ad

Sabtu, 30 Maret 2013

Menggiring Angin




Nasib terkadang membawaku harus berkelana ke daerah-daerah nun jauh dari rentang kendali pemerintahan pusat. Kadang pula, tanpa kuduga, di daerah-daerah itu aku bersua karib lawas. Karib lawas yang kini telah menikmati kenyamanan kursi empuk jabatan eksekutif pemerintahan daerah.
Sampailah suatu waktu, aku pada daerah perbatasan nan amat terbatas kekayaan alamnya. Sampailah pula, aku bertemu seorang kawan lawas yang cukup dekat dengan orang nomor satu di wilayah itu. Masa pengabdian lima tahunan orang nomor satu di wilayah itu tak lama lagi berakhir. Belum sampai hitungan hari sih, masih kira-kira setahun atau satu-setengah tahun nanti.
Lama tak bersua, kawan lawas ini pun nyerocos saja bercerita ihwal kelakuan orang nomor satu di wilayah itu yang masih punya kesempatan kembali mencalonkan diri. Namun, orang nomor satu ini ragu apakah angin suara rakyat berpihak kepada dirinya.
Cerita punya cerita, orang nomor satu ini meminta kawanku ini untuk bertanya ke rakyat. Kawanku pun memutar benak. Muncul ide gampang: undang saja lembaga survei untuk mengukur tingkat penerimaan rakyat pada orang nomor satu di wilayah perbatasan NKRI itu. Tapi, kawanku pikir bahwa ongkos survei tidaklah murah, sementara orang nomor satu itu enggan mengucurkan dana yang sampai ratusan juta rupiah.
Kawanku berpikir keras ihwal bagaimana cara murah menggiring angin suara ke orang nomor satu wilayah itu. Pikir punya pikir, kawanku mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, tetua adat, elit birokrasi lokal, pemuda harapan bangsa, dan rakyat jelata. Ya, kira-kira terkumpul 50 orang.
Di tengah suasana masyarakat yang patriarkal, atas nama perintah orang nomor satu, 50 orang berbagai profesi dan posisi itu gampang saja diminta datang ke suatu tempat yang telah ditetapkan. Satu per satu, kawanku menanyai kesan-pesan 50 orang itu terhadap kinerja dan profesionalitas orang nomor satu. Hasilnya, semua menilai positif atas kinerja dan profesionalitas orang nomor satu. Mereka pun tak keberatan bilamana orang nomor satu itu kembali mencalonkan diri pada pemilukada penghujung 2013.
Tak banyak keluar duit. Cukup menjamu 50 orang dengan gaya sajian prasmanan makan siang dan makan malam –karena ada yang harus menunggu giliran ditanyai sampai malam hari. Tapi, bagaimana agar mayoritas tahu arah angin itu? Dan, mayoritas rakyat pun mengikuti arah angin itu.
Lalu, pikiran kawanku sederhana saja. Kawanku langsung membukukan hasil perbincangannya dengan 50 orang berbagai profesi dan posisi ke dalam sebuah buku yang dibungkus dengan tajuk “Lima Tahun Hasil Kerja Fenomenal Sang Tokoh Idola”. Dengan jumlah rakyat pemilik hak pilih yang tidak terlalu banyak, buku itu cukup dicetak tak lebih dari 5.000 eksemplar. Tidak sampai Rp50 juta keluar buat ongkos cetak.
Angin pun terasa bertiup sepoi-poi basa ke orang nomor satu di wilayah perbatasan itu. Ini hanyalah salah satu kiat menggiring angin suara rakyat di saat-saat pemilihan semakin mendekat. Tentu masih banyak kiat lain yang lebih cespleng dengan ongkos politik yang lebih mahal. Ya, (meminjam istilah Walikota Sukabumi dua periode), sebagai ongkos politik, bukan politik uang (money politic). Panggung politik butuh ongkos yang tidak sedikit. Mulai dari upaya menggiring angin yang cukup puluhan juta rupiah, serangan fajar yang nyaris tak terdeteksi auditor, sampai ongkos buat membeli “perahu politik” untuk maju pencalonan yang mencapai miliaran rupiah. Dan, terlepas dari persoalan kosa kata yang digunakan, inilah embrio demokrasi kriminal bersemi di negeri tercinta Indonesia. Sebuah demokrasi, yang menurut seorang Indonesianis Jeffrey Winters, di mana demokrasinya bergerak maju namun penegakan keadilan-hukumnya lemah dan etika para pemimpin berada di titik nadir. (BN)        
    
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar