PROLOG
Kembali ke Khittah dan Undang-Undang Dasar
1945:
Hak Setiap Warga Negara Mendapatkan
Pekerjaan
dan Penghidupan yang Layak
Merdeka itu berkenaan dengan filosofi
bernegara
yang menyangkut tiga hal yang saling
berkaitan dan tidak bisa dipisahkan,
yakni bumi, manusia dan negara
(pemerintah)
Soekarno
(Presiden Pertama Republik Indonesia)
Usia kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah lebih dari setengah abad. Tepatnya
telah berumur 65 tahun (Agustus 1945-2010). Usia kebangkitan nasional bahkan sudah
berjalan 102 tahun atau lebih dari seabad (1908-2010). Dan masa reformasi
telah pula bergulir sepanjang 12 tahun atau lebih satu dasawarsa (1998-2010). Kita
semua pun tentu sudah paham bahwa negara yang bernama Indonesia ini adalah
negara besar yang memiliki kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA) anugerah Tuhan
Yang Maha Kuasa. Sejak dulu kala Bumi
Nusantara ini dikenal dengan tanahnya yang amat subur. Demikian suburnya, kata
orang, tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Bumi Pertiwi ini merupakan negeri yang gemah ripah loh jinawi.
Ironisnya, di tengah kelimpahan
sumber daya alam itu, hampir separo dari
penduduk di negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam bahasa metafora, mereka bagai tikus mati di lumbung
padi. Mengapa mereka jatuh miskin? Mereka hidup miskin, antara lain, karena tidak memiliki
pekerjaan atau mata pencaharian yang layak dan dapat
diandalkan. Lapangan pekerjaan yang terbuka di negeri ini relatif terbatas sehingga banyak pengangguran. Keterbatasan
lapangan pekerjaan dan banyaknya pengangguran itulah yang membuat warga negara
Indonesia banyak yang jatuh miskin sehingga harkat dan martabat mereka
sebagai manusia menjadi begitu rendah. Bekerja memang bukan sekadar bernilai
ekonomis untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi diri sendiri dan keluarga, tapi
juga untuk masyarakat, bangsa dan negara. Lebih dari itu, nilai hakiki dari
bekerja adalah untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat manusia. Bahkan, bagi
sebagian manusia, bekerja adalah wujud rasa syukur dan
bagian dari ibadah kepada Tuhan.
Dulu, saat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan, sebenarnya
para pendiri negara telah meneguhkan janji bersama rakyat untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Yaitu, tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Cita-cita tersebut dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945 di mana menjadi kewajiban pemerintah adalah melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jelas lagi dalam batang tubuh konstitusi itu ditegaskan tentang hak warga
negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
(pasal 27 ayat 2 UUD 1945). Kemudian, secara
implementatif, konstitusi ini mengamanahkan dengan memberi kekuasaan bagi pemerintah untuk mengelola
sumber-sumber kekayaan alam yang penting untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran
rakyat dan memberikan jaminan sosial
bagi fakir miskin dan anak terlantar (pasal 33 UUD 1945).
Menurut hemat saya, jika kita mampu bertindak konsekuen dan konsisten atas khittah
kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh para pendiri bangsa dan negara (the
founding father) ini, dengan kekayaan alam yang melimpah-ruah
yang kita miliki tentu masyarakat Indonesia sudah mencapai taraf
kehidupan yang makmur dan sejahtera. Dengan usia kemerdekaan yang tidak
lagi belia seperti sekarang ini tidak sepantasnya bila masih begitu banyak
anak bangsa ini yang terus-menerus hidup dalam kepapaan pangan, sandang dan papan. Rasanya tidaklah logis jikalau di tengah kelimpahan
terdapat banyak warga negara (rakyat) yang masih kesulitan untuk sekadar
memenuhi hak-hak dasar
(asasi) kehidupan anak manusia. Tapi, itulah sebuah
ironi negeri ini.
Saya melihat,
jangankan memiliki taraf kehidupan yang layak, sebagian rakyat
Indonesia bahkan masih belum memperoleh pekerjaan yang dapat diandalkan untuk meretas kehidupan yang lebih berpengharapan. Pernyataan ini
bukanlah titik simpul tanpa dasar. Lihatlah, dengan
kasat mata, kita bisa menyaksikan masih demikian banyak
saudara-saudara kita yang harus hidup di kolong-kolong jembatan, emperan-emperan pertokoan
dan bantaran sungai. Terutama mereka yang
hidup di kota-kota besar. Mereka tidak
memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari panas teriknya matahari, derasnya
air hujan dan dinginnya angin malam. Ketika hari telah gelap, mereka
harus tidur dengan beralaskan lembaran koran atau kardus bekas. Bahkan, tak
jarang mereka terlelap tanpa bantalan apapun. Tidur mereka pun tidak bisa nyenyak lantaran
dikerubungi oleh semut, lalat, nyamuk dan kecoa. Saat merebahkan diri, mereka
juga dihinggapi oleh perasaan gamang lantaran sewaktu-waktu datang petugas ketertiban
menggaruknya. Setiap saat mereka
pun harus mewaspadai datangnya bencana alam, misalkan banjir. Sebuah kronika kehidupan yang sungguh menestapakan.
Tak salah bunda
mengandung dan melahirkan di Republik ini. Mereka pun tak salah lahir dan hidup di negeri
Indonesia yang ruangnya begitu luas dan tanahnya sangat subur, gemah ripah
loh jinawi, ini. Sebuah negeri di Jamrud Katulistiwa yang oleh grup musik legendaris Koes Plus
didendangkan ke dalam lirik “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Namun, sungguh sebuah realita yang sangat ironis jika kemudian ruang dan tanah
yang mereka pijak terasa sempit, tersekat-sekat, dan layaknya bebatuan cadas
keras yang menyesakkan dada serta melukai hati. Di negeri yang kaya raya ini ternyata mereka justru terhimpit dalam
penderitaan lahir dan batin yang begitu mendalam. Duka kehidupan yang tak kunjung berakhir. Nestapa kehidupan
yang tak kunjung tamat.
Terus terang, dalam
hati, saya menangis. Kalbu ini terasa sedih dan perih menyaksikan kegetiran
hidup sesama anak bangsa. Bukan maksud saya untuk mengeksploitasi air mata penderitaan hidup
mereka. Saya hanya ingin menggambarkan dan mengingatkan bahwa masih cukup
banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan dan taraf kehidupan yang layak. Dan, terpaksa anak-anak mereka harus
tumbuh dan berkembang di tempat yang kurang bermartabat dan beradab. Mereka harus tumbuh di lingkungan yang serba keras dan
tidak ramah.
Mengapa hal itu sampai terjadi? Menurut
saya, karena paradigma pembangunan nasional selama ini sudah salah arah --kalau
tidak boleh dikatakan telah ”sesat”. Sudah jauh melenceng dari khittah
kemerdekaan. Sudah keluar dari rel nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945.
Sudah jauh dari keberpihakan kepada rakyat, terkhusus rakyat miskin.
Pemerintah telah “membiarkan”, “lalai”, dan bahkan telah “menzalimi” rakyatnya
yang sudah miskin itu.
Marilah kita kembali pahami filosofi
kemerdekaan termaksud. Kata Proklamator dan Bapak Bangsa yang sekaligus
Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, merdeka itu menyangkut tiga hal
mendasar yang saling berkait dan tidak terpisahkan. Ketiga faktor itu adalah
bumi, manusia dan negara (pemerintah). Bumi yang kita pijak disebut Ibu
Pertiwi. Sedangkan rakyat adalah mereka yang pernah dijajah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan mendiami Bumi Nusantara ini. Sementara itu, negara yang didirikan oleh the founding
father kita adalah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Artinya apa? Bahwa ketika negara ini berdiri dan
mengumpulkan anak manusia kemudian diberi
predikat rakyat atau warga negara NKRI,
sesungguhnya,
Negara ini telah mengikat janji kepada mereka. Karena sudah berjanji, maka kapan saja bisa diminta
pertanggung-jawabannya.
Sementara itu makna (esensi dan
hakikat) kemerdekaan adalah bebas dari belenggu penjajahan, bebas dari rasa
ketakutan dan bebas dari kemiskinan. Lalu tujuan kemerdekaan sebagaimana tercantum
dalam sila kelima dasar negara kita, Pancasila, adalah “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Dengan kata lain, warga negara memiliki
hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Apa saja hak-hak dasar itu? Yang
paling utama adalah tersedinya lapangan pekerjaan yang layak. Dengan demikian pangan, sandang dan papan akan secara otomatis mengikuti. Baru kemudian,
pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Saya memandang pekerjaan itu
memiliki posisi yang sangat stategis. Karena inilah pintu
masuk utama guna menggapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Kalau kesejahteraan sudah terpenuhi,
sesungguhnya, rakyat Indonesia sudah menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang
selama ini sama-sama kita dambakan. Dan, menyangkut pemenuhan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia, the founding father juga meletakkan landasan dan dasar-dasar
pemikiran yang cukup memadai. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 secara
tegas telah ditandaskan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.” Jadi, pekerjaan dan penghidupan yang
layak dapat dimaknai sebagai hak setiap warga negara (Indonesia). Dengan kata lain,
setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Itulah sebabnya, bila negara atau
pemerintah belum mampu menyediakan, memfasilitasi dan membuka lapangan kerja
sebanyak-banyaknya bagi rakyat, terutama warga masyarakat miskin, sudah seharusnya
pemerintah berterima kasih kepada mereka yang tidak pernah mengeluh apalagi
meminta ketersediaan kesempatan kerja. Bahkan, semestinya pemerintah memberikan
property award kepada pada pengusaha atau
wirausahawan. Terutama kepada para pengusaha PJTKI, yang dengan
gigih di tengah keterbatasan modal ekonomi, tapi tetap berupaya sekuat tenaga
mencarikan lapangan pekerjaan bagi warga negara
Indonesia. Apalagi, mereka tidak meminta bantuan
kepada pemerintah sepeser pun.
Sedikit kilas baik. Kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai
kota di Tanah Air pada tahun 1998 yang menghancurkan
sendi-sendi perekonomian itu semestinya dapat kita jadikan cermin.
Harus disadari bahwa masalah pengangguran yang segaris dengan kemiskinan itu
bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Bagai bara dalam sekam. Karena frustasi
dan kekesalan bertumpuk-tumpuk terhadap pemerintah yang selama ini “membiarkan”, ”melalaikan” dan bahkan ”menzalimi” mereka, menjadikan mereka gampang tersulut bara amarah. Mereka mudah
terprovokasi untuk bertindak anarkis sebagai simbol perlawanan
terhadap otoritas pemerintah. Itulah sesungguhnya salah satu yang bisa kita petik dari peristiwa
kerusuhan dan penjarahan yang terjadi pada 1998. Sebuah peristiwa yang merupakan ujung gunung es pengangguran dan krisis
ekonomi.
Seiring dengan perjalanan waktu
dari satu orde pemerintahan ke orde pemerintahan
berikutnya mulai dari era kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto,
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat tersebut masih jauh panggang
dari api. Dengan melihat kondisi riil di masyarakat sejauh ini belum nampak
atau belum ada jejak sejarah kapan masyarakat dapat segera menikmati
kesejahteran yang adil dan merata.
Kembali kepada
konstitusi yang telah mengamanatkan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan
sosial bagi masyarakat, ternyata, sampai sekarang hasilnya masih mendekati nihil.
Penanganan masalah sosial masih bersifat parsial dan belum menyentuh pada akar persoalan
mendasar. Program bantuan seringkali salah sasaran, penarikan pajak yang tinggi
tanpa dibarengi dengan akuntabilitas dan alokasi penggunaannya secara baik.
Pasca krisis, angka pengangguran cenderung mengalami peningkatan dari 8,1%
(2001) menjadi 9,9% (2004), 10,3% (Februari 2005), 10,5% (Feb 2006), 7,87% (2009) dan Februari 2010 mencapai 7,41%
atau sekitar 8,59 juta orang. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi pada 2009
rata-rata cuma 4,5 %. Akibatnya penyerapan
angkatan kerja baru dan pengurangan angka pengangguran tidak signifikan serta kesenjangan
pendapatan masyarakat semakin melebar.
Mewujudkan sebuah negara yang sejahtera, adil dan makmur di mana warga negaranya
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak bukanlah pekerjaan yang mudah. Tujuan didirikannya Republik Indonesia
ini, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara, antara lain adalah
untuk memberikan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia.
Dengan penghidupan yang layak, harkat dan martabat mereka terangkat.
Sebab itu, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh
warga negara Indonesia. Hanya saja, lantaran negara tidak mampu menyediakan
lapangan pekerjaan bagi semua warga negara, di antaranya, kemudian banyak anak
bangsa yang harus melanglang buana ke segala penjuru dunia sebagai TKI (Tenaga
Kerja Indonesia). Mereka mencari nafkah bagi kelangsungan hidup diri sendiri
dan keluarga, bahkan mampu menghidupkan denyut
perekonomian masyarakat, bangsa
dan negara.
Sayangnya, banyak orang masih
memandang remeh dan sinis terhadap eksistensi TKI
–mereka yang tergolong Tenaga Kerja Wanita (TKW). Padahal menjadi TKI pada hakikatnya adalah pekerjaan
yang begitu mulia, bukan pekerjaan yang hina dan nista. Bahkan, mereka pantas disebut sebagai
pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Namun, mengapa para TKI yang sudah
berjibaku dan berjuang untuk kepentingan kehidupan ekonomi diri sendiri dan
keluarga, serta masyarakat, bangsa dan negara itu belum memperoleh perlindungan yang
serius dari pemerintah (negara). Padahal, sudah terbukti, berkat kontribusi dan
sumbangsih ekonomi (devisa) dari mereka yang begitu besar, negeri ini mampu
keluar dari krisis multidimensi (1997-1998) dan krisis tenaga kerja akibat
pengangguran dari tahun ke tahun yang terus meningkat itu.
Yang pasti, para pahlawan keluarga dan pahlawan devisa itu juga terbukti
mampu berperan penting dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari hantaman badai krisis tenaga kerja akibat angka pengangguran dan kemiskinan yang
membludak selama berlangsung krisis multidimensi 1997-1998.
Pengangguran memang terkait erat dengan kemiskinan dan kepapaan. Akibat banyak orang menganggur maka akan berimbas pada semakin banyak orang tidak berkemampuan memenuhi
kebutuhan sehari-hari atau jatuh miskin. Dan,
pengangguran itu sendiri disebabkan terbatasnya kesempatan kerja. Dalam mata rantai lebih jauh, hanya mereka yang berkemampuan
yang akan memenangkan persaingan memperebutkan lapangan kerja.
Krisis multidimensi,
yang didahului oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1997, memang datang begitu
cepat. Datang bak gelombang tsunami yang kemudian meluluh-lantakkan sendi-sendi
kehidupan keluarga dan masyarakat, serta bangsa dan negara, dalam waktu
sekejap. Kondisi krisis
ekonomi di Indonesia sendiri dapat dikatakan yang terburuk di Asia. Diawali
oleh krisis sektor properti (kredit macet), kemudian merembet ke krisis
finansial (perbankan), lalu dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi.
Lantas berlanjut menjadi krisis sosial (kerusuhan dan penjarahan massal),
hingga ke krisis multidimensi yang begitu memilukan dan menyengsarakan banyak
orang. Dapat dikatakan, selama berlangsung krisis multidimensi yang dampaknya
masih dapat dirasakan hingga sekarang ini, tak satu pun sektor usaha yang kebal
terhadap krisis. Semua hancur berantakan menjadi onggokan puing-puing
berserakan. Bahkan, kursi kepresidenan yang telah lebih dari 30 tahun begitu
kokoh diduduki oleh Presiden Soeharto, akhirnya tumbang (1998) dengan cara yang
tragis akibat kehilangan kepercayaan masyarakat.
Perusahaan dan
industri besar (konglomerat) yang sebelumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja
pun turut rontok. Jutaan buruh dan karyawan harus di-PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja). Pemerintah sendiri tidak bisa berbuat banyak untuk menciptakan lapangan
pekerjaan baru lantaran keuangan negara yang juga ikut terpuruk. Pengangguran terus
bertambah. Kriminalitas pun meningkat. Selama krisis multidimensi 1997-1998
dapat dikatakan sebagai kondisi tersulit bagi bangsa dan negara tercinta
Indonesia ini.
Di tengah keterpurukan itu, bersyukur sektor jasa penempatan dan pengiriman TKI justru bertumbuh. Sejumlah negara maju, terutama negara-negara di Timur Tengah, banyak yang meminta tenaga kerja asal Indonesia, mulai dari tenaga penata laksana rumah tangga (PRT),
tenaga kesehatan (perawat), sopir sampai teknisi. Melihat peluang yang terbuka lebar itu,
pemerintah tidak menyia-nyiakannya. Sejumlah PPTKIS dengan dukungan perizinan
dan dukungan pemerintah mengirim dan
menempatkan jutaan TKI ke berbagai negara yang membutuhkan. Walhasil, pundi-pundi triliunan rupiah
berhasil dikirimkan oleh para TKI ke Bumi Pertiwi Indonesia. Artinya, para TKI ternyata mampu menjadi salah
satu ”penyelamat” bangsa dan negara Indonesia dari keterpurukan gara-gara krisis multidimensi 1997-1998 yang menyesakkan dada.
Artinya apa? Bahwa para TKI telah terbukti mampu mengangkat
harkat dan martabat keluarga dan menjadi salah satu penggerak perekonomian
pedesaan, serta perekonomian masyarakat, bangsa dan negara. Mereka mampu
mengubah potret keluarga yang miskin dan masa depan suram menjadi keluarga yang relatif
berkecukupan, serta memiliki lapangan usaha (sawah, toko kelontong, salon
kecantikan dan lain-lain). Mereka mampu meretas
secercah asa buat menyongsong masa depan yang jauh lebih baik daripada masa
sebelumnya. Melalui usaha-usaha
yang diciptakan dengan modal uang kiriman para TKI, kondisi
pedesaan yang sebelumnya termasuk tertinggal menjadi pedesaan yang maju. Dan,
melalui devisa yang disumbangkan para TKI, terbukti menjadi modal bangsa dan negara Indonesia untuk
membangun dan menggaji para pejabat atau aparatur pemerintah. Lebih
dari itu, efek ganda (multiplier effects) dari bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI juga terbukti telah membuat banyak pengusaha atau
perusahaan lain menjadi kaya. Mulai dari usaha biro
perjalanan, penerbangan, asuransi, sarana kesehatan sampai jasa pemulangan.
Kini, tercatat sekitar 6 juta orang TKI bekerja di luar negeri dengan menyumbang devisa sebesar
US$20,75 miliar (2009). Sungguh sebuah
berkah. Dengan kontribusi sebesar itu, sekarang ini, para TKI bukan hanya dapat dikatakan sebagai “penyelamat” bagi bangsa dan
negara Indonesia dari krisis multidimensi, mereka telah pula menjelma
sebagai salah satu soko guru atau urat nadi bagi pembangunan ekonomi keluarga
dan masyarakat pedesaan, serta bangsa dan negara. Jadi, menjadi TKI sejatinya
bukan pekerjaan yang hina dina. Menjadi TKI adalah pahlawan keluarga dan
pahlawan devisa negara.
Sekadar sebuah gambaran, misalkan setiap TKI menghidupi rata-rata 3 orang (katakanlah
istri/suami dan dua orang anak). Berarti, tercatat 18 juta orang yang
tergantung dan bergantung kepada ‘keringat’ TKI. Angka itu tentunya menjadi bertambah
apabila ditambah dengan mereka yang bekerja di berbagai kegiatan usaha bermodal
kiriman dari para TKI. Dari kiriman uang para TKI, diperkirakan lebih dari 20
juta orang yang taraf hidupnya bisa ditingkatkan (Warta Kowani, Maret
2008).
Sekarang, semua orang telah mengakui bahwa para TKI bukan saja mampu
berperan penting sebagai penyangga kelangsungan kehidupan ekonomi keluarga
(pahlawan keluarga), tapi juga sebagai urat nadi dan salah satu
soko guru perekonomian nasional (pahlawan devisa) yang signifikan. Lebih dari
itu, multiplier effects yang ditimbulkan dari bisnis jasa pengiriman dan penempatan TKI pun sangat luas dan beragam. Mulai dari bidang kependudukan, kesehatan (medical check-up), bidang ketenagakerjaan (Balai Latihan
Kerja, BLK), imigrasi, hingga transportasi. Mengingat skala ekonominya
sangat besar dan luas, bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI harus ditangani secara lintas institusi atau lembaga (baik pemerintah maupun
swasta) serta lintas negara. Dengan kata lain, sistem dan manajemen bisnis jasa
penempatan dan pengiriman TKI sudah menjadi semacam industri dengan
skala ekonomi yang sangat besar dan melibatkan banyak pihak.
Ironis dan kontradiktif sungguh. Penanganan dan
perlindungan TKI belum juga memperlihatkan tata kelola yang baik dan benar. Tapi, itulah kenyataan yang ada. Dari
waktu ke waktu, dari orde pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya,
dari pemerintahan yang terpusat ke pemerintahan desentralisasi (otonomi
daerah), perlindungan terhadap para TKI ternyata tidak banyak berubah. Bahkan
terasa kian memprihatinkan. Berbagai praktik penyimpangan, mulai dari pendataan
dokumen calon TKI, proses dan pola perekrutan, pengiriman, penempatan, hingga
kepulangan TKI tampak semakin penuh silang sengkarut. Sistem dan manajemen bisnis jasa TKI
telah pula menjadi semacam “lahan subur” bagi banyak kepentingan untuk mengeruk
keuntungan dan memperkaya diri. Akibatnya, perlindungan terhadap para TKI
terlihat terabaikan dan bahkan diabaikan. Karena perlindungan terhadap
mereka begitu lemah, maka banyak permasalahan menimpa para TKI. Mulai dari upah
tidak dibayar, dianiaya atau disiksa, dilecehkan secara seksual sampai diperkosa hingga
dibunuh atau membunuh majikan yang menyiksa.
Yang terasa begitu terasa menyesakkan dada, apabila terjadi permasalahan TKI di luar
negeri, yang selalu disalahkan dan dijadikan kambing hitam adalah para pengusaha jasa
penempatan dan pengiriman TKI. Padahal, mereka --para pengusaha jasa
penempatan TKI itu-- selama ini sudah melakukan peran dan
fungsinya dengan baik, yaitu sebagai pencipta pahlawan devisa. Meski harus
diakui pula bahwa di antara mereka memang masih ada saja yang “nakal”. Dan, secara jelas pula, di dalam
konstitusi, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa (warga negara)
Indonesia. Kapan dan di manapun warga negara Indonesia berada. Jadi, secara
substansial, secara hukum dan moral serta etika kerjasama antar-bangsa,
pemerintah (negara) berkewajiban dan bertanggung-jawab atas segala
permasalahan TKI dan harus menyelesaikan kasusnya secara government to
government (G to G).
Tapi, bagai berteriak di padang gersang. Pemerintah
(negara) tak jarang lepas tangan melihat pentas drama “Tragedi TKI” yang penuh kepiluan. Pemerintah (negara) tampak kurang
peduli dan kurang mencoba mawas diri. Pemerintah (negara) menganggap
seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan TKI di luar negeri. Padahal, mereka
menangis, merintih dan menderita lantaran teraniaya dan
terdzolimi oleh para majikan tempat mereka bekerja tanpa ada yang membela dan
melindungi. Kalau pun pemerintah (negara) turun tangan, maka hal itu karena sudah banyak pihak yang
“berteriak”.
Mari kita renungkan,
tujuan didirikan negara ini oleh the founding fathers sebagaimana tertuang dalam
konstitusi negara (UUD 1945), sesungguhnya sangat mulia. Di antaranya adalah
untuk melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah darah dan
memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai harapan the founding fathers, tujuan yang mulia
itu seharusnya diwujudkan dengan jalan yang mulia pula. Berkenaan dengan keberadaan TKI, jalan yang mulia itu,
antara lain, bahwa pemerintah (negara) harus melindungi mereka yang benar-benar
bekerja untuk kepentingan keluarga, bangsa dan negara, kapan dan di mana pun di belahan dunia ini. Permasalahan TKI sejatinya adalah menyangkut
harga diri bangsa. Kalau pemerintah (negara) tidak mampu memberikan jaminan
keamanan dan kenyamanan, pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri lebih
baik dihentikan saja sehingga tidak lagi menimbulkan berbagai permasalahan seputar TKI.
Begitu memilukan nasib para TKI. Pemerintah (negara), selama ini, semoga tidak berlebihan,
telah memperlakukan mereka seperti ”sapi perah”. Dan, memang, begitulah
sikap kurang beradab yang tampak mengiringi perilaku dan kebijakan para
pemimpin bangsa ini. Mereka begitu senang ”memerah keringat” anak bangsa
sendiri. Tidak peduli dengan nasib mereka yang terus-menerus hidup dalam derita-nestapa.
Selama secara materi menghasilkan, maka
keringat mereka akan terus ”diperah” hingga tiada tersisa.
Penyebab dari berbagai masalah TKI itu, tak lain dan tak bukan, adalah
sistem dan manajemen bisnis TKI yang hingga sekarang ini masih amburadul,
semrawut dan tumpang tindih. Mulai dari hukum, kelembagaan hingga teknis yang
belum sistemik dan belum sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen bisnis jasa pengiriman dan penempatan TKI yang baik dan benar. Sistem dan manajemen bisnis jasa
pengiriman dan penempatan TKI belum memihak kepada perlindungan dan
kepentingan (harkat dan martabat) para TKI. Para TKI belum ditempatkan pada
posisi terhormat sebagai pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Mereka masih
dijadikan obyek penderita. Para TKI belum dianggap sebagai salah satu subyek
pembangunan ekonomi yang patut dihormati dan dibanggakan.
Dengan kekuatan
potensial sebagai penyumbang devisa, apabila terjadi kasus penganiayaan dan kedzoliman terhadap mereka di negara
penempatan, maka pemerintah (negara) semestinya tampil ke depan. Nasionalisme yang tinggi
harus mewarnai kebijakan pemerintah (negara) dalam rangka memberikan
perlindungan kepada TKI di luar negeri. Lantaran didudukkan oleh pemerintah
(negara) dalam posisi yang terhormat dan perlindungannya terjamin, mudah-mudahan
akan semakin banyak TKI yang bekerja di luar negeri. Dengan demikian, secara kalkulasi matematis-ekonomis,
ke depan, devisa negara dari kontribusi mereka akan semakin bertambah besar.
Harkat dan martabat mereka juga dijunjung tinggi.
Memang betul, bahwa berbagai masalah yang menimpa para
TKI bukanlah semata-mata kesalahan mereka. Sebab, keinginan dan
harapan para TKI sebenarnya tidaklah muluk-muluk. Seperti warga negara
Indonesia pada umumnya, mereka cuma ingin memperoleh dan memiliki pekerjaan layak agar harkat dan martabatnya sebagai manusia diakui
oleh masyarakat serta demi kelangsungan kehidupan ekonomi keluarga. Arti kata, pemerintah (negara)
yang tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan, seharusnya menaruh rasa hormat dan bangga kepada mereka.
Bukan justru sebaliknya, menjadikan mereka sebagai “sapi perah” dan
ajang memperebutkan kepentingan pribadi atau kelembagaan sehingga membiarkan
harkat dan martabat mereka terus ternista-nestapakan di negeri orang.
Pada akhirnya, tujuan pendirian negara ini oleh founding fathers
sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara (UUD 1945), antara lain, adalah
untuk melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah darah, dan
memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara tegas
dalam batang tubuh UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak bagi
kemanusiaan.” Artinya, secara konstitusional, pemerintah (negara) memang
berkewajiban memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warganya.
Tentunya dengan tetap memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap mereka
yang sedang mencari kehidupan yang lebih layak di mana pun mereka berada baik
di dalam maupun di luar negeri.
Melihat realita gambaran
kemiskinan dan pengangguran yang berkait kelindan dan belum jelas arahnya serta
perlindungan bagi rakyat yang jauh panggang dari api, para pemimpin bangsa ini
haruslah segera sadar. Sadar untuk kembali ke khittah kemerdekaan. Mengayomi
dan melindungi, terutama bagi rakyat miskin, melalui penataan sistem dan
manajemen yang baik disertai pengawasan yang ketat, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika sudah sadar, kita tinggal menjabarkan
nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945 dalam peraturan dan kebijakan yang
tepat dan realistis serta dengan tindakan nyata.
Dengan kata lain, rakyatlah yang harus dilayani pemerintah. Jangan biarkan rakyat (terutama TKI/TKW) terjebak dalam
angan-angan pungguk merindukan rembulan. Saya yakin, jika pemimpin bangsa sudah
menyadari kekeliruan yang ada, maka rakyat akan turut serta. Dan, dalam kurun
waktu yang tidak terlalu lama, problematika pengangguran, termasuk masalah
kemiskinan, akan dapat dipecahkan. Jadi, kita harus melakukan introspeksi
terhadap kesesatan yang selama ini kita lakukan. Seperti dikatakan tokoh
nasional Roeslan Abdulgani, kita harus belajar dari masa lalu guna menatap masa
depan yang lebih baik. Life should be understood backward, but it
should be lived forward.
Halaman
foto:
- Istana Negara, Gedung DPR/MPR, Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI
- Garuda Pancasila, Masyarakat Miskin dan Antrian para pencari kerja
- Ragam foto TKI dalam berbagai kegiatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar