Rasanya tiada hari tanpa kabar seputar koruptor. Mulai dari kabar tersangka
koruptor ditangkap sampai kabar koruptor dipidana empat tahun penjara ditambah
denda beberapa ratus juta rupiah saja. Sayangnya, tak ada rincian hukuman
penjara macam apa yang wajib dijalani si koruptor terpidana yang dapat memberikan
efek agar orang lain tidak ikut-ikutan korup. Dan, hukuman yang jatuh rata-rata
relatif ringan, terasa tidak menjerakan serta kerap melukai rasa keadilan publik.
Padahal, salah satu fungsi penghukuman adalah memberikan efek jera.
Sekadar hukuman penjara, tanpa penekanan jenis macam apa hukuman penjara
yang mesti dijalani si koruptor terpidana atau bagaimana seharusnya perlakuan (treatment)
terhadap si koruptor terpidana di penjara. Penulis teringat saat melancong
jelajah bawah tanah gedung Lawang Sewu di Semarang, Jawa Tengah, yang selesai
dibangun tahun 1907. Jelajah dimulai dari sebuah lubang kecil berkedalaman 3
meter yang cuma cukup buat masuk satu orang, kita langsung terbawa menyisir
lorong selebar 1,5 meter dengan langit-langit tak lebih dari 2,5 meter. Di kanan-kiri
lorong tampak kamar-kamar yang pernah difungsikan buat penjara di masa
penjajahan Belanda dan Jepang. Kamar pertama ruangan yang berisi bak-bak beton
setinggi satu meter. Di sini, terpidana dipaksa berjongkok dan direndam air
sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi. Inilah kamar yang dinamai penjara
jongkok. Lalu kamar kedua yang berisi jejeran sekat batu bata menyerupai lemari
selebar 1x1 meter dan tinggi 2 meter yang disebut penjara berdiri. ‘Lemari’ berterali
besi ini dulu biasa dijejali 4-5 terpidana. Mereka dibiarkan terus berdiri sampai
mati lemas. Dan kamar ketiga berisi meja baja yang ditanam di lantai. Di sini lah
biasanya pemerintah kolonial mengeksekusi (memenggal kepala) para pejuang kita tanpa
proses meja hijau.
Wajah
penjara bawah tanah Lawang Sewu menyiratkan satu model treatment paling
klasik terhadap terpidana, yakni the Punishment Model. Model treatment
yang sangat kental penghukuman (fisik). Model ini, menurut konsultan
pemasyarakatan Amerika Serikat Dwight C. Jarvis (1978: 168), menerapkan
perlakuan penghukuman dalam bentuk cambuk dan mutilasi sebagian anggota tubuh. Pencambukan
menjadi favorit model ini. Tujuan treatment semacam itu adalah agar terpidana
jera (punishment) dan supaya orang lain tidak melakukan tindak criminal
(deterrent).
Selain
model tadi, Jarvis menyebutkan masih ada lagi sedikitnya empat model treatment
terpidana. Model kedua yang masih termasuk klasik adalah the Monastic Model.
Di sini, terpidana wajib kerja menjadi kuli (pekerja kasar) sebagai bentuk
penebusan dosa yang pernah dilakukan. Model yang dikemas dalam Pennsylvania
Plan ini pernah diterapkan di Pittsburgh (1826) dan Philadelphia (1833).
Model
ketiga, boleh dikatakan sedikit lebih menekankan hukuman sosial, yakni the
Work-Ethic Model. Model ini
berangkat dari filosofi bahwa kerja keras adalah baik buat pikiran, tubuh dan
jiwa manusia. Dan karena itu, bermalas-malasan merupakan sebuah dosa dan
kegagalan hidup. Dari sini ada keyakinan bahwa kerja keras (fisik) yang wajib
dilakukan terpidana akan memberikan nilai rehabilitatif tersendiri. Di Amerika, model ini dielaborasi dalam
wujud sistem kamp pekerja. Misalkan pada 1973 sekelompok terpidana dengan
seragam spesial dikerahkan mengerjakan proyek pembangunan jalan bebas hambatan
di North Carolina.
Model keempat, sebagai perkembangan setahap lebih maju daripada the
Work-Ehic Model, berpegang pada ide rehabilitasi terpidana dengan pembekalan
keterampilan khusus. Bahwa bekerja merupakan kebutuhan sosial dan kemalasan merupakan
benih kriminal, sebab itu pengalaman dan pelatihan keterampilan khusus menjadi bekal
ideal terpidana kelak kembali ke masyarakat. Model ini pun lalu diberi nama the
Vocational Rehabilitation Model. Keterampilan yang diberikan antara lain
bertani, perbaikan sepatu, dan tukang cukur. Pada pertengahan 1970-an,
keterampilan yang diberikan lebih berkembang, seperti perawatan mesin dan
teknologi komputer. Dari model ini diharapkan, si terpidana pulang ke rumah berbekal
keterampilan cukup guna menopang kehidupan dan tidak kembali melakukan
kejahatan (recidivist).
Dan model kelima, the Social Work Model, yang berangkat dari
keterbatasan sumber daya manusia di institusi pemasyarakatan. Penerapan model
ini minimal didahului dengan studi sosiologis terhadap terpidana, mulai dari latar
belakang ekonomi, keluarga, pekerjaan sampai pendidikan. Model ini mencoba
memberdayakan terpidana yang ada untuk ikut serta merehabilitasi sesama
terpidana. Dengan kelebihan tertentu, seorang terpidana diharapkan dapat menjadi
semacam jembatan mengentaskan terpidana lain dari lembah kriminal karena tenaga
pemasyarakatan yang relatif terbatas.
Bagaimana kaitan kelima model itu dengan koruptor terpidana yang terus menyesaki
Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan (Rutan) kita? Kalau langsung
diterapkan model treatment yang kelima, tentu bukanlah persoalan bagi para
koruptor terpidana. Mereka rata-rata punya kemampuan ekonomi mapan, pendidikan
tinggi, dan keterampilan cukup mumpuni. Buktinya, banyak di antara mereka mampu
membeli kamar hotel prodeo. Model ini tetap saja bisa diterapkan. Tapi, sebaiknya penerapan model ini dikombinasikan dengan the
Work-Ethic Model atau, bahkan, the Monastic Model. Ada punishment
dan deterrent. Beberapa waktu lalu sempat muncul usulan seragam khusus
buat koruptor. Nah, dengan seragam khusus tadi, para koruptor terpidana dapat
saja dipekerjakan dalam satu kamp perbaikan tanggul Situ Gintung yang jebol. Bila
ada kekhawatiran si terpidana kabur, maka mereka dikait dalam satu rantai
panjang sesama koruptor. Toh, tatkala
melakukan korupsi mereka bersama-sama bertindak dan berbagi hasil.
Persoalannya, siapkah para aparat penegak hukum kita untuk mengakhiri
perilaku korupnya, perilaku kongkalikongnya dengan para mafia koruptor dan
mafia peradilan? Di sini lah kuncinya. Jangan ada lagi dusta di penegak hukum,
jangan ada lagi perseteruan cicak dan buaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar