Oleh
Awaloedin Djamin
Setelah pemerintah mengajukan dua RUU ke
DPR, yaitu RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), banyak tanggapan di media cetak dan
media elektronik. Mengenai RUU KUHAP yang banyak disorot adalah wewenang KPK
untuk penyadapan yang perlu izin Hakim Komisaris. Ini dianggap akan mengurangi
kemampuan KPK dalam pemberantasan korupsi. Masalah RUU KUHAP yang berkaitan
dengan Polri, misalnya tentang “penyelidikan”, “pembantu penyidik”,
“koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis atas PPNS”, dan lain-lain tidak
disinggung di media massa.
Penulis telah menyarankan agar melalui
pakar yang menjadi Penasehat Ahli Kapolri, PP Polri dan Ikatan Sarjana Ilmu
Kepolisian (sekarang dikenal dengan Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian
Indonesia – ISPPI), keluarga besar Polri masih dapat mengajukan saran dan
tanggapan untuk penyempurnaan RUU KUHAP, seperti yang diminta DPR dan
masyarakat. Hendaknya RUU KUHAP tidak menghapus yang sudah baik dalam UU No. 8
Tahun 1981 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Bila RUU KUHAP telah diundangkan, Polri tentu harus melaksanakannya.
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang mengganti HIR (Herziene Inlands Reglement) dari zaman kolonial. KUHAP yang baru
tersebut telah mengutamakan kepastian hukum, hak asasi manusia, hak tersangka
dengan prinsip “within sight and within
hearing” dalam proses penyidikan yang transparan. Alasan perbaikan dengan
RUU KUHAP yang baru adalah karena Indonesia telah meratifikasi beberapa
konvensi internasional dan hasil studi banding ke beberapa negara, termasuk ke
negara maju. Jadi, KUHAP (No. 8 Tahun 1981) bukan produk hukum kolonial seperti
yang ditulis di beberapa surat kabar.
Yang memang masih merupakan warisan
kolonial adalah KUHP yang berasal dari Wetboek
van Strafrecht, walaupun telah banyak diubah. Falsafah Wetboek van Strafrecht adalah “vergeldingstheorie”,
yang menghukum kejahatan yang dilakukan semacam “balas dendam”. Dunia demokrasi
telah lama mengubah “penal institution”
menjadi “correctional institution”,
dari menghukum kejahatan menjadi membina si penjahat agar kembali sebagai
“orang baik” di masyarakat. Menteri Kehakiman Sahardjo di masa Kabinet Djuanda
mengganti istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” dengan maksud
mengubah falsafah “vergeldingstheorie”
menjadi “correctional institution”.
Namun, selama KUHP masih berdasar pada Wetboek
van Strafrecht, perubahan tersebut tidaklah mungkin. Keadaan dan mutu
Lembaga Pemasyarakatan juga tidak banyak berubah, bahkan banyak yang lebih
buruk daripada zaman kolonial. Memang ada beberapa perubahan dalam sistem
pemasyarakatan, tetapi karena fasilitas fisik dan kemampuan personel belum
memadai, maka timbul pameo “bila masuk LP
sebagai penjahat teri, maka keluar menjadi penjahat kakap”, LP dianggap
sebagai lembaga pembina penjahat agar lebih “pintar”.
RUU KUHP dalam Rancangan Buku kesatu,
menyebut falsafah Wetboek van Strafrecht
sebagai “Daad Strafrecht” dan yang
baru adalah “Daad-dader Strafrecht”
yang dianggap lebih manusiawi, lebih memperhitungkan “kejahatab” (daad) dan pelakunya (dader). Bila KUHP lama hanya mengenal
“orang” sebagai tersangka, maka RUU KUHP akan memasukkan korporasi dapat
ditindak. Kejahatan korporasi tersimpul dalam RUU KUHP. Di negara maju, seperti
Amerika Serikat, KUHP-nya mengancam hukumman berat bagi barangsiapa yang
“menyakiti” anggota Polisi yang sedang bertugas. Gangster besar seperti Al
Capone pun dikatakan lebih baik mengebom toko daripada menyakiti anggota polisi
yang bertugas. Rumusan mengenai ini belum jelas di RUU KUHP. Karena pasal-pasal
dalam RUU KUHP lebih banyak dari yang lama, juga nomor pasal banyak yang
berubah, maka bila selama puluhan tahun seorang anggota polisi tahu tentang
pasal-pasal KUHP seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya,
maka dengan diundangkannya RUU KUHP yang baru, anggota polisi terpaksa “mencuci
kepala” dengan menghafal pasal-pasal baru.
Walaupun telah diadakan perbaikan dari Wetboek van Strafrecht, namun karena vergeldingstheorie yang melatar-belakanginya,
maka vonis pengadilan tidak jelas apa menghukum kejahatan atau sudah
memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk “memasyarakatkan” narapidana.
Banyak suara yang menganjurkan agar koruptor dan menyalah-gunakan narkoba
dihukum berat, agar ada dampak “jera”. Suara demikian tanpa disadari berpihak
pada vergeldingstheorie, teori
menghukum kejahatannya. Yang ramai diperdebatkandi media massa, juga oleh para
pakar, antara lain dimasukkannya “santet”, “zina” atau “kumpul kebo”,
“penyadapan”, dan lain-lain dalam RUU KUHP yang baru, juga unsur-unsur dalam
pasal-pasal RUU KUHP. Masalah ini sempat pula dibahas dalam Indonesia Lawyers Club. Dalam tayangan
tersebut, tidak ada anggota Polri yang hadir dan menanggapinya.
RUU KUHP dan RUU KUHAP adalah penting bagi
Polri, selain UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
oleh karena itu harus dipelajari oleh Polri perkembangannya, termasuk pada
lembaga-lembaga pendidikan seperti Akpol, PTIK, dan Sespim karena suatu
Undang-Undang dapat dipahami, bila juga diketahui sejarah lahirnya (wording-geschiedenis). Dengan demikian
bila kedua RUU tersebut diundangkan, Polri telah siap untuk melaksanakannya.
Hal-hal baru seperti santet, kumpul kebo, penyadapan, dan lain-lain memerlukan
kemampuan penyelidikan dan penyidikan yang baru pula. Pembuktian kejahatan
tersebut adalah sukar. Untuk itu disarankan agar Polri terus memperkuat Pusdik
Reserse, bila perlu dengan pembaruan dengan Bundes
Kriminal Amt (BKA) Jerman dan lain-lain negara. Polri adalah lembaga utama
negara dalam pelaksanaan KUHP dan KUHAP.
Kekhususan hukum kepolisian, baik di KIK-UI
ataupun pasca sarjana PTIK dari sekarang sudah harus membahas RUU KUHP dan RUU
KUHAP karena merupakan bagian hukum kepolisian yang penting. Tantangan tugas
Polri akan bertambah berat di masa depan dan rakyat mengharapkan agar aparat
kepolisian benar-benar profesional dalam melindungi jiwa, harta benda, dan
hak-haknya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar