Oleh Dr. Mulyadi, Msi
Pengantar
Diferensiasi
struktural yang diikuti diferensiasi fungsional merupakan ciri sistem politik
negara modern. Hal itu dimaksudkan bukan saja agar struktur terspesialisasikan
(fungsionalisme struktural), tapi juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya
konflik struktural akibat duplikasi, kompetisi, arogansi dan pemborosan. Dalam
fungsionalisme struktural, TNI dan Polri misalnya, adalah dua struktur yang
berbeda karena melaksanakan fungsi yang berbeda. Jika TNI dan Polri sebagai dua
struktur berbeda namun menjalankan fungsi yang sama, maka cepat atau lambat
kedua struktur itu tidak fungsional yangdisebabkan oleh adanya duplikasi,
kompetisi, arogansi dan pemborosan.
Oleh
sebab itu untuk menghindari konflik struktural akibat duplikasi, kompetisi,
arogansi dan pemborosan, diferensiasi struktural dan fungsional lalu menetapkan
institusi kemiliteran sebagai struktur penyelenggara kekerasan negara untuk
fungsi pertahanan militer melalui –persiapan– pertempuran militer (perang).
Sedangkan institusi kepolisian ditetapkan sebagai struktur penyelenggara
kekerasan negara untuk fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum.
Perbedaan itu sudah tentu tidak akan menimbulkan masalah karena telah mengacu pada
konsepsi dasar dari tujuan pembentukan negara, yaitu pembentukan institusi
militer (TNI) sebagai struktur penyelenggara kekerasan negara untuk fungsi
pertahanan negara melalui pertempuran militer bertujuan untuk melindungi warga
negara dan ancaman militer negara lain seperti penaklukan, pendudukan, sabotase
dan infiltrasi (eksternal security),
pembentukan institusi kepolisian (Polri) sebagai penyelenggara kekerasan negara
untuk fungsi ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum bertujuan untuk
menjaga dan melindungi kebebasan (freedom)
warga negara dari ancaman warga negara lainnya (internal security).
Berkaitan
dengan perlindungan warga negara dari ancaman militer negara lain di mana semua
negara diasumsikan sebagai musuh, pengertian eksternal security harus mengacu pada pengertian konsepsi
pertahanan militer (military defense)
berupa pelaksanaan fungsi pertahanan/perlawanan negara (perang) melalui
pertempuran militer. Sementara pelaksanaan persiapan perlawanan (perang) untuk
pertempuran militer mengandung makna perlunya sebuah sistem pertahanan nasional
(the national defense system) yang
diperankan oleh tiga komponen, yaitu pemerintah untuk pembangunan kekuatan
militer seperti Departemen Pertahanan RI yang dipandu oleh UU Pertahanan No. 3
Tahun 2002, otoritas politik untuk penggunaan kekuatan militer seperti DPR
bersama Presiden yang juga dipandu oleh UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002, dan
institusi/badan kemiliteran resmi negara untuk pembinaan kekuatan militer
seperti TNI yang diatur dalam UU TNI No. 34 Tahun 2004.
Sebaliknya,
untuk perlindungan kebebasan warga negara dari ancaman warga negara lainnya,
pengertian internal security harus
mengacu pada pengeritna konsepsi internal
order berupa pelaksanaan fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum.
Sementara pelaksanaan fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum juga
mengandung makna perlunya sebuah sistem keamanan nasional (the national security) yang juga diperankan oleh tiga komponen,
yaitu pemerintah untuk pembangunan pembangunan kekuatan polisi seperti
Departemen Keamanan RI yang akan dituntun oleh UU Keamanan, otoritas politik
untuk penggunaan kekuatan polisi seperti DPR bersama Presiden yang juga
dituntun oleh UU Keamanan, dan institusi/badan kepolisian untuk pembinaan
kekuatan polisi, seperti Polri yang diatur dengan UU Polri No. 2 Tahun 2002.
TNI dan Urusan
Keamanan
Dari
perspektf fungsionalisme struktural, upaya pihak otoritas mencegah struktur
TNI-Polri disfungsional yang disebabkan oleh duplikasi, kompetisi, arogansi dan
pemborosan telah dilakukan dengan menetapkan apa saja yang menjadi ranah
militer dan ranah polisi. Misalnya MPR mengamandemen UUD 1945 (Pasal 30),
mengeluarkan TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan TAP MPR
No. VII Tahun 2000 tentang peran TNI-Polri, serta DPR bersama Presiden
mengeluarkan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002
dan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Namun
hal mendasar yang belum tuntas dalam sistem politik Indonesia adalah sikap
politik TNI yang tidak ingin –sepenuhnya– menyerahkan urusan keamanan (internal security / internal order)
kepada struktur yang sudah ada (spesialisasi), yaitu Polri. Sikap TNI itu
sampai kapanpun akan mengganggu bekerjanya sistem politik secara keseluruhan,
sehingga menjadi masalah nasional. Sebagai contoh, dengan alasan yuridis TNI
mengatur bantuan TNI kepada Polri melalui UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, sehingga
memberi uang bagi keterlibatan TNI dalam urusan keamanan diminta ataupun tidak
diminta.
Alasan
TNI itu kemudian diperkuat oleh dalih TNI dalam pembentukan Komando Teritorial
/ Komando Kewilayahan (Koter Kowil) TNI AD adalah melaksanakan fungsi pembinaan
teritorial, sehingga selalu terlibat dalam urusan non-militer terutama
keamanan. Di era Orde Baru pengertian fungsi pembinaan teritorial tidak hanya
meliputi fungsi militer semata-mata seperti fungsi intelijen militer, tetapi
juga fungsi non-militer dan upaya terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat yang
maknanya sangat luas dan dinamis. Sekarangpun pengertiannya tetap sama, yaitu upaya,
pekerjaan dan tindakan TNI AD dalam menyiapkan kekuatan pertahanan dan kekuatan
pendukungnya serta terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat yang cakupannya
meliputi ranah kepolisian.
Fungsi
teritorial TNI AD ini secara institusional selain dapat dilaksanakan oleh
Satuan Korwil TNI AD mulai dari tingkat Kodam hingga Babinsa, juga dapat
dilakukan oleh satuan lainnya di TNI AD, seperti Badan Pelaksana Pusat, Dinas
Jawatan dan Satuan Tempur, Bantuan Tempur dan Satuan Bantuan Administrasi.
Sedangkan untuk terlibat dalam pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial terutama
oleh Satuan Korwil TNI AD, para aparat teritorial TNI D wajib memiliki lima
kemampuan teritorial, yaitu temu cepat dan lapor cepat, manajemen teritorial,
penguasaan wilayah, pembinaan perlawanan rakyat, dan komunikasi sosial.
Dalam
workshop Mabes TNI yang diselenggarakan pada tanggal 13-15 Agustus 2001
terungkap bahwa ada 14 fungsi pembinaan pemerintahan daerah yang dilaksanakan
Satuan Koter TNI AD dari 16 fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan TNI AD.
Dari 16 fungsi binter TNI AD, terdapat 14 fungsi pembinaan teritorial yang
tidak berkaitan dengan urusan miiter, yaitu (1) pembinaan persatuan dan
kesatuan; (2) pembinaan keamanan wilayah atau sistem keamanan lingkungan
(siskamling); (3) pembinaan operasi buta aksara; (4) pembinaan partisipasi
pembangunan; (5) pembinaan gerakan nasional orang tua asuh; (6) pembinaan
resimen mahasiswa (menwa); (7) pembinaan daerah rawan pangan; (8) pembinaan
tokoh masyarakat; (9) pembinaan Keluarga Berencana / kesehatan; (10) pembinaan
manunggal pertanian; (11) pembinaan generasi muda; (12) pembinaan unit
pemukiman transmigrasi; (13) pembinaan kawasan pembangunan terpadu; (14)
pembinaan keluarga prasejahtera. Sedangkan dua fungsi teritorial lainnya, yaitu
(15) pendataan potensi daerah yang dapat mendukung pertahanan nasional, dan
(16) rakyat terlatih untuk bela negara dapat dikatakan sama sekali belum pernah
dilaksanakan oleh TNI AD.
Ke-16
fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan TNI AD dalam workshop Mabes TNI
pada tahun 2001 itu bukannya berkurang ketika UU TNI Nomor 34 Tahun 2004
dinyatakan berlaku. Implementasi fungsi pembinaan teritorial justru bertambah
seiring dengan besarnya potensi masalah yang dihadapi oleh suatu provinsi.
Misalnya di DKI Jakarta, fungsi pembinaan teritorial mencakup pula pembinaan
tokoh agama dan pembinaan masyarakat kumuh.
Kecuali
pendataan potensi daerah yang dapat mendukung pertahanan nasional dan rakyat
terlatih untuk bela negara yang memang berhubungan erat dengan fungsi militer,
keseluruhan fungsi binter TNI AD itu termasuk ke dalam fungsi non-militer dan
tidak berhubungan langsung dengan fungsi militer. Di DKI Jakarta hampir semua
fungsi teritorial itu juga sudah dilaksanakan secara mandriri oleh Pemda DKI
Jakarta melalui dinas-dinasnya sehingga tidak diperlukan keterlibatan lembaga
lain (TNI) dalam memperkuat pelaksanaannya.
Semua
bentuk keterlibatan TNI AD itu tidak dapat dipahaami sebagai sikap “peduli” TNI
pada masalah non-militer. Sebab kekerasan yang kerap menyertai dalam
pelaksanaannya bersifat struktural setelah menempatkan kelompok masyarakat
tertentu sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Sebaliknya, justru harus
dilihat sebagai upaya TNI untuk terlibat dalam urusan non-militer yang berdalih
keamanan nasional meskipun hal itu sudah termasuk ke dalam ranah Polri. Efek
negatif dari sikap TNI AD yang terlalu “peduli” pada masalah keamanan adalah
keengganannya berada di bawah kontrol dan kendali Polri, seperti kasus
penerapan Darurat Sipil di Ambon dan Poso di mana TNI terlihat enggan menerima
pemberlakuan Darurat Sipil hingga mengusulkannya menjadi Darurat Militer.
Mestinya untuk bantuan TNI kepada Polri hanya diatur dalam UU Kepolisian Nomor
2 Tahun 2002 agar Polri memiliki alasan rasional untuk meminta bantuan kepada TNI,
termasuk agar TNI selalu berada di bawah kontrol dan kendali Polri.
Contoh
berikutnya adalah RUU Keamanan Nasional yang terbukti telah mengabaikan
fungsionalisme struktural. Pengabaian itu dapat dicermati dari beberapa hal,
yaitu (1) RUU Kemanan Nasional yang masuk ke meja DPR diusulkan oleh
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Lemhannas. Di mana langkah itu bukan saja
bertentangan dengan aturan pembuatan suatu undang-undang yang wajib mengacu
kepada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut pasal 18 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004, RUU yang diajukan oleh
Presiden disiapkan oleh Menteri / pimpinan lembaga pemerintah non-departemen,
sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya, sehingga yang berkompeten dalam
RUU Keamanan adalah Polri. Seharusnya RUU Kamnas yang sebaiknya disebut RUU
Keamanan diusulkan oleh Kementerian Keamanan untuk memperkuat UU Polri agar
nantinya setara dengan UU Pertahanan yang juga diperkuat oleh UU TNI. Bisa saja
Kemenhan dan Lemhannas berdalih bahwa Kementerian Keamanan belum ada karena
memang belum dibentuk, tapi dengan argumen spesialisasi dan profesionalisme
(fungsionalisme struktural) mestinya untuk sementara waktu fungsi Kementerian
Keamanan – yang seharusnya dibentuk agar setara dengan Kementerian Pertahanan –
serahkan atau diambil alih oleh Polri. Bukan oleh Kementerian Pertahanan yang
domainnya dalah urusan perang atau pertempuran militer yang seharusnya hanya
mengurusi keperluan TNI dan cadangan militer (wajib militer); (2) Peran TNI
dalam RUU Kamnas masih terlihat dominan dalam urusan keamanan (RUU Kamnas pasal
5 poin d, pasal 10 poin c & d, pasal 17 ayat 1 poin a). Padahal dari
perspektif fungsionalisme struktural, untuk urusan pertahanan (defense) sudah ada Kemenhan dengan UU
Pertahanannya dan TNI dengan UU TNInya, sehingga jika ada masalah yang belum
tercakup di dalamnya tinggal memasukkannya ke dalam kedua undang-undang itu
dengan cara mengamandemennya.
Kesimpulan
Ada
kesepakatan diam di masyarakat kalau saat ini telah terjadi konflik struktural
antara TNI-Polri yang disebabkan oleh penolakan TNI pada fungsionalisme
struktural yang ditandai oleh adanya duplikasi fungsi, kompetisi, arogansi dan
pemborosan.
Mengacu
pada fungsionalisme struktural, RUU Keamanan Nasional mestinya hanya mengatur
masalah keamanan saja, sehingga memungkinkan dibentuknya Kementerian Keamanan
yang nantinya akan mengintegrasikan semua unsur pemangku keamanan di bawah
Polri untuk memperkuat ciri nasional Polri. Sebab, salah satu masalah besar
bagi urusan keamanan saat ini adalah para pemangku keamanan tidak terintegrasi
dalam wadah Kepolisian Negara RI. Saat ini polisi hutan, polisi laut, polisi
bea cukai dan polisi imigrasi semuanya menolak bergabung di dalam organisasi
Polri dan terkesan tidak mau dikontrol dan dikendalikan oleh Polri.
Keberadaan
Kompolnas yang terbukti belum bisa mendorong Polri menjadi polisi profesional
lantaran tidak independen karena keanggotaannya dari lembaga/departemen lain
perlu dikaji untuk dihapus lalu digantikan dengan pembentukan Kementerian
Keamanan. Hal itu penting dan setidaknya sangat bermanfaat untuk dua aspek,
yaitu (1) sebagai instrumen pemerintah dalam membangun kekuatan kepolisian; (2)
sebagai arena bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam hal pembangunan
kepolisian. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar