Yance Mahuze, tokoh masyarakat Suku Yei, dari Kampung Toray, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, tak mampu menyembunyikan kesedihan. Matanya tampak berkaca-kaca. Ada apa? Dia memandangi hutan adat sudah berubah menjadi kebun sawit. Ada oknum Suku Marind, Sub Suku Yeinan, mau menjual lahan mereka ke perusahaan.
Padahal, daerah itu tepat di bantaran hulu DAS Maro, yang mengaliri seluruh kampung hingga di Kota Merauke.
Perkampungan Suku Yei terdiri dari Kampung Erambo, Kampung Toray, Kampung Poo, Kampung Kweel, Kampung Bupul serta Kampung Tanas. Untuk mencapai kampung-kampung ini, harus melalui Jalan Trans Papua.
Sawit tak hanya ada di Distrik Sota, juga di Elikobel. Mahuze miris karena sejauh mata memandang, hutan yang dulu penuh pepohonan, kini berganti sawit.
Dulu, katanya, hutan lebat, kalau ingin mengunjungi saudara yang tinggal di PNG, cukup berjalan kaki beberapa jam sudah sampai. Kini, pepohonan hilang, cuaca jadi panas. “Perlu lebih sehari baru sampai PNG,” katanya.
Pemda Merauke maupun Papua, katanya, membolehkan para investor sawit mendatangi Suku Yei, dan bebas menebang kayu atas nama pembangunan dengan luasan tak terhingga. Banyak tempat sakral, tempat persinggahan leluhur dan kuburan, sampai hutan sagu, terbuka.
“Tempat yang dulu sangat dilarang (dibuka) sekarang dibuka demi tanaman sawit,” katanya.
Dia bilang, ada dua perusahaan sawit sedang beroperasi di hutan Yeinan, perbatasan Indonesia-PNG, yaitu, PT. Internusa Jaya Sejatera dan PT. Agripima Persada Mulia.
Awal masuk, perusahaan-perusahaan ini berjanji mempekerjakan anak Yeinan. “Janji tinggal janji. Kini, hutan, kali, rawa, binatang di Yeinan, bukan milik mereka lagi,” katanya.
Kala gereja katolik masuk di daratan Yeinan, memperkenalkan karet, hingga penduduk setempat rajin menanam.
Kala hulu DAS Kali Maro kena pembukaan hutan buat sawit terjadi pendangkalan. Satwa air pun tak betah hidup di Kali Maro. Dia bilang, banyak kura-kura naik ke darat berteduh di pohon tinggi. Biasanya, warga menemukan kura-kura di pinggir Kali Maro. Begitu juga buaya, dulu banyak di Kali Maro, sekarang pindah ke Kali Wanggo.
“Pemda Merauke, harus menyetop investor ke Yeinan lagi,” katanya.
Kini, aparat Kampung Toray berencana membangun hutan lagi dengan meremajakan tumbuhan asli Suku Yei. Mereka akan menggunakan dana kampung.
Sebelum jadi sawit, katanya, tumbuhan hutan banyak ditemui adalah gambir. Tumbuhan ini juga makanan kasuari.
Selain tumbuhan asli, mereka juga berencana tanam karet di sepanjang kiri kanan jalan Kampung Toray. Selain bisa jadi penghijauan, getah bisa disadap. “Trans Papua Merauke-Boven Digoel, Trans Papua antara Merauke dan Distrik Jagebob, ditanami karet,” katanya.
Egenius Baljai, Ketua Adat Kampung Kweel dalam diskusi pemetaan partisipatif di Merauke, mengatakan, seluruh warga adat Yeinan agar tak lagi menjual hutan dan tanah kepada investor sawit.
Sekarang, katanya, tanah Yeinan tinggal sedikit dan harus terjaga sebagai lumbung pangan masyarakat sendiri.
“Hidup mati terletak di mama (tanah). Maka stop jual hutan dan tanah. Hidup dan mati kita di atas tanah Yeinan,” katanya.
Menurut dia, soal batas wilayah Orang Yeinan, yang tak boleh terganggu perusahaan, sebenarnya sudah ada kesepakatan bersama ditandatangani Bupati Merauke, Frederikus Gebze disaksikan beberapa LSM dari Merauke, Jakarta dan Jayapura.
L Franky dari Yayasan Pusaka mengungkapkan, di Merauke, hanya dua perusahaan sawit anggota Rountable Sustainable on Palm Oil (RSPO) yaitu PT. Agripima Cipta Persada dan PT. Angrinusa Persada Mulia, anak usaha PT. Ganda Group.
Bila perusahaan jadi anggota RSPO, katanya, harus mengikuti standar kriteria investasi sawit, seperti prinsip keterbukaan, menghargai HAM dan meminta persetujuan warga sebelum masuk satu wilayah.
“Artinya masyarakat harus tahu, jenis perusahaan, areal berapa luas, harus memetakan tempat-tempat penting seperti dusun sagu, bantaran sungai dan lain-lain.”
Walau sudah jadi kebun sawit, katanya, seharusnya akses masyarakat dibuka “Artinya, kawasan harus diberi akses pada masyarakat untuk terus mengelola hingga pabrik sawit. Mereka, juga harus menjaga dusun agar jangan tergusur,” katanya.
Yosehi Mekiuw, Dekan Faperta Universitas Musamus Merauke (Unmus) mengatakan, sekarang hulu DAS Kali Maro berubah drastis. Dia menyangkan, penduduk sekitar sawit hanya menjadi pelengkap penderita.
Ada standar-standar sawit ‘hijau’ baik RSPO maupun Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tak mampu menghindari warga dari masalah, hutan Suku Yei hilang juga.
“Sawit ramah lingkungan seperti apa? Kita semua tak tahu,” katanya.
Dosen asal Suku Yei ini merasa sejak awal perusahaan telah membuka hutan melebihi ketentuan hingga tempat sakral, dusun sagu, tempat keramat, kuburan tuan, kampung lama habis terbabat jadi sawit.
Dia juga khawatir penebangan kayu di hulu DAS Kali Maro. Seharusnya, kata Mekiuw, ada keharmonisan antara vegetasi lingkungan.
“Jangan semena-mena membuka hutan akibatnya ketersediaan air untuk segala makluk hidup sepanjang masa terganggu. Ingat, sifat air selalu mengalir, kalau di hulu sudah rusak pasti aliran rusak semua.”
Dia juga bicara soal pemetaan tempat penting, katanya, yang sudah dilakukan baik Pemda Merauke, maupun LSM lingkungan. “Pemetaan diatas pemetaan akhirnya amburadul dan tak berjalan. Hasilnya tumpang tindih. Masyarakat juga akhirnya menjadi korban, tanah mereka terjual habis untuk investor sawit, dan rajin membuka hutan lagi,” katanya.
Seharusnya, katanya, Pemda Merauke, bikin satu pintu soal keluar masuk investor hingga ada pengawasan jelas.
“Jangan kita bicara sebatas konsep.”
Mekiuw menyayangkan, beberapa peneliti konon dari luar Merauke meneliti segala sumber alam daerah itu tetapi tinggal di Jawa. “Jika tenaga mereka diperlukan baru datang,” katanya.
Sedang Unmus, universitas di Merauke, berisi para peneliti besar, tinggal dan bekerja di Merauke, tak pernah dilibatkan. Dia bilang, Unmus, bisa berperan dengan dilibatkan dalam bahasan-bahasan tata kelola lahan di daerah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar