Oleh Prof. Dr. Achmad
Fedyani Saifuddin
Tindak Kekerasan
Dalam
konteks waktu yang panjang, kekerasan dilihat sebagai bagian dari konflik antar
kelompok yang terutama dilihat sebagai instrumen seleksi evolusi (Simmel, 1908).
Dari perspektif evolusi, perang adalah sesuatu yang berkembang dalam rentang
waktu dari agresivitas manusia yang tak mengenal aturan hingga manusia modern,
di mana manusia sudah dilengkapi dengan peralatan perang mekanistik. Simmel
(1908) memandang kekerasan sebagai kejadian sinkronik, sebagai suatu tipe
hubungan sosial antar individu dan kolektivitas yang berlaku untuk mencapai
tujuan spesifik di tingkat antar kelompok maupun di dalam suatu kelompok.
Dahulu
konflik, perang, dan kekerasan merupakan tiga tema yang merupakan satu kesatuan
kajian, namun kini kajian tersebut mengalami fragmentasi menjadi tiga
pendekatan utama yang dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, pendekatan
operasional, yang berfokus pada etik antagonism khususnya dengan penyebab
material dan politik dari konflik. Kedua, pendekatan kognitif, yang berpusat
pada emik dari konstruksi budaya mengenai perang dalam suatu masyarakat.
Ketiga, pendekatan pengalaman, yang memandang kekerasan sebagai suatu yang
terkait dengan subyektivitas individual, suatu yang menstrukturkan kehidupan
keseharian warga masyarakat, sekalipun dalam kondisi tidak adanya perang yang
sebenarnya.
Pendekatan
antropologi mengenai konflik berasal dari konsep biologi – kompetisi.
“Kompetisi terjadi apabila dua atau lebih individu, penduduk, atau spesies
secara simultan menggunakan sumber daya yang sama, yang sebenarnya atau secara
potensi terbatas: (Spielman 1991:17). Kekerasan berasal dari kompetisi, namun
tidak niscaya atau secara otomatis terjadi.
Jika
tindakan kekerasan dikaitkan dengan hakekat dasar konflik, ada tiga kondisi
yang penting kita perhatikan. Pertaman, kekerasan tidak pernah sepenuhnya
idiosinkratik. Kekerasan selalu mengekspresikan hubungan tertentu dengan pihak
lain dan tindakan kekerasan tidak menargetkan seseorang secara acak (meskipun
individu korban seakan dipilih sebagai representasi dari kategori yang lebih
besar). Kedua, kekerasan tidak pernah sepenuhnya tak bermakna bagi pelaku.
Sebagai tindakan sosial, kekerasan tidak pernah sepenuhnya terlepas dari
rasionalitas instrumental. Ketiga, kekerasan tidak pernah secara total
merupakan tindakan yang terisolir. Kekerasan merupakan produk dari proses
historis yang dapat ditelusuri ke belakang dalam waktu.
Kekerasan
dapat merupakan stategi yang sukses bagi banyak aktor yang berbeda-beda
kepentingan. “Perang ibarat kue yang lezat. Setiap orang ingin menikmati
sepotong: politisi, penjahat, spekulator, sejarawan, dermawan, pembunuh,
filsuf, peneliti, jurnalis” (Ugresic 1995). Bahkan, sebagian pelaku rasional
menggunakan kekerasan sebagai strategi untuk merebut kekuasaan dan keuntungan
materi.
Kekerasan
tidak selalu berdimensi fisik, melainkan juga dimensi simbolik. Kekerasan
simbolik tidak menggunakan kekuatan fisik terhadap orang lain semisal memukul,
melukai, atau bahkan membunuh, melainkan dengan penggunaan simbol yang
mengandung makna tertentu seperti mengancam (tindakan performatif). Bahkan
korban kekerasan dapat menggunakan simbol tertentu untuk melawan pelaku
kekerasan. Dalam konteks ini bahkan dalam situasi di mana kekuasaan tidak
seimbang, kekerasan tidak secara otomatis dapat dianggap sebagai strategi yang
paling efisien.
Imajinasi Kekerasan
Kekerasan
kolektif berulang-ulang dengan pola yang sama menunjukkan adanya model budaya
yang terbentuk secara historis, yang apabila kondisi untuk mencetuskan kembali
kekerasan itu pada waktu berikutnya, kekerasan itu kembali terjadi. Dengan kata
lain, ada imajinasi mengenai kekerasan yang “terpelihara” dari waktu ke waktu,
dan dari generasi ke generasi. Sebagian ahi memasukkan gejala ini ke dalam
konsep ingatan kolektif.
Prosesnya
adalah dibangkitkannya kembali ingatan atas kejadian kekerasan pada masa
lampau, dan di reinterpretasi pada masa kini, dan kekerasan yang terjadi kini
menghasilkan nilai simbolik yang kelak digunakan dalam konfrontasi pada masa
yang akan datang. Dari perspektif ini kekerasan tidak hanya merupakan sumber
bari memecahkan masalah konflik atas isu-isu material, tetapi juga merupakan
sumber bagi pembentukan dunia, untuk mengkaji klaim suatu kelompok atas
kebenaran dan sejarah terhadap klaim lawannya.
Imajinasi
kekerasan juga tergambar pada spanduk-spanduk, slogan, gambar mural, lagu,
puisi, dan sebagainya. Pada masa kini, ketika media TV demikian marak di
seluruh dunia pesan-pesan imajiner kekerasan sampai di ruang-ruang paling
pribadi rumah kita, disaksikan bukan hanya oleh orang dewasa, tetapi juga
anak-anak. Kekerasan yang terjadi di sutu daerah yang jauh, didekatkan
sedemikian seolah terjadi di hadapan rumah kita.
Pendekatan
sosial budaya mengadopsi perspektif analitik, komparatif agar dapat memberikan
sumbangan bagi pemahaman dan eksplanasi kekerasan. Tindakan kekerasan tidaklah
muncul mendadak tanpa historisitas, makna, dan reflektivitas. Imajinasi
kekerasan bukanlah konstruksi yang tercerai berai, melainkan produk ingatan
kolektif yang berlaku sebagai model budaya. Kekerasan diwujudkan seraya
diimajinasikan oleh manusia secara sosial dan refleksif di bawah
kondisi-kondisi kesejaharan atas dasar alasan-alasan yang konkret.
Perlu
kita tekankan bahwa kekerasan sebagai sumber daya budaya hanya digunakan pada
tahap terakhir dari proses. Dengan kata lain, jalan terakhi itu tidak harus
terjadi, atau sebenarnya dapat dicegah.
Kekerasan
dalam masyarakat kita adalah ciri kemajemukan yangtinggi dalam berbagai konteks
faktual seperti geografi, ras, etnik, agama, dan golongan sosial-ekonomi.
Integrasi kita masih bersifat integrasi sosial, belum integrasi kebudayaan.
Toleransi, kerukunan, saling menghargai pendapat, belum menjadi kebudayaan
kita. Kita lebih berorientasi pada kebudayaan lokal, kelompok, golongan, dan
sebagainya. Ketika negara kita dibentuk sebagai kesepakatan politik, hukum
nasional yang memayungi semua warga negara secara adil tidak berkembang sejalan
dengan penguatan negara. Ketika demonstrasi dibuka seluas-luasnya (tanpa
perhitungan yang cermat), masyarakat bangsa kita, termasuk negara, berada dalam
kondidi gamang dan serba tidak siap. Kondisi ini menjadi celah yang potensial
bagi terjadinya konflik dan kekerasan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar