Dipublikasikan pada: 16 February 2011
Oleh: Ust. Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Insiden kekerasan yang berulangkali terjadi, akibat konflik SARA di negeri ini, telah memunculkan ragam persepsi dan cara pandang yang salah terhadap agama dan gerakan keagamaan. Aksi anarkhi, seakan telah menjadi budaya dan gaya hidup sebagian masyarakat Indonesia, dalam mengatasi problem sosial dan politiknya. Sehingga, ikhtiyar pemerintah meredam kekerasan, menggunakan SKB tiga menteri, termasuk melakukan deradikalisasi agama untuk tujuan kerukunan, terbukti tidak efektif bahkan cenderung gagal.
Budaya anarkhi menggunakan senjata pisik, berupa amuk massa, tindakan kekerasan, sudah sering kita dengar dan rasakan akibat buruknya. Implikasi kekerasan, bisa berimbas pada keresahan sosial, ekonomi, budaya, politik, juga agama. Selain keresahan sosial, kategori kekerasan juga bisa amat beragam, antara lain kekerasan sparatis, kekerasan negara terhadap rakyat, dan kekerasan antarumat beragama.
Bentuk kekerasan lain, yang implikasi konfliknya lebih menyakitkan dari kekerasan fisik adalah kekerasan retorika (verbal). Yaitu, kekerasan yang diciptakan berdasarkan persepsi dengan manipulasi data dan fakta untuk kepentingan semu. Misalnya, menuding komunitas tertentu sebagai ektrimis, garis keras, radikal, preman berjubah, teroris, musuh negara, tanpa parameter yang jelas dan obyektif. Kenyataannya, labelalisasi verbal, malah lebih jahat dari kekerasan pisik. Apalagi, jika si penuding memosisikan diri berseberangan dengan yang dituding, dengan mengaku moderat, realistis agamis dsbnya.
Bukan Kekerasan Agama
Ironinya, dari seluruh kasus kategori kekerasan, yang paling banyak diprotes dan disalah pahami adalah kekerasan bernuansa agama, terutama dalam perspektif hubungan antaragama dan internal umat beragama. Padahal, tindak kekerasan yang mengatasnamakan demokrasi dan hak asasi manusia, lebih sering terjadi, baik yang dilakukan oleh orpol, LSM, maupun yang dilakukan penguasa diktator terhadap rakyatnya. Termasuk kekerasan ideologi yang ditimpakan negara-negara imprialis terhadap negara lain yang ingin ditaklukkan secara politis, ekonomi serta militer.
Masalahnya, benarkah agama menjadi penyebab sebagian besar konflik antar umat beragama di Indonesia? Pertanyaan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia kini, khususnya bila dikaitkan dengan dua peristiwa kekerasan SARA baru-baru ini yang meledak hampir bersamaan. Yaitu, peristiwa benterokan antara sekte Ahmadiyah dan warga masyarakat Cikeusik, Pandeglang, pada Minggu 6 Februari 2011. Kemudian, amuk massa di Temanggung terjadi pada Selasa 8 Februari 2011. Penyebabnya, adalah provokasi Antonius Richmond Bawengan, dengan menyebarkan selebaran yang menghina dan menista agama Islam, pada 3 Oktober 2010. Richmond pun, dihukum 5 tahun penjara karena dosanya itu.
Relevansi pertanyaan di atas karena dua alasan. Pertama, pernyataan Presiden RI ke-6, Jenderal Doktor Haji Susilo Bambang Yudoyono, terkait kerusuhan di Pandegelang dan Temanggung, yang bersifat apologi dan terkesan mendiskreditkan tokoh lintas agama, karena beberapa waktu lalu menghujat pemerintahannya sebagai rezim pembohong.
Nampaknya, pernyataan yang disampaikan dalam peringatan Hari Pers Nasional, Rabu 9 Februari 2011, di aula El Tari, kompleks Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur, Kupang, dinilai banyak pihak sebagai upaya mengalihkan kesalahan dan tanggungjawab pada pihak lain. Alih-alih merasa bersalah dan melakukan ishlah, Presiden SBY justru menyoal peran para tokoh agama, agar tidak hanya mengeritik pemerintah, tapi juga tanggungjawab moral kaum agamawan untuk menciptakan kerukunan umat beragama.
“Jika kita semua peduli berkomitmen menjaga kerukunan dan toleransi bukan hanya di mulut, termasuk bimbingan pemuka agama dan tokoh masyarakat, kerusuhan bisa dihindari” tegasnya.”
Alasan kedua, kriminalisasi agama yang dilakukan kaum sekuler dan liberal. Setiapkali terjadi konflik bernuansa agama, mereka selalu menuduh agama sebagai sumber konflik. Lalu, ujung-ujungnya menuntut moderasi ajaran agama, serta mengambangkan semua ajaran agama sebagaimana doktrin sekularisme, komunisme dan liberalisme. Dalam kasus sekte sesat Ahmadiyah, jelas telah melakukan penodaan Islam dan melanggar kesepakatan dengan pemerintah; mengapa justru mendapat pembelaan dari kaum liberal?
Melestarikan keyakinan sesat, ibarat kata, madu yang diyakini lezat dan menyehatkan, di tangan kaum sekuler, bisa berubah seolah empedu yang pahit rasanya. Untuk kepentingan ini, kaum liberal memproduksi dan terus mereproduksi provokasi yang dapat merenggangkan hubungan antarumat beragama, dengan menonjolkan perbedaan masing-masing agama.
Presiden SBY pun terjebak dalam provokasi kaum sekuler supaya membubarkan gerakan agama yang distigma anarkhis. Padahal, pembubaran ormas keagamaan, pastilah akan jadi bumerang bagi LSM sekuler, liberal, dan anti agama, yang selama ini menjadi antek asing di dalam negeri.
Provokasi melalui SMS yang disebarkan oleh Ketua Yayasan Abad Demokrasi, Denny JA, dapat menunjukkan hal itu: “Negara terkesan tak berdaya di hadapan amuk massa yang membunuh dan membakar rumah ibadah. SBY harus sama-sama kita dorong agar lebih tegas dan berani menghancurkan organisasi yang melakukan kekerasan atas nama agama,” katanya.
Menilik SMS yang dipublikasikan NUSAnews, 9/2/2011 jam 15:25, bukan mustahil kerusuhan antar umat beragama, disulut dan di rekayasa kaum liberalis dan sekuler. Sebab, dalam berbagai insiden kekerasan, perbedaan agama bukan menjadi penyebab konflik, melainkan akibat dari masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, penodaan agama, pemurtadan, serta pembangunan rumah ibadah.
Agama yang benar tidak diciptakan untuk menjadi alat permusuhan, melainkan untuk menuntun manusia ke jalan lurus yang diridhai Allah Swt. Ketika ajaran agama dipaksa tunduk pada kepentingan politik dan nafsu manusia, baik atasnama demokrasi maupun toleransi, maka pada saat itu agama telah diperalat sebagai senjata konflik. Bahayanya, manakala terjadi konflik antarumat beragama, lalu agama tidak diberi peluang memberi solusi untuk kepentingan bersama, niscaya akan menyulut konflik dan permusuhan yang sulit dibayangkan akibatnya.
Solusi Negara dan Agama
Kerusuhan merupakan bentuk frustrasi sosial masyarakat. Korban maupun yang dikorbankan sama-sama menjadi korban kekuasaan zalim dan korup. Maka jangan dikompori dengan kutukan. Apalagi ada komunitas tertentu yang tampil sok pahlawan kemanusiaan, membela aliran sesat, menjaga gereja dari amuk massa. Para tokoh agama sebaiknya menasihati umat agama masing-masing, jangan mengutuk tanpa pertimbangkan pemicunya. Itu kezaliman. Aparat keamanan supaya tidak diskriminatif, jangan bertindak menyenangkan minoritas atau pihak asing. Jangan pula, meneruskan kebiasaan jahat rezim orde baru, “sulut apinya, padamkan kemudian.”
Mengatasi kekerasan SARA dengan mengutuk pelaku kekerasan, tanpa menghentikan pemicunya, adalah zalim dan sia-sia. Akan lebih baik, bila pemerintah menyelesaikannya secara konstitusional, sebagaimana tertera dalam UUD 1945 ps 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi : “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pertanyaannya, bagaimana implementasi UU tersebut dalam tatanan sosial kenegaraan? Sampai sekarang belum ada penjelasan pemerintah. Bahkan sepanjang sejarah kemerdekaan, semua Presiden Indonesia mengkhianati UUD ’45 ps 29 ayat 1 dan 2 ini, dan belum pernah mengamalkannya secara konsekuen.
Seorang mufassir Pancasila, Prof. Dr. Hazairin, SH dalam buku ‘Demokrasi Pancasila’, menafsirkan rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1dan 2 itu sebagai berikut: Pertama, di negara RI yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.
Masalahnya sekarang, apakah para tokoh agama bersedia memelopori pelaksanaan UUD ’45 ini, yaitu membangun kehidupan berbangsa dan bernegara berbasis agama, sebagaimana tafsir Hazairin?
Adapun solusi kasus Ahmadiyah, Menag menawarkan 4 opsi cukup obyektif: pertama, menjadi sekte atau agama tersendiri tanpa menggunakan atribut agama Islam, seperti masjid, Al Quran, dan Sunah Nabi Saw. Kedua, kembali menjadi umat Islam yang sesuai tuntunan Al Quran. Ketiga, Ahmadiyah dibiarkan saja dengan keyakinan sesatnya, sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dan keempat, dibubarkan.
Apabila semua opsi ditolak, maka Ahmadiyah jangan pengecut, harus berani mempertanggung jawabkan sikapnya melalui debat terbuka. Jika terbukti Ahmadiyah memiliki doktrin kemurtadan, mereka wajib melepaskan identitasnya sebagai bahagian dari umat Islam. Akan tetapi, bila dihakimi secara sepihak, Ahmadiyah akan merasa diperlakukan secara dzalim. Debat diperlukan, bukan untuk membenarkan Ahmadiyah yang memasng sesat, tetapi antisipasi simpati dan pembelaan aliran sesat lainnya. Sekiranya Menag bersedia memfasilitasi debat terbuka, Majelis Mujahidin pendaftar pertama sebagai lawan debat Ahmadiyah. Insya Allah!
Jogjakarta, 9 Februari 2011
Irfan S Awwas
Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar