur dengan uang, sekalipun itu harus menggadaikan harga diri dan mengorbankan hak rakyat. Dapat dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa ke depan jika setiap permasalahan yang timbul selalu saja dihadapkan pada nilai materi. Hedonisme seakan menjadi identitas para pilar penegak hukum kita. Entah itu polisi, hakim, jaksa, apalagi pengacara. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang.

konsekuensinya, hak rakyat pun banyak berlarian lantaran pemegang tampuk kekuasaan cenderung mata duitan. Bagaimana bangsa ini bisa makmur jika untuk menagih hak pribadi saja sudah harus ditukar dengan uang. Nampaknya sifat materialisme sudah menjadi identitas dan karakter. Jika kondisi negara tetap saja demikian, lantas sampai kapan bangsa ini bisa mendapati rakyatnya hidup tenteram jika diusianya yang ke 67 ini lembaga peradilan kita dipenuhi mafia-mafia peradilan yang rajin memeras rakyat.

Melihat realitas di atas, hal lumrah manakala lembaga peradilan kita memperoleh nilai miring, bukan saja oleh mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Melainkan tersebar luas dilingkup masyarakat. Istilah miring pun ramai bertebaran, KUHP yang semula singkatan dari kitab undang-undang hukum pidana berubah makna, menjadi kasih uang habis perkara. Begitu buruknya penataan hukum di negeri kita sampai-sampai kasus yang sudah jelas masih bisa dibuat abu-abu. Yang salah berubah benar, dan yang benar berbalik salah. Terang saja rakyat  jadi bulan-bulanan. Hukum layaknya pisau, tajam jika dihadapkan pada kelas kecil, namun tumpul jika berhadapan kelas kakap.

Sampai di sini, maka sudah saatnya pesakitan negeri tercinta ini diobati. Jangan biarkan bangsa kita terlunta, menjerit kesakitan di bawah perasan tangan tak bertanggung jawab. Sulit memang memulihkannya, meski demikian harapan harus ada. Secepat mungkin perbaikan wajib kita lakukan, syukur-syukur kalau bisa melakukan perubahan. Jika tidak, saya khawatir negeri ini akan menjadi budak. Rakyat terhimpit, dan arwah pahlawan pun menangis histeris. (haluankepri.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar