ad

Rabu, 27 Juli 2016

Efek Jera untuk Koruptor: Laki-laki Dikebiri, Perempuan Dipoli..


Ikuti

Damayanti Wisnu Putranti via anekainfounik.net

Permasalahan korupsi, kolusi, dan juga nepotisme sepertinya tidak lagi dianggap remeh di Indonesia, khususnya tindak pidana korupsi. Baru-baru ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap tangan anggota Komisi V DPR yang juga politisi Partai PDIP Dhamayanti Wisnu Putranti terkait dengan dugaan penerimaan suap untuk proyek jalan di Indonesia timur.
Beberapa waktu sebelumnya, Sekjen Partai Nasdem, Patrice Rio Capella juga ditangkap terkait terkait korupsi dana Bansos Sumatera Utara yang juga terindikasi melibatkan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istri mudanya, Evy Susanti. Tidak lupa pula di ingatan kasus Dewie Yasin Limpo atas dugaan penerimaan suap terkait proyek pengembangan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai, Papua, tahun anggaran 2016.

"Dari pola korupsi yang dilakukan, jika memang mereka terbukti bersalah, maka kita dapat menilai dengan mudah bahwa mereka ini bukanlah para birokrat miskin yang butuh tambahan sedikit uang agar dapat hidup lebih layak"

Bisa jadi mereka adalah tipikal pejabat "haus materi" yang ingin mendapatkan lebih banyak kesejahteraan dan keamanan dalam posisi yang sedang mereka tempati. Saya rasa hal itu sudah sangat terang benderang. Sangat mudah untuk dipahami.
Korupsi Sebuah Definisi
Pertanyaan mendasar, sudahkah kita mengetahui sejauh mana “pencurian” dianggap sebagai tindak pidana korupsi dan mengapa Indonesia perlu menilai genting persoalan ini hingga pemerintah harus membuat sebuah badan khusus (di luar kepolisian dan kejaksaan) bernama KPK untuk membuat republik ini bersih dari koruptor?
Disebutkan dalam undang-Undang 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 20/2001 disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara..”.
Kalimat yang perlu dicatat dari keseluruhan rangkaian kata dalam undang-undang di atas adalah “Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Di luar klausul itu, tidak dianggap sebagai korupsi, melainkan tindak pencurian biasa. Lalu mengapa tindak korupsi menjadi penting untuk ditindaklanjuti secara lebih serius?
Terjemahan bebasnya, segala hal yang berkaitan dengan keuangan dan perekonomian negara artinya menyangkut hajat hidup orang banyak. Pencurian terhadap “harta negara” tentu akan merugikan negara dan masyarakatnya.
Kerugian riil ataupun “opportunity lost” yang dampaknya harus ditanggung masyarakat dan para pembayar pajak. Karena efek masif yang ditimbulkanya tersebut, tindak pidana korupsi acap kali dikategorikan sebagai “extraordinary crime”.
Koruptor Tetap Ada, KPK Impoten?
Kejaksaan dan kepolisian sudah ada di republik ini sejak puluhan tahun yang lalu. Sedang KPK sebagai anak kandung reformasi juga tidak dapat dianggap sebagai “anak baru” lagi dalam jagad pemberantasan korupsi. Lalu, mengapa permasalahan korupsi ini seperti tidak dapat diselesaikan?

"Statement ini jelas meyiratkan bahwa penanganan dan tindak pencegahan pelaku tindak pidana korupsi yang tidak efektif selama ini bisa jadi tidak menyentuh ranah “perilaku” masyarakat"

Seorang koruptor dan calon koruptor jelas akan “berhitung”, jika benefit yang ia dapatkan dari tindakan korupsi lebih besar dari “cost” (diterjemahkan sebagai dampak buruk yang menimpa dirinya), secara rasional perilaku koruptif akan tetap ia lakukan. Itulah yang terjadi pada Dewie Yasin Limpo, Patrice Rio Capella, Gatot Pujo Nugroho, Evy Susanti, dan yang terakhir Damayanti.
Jelas mereka semua rasional, mereka melakukan pencurian uang negara bukan atas dasar impuls irasional. Mereka semua juga tau bahwa mereka akan mendapatkan risiko atas tindakan buruk yang mereka lakukan.
Mereka jelas telah berhitung. Lalu kenapa perbuatan tersebut tetap mereka lakukan?
Jawabannya cukup mudah, karena secara rasional mereka menganggap bahwa benefit yang mereka dapatkan akan tetap lebih besar dari (risiko) cost yang mereka akan keluarkan/tanggung. Sesederhana itu.
Dalam catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), dari 240 terdakwa tindak pidana korupsi dari tahun 2005 sampai tahun 2009, vonis yang dijatuhkan pun ternyata sangat ringan, rata-rata hanya3 tahun 6 bulan.
Bahkan dalam kasus Nazarudin yang terkenal itu, ia hanya dikenakan hukuman tujuh tahun penjara dan denda RP 300 juta rupiah. Diberitakan juga bahwa apabila denda Rp 300 juta tersebut tidak dibayar, maka denda tersebut dapat diganti dengan pidana penjara selama enam bulan. Wow! Sebuah hukuman yang sangat menciptakan efek jera!
Para calon koruptor yang rasional pun akan berpikir, “Jika memang hanya seperti itu hukumannya (pun hukuman tu juga masih berupa rsiko, belum tentu terjadi), korupsi dengan nominal di atascost yang harus ditanggung menjadi sebuah pilihan yang menarik. Pun harus dipenjara, biaya hidup selama saya di sana toh negara yang akan bayarkan. Tidak perlu keluar biaya sama sekali. Jika ingin fasilitas lebih, tinggal sogok para sipir miskin yang butuh uang lebih. Simpel. Keluar penjara, saya bisa nikmati benefit yang tersisa”.

"Tidak heran, dengan pola treatment seperti itu, perilaku koruptif di negeri ini tidak akan pernah selesai. Sekeras apapun KPK bekerja. Sebesar apapun dana yang digelontorkan pemerintah untuk menciduk para koruptor"

Dan sialnya, dana untuk "treatment" yang tidak efektif tersebut diambil dari uang rakyat. Uang yang diambil dari sebagian penghasilan kita yang kena pajak.
Penjara Jelas Bukan Solusi
Mengharapkan para koruptor hilang dengan punishment seperti ini jelas konyol. Alih-alih menimbulkan efek jera, negara justru mengalami kerugian karena “dipaksa” untuk membiayai para koruptor itu hidup selama di penjara dan tidak dapat mendapatkan keuntungan atas “biaya” yang seharusnya dapat dikenakan kepada para koruptor.
Dengan dipenjara, tidak ada yang dapat menjamin si koruptor menjadi tobat dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Bisa jadi, dengan dikumpulkan dengan sesama koruptor, mereka dapatsharing pengalaman dan menemukan metode baru yang lebih efektif untuk merampok uang rakyat. Seperti yang jamak dilakukan oleh pelaku kriminal lain.
Sebuah extraordinary crime haruslah ditangani secara extraordinary. Jika tidak, label tersebut tidak lebih dari sekedar slogan untuk menipu rakyat atau menjaga harapan masyarakat yang mudah dikelabuhi. Nyatanya, sampai sekarang metode memenjarakan para koruptor tidak efektif. Terbukti dengan kasus anyar yang saya sebutkan di atas.
Lalu Apa solusinya?
Masih menggunakan statement yang sama dari Mankiw, solusinya sebenarnya sangat sederhana. Sesederhana mengubah skema “cost” yang harus ditanggung oleh koruptor, perilaku mereka (dan para calon koruptor) akan berubah dengan sendirinya.
Efek jera! Itulah substansi yang harus dipikirkan. Tidak terjebak akan metode yang sudah jelas-jelas tidak efektif. Korupsi pun ada tingkatannya. Untuk itu bisa jadi diperlukan bentuk yang lebih bervariasi dalam menciptakan cost bagi para koruptor.
Yang jelas bukan dipenjara, karena penjara hanya akan membuang uang negara dan tidak dapat membuat uang yang sudah “hilang” dapat kembali. Yang jelas, juga bukan hukuman mati, karena hukuman mati tidak dapat mengembalikan uang yang sudah dicuri dan bisa jadi menimbulkan permasalahan baru karena tidak jarang orang yang mengkategorikan hukuman tersebut sebagai tindakan yang melanggar HAM. Perlu dipikirkan sebuah mekanisme hukuman yang "out of the box", sebuah bentuk hukuman yang membuat efek jera dan juga menguntungkan negara di sisi lain.
Efak Jera untuk Para Koruptor
Salah satu bentuk hukuman yang menciptakan efek jera yang dapat diterapkan adalah dengan menerapkan dua model "cost" seperti berikut : Yang pertama adalah dengan mem-punish si pelaku dengan jumlah biaya penggantian sebesar seribu (1.000) kali dari uang yang berhasil ia curi.
Misal ia mengorupsi uang negara sejumlah 1 juta rupiah, ia harus mengganti kepada negara sebesar 1 milyar rupiah. Apabila ia tidak mampu menggantinya dengan uang cash, negara dapat menyita seluruh aset yang ia miliki.
Apabila aset yang dimiliki tidak cukup untuk membayar biaya punishment tersebut, hal tersebut akan dianggap sebagai utang yang harus diselesaikan oleh keluarganya. Misal dengan kembali melakukan penyitaan aset yang dimiliki oleh keluarganya. Begitu terus sampai jumlah 1.000 kali lipat terpenuhi.
Hukuman kedua selain mengenakan “biaya penggantian” adalah dengan memaksa si pelaku korupsi untuk melakukan kerja sosial dengan wajib mengenakan rompi tahanan KPK dan meminta awak media untuk meliputnya.
Misal dengan bekerja sosial menyapu jalan di jalan-jalan protokol, membersihkan sungai, ataupun menjadi penjaga taman kota yang saya pikir jadi metode yang baik dan tidak menimbulkan biaya.
Jika memang diperlukan, kegiatan sehari-hari dilakukan terdakwa dapat juga dibuatkan reality show-nya. Pasti akan sangat menarik. Tidak hanya itu, di rompi tahanan KPK yang ia kenakan tidak hanya disertakan nama yang bersangkutan, tetapi juga harus disertakan nama keluarga, dan partai politik tempat ia berkiprah selama ini.
Lalu bagaimana jika uang yang ia curi dapat digolongkan sebagai jumlah yang sangat besar atau uang yang ia curi merupakan uang yang sebenarnya ditunjukan untuk kegiatan sosial kemanusiaan? Sebuah kejahatan finansial dan kemanusiaan saya pikir.
Dengan tipe pelanggaran seperti itu, tentu kedua “cost” di atas tetap dikenakan kepada si koruptor, tetapi jelas tidak cukup. Diperlukan sebuah bentuk cost lain yang dapat menciptakan efek jera bagai diri serta orang lain yang melihatnya.
Apabila ia laki-laki, ia dikebiri..
Apabila ia perempuan, ia dipoli..sikan dan dipisahkan dengan setiap orang yang ia sayangi selamanya. Hidup dalam pengasingan. Mati kesepian.
Fair enough!

Kita tidak akan pernah tau sebelum dicoba, bukan? (https://www.selasar.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar