Bagai jatuh tertimpa tangga. Yunani yang kini dirundung kebangkrutan harus
menerima ribuan pengungsi dari Suriah dan Afganistan. Pemerintah pusat dan
lokal kewalahan.
==============
Situasi
pengungsi di Pulau Kos, Yunani, mendekati bencana kemanusiaan. Ribuan orang
pengungsi terpaksa dikurung di dalam stadion tanpa makanan dan minuman.
Pemerintah Pulau Kos memperingatkan bahaya pertumpahan darah.
Walikota
Pulau Kos, Yunani, Giorgos Kyritsis, sedang panik. Pasalnya, Pulau Kos yang
indah dan menjadi favorit para turis itu sedang kebanjiran pengungsi dari
Suriah, Afganistan dan wilayah konflik lainnya. Dalam sebuah surat kepada
pemerintah pusat, ia mengeluhkan situasi di kamp-kamp pengungsian, dan betapa
pemerintahannya kewalahan.
"Saya
peringatkan, ancaman pertumpahan darah sangat nyata," tulisnya. Rusuh di Pulau
Kos muncul ketika pengungsi berdemonstrasi meminta dokumen yang mengizinkan
mereka berpergian ke Eropa daratan.
Beberapa
pengungsi menyambangi markas kepolisian untuk mendaftarkan diri. Namun polisi
memaksa pendaftaran dilakukan di dalam stadion. Ketika petugas yang datang cuma
tiga orang dan membuat proses pendaftaran menjadi lambat, pengungsi mulai
kehabisan sabar.
Yang
kemudian dilakukan pemerintah lokal adalah menurunkan polisi antihuru-hara dan
mengurung sekitar 2.500 orang pengungsi di sebuah stadion selama 24 jam. Mereka
yang kebanyakan datang dari Suriah dan Afghanistan itu terpaksa berjejalan
tanpa air dan makanan. Baru setelah 20 jam berlangsung, pemerintah mengirimkan
enam toilet darurat buat pengungsi.
"Ini
adalah untuk pertama kalinya kami melihat hal semacam ini terjadi di
Yunani," kata Julia Kourafa, dari Médecins sans Frontières, sembari
menambahkan, "Mereka dikurung di dalam stadion dan diawasi oleh polisi
antihuru-hara. Kita berbicara mengenai nasib ibu, anak-anak dan kaum
manula."
Ratusan
migran berdatangan setiap hari ke Pulau Kos yang berdekatan dengan Turki itu. Tidak
cuma pemeritah, organisasi bantuan dan penduduk yang mencoba membantu pun
kewalahan. Situasi serupa terjadi di beberapa pulau lain di Yunani.
Kendati
situasi mengenaskan di Pulau Kos, sebagian besar dari 1,6 juta pengungsi Suriah
dan Afghanistan yang transit di Turki tetap berencana hijrah ke Yunani.
Mousa,
bekas mahasiswa sastra Inggris, berniat berlayar ke Pulau Kos akhir Agustus
nanti, katanya kepada Guardian. Niatnya tidak luruh bahkan setelah
menyaksikan laporan mengenai kerusuhan di stadion dari televisi. Dia mengaku
akan membeli paspor Uni Eropa palsu di Pulau Kos.
"Saya
akan tetap pergi karena saya berencana tiba di Kos dan langung pergi ke airport,
lalu terbang ke negara lain di Eropa. Jadi saya tidak harus berurusan dengan
otoritas di Yunani," ujarnya.
Bantuan internasional
Menanggapi
keluhan Walikota Pulau Kos, Perdana Menteri Yunani, Alexis Tsipras, langsung berteriak
ke dunia internasional. Dia meminta negara-negara Eropa turut membantu dalam
menangani puluhan ribu pengungsi yang datang dari Suriah, Afghanistan dan zona
perang lainnya. Dia mengakui negaranya kekurangan uang sehingga tidak mampu sendirian
menangani pengungsi.
Masuknya
pengungsi telah menambahkan beban dan tekanan pada layanan Yunani pada saat
warga negaranya sendiri tengah berjuang keras menghadapi kebijakan pemotongan nilai
mata uang dan pemerintahnya sedang melakukan negosiasi dengan Uni Eropa dan Dana
Moneter Internasional (IMF) untuk pinjaman segar guna mencegah ekonomi kolaps.
"Muatan
kapal migran yang datang setiap hari telah memicu krisis kemanusiaan dalam
krisis ekonomi," katanya setelah pertemuan dengan para menteri sebagaimana
dilansir Reuters akhir pekan lalu.
"Uni
Eropa sedang diuji pada masalah Yunani. Ini telah merespon negatif di hadapan
ekonomi. Itulah pandangan saya, saya berharap itu akan merespon positif di
hadapan kemanusiaan," katanya lagi.
Komentar
itu muncul karena badan pengungsi PBB (UNHCR) meminta Yunani untuk mengambil
kontrol dari "kekacauan total" di pulau-pulau Mediterania, di mana
ribuan migran telah mendarat. Sekitar 124.000 migran (pengungsi) telah tiba
tahun ini melalui laut, banyak yang melalui Turki, demikian diungkapkan Vincent Cochetel, direktur UNHCR untuk Eropa.
"Tingkat
penderitaan yang telah kita lihat di pulau-pulau itu sudah tak tertahankan lagi.
Orang-orang yang datang berpikir mereka berada di Uni Eropa. Apa yang kita
lihat bukan sesuatu yang dapat diterima dalam hal standar pengobatan,"
kata Cochetel setelah mengunjungi pulau-pulau Yunani Lesbos, Kos dan Chios.
"Saya
belum pernah melihat situasi seperti itu. Ini adalah Uni Eropa dan ini
benar-benar memalukan," ia menambahkan. (*)
IOM Desak Bantuan Nyata Uni Eropa
Menanggapi
krisis dan kerawanan sosial di Pulau Kos dan sekitarnya, Organisasi
Internasional untuk Migrasi (IOM) melakukan kampanye meminta Uni Eropa untuk
lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan para pengungsi yang tiba di Eropa.
Juru
bicara IOM, Itayi Viriri, mengatakan, Uni Eropa bertanggung-jawab untuk
menciptakan rasa aman dan sesuai jalur hukum bagi para pengungsi yang telah
melakukan perjalanan berbahaya ke benua tersebut.
“Sebuah
awal yang baik perlu koordinasi antara negara-negara anggota Uni Eropa untuk
menangani pengungsi,” demikian Press Tv melaporkan seperti dikutip Mi’raj
Islamic News Agency (MINA), akhir pekan lalu.
“Sejauh
ini hanya Italia dan Yunani yang mengambil bagian dalam jumlah yang signifikan,
dan negara-negara Uni Eropa lainnya harus mengambil lebih banyak pengungsi dan
membuka saluran yang lebih aman dan jalur hukum migrasi,” kata Viriri.
Diperkirakan
bahwa beberapa negara Eropa akan membutuhkan dalam jumlah yang berarti para
pengungsi itu untuk mendukung perekonomian mereka selama beberapa dekade yang
akan datang, paparnya.
“Namun
mereka mengabaikan semua orang-orang berbadan sehat dan sebagian besar anak
muda yang meninggalkan negara asal mereka dengan keinginan yang kuat, kemauan
untuk bekerja dan menjadi bagian produktif dari masyarakat menemukan diri
mereka, “ ujar Viriri.
Viriri
menambahkan, IOM juga sangat peduli tentang risiko para pengungsi untuk
melakukan perjalanan ke Uni Eropa, dan risiko tindakan kriminal penyelundupan
manusia (dengan cara mengambil uang dari orang-orang yang putus asa) dan
menyebabkan penderitaan serta kehilangan nyawa.
“Kita
seharusnya peduli pada mereka yang menghadapi risiko kehilangan nyawa di laut
dengan cara yang kita saksikan sekarang. Para pengungsi seharusnya tidak
terpojok ke tingkat putus asa, “ tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar