ad

Selasa, 02 Agustus 2016

Dua Mantan Petinggi Lippo Mangkir dari Panggilan KPK

Dua Mantan Petinggi Lippo Mangkir dari Panggilan KPKKPK menahan Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pihak swasta ke PN Jakarta Pusat. Kasus ini melibatkan sejumlah mantan petinggi Lippo Group, di antaranya Eddy Sindoro dan Suhendra Atmadja. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/16).
 Dua mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro dan Suhendra Atmadja mangkir dari pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, Eddy dan Suhendra tanpa keterangan tidak memenuhi panggilan KPK untuk bersaksi bagi tersangka mantan Panitera Pengganti PN Jakpus, Edy Nasution.

"Untuk dua saksi EN, yaitu Suhendra Atmadja dan Eddy Sindoro sampai saat ini penyidik belum mendapat informasi terkait ketidakhadirannya," ujar Yuyuk melalui pesan singkat, Senin (1/8).


Satu saksi lain, yaitu Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International Ervan Adi Nugroho sampai saat ini masih menjalani pemeriksaan. Ervan juga diperiksa sebagai saksi bagi Edy Nasution dan dugaan keterlibatannya dalam suap tersebut.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (29/7) lalu, pemberi suap Doddy Aryanto Supeno diketahui memberikan uang suap tersebut bersama sejumlah petinggi Grup Lippo lainnya yakni Eddy Sindoro, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti.

"Terdakwa adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro," kata Jaksa Penuntut Umum Fitroh Rohcayanto, Rabu (29/6).

Fitroh menerangkan, perkara yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu melibatkan dua anak perusahaan Grup Lippo. Mereka adalah PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco) serta PT First Media melawan PT Across Asia Limited (AAL).
Perkara PT MTP berawal ketika mereka tak memenuhi panggilan aanmaning atau peringatan pengadilan untuk melaksanakan putusan perkara perdata dengan PT Kymco. Eddy Sindoro kemudian memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan pemanggilan tersebut.

"Menindaklanjuti perintah itu, Wresti kemudian menemui Edy Nasution dan meminta penundaan yang disetujui Edy Nasution dengan imbalan sebesar Rp100 juta," kata jaksa.

Sementara itu, perkara PT AAL bermula dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan PT AAL pailit pada 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, PT AAL memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Namun, hingga batas akhir waktu tersebut, PT AAL tidak segera mengajukan PK. Jaksa menyatakan demi kredibilitas perusahaan yang tengah berperkara di Hong Kong itu, Eddy Sindoro kemudian kembali memerintahkan Wresti untuk mengupayakan pengajuan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Wresti menemui Edy Nasution dan meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meski waktu pendaftarannya sudah lewat," ucap jaksa Fitroh.

Dalam dakwaannya disebutkan, Edy tidak bersedia lantaran waktu pengajuan PK sudah lewat. Namun Wresti kemudian menawarkan sejumlah uang pada Edy dan disepakati jumlah sebesar Rp50 juta.

(http://www.cnnindonesia.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar