Nasib terkadang membawaku harus berkelana ke
daerah-daerah nun jauh dari rentang kendali pemerintahan pusat. Kadang pula, tanpa
kuduga, di daerah-daerah itu aku bersua karib lawas. Karib lawas yang kini
telah menikmati kenyamanan kursi empuk jabatan eksekutif pemerintahan daerah.
Sampailah suatu waktu, aku pada daerah perbatasan
nan amat terbatas kekayaan alamnya. Sampailah pula, aku bertemu seorang kawan
lawas yang cukup dekat dengan orang nomor satu di wilayah itu. Masa pengabdian
lima tahunan orang nomor satu di wilayah itu tak lama lagi berakhir. Belum
sampai hitungan hari sih, masih kira-kira
setahun atau satu-setengah tahun nanti.
Lama tak bersua, kawan lawas ini pun nyerocos saja bercerita ihwal kelakuan orang
nomor satu di wilayah itu yang masih punya kesempatan kembali mencalonkan diri.
Namun, orang nomor satu ini ragu apakah angin suara rakyat berpihak kepada
dirinya.
Cerita punya cerita, orang nomor satu ini meminta
kawanku ini untuk bertanya ke rakyat. Kawanku pun memutar benak. Muncul ide
gampang: undang saja lembaga survei untuk mengukur tingkat penerimaan rakyat
pada orang nomor satu di wilayah perbatasan NKRI itu. Tapi, kawanku pikir bahwa
ongkos survei tidaklah murah, sementara orang nomor satu itu enggan mengucurkan
dana yang sampai ratusan juta rupiah.
Kawanku berpikir keras ihwal bagaimana cara murah
menggiring angin suara ke orang nomor satu wilayah itu. Pikir punya pikir, kawanku
mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, tetua adat, elit birokrasi lokal, pemuda
harapan bangsa, dan rakyat jelata. Ya, kira-kira terkumpul 50 orang.
Di tengah suasana masyarakat yang patriarkal, atas
nama perintah orang nomor satu, 50 orang berbagai profesi dan posisi itu
gampang saja diminta datang ke suatu tempat yang telah ditetapkan. Satu per
satu, kawanku menanyai kesan-pesan 50 orang itu terhadap kinerja dan profesionalitas
orang nomor satu. Hasilnya, semua menilai positif atas kinerja dan
profesionalitas orang nomor satu. Mereka pun tak keberatan bilamana orang nomor
satu itu kembali mencalonkan diri pada pemilukada penghujung 2013.
Tak banyak keluar duit. Cukup menjamu 50 orang
dengan gaya sajian prasmanan makan siang dan makan malam –karena ada yang harus
menunggu giliran ditanyai sampai malam hari. Tapi, bagaimana agar mayoritas tahu
arah angin itu? Dan, mayoritas rakyat pun mengikuti arah angin itu.
Lalu, pikiran kawanku sederhana saja. Kawanku
langsung membukukan hasil perbincangannya dengan 50 orang berbagai profesi dan
posisi ke dalam sebuah buku yang dibungkus dengan tajuk “Lima Tahun Hasil Kerja
Fenomenal Sang Tokoh Idola”. Dengan jumlah rakyat pemilik hak pilih yang tidak
terlalu banyak, buku itu cukup dicetak tak lebih dari 5.000 eksemplar. Tidak
sampai Rp50 juta keluar buat ongkos cetak.
Angin pun terasa bertiup sepoi-poi basa ke orang
nomor satu di wilayah perbatasan itu. Ini hanyalah salah satu kiat menggiring
angin suara rakyat di saat-saat pemilihan semakin mendekat. Tentu masih banyak
kiat lain yang lebih cespleng dengan
ongkos politik yang lebih mahal. Ya, (meminjam istilah Walikota Sukabumi dua
periode), sebagai ongkos politik, bukan politik uang (money politic). Panggung politik butuh ongkos yang tidak sedikit.
Mulai dari upaya menggiring angin yang cukup puluhan juta rupiah, serangan
fajar yang nyaris tak terdeteksi auditor, sampai ongkos buat membeli “perahu politik”
untuk maju pencalonan yang mencapai miliaran rupiah. Dan, terlepas dari
persoalan kosa kata yang digunakan, inilah embrio demokrasi kriminal bersemi di
negeri tercinta Indonesia. Sebuah demokrasi, yang menurut seorang Indonesianis Jeffrey
Winters, di mana demokrasinya bergerak maju namun penegakan keadilan-hukumnya
lemah dan etika para pemimpin berada di titik nadir. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar