Oleh
Budi Nugroho
Sepanjang
tahun 2010 lalu, tercatat 693 kasus kebakaran di wilayah DKI Jakarta. Jakarta
Selatan dan Jakarta Barat menjadi wilayah yang paling sering dilanda kebakaran
dengan jumlah kejadian mencapai 169 kasus. Sementara Jakarta Pusat, Jakarta
Timur dan Jakarta Utara masing-masing 104 kasus, 158 kasus dan 93 kasus. Dari
sisi sebab-musabab: 80 kasus dipicu kompor elpiji 3 Kg, 9 kasus karena lampu, 461 kasus gara-gara arus
pendek listrik, 19 kejadian karena rokok, dan 124 kasus oleh penyebab
lain-lain. Kerugian material mencapai sekitar Rp205 miliar dan 3.234 keluarga
kehilangan rumah. Dan menelan korban 21 orang tewas, luka-luka 69 orang, dan 2
orang petugas tewas. Indonesian Fire Fighting Club (IFFC) mencatat pada
periode 2004 hingga 2009 tercatat 1.000
kasus kebakaran setiap tahun dengan rerata nilai kerugian mencapai Rp853miliar /tahun.
Satu hal
menarik, 124 kasus kebakaran terjadi karena penyebab lain-lain. Yang juga tak
kalah menarik, dari sekian banyak kasus kebakaran, nyaris tak terdengar berapa
banyak yang dapat diajukan ke meja hijau. Yang mengemuka adalah rumor bahwa
kebakaran di lokasi tertentu sengaja dibakar karena hendak digusur untuk
dijadikan apartemen dan atau pusat perbelanjaan. Kita membutuhkan investigasi
tersendiri terhadap kasus-kasus kebakaran agar hal ini tidak menjadi trend sebagai
kiat murah menggusur rakyat di kawasan strategis-bisnis.
Kita
membutuhkan investigasi arson. Yakni, sebuah investigasi untuk menentukan asal
mula dan sebab-musabab kebakaran, apakah seseorang telah secara sengaja
membakar properti orang lain karena tujuan-tujuan ilegal. Tugas investigator
adalah mengumpulkan semua fakta dan bukti-bukti di TKP, lantas memutuskan
apakah kebakaran tersebut disebabkan oleh kesengajaan, alamiah atau kelalaian.
Tidaklah
gampang untuk menjadi seorang investigator arson. Mereka setidaknya harus
menguasai materi pengetahuan karakteristik kimia api, perilaku api, konstruksi
bangunan, penanggulangan dan serangan awal api, interview dan interogasi,
tipologi api, dan kesaksian di pengadilan. Dengan keharusan menguasai materi
pengetahuan semacam itu, veteran Kapten di Buffalo Fire Department yang juga
pernah bergabung dengan New York State Trooper Thomas J. Bouquard (1992) mengajukan
beberapa syarat kelayakan seseorang boleh menjadi investigator arson. Di
antaranya petugas pemadam kebakaran masa kerja lebih dari lima tahun, polisi
masa kerja di atas lima tahun, petugas pemadam kebakaran yang sedang dalam
promosi, sukarelawan pemadam kebakaran lebih dari 10 tahun, instruktur pemadam
kebakaran bersertifikat, dan memahami sistem peradilan pidana.
Penguasaan
atas materi pengetahuan tadi harus senantiasa ditingkatkan lantaran terkadang
substansi kimia baru yang ditemukan di tempat asal mula api dapat membingungkan
investigator, bila tidak dipelajari sebelumnya. Pun pengetahuan tentang sistem
peradilan kriminal atau kepolisian karena pengetahuan umum ini banyak
diterapkan dalam investigasi arson.
Ada
adagium di kalangan petugas pemadam kebakaran bahwa setiap api itu berbeda.
Untuk itu, investigator arson mesti abai terhadap adagium itu dan memulai suatu
prosedur yang memberlakukan setiap api sama. Pendekatan karbon kopi sangat
penting ketika membawa kasus ke pengadilan. Pelaporan bukti yang standar selama
pendakwaan arson membantu jaksa penuntut umum memenangkan kasus. Seorang
investigator arson yang merangkai keseluruhan investigasi secara hati-hati akan
selangkah lebih maju dibandingkan mereka yang bersikap acuh tak acuh dan
ceroboh.
Tak
mudah memang untuk menjadi investigator yang mampu menguak sebuah skandal
kebakaran. Sedikitnya ada 11 langkah untuk sampai sebuah kasus kebakaran layak
dibawa ke meja hijau. Di antaranya menentukan dasar hukum penyelidikan di
lokasi kejadian, peralatan yang tersedia, sterilisasi lokasi, dan mewawancarai
petugas yang meminta penyelidikan. Kemudian, dua dari anggota tim investigasi mewawancarai
orang yang pertama kali melaporkan adanya api, memotret lokasi, mencatat pola
pembakaran, mengumpulkan bukti dan memvisualisasikan lokasi sebelum terjadi
kebakaran. Dilanjutkan inspeksi sistematis terhadap seluruh struktur yang
tersisa guna menentukan titik asal api dan membuktikan penyebab kebakaran:
kecelakaan, kelalaian ataukah kesengajaan.
Berikutnya,
membandingkan cacatan kedua investigator dan memutuskan apakah diperlukan penyelidikan
lebih lanjut. Jika dicurigai terjadi arson maka semua bukti fisik dibawa ke
laboratorium kriminal dan semua catatan tertulis dan hasil wawancara diserahkan
ke jaksa penuntut.
Selain
itu, bilamana tim merasa yakin telah terjadi arson, investigator harus menjalin
kerja sama dengan pihak lain. Misalkan mencari informasi penting mengenai
asuransi ganti rugi di Property Insurance
Loss Register atau dinas perizinan guna mencari tahu apakah telah terjadi
pelanggaran terhadap kesehatan, listrik dan petunjuk pencegahan api. Selanjutnya
tim mendiskusikan dengan jaksa penuntut untuk mengulas kemungkinan mengajukan
dakwaan. Jikalau dirasa cukup bukti, jaksa penuntut menentukan bahwa telah terjadi
kasus dan segera melanjutkan penyidikan dengan tim investigator arson.
Investigasi
arson bukanlah pekerjaan mudah. Tahun 1991 misalkan, 11.845 biro penegak hukum
di Amerika Serikat melaporkan adanya 99.784 pelanggaran arson. Berdasarkan
properti, jumlah bangunan yang terkena arson sebanyak 46.478, mobil 23.595 unit
dan kategori ‘lain’ 16.074. Rata-rata kerugian dalam setiap pelanggaran arson
mencapai 11.980 dolar AS. Tingkat pemecahan kasus arson secara nasional sekitar
16%, kota dengan penduduk kurang dari 10.000 penduduk sekitar 25% dan kota-kota
besar hanya memecahkan sekitar 15% kasus arson.
Di tengah kecenderungan kasus kebakaran di
Jakarta yang nyaris tak pernah turun dan kerap diikuti isu-isu tak sedap, sudah
saatnya kita mesti memiliki tenaga-tenaga investigator arson yang andal dan
menguasai benar ilmu tentang kimiawi api. Tak hanya Jakarta yang membutuhkan
tenaga berkualifikasi demikian, Indonesia pun harus mendidik banyak
investigator arson. Sebab, dari tahun ke tahun kita juga hampir-hampir tak
berdaya menghadapi kasus-kasus kebakaran hutan. Kementerian Kehutanan hanya
menargetkan penurunan luas kebakaran hutan sekitar 10% per tahun, dari 6.113,77
ha tahun 2010 menjadi 5.434,46 (2011), 4.755,16 ha (2012), 4.075,85 ha (2013)
dan 3.396,54 ha (2014). Target itu akan sulit tercapai tanpa dibarengi penegakan
hukum di balik kasus-kasus kebakaran dengan menghadirkan investigator arson
yang andal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar