Pendahuluan
Reformasi polisi telah berjalan lebih dari
10 tahun. Banyak kinerja positif Polri dalam mengawal dan mengamankan proses
demokrasi bangsa Indonesia. Pedoman dasar reformasi Polri meliputi aspek
instrumental, struktural dan kultural telah diimplementasikan dalam peningkatan
kinerja di bidang pembinaan dan operasional kepolisian. Hal ini sesuai dengan
tupoksi dengan menetapkan Grand Strategy
Polri pada kurun waktu 25 tahun yang meliputi: Trust Building, Partnership Building, Strive for Excellent.
Keberhasilan Polri mengamankan pelaksanaan
Pemilu dan Pilkada serta atensi terhadap perlindungan HAM, telah memberikan
kontribusi yang sangat signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia. Selain
itu, penanganan berbagai bentuk tindak pidana berat --seperti terorisme,
narkoba, dan human trafficking, baik
berdimensi lokal, nasional, regional maupun internasional-- telah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di lingkup
nasional dan internasional. Namun penanganan terhadap tindak pidana yang
bernuansa anarkis, destruktif, brutal, massal, dan massif, dirasakan masih
belum memberikan hasil yang optimal. Akibatnya, berdampak terhadap menurunnya
kepercayaan masyarakat kepada eksistensi Polri sebagai penegak hukum,
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta pemelihara Kamtibmas.
Saat ini, kemampuan dan kredibilitas Polri
untuk menjalankan tugas pokok, fungsi dan peranannya tengah diuji. Terutama
melalui penanganan kasus-kasus seperti kasus korupsi Simulator SIM, penyerangan
Mapolres di OKU oleh oknum TNI, penembakan tersangka Polda Jogya di Lapas
Cebongan oleh oknum TNI, penganiayaan dan pembunuhan Kapolsek yang melakukan
penangkapan para pelaku judi togel di Medan, dan penyerangan Polsek yang
mengamankan para pelaku kerusuhan anarkis di Medan. Juga kasus kerusuhan di
Palopo dan kasus penolakan eksekusi Komjen Pol (P) Susno Duadji. Berbagai
kritik tajam terhadap kemampuan Polri dalam penanganan dan pengungkapan kasus-kasus
tersebut pada akhirnya bermuara pada hal-hal yang diamanatkan oleh UU No. 2
Tahun 2002. Sampai kemudian muncul polemik perlunya organisasi Polri berada di
bawah struktur suatu kementerian yang tidak langsung di bawah Presiden.
Kritik masyarakat tersebut perlu dimaknai
sebagai koreksi bagi Polri untuk melakukan evaluasi kinerja di bidang pembinaan
dan operasional. Walaupun pada aspek instrumental dan struktural telah
dilakukan berbagai perubahan dan pembenahan, namun pada aspek kultural masih
belum dirasakan adanya perubahan yang signifikan baik pada kinerja
institusional maupun individual. Hal ini menyiratkan bahwa nilai-nilai
filosofis reformasi yang seharusnya dipedomani oleh segenap anggota (pada aspek
kultural) belum sepenuhnya terimplementasi dalam tata nilai Polri sebagai
pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat termasuk pada masyarakat internal
organisasi Polri. Tahapan Grand Strategy
Polri untuk membangun kepercayaan masyarakat (trust building) dan membangun kemitraan dengan masyarakat (partnership building) belum dapat
diwujudkan secara optimal. Bahkan, cenderung kurang dapat diwujudkan dalam
kegiatan sehari-hari operasional Polri.
Tata nilai insan Bhayangkara untuk lebih
mengedepankan Nilai Kewajiban daripada semata-mata Nilai Kewenangan belum
sepenuhnya menjiwai semua pimpinan dan anggota Polri dalam implementasi
pelaksanaan tugas pokok. Hal ini tervisualisasikan dalam berbagai pelanggaran
penyalah-gunaan kewenangan (abuse of
power) yang kemudian membangkitkan rasa ketidak-sukaan masyarakat
(menurunnya trust building) terhadap
Polri meskipun dilakukan oleh oknum anggota Polri. Strategi menggeser dan meminimalkan
penggunaan wewenang penegakan hukum dengan memaksimalkan strategi Harkamtibmas
merupakan suatu keniscayaan. Upaya bermitra dengan masyarakat, pemolisian
masyarakat dan menjadikan anggota Polri sebagai agen perubahan budaya dan sikap
perilaku bersinergi dengan kearifan lokal menuju masyarakat patuh hukum
merupakan harapan masyarakat demokratis. Upaya untuk meminimalisir konflik
horizontal dengan institusi terkait --termasuk TNI-- masih belum dirasakan
berhasil secara optimal. Hal mana ditandai dengan konflik antara anggota Polri
dan TNI di berbagai daerah sebagai gambaran belum optimalnya upaya untuk
membangun kemitraan (partnership building)
baik dengan institusi terkait maupun dengan masyarakat.
Faktor kinerja internal Polri dalam
membina, mengelola dan mengimplementasikan semua sumber daya yang diberikan
oleh Negara atau rakyat belum dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Ditandai
dengan masih maraknya berbagai penyimpangan (baik di tingkat pusat maupun di
daerah-daerah) untuk membebani masyarakat dalam rangka memenuhi keterbatasan
kebutuhan operasional anggota di bidang administrasi dan operasional. Perencanaan
untuk mengajukan kebutuhan anggaran yang proporsional dan memadai dirasakan
masih lemah. Tampak pada ketidak-seimbangan proporsi penganggaran yang
diberikan kepada masing-masing fungsi atau kesatuan kepolisian wilayah.
Akibatnya, indeks “kebutuhan yang memadai” kurang terpenuhi yang menyebabkan
masih terjadinya “penyalah-gunaan wewenang” untuk memenuhi kekurangan kebutuhan
anggaran yang memadai tersebut. Di sisi lain terdapat kelebihan sisa anggaran
pada fungsi atau kesatuan kepolisian wilayah tertentu.
Berdasarkan gambaran umum tersebut, PP
Polri telah menerima masukan, kritik, dan usulan dari berbagai komponen
masyarakat dan internal Polri. Masukan dan kritik secara langsung maupun tidak
langsung melalui media elektronik dan media sosial. PP Polri pun terpanggil
untuk memberikan saran masukan dari berbagai aspek dalam rangka upaya perbaikan
kinerja Polri. Dilandaskan oleh gagasan dasar penguatan moral institusi dan
anggota Polri agar tetap tegar menghadapi berbagai kritik masyarakat tersebut.
Permasalahan
Permasalahan utama yang muncul kemudian didiskusikan
dan dipetakan pada forum diskusi ilmiah PP Polri meliputi:
·
Aspek Manajemen
Bagaimana memperbaiki manajemen pengelolaan
sumber daya dan operasional Polri yang menyebabkan masih terjadinya
penyimpangan-penyimpangan sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap Polri dari aspek
transparansi dan akuntabilitas?
Bagaimana penerapan manajemen penanganan
terhadap berbagai bentuk tindak pidana yang bernuansa anarkis, destruktif,
brutal, massal, massif, dan bersifat premanisme agar tidak menyebabkan anggota
di lapangan menjadi gamang, ragu-ragu, kurang responsif dan bersikap pasif
dalam bertindak? Bagaimana mencegah terjadinya tindakan extra judicial baik yang dilakukan masyarakat maupun institusi lain
yang akan menurunkan kewibawaan Polri?
Bagaimana upaya meningkatkan sistem deteksi
dini dan sistem peringatan dini saat ini di lingkungan tempat tugas dan asrama
anggota? Supaya, tidak menyebabkan terjadinya berbagai bentuk tindakan anarkis
yang ditujukan terhadap fasilitas Polri dan anggota Polri yang sedang bertugas
di lapangan.
Bagaimana upaya untuk meminimalisir potensi
konflik vertikal dan horizontal baik dengan kesatuan samping (TNI), instansi
penegak hukum lain, ataupun masyarakat agar tidak berkembang menjadi anarkis dan
menurunnya koordinasi, harmonisasi, sinergisitas dengan instansi terkait dan
masyarakat?
Bagaimana meningkatkan manajemen informasi
Polri untuk merespon dan mengantisipasi informasi atau laporan masyarakat
terkait masalah Kamtibmas melalui berbagai sumber yang dirasakan masih sangat
lamban oleh masyarakat saat ini sehingga menyebabkan masyarakat enggan melapor?
·
Aspek Kepemimpinan
Bagaimana memberikan keteladanan,
keterbukaan, kejujuran dan keberanian dalam bertanggung-jawab?
Bagaimana menerapkan secara konsisten dan
konsekuen pengawasan melekat?
Bagaimana upaya meningkatkan motivasi anggota
melalui penerapan kembali secara konsekuen dan konsisten metode reward and punishment?
Bagaimana mencegah penyimpangan kewenangan
(abuse of power) melalui upaya
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing pimpinan (baik
fungsional maupun operasional) secara berjenjang?
·
Aspek Legislasi
Bagaimana memperbaiki kinerja organisasi
dan operasionalisasi di lapangan untuk mencegah upaya menempatkan struktur
organisasi (status) Polri di bawah suatu kementerian?
Bagaimana upaya menyikapi perubahan dan
amandemen perundang-undangan yang terkait dengan tugas pokok Polri (antara lain
KUHAP, KUHP, Kamnas, dan Kementerian) untuk mencegah “pengkebirian kewenangan
Polri” dan “overlapping” dalam
pelaksanaan tugas di lapangan dengan instansi lain?
Bagaimana upaya menyikapi pelaksanaan
keputusan hukum yang “tidak sempurna” atau “cacat hukum” berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan friksi dengan
instansi penegak hukum lainnya dan melanggar HAM terhadap oknum anggota Polri,
mantan anggota Polri maupun masyarakat (antara lain kasus Komjen Pol Purn Susno
Duadji)?
Analisis
Faktor Penyebab
·
Aspek Manajemen
Prolap dan Perkap fungsi Pembinaan dan
Operasional yang berlaku saat ini terkesan belum dikaji kembali secara
komprehensif dan cermat dengan menyesuaikan perkembangan dinamika sosial yang
ada. Kurang disosialisasikan, tidak dilatih secara rutin dan bahkan mungkin
diabaikan dalam pelaksanaan kegiatan manajemen sumber daya dan manajemen
operasional di lapangan.
Tidak dilaksanakannya secara konsekuen,
transparan dan akuntabel sistem dan mekanisme yang berlaku dalam pengelolaan
sumber daya baik sumber daya manusia, anggaran, maupun sarana prasarana. Akibatnya,
masih ditemukan berbagai pelanggaran dalam pembinaan personil (rekrutmen,
pendidikan Polri berjenjang, penempatan, dan pembinaan karir), pengadaan sarana
prasarana administrasi/operasional (sarat dengan kolusi dan nepotisme), dan anggaran
(kurang proporsional dan penyimpangan dalam penyalurannya).
Kelemahan pengawasan dan penindakan
terhadap penyalah-gunaan wewenang yang mengarah pada tindak pidana korupsi di
lingkungan Polri yang masih terus terjadi, baik di tingkat pimpinan, di tingkat
pembantu pimpinan, maupun di tingkat pelayanan/petugas di lapangan. Pada
tingkat pimpinan antara lain penyalahgunaan wewenang/kebijakan, gratifikasi,
namun hanya sedikit yang diproses internal dan/atau ditindak. Pada tingkat
pembantu pimpinan atau manajer tingkat menengah berupa praktik penyimpangan
pelayanan secara sistemik, rekrutmen, kenaikan pangkat atau jabatan, dan dalam
pelaksanaan pendidikan. Pada tingkat petugas di lapangan, berbagai pelanggaran
seperti pungli, gratifikasi, manipulasi kasus/pasal, mencari kesalahan/pelanggaran
untuk “didamaikan”, keterlibatan/melindungi kejahatan/pelaku kejahatan, masih
sedikit yang ditindak dan terkesan dibiarkan dan dipelihara oleh atasan, bahkan
terjadi secara sistemik.
Semangat Polri untuk memberantas korupsi di
lingkungan Polri yang telah dideklarasikan terkesan masih sebatas pada retorika
atau masih terfokus pada konsepsi saja. Teramati melalui kinerja Polri, di
bidang pemberantasan korupsi yang dinilai masyarakat belum optimal.
Dalam upaya membersihkan korupsi, peran
Polri secara internal belum nampak konsepsional dan kesungguhan. Kasus korupsi
simulator SIM seolah menjadi tonggak terbukanya aib Polri. Terungkapnya kasus
tersebut membentuk opini masyarakat yang di-blow
up oleh media seolah praktik korupsi di lingkungan internal sudah
sistematik. Kasus tersebut menyebabkan pula terkuaknya aset kekayaan pejabat
Polri yang diperoleh dari hasil korupsi. Opini yang terbentuk antara lain umumnya
jenderal Polisi dan pejabat Polri memiliki rekening gendut (termasuk gaya hidup
pejabat Polri yang bersifat glamor), masih banyak kasus korupsi lain yang belum
diungkap, Polri tidak serius menindak-lanjuti oknum Polisi yang korupsi, dan
masih banyak kewenangan Polri lainnya yang menjadi sumber korupsi bagi oknum
petugas dan pimpinan Polri.
Belum ditemukannya solusi strategik dan
upaya nyata di lapangan yang cepat, tepat, normatif, dan efektif dalam mencegah
dan menindak segala bentuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat (bersifat
anarkis, destruktif, brutal, massal, massif, premanisme). Hal ini disebabkan
oleh sanksi yang dikenakan tidak bersifat deteren; sifat “lepas tangan dan
lepas tanggung jawab” instansi terkait lainnya sehingga seolah menjadi
“tanggung jawab” Polri semata; pemanfaatan oleh oknum-oknum Polri, instansi
tertentu, parpol, ormas, perbankan, atau bahkan masyarakat yang sudah tidak
percaya dengan kemampuan Polri memberikan perlindungan dan pengamanan; ketidak-tegasan
perintah pimpinan untuk menindak tegas dan melepas tanggung jawab pada anggota
pelaksana di lapangan; dan inkonsistensi dalam kegiatan penanganannya baik
dalam kegiatan rutin maupun operasi khusus kepolisian.
Belum optimalnya kemitraan dengan
tokoh-tokoh: masyarakat, adat, agama, dan pemuda yang dapat dimanfaatkan
sebagai unsur deteksi dan peringatan dini serta kurang diperhatikannya
intensifikasi pelatihan sistem pengamanan markas, pelaksanaan Polmas, dan
optimalisasi pemanfaatan peralatan teknologi yang dimiliki Polri.
Kurang intensifnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan
yang bersifat menanamkan ikatan persaudaraan dan kebersamaan dengan institusi
TNI seperti silaturahmi; kegiatan sosial dan olah raga bersama; kegiatan
operasional terpadu (pengamanan, razia, patroli); penerapan sistem hukum yang
transparan, tegas proporsional dan obyektif; serta pertemuan rutin.
Maraknya media elektronik dan media cetak menyajikan
berita yang memperlemah kewibawaan penegak hukum telah memberi andil yang
signifikan dalam membangun dan mempengaruhi persepsi dan opini masyarakat
terhadap suatu peristiwa. Banyak terjadi kerawanan saat ini tidak lepas dari
cara media memotret atau menguraikan suatu permasalahan.
Media massa saling berlomba menyajikan
berita negatif (mengusung kaidah media: Bad
news is a good news) dan memperebutkan rating
tertinggi tanpa peduli dampak yang ditimbulkannya terhadap kewibawaan Negara.
Sebagai contoh televisi yang dulunya dikuasai oleh negara, sehingga rating tidak diperlukan (televisi
publik), saat ini telah berubah menjadi “socio
TV” yang lebih memerlukan rating
demi kepentingan komersial daripada kepentingan negara.
Tidak jarang pula, pemilik stasiun TV
terjun ke dunia politik sehingga di dalamnya akan memiliki dua kepentingan,
yaitu kepentingan komersial dan kepentingan politik. Dengan demikian, persepsi
masyarakat dibentuk secara tidak utuh oleh media dan tidak jarang telah menyebabkan
masyarakat Indonesia bersitegang satu sama lain.
Kurangnya akses informasi masyarakat yang
bisa didapatkan dari Polri atau Pemerintah menyebabkan informasi yang diterima
masyarakat merupakan hasil pemberitaan yang tidak berimbang dan telah
dipilih-pilih sesuai kepentingan komersial. Belum efektifnya saluran dalam
penyajian informasi oleh Polri dan Pemerintah, bahkan seakan tidak berdaya
menghadapi oknum-oknum yang memberikan informasi menyesatkan dan propaganda
melalui media internet, sekalipun telah ada Undang-Undang tentang IT.
·
Aspek Kepemimpinan
Masih lemahnya penerapan aspek kepemimpinan
di berbagai strata kepemimpinan dalam mengelola dan membina organisasi. Antara
lain dalam hal pemberian keteladanan (ing
ngarso sung tulodo) dalam sikap dan perilaku sehari-hari, penyimpangan
dalam penggunaan anggaran dan materiil, serta kurang obyektif dalam pembinaan
personil dan masih mengedepankan kolusi dan nepotisme daripada sistem.
Keteladan masih terasa kurang karena yang tampak sehari-hari gaya penampilan
glamor melalui perlengkapan pribadi, kendaraan pribadi, yang menyiratkan pola
“kemewahan” di saat dinas maupun di luar dinas; sikap otoriter dan arogan baik
di lingkungan internal maupun eksternal; sangat resisten dalam menerima pendapat
orang lain kendati sebenarnya pendapat itu sangat positif dan konstruktif;
mengabaikan sistem dan tatanan yang berlaku saat ini; melepas tanggung jawab
kepada anggota; dan bergaya ’komandan’ bukan ‘pemimpin’.
Masih lemahnya sistem pelaporan dan pendataan
dalam setiap melaksanakan tugas. Akibatnya, sulit untuk mengetahui keberhasilan
pelaksanaan suatu kegiatan dan mengantisipasi peristiwa atau kejadian serupa di
kemudian hari.
Ada rasa sungkan dan enggan mengawasi dan
menindak berbagai bentuk kesalahan yang dilakukan anggota karena status anggota
tersebut (anak atau keluarga mantan pimpinan) atau “pembiaran” karena
penyimpangan yang terjadi “menguntungkan” dari segi materi dan fasilitas baik
bagi kepentingan pribadi maupun kesatuan.
Dalam hal pembinaan personil, masih ada
opini yang berkembang di lingkungan internal dan eksternal Polri bahwa “orang
yang dekat dengan Pimpinan” akan mendapatkan prioritas. Bukan didasarkan pada
prestasi kerja atau senioritas dalam jabatan, kepangkatan, dan usia. Selain itu,
penerapan metode “reward and punishment”
masih belum dirasakan konsekuen dan konsisten sehingga mempengaruhi motivasi
anggota dalam bekerja.
Belum disusunnya kode etik perilaku (code of conduct) sebagai bagian dari
kode etik (code of ethic) sehingga
masih terjadi berbagai bentuk penyimpangan terutama penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) yang menjadikan atensi
dan kritik keras dari kelompok HAM, Kompolnas, LSM terkait, termasuk
masyarakat.
Peran untuk mengembangkan, membangun dan
menyiapkan kader-kader penerus terpilih kurang optimal. Akibatnya,
personil-personil yang potensial secara pengetahuan dan pengalaman merasa
tersisih dan berkembang menjadi “barisan sakit hati”.
Perlindungan organisasi terhadap anggota dan
mantan anggota Polri yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum masih lemah.
Dengan begitu, anggota atau mantan anggota Polri cenderung mencari perlindungan
ke lingkungan eksternal dan pengambilan keputusan cenderung masih mengikuti
atau berdasarkan opini yang berkembang.
·
Aspek Legislasi
Masih kurang atensi dan respon pihak-pihak
tertentu terhadap upaya untuk menempatkan Polri tidak langsung di bawah
Presiden. Mereka mengusung berbagai isu
dan pertimbangan melalui lembaga legislatif.
Upaya dan atensi terhadap rencana revisi
dan perubahan perundang-undangan yang terkait dan menjadi dasar hukum
pelaksanaan tugas pokok serta kewenangan Polri dirasakan masih belum optimal. Hal
ini dapat diamati dari “keikutsertaan” wakil Polri yang sering dikirimkan
wakil/peserta anggota Polri yang tidak kredibel/kompeten di bidangnya. Sehingga,
dalam pembahasan RUU tersebut cenderung hanya sebagai penonton dan kehadirannya
dalam forum tersebut sekadar legalitas.
Lobi-lobi, pendekatan, koordinasi dengan
pihak yang terkait terutama anggota legislatif (baik yang berasal dari mantan
anggota Polri maupun parpol pendukung) masih belum intensif.
Peran para pakar, LSM, dan masyarakat
terkait dengan substansi perundang-undangan yang akan direvisi masih belum
optimal dan intensif. Akibatnya, RUU yang diajukan masih menempatkan Polri pada
posisi yang lemah dan kewenangannya semakin “digerogoti”.
Koordinasi dengan instansi penegakan hukum
terkait masih lemah dan kurang intensif. Hal ini teramati melalui masih
banyaknya perbedaan persepsi hukum dalam penanganan suatu perkara hukum yang
tidak sesuai dengan hukum acara tapi cenderung mengedepankan “kewenangan dan
kekuasaan” suatu instansi penegak hukum dengan mengabaikan kebenaran formil maupun
materiil.
SARAN
SOLUSI PERMASALAHAN
·
Aspek Manajemen
Mengkaji kembali secara cermat
kelemahan-kelemahan sistem, mekanisme, dan prosedur yang berlaku, yang
dimanfaatkan sebagai peluang terjadinya berbagai penyimpangan pelaksanaan
manajemen pembinaan dan operasional Polri (didasarkan pada data dan fakta yang
terjadi hingga saat ini). Kemudian diperbaiki dengan mengoptimalkan peran dan fungsi
Itwasum, Divpropam, dan Litbang Polri.
Kaji, evaluasi dan revisi manajemen Wasdal
dan Waskat berdasarkan kelemahan-kelemahan yang ditemukan di lapangan saat ini
dengan melibatkan instansi terkait baik di bidang administrasi, pembinaan
maupun operasional.
Meningkatkan peran-fungsi pengawasan dan
audit internal Polri secara bottom up
untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
manajemen sumber daya baik personil, anggaran, sarana prasarana/materiil maupun
pemutakhiran sistem yang berlaku.
Kaji kembali Protap dan Perkap yang ada dan
berlaku secara cermat disesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial, budaya,
kriminalitas dan sikap masyarakat saat ini. Terutama untuk menghadapi,
menangani tindak kejahatan yang bersifat anarkis, destruktif, brutal, massal,
massif, premanisme. Kemudian sosialisasikan secara intensif, latihkan secara
reguler dan pedomani dalam setiap pelaksanaan kegiatan operasional di lapangan.
Tingkatkan koordinasi, kerja sama,
silaturahmi, kegiatan bersama --baik sosial, olah raga maupun pelibatan dalam
kegiatan khusus -- untuk tetap menjaga harmonisasi dan sinergisitas serta
menumbuhkan “jiwa kebersamaan” dengan instansi terkait (TNI, Penegak Hukum, dan
lain-lain) dalam rangka mengoptimalkan program kemitraan (partnership building).
Evaluasi kembali sistem deteksi dan
peringatan dini. Terutama pada kesatuan-kesatuan kewilayahan dalam rangka
mencegah dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya tindakan anarkis terhadap
kesatuan, asrama maupun anggota di lapangan dan sebagai dasar permintaan bantuan
perkuatan dari kesatuan atas atau samping.
Galakkan kembali pendekatan “Quick Response” dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan terapkan metode “Reward and Punishment” terhadap anggota di seluruh fungsi dan
jajaran kewilayahan. Lakukan audit berkala terhadap pelaksanaannya untuk
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat (trust
building).
Usulkan melalui forum Kemenkumham, Mahkamah
Agung, Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengkaji, mengevaluasi dan merevisi
kembali sanksi hukuman yang “bersifat deteren” terhadap para pelaku kejahatan
anarkis, massal, narkoba, terorisme, dan premanisme. Dan laksanakan secara
terpadu operasi pemberantasan premanisme dengan melibatkan peran seluruh
instansi terkait dan masyarakat.
Optimalkan peran Pusat Informasi Kriminal
Nasional untuk mendata para pelaku kejahatan termasuk para preman yang
meresahkan masyarakat. Juga memetakan wilayah yang rawan kejahatan sesuai
dengan jenis kejahatan yang sering terjadi di wilayah tersebut untuk
mempercepat proses penanganan atau pengungkapan suatu perkara kejahatan.
Aktifkan kembali Police Call Center di seluruh jajaran kewilayahan Polri untuk
menampung informasi, keluhan dan permintaan bantuan masyarakat yang harus
segera ditindak-lanjuti pada kesempatan pertama. Namun perlu diawaki oleh
personil yang profesional dengan tetap diperhatikan kesejahteraan dan pembinaan
karirnya.
Kaji dan evaluasi kembali jumlah kekuatan
anggota dan peralatan pada kesatuan-kesatuan kewilayahan yang memiliki tingkat
kerawanan yang tinggi dan lengkapi secara proporsional agar dalam penanganan
gangguan kamtibmas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Kaji, evaluasi dan revisi peran Humas Polri
untuk mencegah dan mengantisipasi pembentukan opini negatif terhadap Polri oleh
media massa dan media sosial. Hal ini untuk mengurangi dampak pada menurunnya
kredibilitas, kewibawaan dan motivasi anggota.
Publikasikan keberhasilan-keberhasilan yang
dicapai oleh satuan fungsi atau satuan operasional untuk memberikan penilaian
yang seimbang dari masyarakat dan media massa serta memulihkan kembali citra
positif (image) Polri.
Optimalkan peran Kompolnas untuk memberikan
masukan terhadap kinerja Polri. Jadikan bahan masukan Kompolnas untuk perbaikan
aspek-aspek manajemen Kepolisian.
Implementasikan strategi dan kebijakan
pemberantasan korupsi di lingkungan internal Polri dengan melibatkan peran
mantan-mantan penyidik KPK yang telah bertugas kembali di Polri, Irwasum Polri,
Divisi Propam Polri dan fungsi Inspektorat Pengawasan di satuan kewilayahan
Polri.
Lakukan langkah-langkah penyelidikan
internal terhadap potensi kerugian negara (korupsi) --terutama dari manajemen
pembinaan dan manajemen operasional Polri (fungsi sarpras, fungsi personil,
fungsi reserse, fungsi lalu lintas, fungsi pembinaan)-- agar tidak kemudian
ditangani oleh instansi penegak hukum lain (KPK atau Kejaksaan).
Optimalkan fungsi pengawasan penyidikan
terhadap penanganan suatu perkara (baik di kesatuan kewilayahan maupun di
Bareskrim Polri dan lidik) secara obyektif, normatif dan profesional terhadap
setiap permohonan perlindungan hukum untuk memberikan kepastian hukum dan
keadilan bagi masyarakat yang terlibat dalam suatu perkara.
Optimalkan fungsi dan peran pengaduan
masyarakat (Dumas) dan distribusikan pada kesempatan pertama kepada fungsi atau
kesatuan kewilayahan yang terkait dan mintakan laporan hasil tindak lanjut yang
telah dilakukan untuk kemudian didata.
Tingkatkan koordinasi dan silaturahmi
secara intensif dengan institusi penegak hukum lainnya seperti KPK, Kejaksaan,
Mahkamah Agung, Pengadilan, Mahkamah Konstitusi dan PPNS untuk menjalin
hubungan emosional yang lebih erat. Dengan demikian untuk hal-hal tertentu yang
disebabkan oleh perbedaan persepsi/penafsiran hukum tidak terpublikasikan ke
publik/media massa.
·
Aspek Kepemimpinan
Kaji dan evaluasi kembali penerapan aspek
kepemimpinan di berbagai strata kepemimpinan dalam mengelola dan membina
organisasi dengan memberikan antara lain keteladanan (ing ngarso sung tulodo) dalam sikap dan perilaku sehari-hari;
membuat suatu sistem pengawasan yang transparan dan terukur untuk mencegah
penyimpangan dalam penggunaan anggaran dan materiil/sarana prasarana; dan
secara konsekuen selalu mempedomani sistem, menakisme dan prosedur yang berlaku
dalam pembinaan personil guna mencegah kolusi dan nepotisme. Pemberian
keteladan untuk menghindari gaya penampilan glamor dan sikap otoriter. Juga
agar akomodatif menerima pendapat orang lain, taat pada sistem yang berlaku,
bertanggung-jawab terhadap ketiap keputusan yang telah dilakukan anggota, dan
meninggalkan gaya ‘komandan’ serta menerapkan pendekatan bottom up.
Mengintensifkan kembali sistem pelaporan
dan pendataan dalam setiap melaksanakan tugas. Sehingga, mudah mengetahui
keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan dan mampu mengantisipasi peristiwa
serupa di kemudian hari.
Mengenyampingkan rasa sungkan dan rasa enggan
mengawasi dan menindak berbagai bentuk kesalahan yang dilakukan seorang anggota
hanya lantaran status anggota tersebut (anak atau keluarga mantan pimpinan). Tinggalkan
sikap “pembiaran” terhadap suatu penyimpangan karena dari segi materi dan
fasilitas “menguntungkan” kepentingan pribadi dan kesatuan.
Dalam pembinaan personil sebaiknya
berpedoman pada sistem yang berlaku untuk menghilangkan opini yang berkembang
di lingkungan internal dan eksternal Polri bahwa “orang yang dekat dengan
pimpinan” lebih diperhatikan, bukan didasarkan pada prestasi kerja atau
senioritas dalam jabatan, kepangkatan maupun usia. Penerapan metode reward and punishment yang konsekuen dan
konsisten diharapkan mampu meningkatkan dan mempengaruhi motivasi kerja anggota.
Perlu disusun kode etik perilaku (code of conduct) sebagai bagian dari
kode etik (code of ethic) dengan
melibatkan pakar dan fungsi terkait untuk meminimalisasi berbagai bentuk
penyimpangan --terutama dalam penyalahgunaan wewenang (abuse of power)-- yang menjadikan atensi atau kritikan keras dari
kelompok pegiat HAM, Kompolnas, LSM terkait, dan masyarakat.
Optimalkan upaya mengembangkan, membangun
dan menyiapkan kader-kader pengurus terpilih. Dengan begitu, personil-personil
yang potensial secara pengetahuan dan pengalaman menjadi prioritas utama dalam
proses kaderisasi yang “sehat” dan “obyektif”.
Berikan perlindungan organisasi kepada anggota
dan mantan anggota Polri yang terlibat suatu peristiwa hukum secara normatif
dan proporsional. Dengan demikian akan menghilangkan kecenderungan anggota atau
mantan anggota Polri mencari perlindungan ke lingkungan eksternal.
Hindarkan pengambilan keputusan yang
mendasarkan pada opini masyarakat yang dibentuk oleh media, lembaga HAM, LSM dan
pengamat, dengan mengorbankan anggota. Padahal, yang dilakukan oleh anggota
sudah sesuai dengan protap/ketentuan yang berlaku.
·
Aspek Legalitas
Optimalkan peran Divbinkum Polri dengan
membentuk Pokja-Pokja khusus yang melibatkan personil Polri dari fungsi terkait.
Intensifkan perannya untuk memantau perkembangan upaya-upaya pihak tertentu
yang berusaha menempatkan Polri tidak langsung di bawah Presiden namun berada
di bawah suatu kementerian dengan mengusung berbagai isu dan pertimbangan
kelemahan Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya melalui proses penyusunan RUU
Kementerian di lembaga legislatif.
Intensifkan dan optimalkan upaya untuk
mengikuti rencana revisi dan perubahan perundang-undangan yang terkait dan
menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas pokok serta kewenangan Polri dengan
selalu mengirimkan wakil Polri yang kompeten ke forum-forum ilmiah dalam
kaitannya dengan pembahasan RUU tersebut. Dengan demikian wakil Polri tidak
hanya sebagai penonton dan sebatas memenuhi syarat “legalitas”.
Intensifkan lobi-lobi, pendekatan dan
koordinasi dengan pihak yang terkait (terutama anggota legislatif). Sehingga,
pembahasan dan penyusunan RUU itu selalu dapat diikuti perkembangannya.
Optimalkan peran para pakar, LSM dan
masyarakat terkait dengan substansi perundang-undangan yang akan direvisi. Intensifkan
pertemuan untuk menyampaikan aspirasi Polri sehingga kewenangan Polri yang
telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku tidak “dikebiri”,
“digerogoti” dan “tumpang tindih”, dan posisi Polri tidak pada posisi yang semakin
lemah.
Intensifkan koordinasi dengan instansi
penegak hukum terkait lainnya untuk membahas dan menyatukan persepsi atas
perbedaan penafsiran hukum dalam penanganan suatu perkara hukum dengan
menyesuaikan pada hukum acara yang berlaku untuk menghindarkan pengedepanan
“kewenangan dan kekuasaan” suatu instansi penegak hukum yang mengabaikan
kebenaran formil dan materiil.
Intensifkan forum Kemenkumham, Mahkamah
Agung, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK untuk membahas hal-hal yang tidak diatur
dalam suatu aturan perundang-undangan agar tidak terjadi perbedaan penafsiran
hukum yang dapat berkembang menjadi friksi, konflik bahkan sengketa hukum antar-instansi
penegak hukum. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar