(Tanggapan
atas Executive Progress Report Pembahasan Akpol Output Sarjana, tanggal 18
Januari 2013)
Oleh Awaloedin Djamin
Mantan Ketua Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional, mantan Dekan PTIK, Dosen KIK Universitas
Indonesia dan PTIK
Pendahuluan
Setelah
membaca Executive Progress Report Pembahasan Akpol Output Sarjana, termasuk
kompilasi pendapat Pejabat Dikti, Kementerian P & K dan Praktisi
Pendidikan, tanggal 18 Januari 2013, kiranya perlu diingat mengapa pembahasan tersebut
timbul? Untuk itu, perlu diperhatikan sejarah perkembangan Akpol dan PTIK dari
17 Juni 1946 (Akpol), 1950 (PTIK) sampai pisahnya Polri dan ABRI pada tahun
1999.
Secara
resmi Polri merupakan bagian dari ABRI sejak keluarnya UU Nomor 13 Tahun 1961
dan kenyataan integrasi ABRI mulai berlaku tahun 1967 dengan dibentuknya
Departemen Pertahanan dan Keamanan dan jabatan Panglima ABRI.
Walaupun
Polri pisah dari ABRI tahun 1999, Presiden SBY, Panglima TNI dan Kapolri, juga
Pepabri (TNI-Polri) secara aktif mempertahankan dan melanjutkan soliditas
TNI-Polri.
Presiden
SBY, antara lain, menyelenggarakan pelantikan tamatan Akademi TNI dan Akpol
secara bersama di Akpol. Semarang, setelah Polri pisah dari TNI. Juga penutupan
Rapim TNI dan Rapim Polri digabungkan.
Pepabri
(Purnawirawan TNI dan Polri) mempertegas semboyannya: Sekali Prajurit tetap Prajurit; Sekali Bhayangkara tetap Bhayangkara;
Sekali Pejuang tetap Pejuang.
Di
era ABRI (waktu Polri menjadi bagian ABRI), Menhankam/Pangab dan Presiden
Suharto menegaskan bahwa walaupun tugas TNI dan Polri berbeda namun semangat kejuangan dan militansinya sama sejak masa revolusi
fisik.
Selama
lebih 40 tahun, bila ditanya perwira TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri, mereka
berasal dari angkatan berapa, semuanya menjawab tahun angkatan Akabri, bukan
Sesko, Sespim, Lemhanas ataupun PTIK.
Contohnya,
SBY mengadakan reuni dengan angkatannya, yang sama dengan mantan Kapolri
Sutanto dan Menko Polhukam. Pangli TNI sekarang satu angkatan dengan Kapolri.
Tanda
pangkat keempat angkatan (kecuali Polri mengubah tanda pangkat Pamen pada masa
Kapolri Bimantoro).
Dengan
demikian, melalui Akabri, rasa solidaritas, semangat kejuangan dan militansi terus
berkembang dan menghilangkan rivalitas angkatan, mempermudah kerjasama di
lapangan. Hal ini berlangsung sampai sekarang, tanpa pengaruh keberadaan PTIK,
Sesko, Sespim dan Lemhanas.
Karena
dalam perkembangannya, penggalangan soliditas TNI-AD, TNI-Al, TNI-AU dan Polri,
Akabri (sekarang Akademi TNI dan Akpol) sangat penting peranannya,maka untuk
soliditas TNI dan Polri di masa datang perlu diserasikan pendidikan Akademi TNI
dan Akpol, agar tradisi pelantikan bersama oleh Presiden, Lasitarda dan latihan
dasar gabungan selama tiga bulan di Magelang hendaknya terus dilanjutkan.
Dengan begitu rasa satu angkatan terus tertanam.
Akademi
TNI ingin dikembangkan menjadi Diploma-4, bahkan Strata-1, maka demi soliditas
TNI dan Polri, Polri berusaha menyerasikan pendidikan Akpol dengan TNI, kendati
Polri telah memiliki program sarjana di PTIK sejak tahun 1950.
Sejarah Singkat PTIK
dan Akpol
Sebagaimana
diuraikan di atas, pendidikan kesarjanaan PTIK telah lahir sejak tahun 1950
dengan menghasilkan doktorandus (Drs) Ilmu Kepolisian.
Pada
masa revolusi fisik, tanggal 17 Juni 1946, guru besar ternama Indonesia waktu
itu, seperti Prof. Djokosutono, Prof. Soepomo, dan lain-lain, bersama dengan
Kepala Kepolisian Negara RI yang pertama R.S. Soekanto berpendapat bahwa dalam
alam Indonesia Merdeka diperlukan perwira kepolisian yang berpengetahuan dan
kemampuan akademis. Maka didirikanlah Polisi Akademi (kemudian berganti menjadi
Akademi Polisi) sampai dua angkatan. Angkatan pertama adalah angkatan Pak
Hoegeng dan Angkatan kedua adalah angkatan Pak Suyud bin Wahyu dan Pak Suparno.
Mereka tidak sampai selesai, karena ikut dalam perang kemerdekaan.
Pada
tahun 1950, para guru besar Akademi Polisi dan Kepala Kepolisian Negara R.S.
Soekanto meningkatkan Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Ini pertama kali “Ilmu Kepolisian” diperkenalkan di Indonesia.
Angkatan
I dan II Akpol dijadikan Angkatan I dan II PTIK dan yang pertama diterima di
Jakarta dijadikan Angkatan III (angkatan Awaloedin Djamin dan Widodo
Budidarmo).
Sistem
pendidikan tinggi waktu itu mengikuti sistem pendidikan tinggi Belanda
(Kontinental Eropa), yaitu dengan pembagian Kandidat I (C I), Kandidat II (C
II), Doctoral I (D I) dan Doctoral II (D II). Dalam sistem kontinental tidak
ada Magister atau Master, program S-2 sekarang. Sistem Bachelor (BA), Master
(MA) dan Doctor (DR dan PhD) adalah sistem Anglo Saxon yang sekarang dianut
Indonesia.
Gelar
doctorandus (Drs) yang diberikan kepada tamatan PTIK dapat langsung ke program
doctor dengan pembimbing seorang guru besar atau lebih dengan membuat
disertasi. Sayangnya, dalam sistem itu tidak ada doctoradus PTIK yang
melanjutkan ke program doktor.
Sistem
Kontinental ini berjalan sampai beberapa angkatan dengan kuliah sebagian besar
digabung dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mata pelajaran kepolisian
seperti Kriminalistik, Dactiloscopi, Toxikologi, dan Sejarah Kepolisian diberikan
di Kampus PTK, dengan guru besar dan dosen seperti Prof. Gunsburg dan Dr.
Ceullenaar yang didatangkan dari Belgia dan dosen-dosen Belanda di Indonesia
lainnya.
Angkatan
II, yang mulai masuk 1950, diwisuda tahun 1955. Pada angkatan-angkatan berikutnya,
wanita ikut menjadi mahasiswa PTIK.
Jadi,
program dengan jalur sarjana (sekarang S-1) telah berjalan di Polri sejak tahun
1950. Sudah berjalan selama 63 tahun. Dalam perkembangannya dan masuknya
pengaruh Anglo Saxon ke Indonesia, PTIK pernah memecah programnya dengan
Sarjana Muda (SMIK) dan setelah merupakan bagian dari ABRI dibentuk Akabri
bagian Kepolisian (kemudian Akpol) dengan program D-3.
Tahun
1980, dengan SK Bersama Menteri P & K dan Kapolri, ditetapkan Universitas
Indonesia (UI) sebagai Universitas Pembina Akademik PTIK dan Dekan PTIK
diambilkan dari dosen UI. Dekan pertama setelah SK Bersama tersebut adalah
Prof. DR. Harsya Bachtiar yang dulantik oleh Menteri Daud Joesoef dan Dekan
kedua adalah Prof. DR. Awaloedin Djamin (guru besar FISIP UI) yang dilantik
oleh Mendikbud Fuad Hasan.
Selama
puluhan tahun, Polri merupakan bagian dari ABRI, tamatan Akpol (yang D-3
menurut UU Pendidikan Nasional) setelah bertugas di lapangan paling kurang dua
tahun, dengan ujian dapat melanjutkan ke PTIK untuk S-1. SKS Akpol
diperhitungkan untuk melanjutkan ke PTIK dengan persetujuan Departemen P &
K. Karena itu Mendikbud menetapkan Universitas Diponegoro (Undip) sebagai
Universitas Pembina Akademik Akpol.
Kemudian
karena banyaknya kecurangan dalam ujian masuk PTIK, Kapolri Da’i Bachtiar
menghapus ujian masuk PTIK dan semua tamatan Akpol dapat masuk PTIK. Karena
jumlah tamatan Akpol yang belum/tidak masuk PTIK cukup besar, lalu diadakan
pendidikan jarak jauh dan masa kuliah diperpendek. SKS Akpol tetap diperhitungkan
untuk dilanjutkan di PTIK.
Agar
tidak dianggap Ilmu Kepolisian adalah monopoli PTIK, maka atas usaha Polri
diadakan kerjasama dengan UI untuk mengadakan pendidikan ilmu kepolisian.
Kerjasama Polri dan UI ini bahkan menyepakati agar UI mengadakan program
pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian yang telah merngasilkan lebih dari 400 S-2
dan 10 S-3. Program ini berjalan sejak tahun 1996.
Jadi,
bagi Polri, program S-1, S-2 dan S-3 telah berjalan tanpa banyak masalah.
Sekarang PTIK pun mengadakan program pascasarjana.
Akpol dalam rangka
Soliditas TNI dan Polri
Seperti
dimaklumi, UU Pendidikan Nasional membangi “perguruan tinggi” (huruf kecil)
dalam (1) Akademi, (2) Politeknik, (3) Sekolah Tinggi, (4) Institut dan (5)
Universitas.
Karena
PTIK belum cukup untuk menjadi Insitut, yang memerlukan fakultas-fakultas
sejenis, maka PTIK memilih bentuk Sekolah Tinggi dengan sebutan tetap Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Departemen P & K tidak keberatan dengan
sebutan PTIK. Bahkan Departemen P & K memperbolehkan sebutan Dekan untuk
pimpinan PTIK. Dengan demikian, mengubah sebutan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian (STIK) dalam Inpres Organisasi Polri sebenarnya tidak perlu, apalagi
nama PTIK telah dikenal masyarakat lebih dari 60 tahun.
Tahun
1979, Mabes ABRI hampir membubarkan PTIK dengan alasan pendidikan Sarjana tidak
ada dalam sistem pendidikan ABRI. Memang TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU maupun
gabungan ABRI, tidak ada pendidikan kedinasan yang memberi gelar sarjana. Sebab
itulah timbul gagasan untuk Akademi TNI (AD, AL dan AU) mulanya untuk
meningkatkan D-3 menjadi D-4 yang setingkat dengan S-1. Bahkan, akhirnya
berkembang gagasan menjadikan Akademi TKI menghasilkan S-1, dengan gelar
Sarjana Science terapan bidang pertahanan. Menurut UU Diknas, akademi adalah
untuk pendidikan profesi dengan sebutan D-1, D-2, D-3 dan D-4. Sedangkan
Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas untuk pendidikan akademis dengan gelar
S-1, S-2 dan S-3.
Sebagaimana
diuraikan di atas, bagi Polri sebenarnya pendidikan kedinasan dengan memberi
gelar sarjana sudah ada sejak tahun 1950. Dalam era Polri merupakan bagian dari
ABRI pun telah diatur hubungan Akpol dan PTIK, yaitu:
·
Selain
merupakan lembaga pendidikan untuk kemampuan sbhara tingkat perwira, Akpol juga
memberikan pengetahuan dan kemampuan supervisory
police management dengan pola Kapolsek. SKS Akpol diperhitungkan untuk
kelanjutan di PTIK guna mencapai gelar S-1. Sebagai perguruan tinggi kedinasan
yang output-nya diarahkan kepada
kebutuhan dinas Polri, maka PTIK memberikan pengetahuan dan kemampuan middle police management dengan pola
Kapolres.
Karena Polri menganut sistem komando
kewilayahan (Polda, Polres dan Polsek), maka selama bertahun-tahun PTIK
memiliki satu jurusan, yaitu Administrasi Kepolisian. Ilmu Kepolisian adalah
multidisiplin dan Adminisitrasi Kepolisian sebagai salah satu cabang Ilmu
Kepolisian adalah interdisiplin.
·
Karena
Ilmu Kepolisian bukan monopoli Polri dan PTIK, maka sejak tahun 1996 Polri
bekerjasama dengan UI membuka program pascasarjana Ilmu Kepilisian, yang
seakarang dikenal dengan KIK-UI yang telah menghasilkan lebih dari 400 orang
bergelar S-2 dan 10 orang bergelar S-3. KIK-UI dewasaini memiliki tiga
kekhususan, yaitu (1) Administrasi Kepolisian, (2) Hukum Kepolisian, dan (3) Manajemen
Sekuriti.
Jadi
jelas bagi Polri tidak ada masalah mengenai pendidikan kesarjanaan, baik S-1,
S-2 maupun S-3. Yang dianggap menjadi permasalahan adalah:
·
Demi
melanjutkan dan meningkatkan soliditas TNI dan Polri, lembaga utamanya memang
Akabri (sekarang AAD, AAL, AAU dan Akpol), Polri mesti mempelajari setiap
perkembangan Akademi TNI agar sama-sama dalam pelantika, Lasitarda dan latihan
dasar di Magelang.
·
Bila
Akademi TNI akan meningkat menjadi D-4, maka Akpol juga harus menjadi program
D-4, misalkan dengan mendalami fungsi teknis profesional khas kepolisian
dan/atau Manajemen SDM Polri (yang memang sangat penting dan mendesak).
·
Karena
Akademi TNI akan mulai dengan program S-1 terapan, maka Akpol telah pula mulai
dengan menyelenggarakan program S-1 PTIK di Kampus Akpol Semarang.
Sekali
lagi perlu diingat TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU tidak pernah menyelenggarakan
pendidikan tinggi kedinasan dengan gelar sarjana. Sebab itu, gagasan Akademi
TNI untuk gelar sarjana jangan sampai merusak sistem pendidikan tinggi Polri
yang telah berjalan puluhan tahun dengan persetujuan Departemen P & K.
Demi
soliditas TNI-Polri, agar semangat kejuangan, militansi dan kerukunan dalam
pelaksanaan tugas sekarang dan masa depan, dalam gabungan pelantikan perwira
muda, Lasitarda dan pelatihan dasar tiga bulan di Akademi TNI Magelang, Polri
menyesuaikan program pendidikan tinggi di Akpol dengan rencana Akademi TNI.
Tidak
boleh dilupakan bahwa pendidikan kedinasan pada umumnya dan pendidikan
kedinasan Polri pada khususnya adalah untuk mengisi kebutuhan pelaksanaan tugas
pokok, tugas-tugas dan fungsi Polri yang luas dan kompleks, dan gelar kesarjaan
bukan tidak ada kaitannya dengan kebutuhan dinas. Jadi, sejak semula pendidikan
tinggi Polri di PTIK dan Akpol adalah menganut ilmu terapan (applied science, seperti Administrasi
Kepolisian).
Penutup
Secara
struktural Polri telah berpisah dari ABRI sejak tahun 1999 dan dengan UU Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan kembali
bahwa Polri adalah Kepolisian Nasional (national
police) yang berada langsung di bawah Presiden serta rumusan tugas pokok,
tugas-tugas dan wewenang yang jelas.
Namun,
soliditas TNI dan Polri perlu dilanjutkan dan diperkuat demi mempertahankan
empat pilar, yaitu (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan (4) Bhineka Tunggal Ika. Sebagai kekuatan utama di bidang
pertahanan dan keamanan negara, semangat kejuangan dan militansi TNI dan Polri
perlu diatur sebaik-baiknya. Untuk itu peran pendidikan di Akademi TNI dan
Akpol telah dan akan tetap menentukan.
Membina
soliditas TNI dan Polri bukan hanya menjadi tanggung jawab Polri, tapi juga
TNI. Presiden sebagaimana yang diperlihatkan Presiden SBY serta semua lembaga
negara dan pimpinan masyarakat.
Soliditas
tidak boleh merusak tugas-tugas TNI dan Polri yang memang berbeda. Waktu
integrasi ABRI kuat sekali, di mana Polri merupakan bagian dari ABRI. Pada
tahun 1978 Menhankam/Pangab menegaskan:
“...
setiap anggota Polri harus dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan sempurna.
Untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan yang cukup baik. Namun dalam hal
ini kita harus berhati-hati, meskipun Polri adalah juga bagian dari ABRI,
hakekat, fungsi dan tugas-tugasnya berbeda. Sifat ancaman-ancaman maupun subyek yang melakukan menuntut agar
prajurit TNI mahir dalam menggunakan kekerasan senjata.
Selanjutnya,
sufat ancaman dan subyek yang dihadapi Polri menuntut agar setiap anggota Polri
mahir dalam bidang hukum dan tunduk terhadapnya. Oleh karena itu, pendidikan
dan latihan Polri tidak boleh sepenuhnya dilaksanakan seperti dalam TNI.
Militansi
yang dituntut dari setiap anggota Polri memang menuntut adanya pendidikan dan
latihan yang mirip dengan kemiliteran, namun janganlah hendaknya ini melahirkan
sikap mendorong dilaksanakannya hanya tindakan-tindakan kemiliteran.
Hendaknya
sebagai pedoman diperhatikan bahwa yang dihadapi kepolisian belum dapat
dikategorikan ke dalam sebutan demikian. Yang dihadapi Polri adalah warga
negara dan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan hak-hak asasi manusia.”
Ini
antaralain perintah harian Menhankam/Pangab saat serah terima Kapolri tahun
1978 waktu Polri masih menjadi bagian dari ABRI.
Sebagaimana
diuraikan di atas, Polri menyatakan “Ilmu Kepolisian” telah ada sejak tahun
1950. Secara umum, ilmu kepolisian adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah
sosial (social problems) dan
penangannya untuk mencapai keteraturan sosial (social order).
Dalam
buku pertama mengenal ilmu kepolisian yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru (1994), Prof.
Harsya Bachtiar menguraikan ilmu kepolisian yang bersifat multidisiplin, yang
luas sekali, baik yang diberikan dalam pendidikan gelar sarjana maupun
non-gelar, antara lain PTIK, Akpol dan lembaga-lembaga pendidikan Polri yang
lain, seperti Pusdik-Pusdik dan Sespim.
KIK-UI
menyelenggarakan tiga kekhususan utama, yaitu (1) Administrasi Kepolisian, (2)
Hukum Kepolisian dan (3) Manajemen Sekuriti dan pernah pula menyelenggarakan
kekhususan Pemasyarakatan dan merencanakan kekhususan Kedokteran Kepolisian dan
Manajemen Sumber Daya Manusia Kepolisian.
Karena
itu, bagaimana pun penyerasian Akpol dan Akademi TNI, apakah D-4 atau S-1, demi
soliditas TNI dan Polri hendaknya jangan terlalu menyimpang dari yang telah
ada. Ilmu Kepolisian sudah diajarkan selama lebih dari 60 tahun di Indonesia
dan dikenal secara universal.
Dengan
demikian maka:
·
Bila
Akademi TNI tidak berubah menghasilkan D-4 maka Akpol dan PTIK tidak perlu
diubah (tentu perlu terus disempurnakan).
·
Bila
Akademi TNI meningkatkan D-3 menjadi D-4, maka Akpol dapat melaksanakan program
D-4 dengan menambah pengetahuan dan kemampuan di bidang operasional tertentu.,
seperti sabhara, reserse dan Polantas, dan bidang pembinaan tertentu (di
antaranya Manajemen SDM Polri).
·
Jika
Akademi TNI akan menghasilkan output sarjana (dengan tambahan ‘terapan’) dan
bila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyetujuinya (karena semula Akademi
tidak boleh menghasilkan sarjana), maka Polri harus mengkaji untuk menjadikan
Akademi Kepolisian sebagai “Sekolah Tinggi” yang akan ‘merombak’ kurikulum yang
ada. Sebab, selama ini tamatan Akpol yang masuk PTIK butuh waktu dua tahun atau
sekurang-kurangnya 1,5 tahun untuk S-1. Berkaitan dengan hal ini, bagaimana
nasib PTIK yang telah berumur lebih dari 60 tahun itu?
·
Kemungkinan
lain adalah Akademi TNI dan Akpol tetap seperti sebelumnya. Untuk kesarjanaan,
TNI membentuk “Sekolah Tinggi Ilmu Pertahanan” dengan menghitung SKS dari AAD,
AAL dan AAU guna diteruskan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertahanan. Jadi sama dengan
hubungan Akpol dan PTIK selama puluhan tahun dengan persetujuan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Semua
itu perlu dikaji dari segala segi, demi kemajuan Polri dan soliditas TNI-Polri
di masa depan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar