Oleh
Awaloedin Djamin
Pendahuluan
RUU KUHAP dimaksudkan untuk memperbaiki UU
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang waktu diundangkannya
dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang menggantikan HIR (Herziene Inlands Reglement). Penyempurnaan juga berhubungan dengan
beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi dan perbandingan dengan
Hukum Acara Pidana negara-negara maju, serta untuk lebih memberikan kepastian
hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat dan perlindungan
hukum serta hak asasi manusia bagi tersangka, saksi, maupun korban, demi
terselenggaranya negara hukum. Walaupun UU Nomor 8 Tahun 1981 telah berumur
lebih dari 30 tahun, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat
kelemahan-kelemahan.
Kaitan
Hukum Acara Pidana dengan Tugas Polri
KUHAP merupakan sistem peradilan pidana
yang terpadu dan terkait dengan fungsi utama Polri yang lain dari Represif
justisiil, juga yang non justisiil (diskresi), Preventif, Pre-emptif dan juga
dengan Pemasyarakatan dan merupakan sistem peradilan pidana yang lebih luas
dari KUHAP. Penyelidikan tidak dimasukkan dalam RUU KUHAP dan pelaksanaannya
diatur oleh Polri dan instansi penyidik. Apa ini perlu dicantumkan dalam
penjelasan atau tidak. Pembantu penyidik diatur oleh Polri dan instansi
penyidik juga dicantumkan dalam Penjelasan.
Pasal 6 disarankan “pejabat pegawai negeri”
agar dilengkapi menjadi “pejabat pegawai negeri sipil” sesuai dengan UU No. 43
Tahun 1999 yang membagi kepegawaian negara menjadi Pegawai Negeri Sipil,
Anggota TNI, dan Anggota Polri. Sebutannya penyidik juga sudah dikenal sejak
dulu sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Perlu diperhatikan agar RUU
KUHAP tidak menghapus hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah dilaksanakan serta
Peraturan Pemerintah yang baru mengenai “koordinasi, pengawasan dan pembinaan
teknis atas Polsus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”.
Perlu pula dikaji keadaan 44
lembaga yang memiliki PPNS, dan hanya Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum
dan HAM, yang masih memiliki kantor wilayah di Provinsi dan kantor kementerian
di Kabupaten/Kotamadya. Yang lain tidak jelas sampai sekarang. Wewenang
penyidikan pegawai negeri sipil sekiranya tidak diotonomkan. Tentang PPNS ini
kiranya perlu dikaji secara seksama. UU No. 2 Tahun 2002 menugaskan Polri untuk
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Jadi tidak hanya informasi
kriminal Polri, karena itu koordinasi/kerjasama dengan PPNS, TNI-AL (UU
Perikanan), Kejaksaan Agung dan KPK sangat diperlukan. Sampai hari ini kita
belum mempunyai informasi kriminal secara nasional, yang penting dalam
pembuatan rencana preventif.
Hal lainnya adalah tentang Rutan dan
tempat penyimpanan barang bukti apa tetap berjalan seperti sekarang atau tidak.
Hubungan penyidik dengan penuntut umum untuk saling berkonsultasi juga harus
dipehatikan. Seperti sudah dianjurkan dengan UU No. 8 Tahun 1981 untuk
menghindarkan bolak-balik BAP antara Polri dan Kejaksaan. Kemudian tentang
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Bab IX), tidak mengurangi pengawasan internal
Polri atas penyidikan oleh penyidik Polri.
Agar RUU KUHAP mencapai sasaran yang
diharapkannya, kiranya masukan untuk penyempurnaan hendaknya terus dibuka
sebelum disahkan DPR. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar