ad

Minggu, 21 Desember 2014

Sejarah dari Penjara ke Lapas “Napi Juga Manusia”

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata penjara? Sebuah tempat yang sangat menakutkan bagi nara pidana (napi) karena harus dikungkung dalam jeruji besi sehingga tentu saja tak bisa kemana-mana, seperti yang sering kita saksikan dalam film-film. Sebagaimana nama yang disandang, penjara, konon, berasal dari kata penjera, yang itu berarti tempat untuk membuat orang jera.
Sampai ada sebuah film berjudul The Shawshank Redemption yang menceritakan sekawanan napi yang menyaksikan bus mengeluarkan napi-napi baru, dan mereka bertaruh siapa di antara orang-orang baru itu yang menangis pada malam pertama di penjara. Film adaptasi dari novela yang berjudul Rita Hayworth and the shawshank Redemption karya Stephen King yang terkenal dengan novel-novel horor itu menunjukkan betapa kehidupan di penjara memang amat sangat menakutkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara adalah “bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui, lembaga pemasyarakatan (lapas).” Istilah yang terakhir, yaitu lapas, kurang akrab di telinga, tapi kedengarannya tidak seseram dengan penjara. Lapas adalah bangunan tempat mengurung orang yang sudah divonis, sedangkan orang yang belum divonis ditempatkan di rumah tahanan (rutan).
Lapas atau rutan kedudukannya kini dalam kondisi yang paradoks, dimana pada satu sisi harus memperhatikan hak-hak penghuni (baca: napi) dan di sisi lain petugas harus dapat melaksanakan ketertiban dan penegakan hukum. Apalagi sekarang seiring era reformasi bergulir di negeri ini wacana hak asasi manusia begitu gencarnya ditegakkan, baik itu dari lembaga swadaya masyarakat (lsm), praktisi hukum, bahkan sampai pada masyarakat umum dengan penerapan program bernama keluarga sadar hukum (kadarkum).
Napi adalah orang yang melakukan kejahatan sehingga mengharuskan dirinya di kurung dalam penjara. Betapapun, napi adalah manusia, dan sangat wajar kalau mereka tetap ingin diperlakukan sebagai manusia. Sebagaimana pernah ditegaskan DR. Sahardjo SH., tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Pandangan yang tak jauh berselisih dengan “Rocker juga manusia” yang dipopulerkan oleh grup musik Seurius.
Pandangan ini yang menjadi dasar dari Lambang Pemasyarakatan bagi lembaga pemesyarakatan, yaitu griya winaya jamna miwarga laksa dharmmesti, yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Lambang Pemasyarakatan ini ditetapkan dalam Keputusan Menkeh RI No. M.09.KP.10.10 Tahun 1997.
Namun demikian sejarah dari penjara ke lembaga pemasyarakatan tak serta-merta ada begitu saja, tapi ternyata telah melalui proses panjang yang cukup berliku-liku dimulai sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang itu tentu dalam upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita, tapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan kemerdekaannya terutama setelah perang dunia kedua.
Tahun-tahun penting yang menjadi tonggak sejarah dunia dalam upaya perbaikan tersebut, yaitu pertama, tahun 1933 ketika The International Penal dan Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi Internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana itu pada tahap merencanakan. Kemudian, kedua, tahun 1934 dimana IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The Leaque of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Ketiga, tahun 1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres PBB, yang dijadikan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan napi. Keempat, tahun 1957, tepatnya tanggal 31 Juli 1957, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.
Adapun upaya perbaikan di Indonesia diawali tahun 1963, tepatnya 5 Juli 1963, di Istana Negara RI ketika Sahardjo, SH, Menteri Kehakiman mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsep tentang hukum nasional, yang digambarkan sebuah “Pohon Beringin” untuk melambangkan “Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. DR, Sahardjo, SH adalah seorang tokoh yang menancapkan tiang pancang perubahan dalam bidang pemasyarakatan.
Gagasan tentang pemasyarakatan mencapai puncaknya pada 27 April 1964 dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang, Bandung. Konferensi yang diikuti oleh direktur penjara seluruh Indonesia ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan oleh Astrawinata, SH yang menggantikan kedudukan Almarhum DR. Sahardjo, SH. sebagai Menteri Kehakiman. Nah, istilah kepenjaraan mulai saat itu diganti dengan Pemasyarakatan, dan tanggal 27 April akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pemasyarakatan. (http://sejarah.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar