Narkoba terus menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan
dan kemasyarakatan. Sedikitnya 4 juta orang menjadi korban narkoba dan sekitar
12 ribu di antaranya mati saban tahun. Saatnya perang melawan mafia narkoba.
================
Perlawanan bandar narkoba telah menunjukkan kebrutalan
kepada petugas ketika akan memutus mata rantai barang haram itu. Peristiwa
penggerebekan markas Oma Yola di kawasan Berlan, Matraman, Jakarta Timur, yang
menewaskan Bripka Taufik dan seorang informan memperlihatkan gelagat kebrutalan
itu. Demikian pula peristiwa di Sumatera Utara, seorang anggota personel Satres
Narkoba Polresta Medan tertembak, dan seorang terkena lemparan batu saat
melakukan penggrebekan salah satu rumah terduga tempat peredaran narkoba di
Desa Pematang Johar, Dusun Sukaria, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten
Diliserdang. Ini salah satu pertanda dimulainya “perang terbuka” terhadap
bandar narkoba.
Bahkan bandar narkoba kini berlindung di balik masyarakat
untuk melindungi diri untuk melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum.
Masyarakat selalu dijadikan tameng ketika terjadi penggrebekan oleh aparat
keamanan. Keberanian bandar narkoba melakukan perlawanan juga menunjukkan bahwa
kelompoknya sudah kuat. Jaringannya sudah luas, bahkan sudah memiliki senjata
api dan “pasukan”. Ini benar-benar tantangan berat bagi aparat penegak hukum
dalam melakukan penumpasan dan menangkap para bandar narkoba. Perlawanan ini
juga menunjukkan peredaran narkoba sudah sampai pada titik kritis.
Di tengah situasi kritis itu, Kepala Badan Narkotika
Nasional (BNN) Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Budi Waseso, menyatakan
seluruh lapisan masyarakat harus perang narkoba. Apalagi, Presiden Joko Widodo
menyampaikan Indonesia darurat narkoba.
"Bila Bapak Presiden Joko Widodo menyampaikan Indonesia
darurat narkoba. Maka, kita perang narkoba, semua unsur harus beri perlawanan
kepada bandar narkoba," ujarnya saat mengunjungi Kampung Kubur, Medan
Petisah, Sumatera Utara, Rabu (20/1).
Dia menambahkan pihaknya sangat berterima kasih kepada
Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang punya keinginan melakukan perlawanan
terhadap bandar narkoba.
"Kemarin ada kejadian personel Polresta Medan terluka
dan tertembak karena ada perlawanan dari bandar narkoba. Kenapa bandar narkoba
melakukan perlawanan saat penggerebekan berlangsung? Karena mereka merasa ruang
geraknya menyempit karena aparat kepolisian melakukan penggerebekan,"
ujarnya.
Kepala BNN, Komjen Budi Waseso bersama Kapolda Sumatera
Utara Irjen Pol Ngadino dan Plt Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi
berkunjung di Kampung Kubur. Kedatangan pejabat itu disambut para Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kota Medan serta Kapolresta Medan, Kombes
Pol Mardiaz Kusin Dwihananto.
Usai berkeliling kampung, Budi Waseso berbincang-bincang
bersama masyarakat sembari berikan penjelasan tentang bahaya narkoba. Dan warga
Kampung Kubur pun bertekad membersihkan perkampungannya dari aktivitas
peredaran dan pemakaian narkoba.
Komjen Budi Waseso menegaskan, maraknya peredaran narkotika
di Indonesia telah mengancam masa depan generasi penerus bangsa. Sudah
sepatutnya pula bandar narkoba ditindak tegas. Ironinya, Sumatera Utara
menduduki ranking ketiga seluruh Indonesia atas luasnya peredaran narkoba. Patut
diwaspadai karena saat ini bandar dan mafia narkoba sedang membentuk pangsa
pasar baru. Ada operasi regenerasi pangsa pasar yang dibiayai mafia narkotika
dengan sasarannya anak-anak mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan
tinggi.
Bahkan sepak terjang mafia narkoba tidak lagi mudah dilacak.
Hal ini tampak pada terungkapnya kasus tindak pidana narkotika yang selalu
berkaitan erat dengan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang merupakan
sarana dalam mengaburkan hasil keuntungan dari bisnis Narkotika. Pertengahan
Januari 2016 lalu, bekerjasama dengan PPAT dan jajaran Dirjen Lapas khususnya
Lapas Cipinang, Lapas Nusakambangan, dan Lapas Medaeng Sidoarjo, BNN berhasil
mengungkap kasus TPPU dengan menangkap seorang tersangka berinisial GP (pria/57tahun)
dengan total aset yang disita sekitar Rp 17 miliar. Tersangka ditangkap di
rumahnya di Perumahan Tebing Indah Permai No.10-11 A, Kelurahan Bandar Utama,
Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Penangkapan GP terkait dengan peredaran gelap narkotika di
daerah Surabaya, Jakarta, Cilacap, Tebing Tinggi, dan beberapa daerah lainnya.
GP yang pernah dipenjara karena kasus narkotika pada tahun 2000 sampai dengan
2010 ini diketahui memiliki keterkaitan dengan jaringan peredaran gelap
narkotika dengan tersangka Pony Chandra (Napi Lapas Cipinang dengan vonis 20
tahun kasus Narkotika dan 6 tahun kasus TPPU), Sodikin (Napi Lapas Medaeng
Sidoarjo dengan vonis seumur hidup kasus Narkotika dan 5 tahun kasus TPPU),
Amir Mukhlis als Sinyo (Napi Lapas Nusakambangan dengan vonis 20 tahun
penjara), Boski als Surya Bahadur Tamang als David (WN Nepal, Napi
Nusakambangan dengan vonis 20 tahun penjara kasus Narkotika dan 10 tahun kasus
TPPU), dan Ananta Lianggara als Alung als Alvin Jayadi (Napi Lapas Narkotika Cipinang dengan vonis 20 tahun penjara).
Dari pola dan skenario yang dilakukan para mafia narkoba
ini, jelas mereka telah melakukan perencanaan secara massif dan terstruktur
untuk “membunuh” generasi muda melalui narkoba. Ini lebih berbahaya dan dahsyat
dibanding dengan bom teroris. Kalau teroris korbannya langsung mati, sedang
narkoba membuat korbannya mati perlahan. Negara juga dirugikan lantaran
generasinya rusak secara mental-spiritual. Kalau anak-anak sekolah dasar hingga
perguruan tinggi sebagai sasaran utama, maka situsai ini benar-benar darurat
narkoba. Perlu langkah-langkah strategis dan terencana untuk melawan mafia.
Aparat penegak hukum tidak boleh kalah dalam memberantas
peredaran narkoba dan menindak tegas bandar ataupun masyarakat yang menghalang-halangi.
Perlawanan para bandar narkoba harus dihadapi. Kalau harus ditembak mati,
lakukan. Perlu kesadaran bersama dalam memberantas peredaran dan pengunaan
narkoba. Masyarakat harus ikut membantu aparat penegak hukum dan menjadi mata
terlinganya polisi dan BNN. Karena para bandar narkoba sudah bersatu, maka
seluruh elemen masyarakat dan aparat penegak hukum juga bersatu untuk melakukan
perlawanan.
Tindakan tegas aparat penegak hukum harus konsisten. Harus
secara terus-menerus melakukan penggrebekan di daerah-daerah yang diduga
sebagai basis peredaran narkoba. Jangan beri ruang gerak sedikitpun bagi
pengedar dan bandar. Apalagi bandar narkoba yang selalu membawa-bawa nama
aparat sebagai tameng buat melindungi kegiatannya. Bukan zamannya lagi, semua
harus ditumpas habis tanpa pandang bulu. Sehingga mata rantai peredaran narkoba
itu benar-benar terputus.
Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) mendukung
langkah tegas Polri berperang melawan
jaringan narkoba seperti dalam penembakan bandar narkoba Rico di kawasan Johar
Baru, Jakarta Pusat, pada hari Jumat (22/1). "Negara, khususnya Polri,
jangan mau kalah perang melawan narkoba. Sebab narkoba sama bahayanya dengan
terorisme, apalagi ini ada kabar gembong narkobanya malah danai aksi
teroris," ujar Ketua Dewan Presidium Jari 98 Willy Prakarsa, Kamis (21/1).
Willy menyerukan kepada penegak hukum yang bertugas agar
tidak ragu menggunakan senjata api untuk melawan bandar narkoba. Sebab, saat
ini para bandar narkoba semakin ganas dan berani melawan petugas yang mengusik
bisnis haramnya. Sebab itu, terang dia, apapun dilakukan bandar narkoba agar
bisnisnya langgeng.
"Demi penegakan hukum, polisi harus tegas. Anggota
polisi juga tidak usah ragu-ragu gunakan senjata api. Bila perlu tembak mati
ditempat jika mereka lakukan perlawanan. Dalam keadaan terancam, polisi
diperbolehkan untuk melumpuhkan dengan senjata api. Jadi jangan takut
HAM," ungkapnya.
Yang juga tidak kalah penting, warga masyarakat harus mampu
menjadi polisi bagi dirinya sendiri dan lingkungan. Karena polisi yang baik
adalah masyarakat itu sendiri. Jadi perang terhadap bandar narkoba tidak musti
angkat senjata, tapi tindakan pencegahan dan melindungi keluarganya dari
pengaruh penggunaan narkoba. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar