ad

Minggu, 23 Desember 2012

ISTANA BATU



 Mentari baru saja keluar dari peraduannya. Tak biasanya, sepagi ini masih banyak orang kumpul-kumpul di rumahku. Yang sudah-sudah berlalu, kalau malamnya karib-karibku pesta ciu dan main kartu dengan cuk seratus dua ratus perak, pagi begini sudah pasti rumahku lengang tanpa lalu-lalang orang-orang.
 Tapi, pagi ini karib-karibku masih saja asyik banting kartu. Bahkan, Dik Reso –yang selama ini membenciku setengah mati—tampak ikhlas membacakan Yaasiin di samping jasadku yang diselimuti sutera batik. Yaasiin atau entah apa namanya, membuat tulang-tulangku serasa menjadi arang. Inikah ganjaran Dik Reso buatku? Entah!
 Beberapa anak muda sibuk mencari papan tulis. Dan, papan berwarna hitam-putih berukuran 80x70 sentimerter persegi akhirnya itu ditemukan di rumah Purwo, anakku yang tertua yang sekarang jadi guru SMA. Lalu, kabarkan:
 Lelayu
Telah meninggal dunia dengan tenang pada hari Senin Pahing pukul 19.30 WIB:
Nama  : Dipodisastro
Umur : 84 tahun
Alamat         : Jalan Perkutut Nomor 13
Dimakamkan : Pekuburan Manding pada hari Selasa Pon pukul 13.00 WIB
 Lantas, anak-anak muda sepantaran cucu-cucuku itu membawanya ke ujung jalan. Dipasanglah di bawah regol kemudian dikibari bendera warna merah yang terbuat dari kertas minyak. Sebuah kematian anak manusia baru saja  berlangsung.
 Sebagian anak muda yang lain mencari sewa pengeras suara dan kaset alunan ayat-ayat suci. Tak ada kesulitan, memang, mereka mendapatkannya di persewaan terbaik di kota ini. Menjelang jam tujuh, gema ayat-ayat suci dari qori nasional merasuk ke sudut-sudut Jalan Perkutut, Kampung Tjantel Kulon. Bahkan, sempat menusuk dinding-dinding tapal batas empat kampung yang bersinggungan dengan Kampung Tjantel Kulon. Kabar tentang sebuah kematian anak manusia terus mengembara mengikuti arah kumandang ayat suci.
 Sisa kebesaran namaku di masa lampau masih begitu terasa pagi ini. Warga kampung tumplek di rumahku. Di tahun-tahun 1950-an sampai 1960-an rasanya semut pun mengenal siapa Mas Dipo. Begitu terkenal dan kuasa, sampai aku mengoleksi tiga isteri di sepanjang Jalan Perkutut, tak ada yang berani memprotes.
 Ya, di tahun-tahun itu aku sangat digandrungi banyak perempuan. Pilihanku jatuh pada Jeng Tuti. Dia lah isteriku yang pertama yang sekaligus memberiku lima anak: Purwo, Pramono, Purwanti, Priyanti dan Priyono.
 Hanya beberapa hari setelah Purwanti lahir, aku kepincut isteri bawahanku di kantor kawedanan. Jeng Mirah namanya. Tak perlu repot-repot buat mengawini Jeng Mirah. Dia bisa menghidupi diri dan anaknya dari usaha wedhel. Soal menyingkirkan suaminya, cukup kumutasikan saja ke desa yang lebih terpencil. Dari Jeng Mirah, aku mendapatkan seorang anak lelaki yang kemudian menjadi seorang wedono di sebuah kawedanan di pinggiran Bengawan Solo.
 Ya, bukan Dipodisastro kalau ndak bisa menaklukkan hati wanita. Di pertengahan 1960-an, saat-saat bungsuku Priyono mau lahir, aku mempersunting Jeng Ragil Kuning. Peminanganku pada Jeng Ragil Kuning tidak menemui hambatan sama sekali meski ia menjadi isteri sah Dik Reso.
 Aku tahu, Dik Reso adalah seorang guru ngaji. Karena pergaulannya yang luas, waktu itu, Dik Reso sangat dekat dengan sejumlah elit partai berlambang palu arit. Rasanya, itulah celah untuk merebut Jeng Ragil Kuning dari tangan Dik Reso.
 Aku tahu, Dik Reso adalah santri taat. Bukan abangan seperti aku. Dia tidak rela Ramelan, sahabatnya yang anak Haji Fathoni, memilih jalan hidup dengan prinsip sama rata sama rasa. Makanya, Dik Reso kerap terlibat baku bincang dengan Ramelan. Tak jarang baku bincang itu berlangsung di sekretariat daerah partai dengan pendukung dari berbagai kalangan itu.
 Dan, memang, sementara aku sangat dekat dengan intel-intel tentara. Maka, kuberikan informasi bahwa Dik Reso ‘menjadi’ antek partai yang kemudian  diberangus oleh orde yang berkuasa setelah peristiwa memilukan pertengahan 1960-an itu. Dik Reso harus menghabiskan sebagian umurnya di Pulau Buru.
 Beberapa hari setelah Dik Reso dibui, tanpa lewat meja hijau, aku langsung mengawini Jeng Ragil Kuning. Pun aku ndak perlu repot-repot menafkahi isteriku yang ketiga ini. Aku cukup beri nafkah batin. Nafkah lahir, dia bisa mencari sendiri. Jeng Ragil Kuning terampil menari tarian-tarian Jawa Klasik.
 Sudah sangat lama aku memendam rasa ingin memiliki Jeng Ragil Kuning. Apalagi, sejak pandangan pertama di rumah RM Dipotaruno, kakakku yang tinggal di Kota Bengawan. Waktu itu, awal tahun 1960-an, Mas Dipotaruno lagi mantu dan nanggap klenengan lengkap dengan penari Jawa Klasik Jeng Ragil Kuning.
 Aku jadi menyesal. Ternyata Dik Reso benar-benar santri taat. Laku-lagaknya senantiasa diwarnai rasa ikhlas. Kedekatannya dengan Ramelan semata lantaran dia ingin sahabatnya itu kembali ke keyakinan ketika keduanya masih sama-sama belajar di Langgar Abu Thohir. Karena gelegak petualangan asmaraku, aku tak ambil peduli. Pokoknya, siapapun yang dekat-dekat dengan pentolan partai berlambang palu arit harus dibabat tanpa ampun. Dan, ini kesempatan emas buat merusak pagar ayu suami-isteri Dik Reso – Ragil Kuning.
 ***
 Bayang mentari kian pendek saja. Bungsuku Priyono sudah datang dari Jakarta setelah semalam ditelepon Purwo. Pramono, anakku yang jadi kadaster di Kantor Agraria, bergegas ke tukang terbelo terbaik di kota ini. Sesuai dengan wasiat yang kutitipkan padanya beberapa waktu sebelum aku sakit berkepanjangan.
 Dulu, kala aku masih sehat, aku memesan terbelo khusus dan kijing spesial di UD Setro Gondo Mayit. Terbelo berbahan kayu jati kelas satu. Diukir dengan gambar Janoko di tutup bagian atas. Keempat sisi samping diukir dengan motif lurik. Pelapis luarnya adalah kain sutera terbagus bikinan pabrik batik terkondang di Kota Bengawan.
 Pun soal kijing. Aku minta dari bahan marmer paling bagus dari Tulung Agung. Dilengkapi pula papan nama yang menerangkan kepriyayianku. Ukurannya kuminta yang agak besar, di atas rata-rata yang ada.
 Sekira lima tahun silam, sebelum malaikat maut menjemputku semalam, aku minta Pramono membebaskan setengah hektar pekuburan Manding. Dengan titik pusat pusara Jengg Ragil Kuning dan Jeng Mirah. Di antara kedua pusara sudah tersiap kapling buat aku dan Jeng Tuti. Dengan kekuatannya sebagai ambtenaar, Pramono berhasil membebaskan kapling itu dari jasad-jasad yang bukan kerabat trah Dipodisastro. Mulai saat itu, kuminta Pramono membangun pagar keliling setinggi satu meter. Empat pusara –Jeng Ragil Kuning, Jeng Mirah, Jeng Tuti dan aku—berhadapan langsung ke pintu gerbang. Antara empat pusara dan pintu gerbang, kuminta dibuatkan papan silsilah trah Dipodisastro, mulai dari anak, cucu, buyut, canggah, wareng sampai udheg-udheg siwur. Terbikin dari marmer kelas wahid. Ditambah lagi dengan pendopo kecil-kecilan buat berteduh sesaat sebelum anak-cucu nyekar tiap Ruwah.
 Kuberangan, istana peristirahatan nan elok. Cermin kebesaran siapa yang istirahat di sana. Keberangan pula, istana ini bisa menjadi tujuan wisata kelak. Wisata ziarah. Kecil-kecilan saja, tak sebesar milik Pak Harto di Mangadeg. Dan lagi, aku tak mungkin menandingi Pak Harto dalam soal membebaskan tanah kuburan. Pramono cuma kadaster di Kantor Agraria lokal kabupaten, mana mungkin mampu membebaskan sebuah lereng gunung.
 Yang pasti, sesuai dengan kepriyayianku, cukuplah bisa mencaplok setengah hektar pekuburan Manding. Anganku menyiapkan tempat tinggal setelah mati kesampaian sudah.
***
 Sang surya tegak lurus di atas ubun-ubun. Pelayat makin menyemut smpai ujung jalan di bawah regol. Kereta jenazah dari tempat penyewaan termahal di kota ini sudah tiba di halaman rumahku. Di ruang tamu, beberapa orang –termasuk Dik Reso—masih sibuk mengkafani jasadku. Agak lama memang, karena jas, blangkon dan kain kebesaran Jawa-ku harus terlebih dulu dipakaikan. Keris kesayanganku pun mesti diselipkan di pinggang. Usai semua itu, Dik Reso seorang menshalatkan jenazahku. Terbelo ditutup, dipaku kuat-kuat. Dik Reso dan para tetangga lalu mengusung keluar. Anak-cucuku sudah menunggu di sana. Prosesi brobosan berlangsung. Jeng Tuti, yang tak kuat lagi berjalan, tampak berkursi roda didorong Priyanti di belakangnya.
 Adzan dikumandangkan lewat pengeras suara sewaan. Aku pun masuk kereta berlapis keemasan itu. Perjalanan ke Pekuburan Manding dimulai. Kira-kira setengah jam, aku telah sampai di atas liang yang disiapkan Sutris –teman Priyono semasa SD dan kawan-kawan. Pajang-lebar kapling disesuaikan dengan terbelo yang terkesan agak besar dibanding badanku yang cenderung ceking. Tiap-tiap sisi berjarak 25 sentimeter ke terbelo.
 Sutris dan seorang kawannya berada di dalam liang kubur. Dik Reso, Purwo dan Pramono bersiap menurunkan terbelo.
 “Tris, pelan-pelan terima ya,” pinta Pramono.
 “Yah, Mas! Nggak bisa masuk,” ucap Sutris dalam nada salah.
 “Tris, kamu nggak salah ukur. Kok bisa kurang.”
 “Nggak Mas, malah sudah saya lebihkan 30 senti di semua pinggiran.”
 “Kalau begitu kamu naik lagi, lebarkan 50 senti lagi.”
 Sutris dan kawan-kawan kembali menggali dengan mencocokkan ukuran terbelo yang sekarang ada di samping liang lahat: “Sudah Mas, masa saya sampai salah ukur.”
 “Tris, terima ya,” pinta Pramono.
 “Lho Mas, nggak bisa masuk lagi!”
 “Sudah kamu naik kembali, lebarkan satu meter sekalian,” kata Pramono sedikit tegang.
 “Mas, kiri-kanan ini kan sudah ada kuburan ister-isteri muda Pak Dipo,” Sutris tersadar.
 “Oke, kalau begitu lebarkan selebar-lebarnya. Pokoknya melebihi ukuran terbelo,” Pramono setengah patah arang.
 Cras, cras, cras, slaap! Sutris mengayunkan paculnya. Sampai-sampai menyenggol, maaf, tengkorak Jeng Ragil Kuning. “Hati-hati Tris,” Pramono ingatkan. Liang kubur 2,5 x 2 meter persegi pun tergali.
 “Ayo Tris, Pak Dipo kita turunkan lagi,” ajak Pramono.
 Lagi-lagi terbelo-ku tak bisa masuk liang kubur. Mengapa begini? Rasanya seumur-umur aku tak pernah menyerobot tanah tetangga, main manipulasi tanah atau menggeser keluar batas kaplig pekarangan.
 “Bagaimana Pak Reso, mesti diapakan jenazah Pak Dipo?”ujar Pramono putus asa.
 “Begini Nak, terbelo kita bongkar, tinggal jasad berkafan putih yang masuk,” Dik Reso menawarkan jalan keluar.
 Aduh, terbelo kesayanganku remuk redam. Tak berarti lagi apa itu kain sutera, ukiran Janoko dan dinding-dinding lurik. Para pelayat termangu, saling baku bisik. Baru kali ini sepertinya mereka menyaksikan prosesi pekuburan macam ini.
 Sembari membaca ayat suci dan dibantu Pramono, Dik Reso berusaha menurunkan jasadku. Apa lacur, tanah yang sudah dibebaskan Pramono beberapa tahun silam itu tetap tak mau menerima jasadku. “Kalau begitu kita kubur berdiri saja,” spontan Dik Reso berucap.
 Haaaah! Jasadku masuk berdiri? Disusul papan-papan terbelo dan kain sutera yang sudah berubah warna tanah.
 Kraaak … kraaak … kraak! Istanaku melumat tulang-belulangku, keris pengasihanku, terbelo jati kesayanganku, harga diri lima anakku, dan tangis lima belas cucu-cucuku.
                                                                    Bekasi-Sragen, awal 2003

________
ciu  : minuman beralkohol tradisional.
cuk : setoran sukarela seorang pemain judi kartu yang memenangkan satu putaran main.
regol : gapura
wedhel : usaha mewarnai kain dengan ramuan warna tradisional Jawa.
kawedanan : satu wilayah administratif yang membawahi beberapa kecamatan yang dikepalai oleh seorang wedono.
klenengan : orkestra dengan gamelan Jawa.
terbelo : peti mati.
kijing : nisan kuburan.
nyekar : ziarah kubur.
Ruwah : bulan dalam almanak Jawa sebelum bulan Puasa.
Brobosan : tradisi kerabat melewati bawah peti jenazah yang akan diusung ke kuburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar