Perum
Perhutani mengakui kawasan hutan produksi maupun hutan lindung di
pesisir selatan, mulai dari Malang selatan hingga Tulungagung sangat
rawan pembalakan liar.
"Luas wilayah dengan jumlah personel polisi hutan perhutani tidak sebanding, sehingga pengawasannya pun tentu tidak bisa optimal," kata Kepala Divisi Humas dan Agraria Perum Perhutani KPH Blitar, Heri Purwanto di Blitar, Jawa Timur, Minggu.
Ia menjelaskan, di tingkat KPH Blitar saat ini hanya memiliki 12 personel polisi hutan mobil (polhutmob).
Sementara, katanya, luasan hutan yang ada di bawah pengawasan KPH Blitar mencapai 57 ribu hektare (ha), terbentang mulai dari daerah Kalipare, Malang hingga Popoh, Tulungagung.
Menurut Heri, ketimpangan antara jumlah personel dengan luasan wilayah hutan yang begitu luas tersebut membuat komposisi perbandingan tanggung jawab pengawasan dan pengamanan hutan setiap polhutmob tidak ideal.
"Dua belas personel menjaga 57 ribu ha sekaligus, sama artinya satu personel bertugas menjaga wilayah seluas 4.750 ha. Ini sangat tidak ideal," ujarnya.
Heri lalu mencontohkan sistem pengawasan dan pengelolaan hutan negara oleh Perhutani di RPH Panggungkalak, Kecamatan Pucanglaban yang memiliki luas sekitar 3.500 ha.
Di areal wilayah yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung tersebut, Perhutani hanya menempatkan tiga personel yang terdiri dari satu mantri hutan dan dua mandor.
"Keterbatasan personel sementara harus menjaga wilayah seluas itu, ya 'pie maneh' (bagaimana lagi)," ujar Heri memberi gambaran riil di lapangan.
Solusi yang ditawarkan Perhutani melalui mekanisme pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) menurut Heri, sebenarnya sudah cukup solutif dalam menekan risiko pembalakan kayu hutan secara liar oleh oknum-oknum masyarakat.
Petani di dalam kawasan hutan yang diistilah sebagai pesanggem (petani penggarap) diberi keleluasaan untuk mengolah lahan hutan di bawah tanaman tegakan milik Perhutani yang masih muda.
Syaratnya, pesanggem harus ikut bertanggung jawab bersama Perhutani untuk menjaga agar tidak lagi terjadi pembalakan atau pencurian kayu hutan oleh masyarakat.
Namun konsep pengamanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ini pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan Perhutani.
"Kami akui masih ada, bahkan banyak pesanggem yang nakal karena ketika diberi keleluasaan mengelola lahan hutan di bawah tanaman tegakan, ada saja yang mengganggu tegakan agar tidak tumbuh dengan baik sehingga lahan di bawahnya tetap bisa mereka olah," ungkapnya.
Sebagai langkah solusi Perhutani hanya bisa melakukan pembinaan dengan mengefektifkan fingsi LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) guna mengontrol para anggotanya dalam melindungi hutan.
"Silahkan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Tapi 'wite ojo diketok, ojo dicolong' (tanaman tegakannya jangan ditebang, jangan dicuri), karena tanaman pokoknya pun nanti kalau panen petani juga mendapat sharing/bagian," kata Heri. (Ant)
"Luas wilayah dengan jumlah personel polisi hutan perhutani tidak sebanding, sehingga pengawasannya pun tentu tidak bisa optimal," kata Kepala Divisi Humas dan Agraria Perum Perhutani KPH Blitar, Heri Purwanto di Blitar, Jawa Timur, Minggu.
Ia menjelaskan, di tingkat KPH Blitar saat ini hanya memiliki 12 personel polisi hutan mobil (polhutmob).
Sementara, katanya, luasan hutan yang ada di bawah pengawasan KPH Blitar mencapai 57 ribu hektare (ha), terbentang mulai dari daerah Kalipare, Malang hingga Popoh, Tulungagung.
Menurut Heri, ketimpangan antara jumlah personel dengan luasan wilayah hutan yang begitu luas tersebut membuat komposisi perbandingan tanggung jawab pengawasan dan pengamanan hutan setiap polhutmob tidak ideal.
"Dua belas personel menjaga 57 ribu ha sekaligus, sama artinya satu personel bertugas menjaga wilayah seluas 4.750 ha. Ini sangat tidak ideal," ujarnya.
Heri lalu mencontohkan sistem pengawasan dan pengelolaan hutan negara oleh Perhutani di RPH Panggungkalak, Kecamatan Pucanglaban yang memiliki luas sekitar 3.500 ha.
Di areal wilayah yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung tersebut, Perhutani hanya menempatkan tiga personel yang terdiri dari satu mantri hutan dan dua mandor.
"Keterbatasan personel sementara harus menjaga wilayah seluas itu, ya 'pie maneh' (bagaimana lagi)," ujar Heri memberi gambaran riil di lapangan.
Solusi yang ditawarkan Perhutani melalui mekanisme pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) menurut Heri, sebenarnya sudah cukup solutif dalam menekan risiko pembalakan kayu hutan secara liar oleh oknum-oknum masyarakat.
Petani di dalam kawasan hutan yang diistilah sebagai pesanggem (petani penggarap) diberi keleluasaan untuk mengolah lahan hutan di bawah tanaman tegakan milik Perhutani yang masih muda.
Syaratnya, pesanggem harus ikut bertanggung jawab bersama Perhutani untuk menjaga agar tidak lagi terjadi pembalakan atau pencurian kayu hutan oleh masyarakat.
Namun konsep pengamanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ini pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan Perhutani.
"Kami akui masih ada, bahkan banyak pesanggem yang nakal karena ketika diberi keleluasaan mengelola lahan hutan di bawah tanaman tegakan, ada saja yang mengganggu tegakan agar tidak tumbuh dengan baik sehingga lahan di bawahnya tetap bisa mereka olah," ungkapnya.
Sebagai langkah solusi Perhutani hanya bisa melakukan pembinaan dengan mengefektifkan fingsi LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) guna mengontrol para anggotanya dalam melindungi hutan.
"Silahkan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Tapi 'wite ojo diketok, ojo dicolong' (tanaman tegakannya jangan ditebang, jangan dicuri), karena tanaman pokoknya pun nanti kalau panen petani juga mendapat sharing/bagian," kata Heri. (Ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar