ad

Rabu, 17 Juli 2013

Investigasi Arson

Oleh Budi Nugroho

Sepanjang tahun 2010 lalu, tercatat 693 kasus kebakaran di wilayah DKI Jakarta. Jakarta Selatan dan Jakarta Barat menjadi wilayah yang paling sering dilanda kebakaran dengan jumlah kejadian mencapai 169 kasus. Sementara Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara masing-masing 104 kasus, 158 kasus dan 93 kasus. Dari sisi sebab-musabab: 80 kasus dipicu kompor elpiji 3 Kg,  9 kasus karena lampu, 461 kasus gara-gara arus pendek listrik, 19 kejadian karena rokok, dan 124 kasus oleh penyebab lain-lain. Kerugian material mencapai sekitar Rp205 miliar dan 3.234 keluarga kehilangan rumah. Dan menelan korban 21 orang tewas, luka-luka 69 orang, dan 2 orang petugas tewas. Indonesian Fire Fighting Club (IFFC) mencatat pada periode  2004 hingga 2009 tercatat 1.000 kasus kebakaran setiap tahun dengan rerata nilai  kerugian mencapai Rp853miliar /tahun.
Satu hal menarik, 124 kasus kebakaran terjadi karena penyebab lain-lain. Yang juga tak kalah menarik, dari sekian banyak kasus kebakaran, nyaris tak terdengar berapa banyak yang dapat diajukan ke meja hijau. Yang mengemuka adalah rumor bahwa kebakaran di lokasi tertentu sengaja dibakar karena hendak digusur untuk dijadikan apartemen dan atau pusat perbelanjaan. Kita membutuhkan investigasi tersendiri terhadap kasus-kasus kebakaran agar hal ini tidak menjadi trend sebagai kiat murah menggusur rakyat di kawasan strategis-bisnis.
Kita membutuhkan investigasi arson. Yakni, sebuah investigasi untuk menentukan asal mula dan sebab-musabab kebakaran, apakah seseorang telah secara sengaja membakar properti orang lain karena tujuan-tujuan ilegal. Tugas investigator adalah mengumpulkan semua fakta dan bukti-bukti di TKP, lantas memutuskan apakah kebakaran tersebut disebabkan oleh kesengajaan, alamiah atau kelalaian.
Tidaklah gampang untuk menjadi seorang investigator arson. Mereka setidaknya harus menguasai materi pengetahuan karakteristik kimia api, perilaku api, konstruksi bangunan, penanggulangan dan serangan awal api, interview dan interogasi, tipologi api, dan kesaksian di pengadilan. Dengan keharusan menguasai materi pengetahuan semacam itu, veteran Kapten di Buffalo Fire Department yang juga pernah bergabung dengan New York State Trooper Thomas J. Bouquard (1992) mengajukan beberapa syarat kelayakan seseorang boleh menjadi investigator arson. Di antaranya petugas pemadam kebakaran masa kerja lebih dari lima tahun, polisi masa kerja di atas lima tahun, petugas pemadam kebakaran yang sedang dalam promosi, sukarelawan pemadam kebakaran lebih dari 10 tahun, instruktur pemadam kebakaran bersertifikat, dan memahami sistem peradilan pidana.
Penguasaan atas materi pengetahuan tadi harus senantiasa ditingkatkan lantaran terkadang substansi kimia baru yang ditemukan di tempat asal mula api dapat membingungkan investigator, bila tidak dipelajari sebelumnya. Pun pengetahuan tentang sistem peradilan kriminal atau kepolisian karena pengetahuan umum ini banyak diterapkan dalam investigasi arson.
Ada adagium di kalangan petugas pemadam kebakaran bahwa setiap api itu berbeda. Untuk itu, investigator arson mesti abai terhadap adagium itu dan memulai suatu prosedur yang memberlakukan setiap api sama. Pendekatan karbon kopi sangat penting ketika membawa kasus ke pengadilan. Pelaporan bukti yang standar selama pendakwaan arson membantu jaksa penuntut umum memenangkan kasus. Seorang investigator arson yang merangkai keseluruhan investigasi secara hati-hati akan selangkah lebih maju dibandingkan mereka yang bersikap acuh tak acuh dan ceroboh.
Tak mudah memang untuk menjadi investigator yang mampu menguak sebuah skandal kebakaran. Sedikitnya ada 11 langkah untuk sampai sebuah kasus kebakaran layak dibawa ke meja hijau. Di antaranya menentukan dasar hukum penyelidikan di lokasi kejadian, peralatan yang tersedia, sterilisasi lokasi, dan mewawancarai petugas yang meminta penyelidikan. Kemudian, dua dari anggota tim investigasi mewawancarai orang yang pertama kali melaporkan adanya api, memotret lokasi, mencatat pola pembakaran, mengumpulkan bukti dan memvisualisasikan lokasi sebelum terjadi kebakaran. Dilanjutkan inspeksi sistematis terhadap seluruh struktur yang tersisa guna menentukan titik asal api dan membuktikan penyebab kebakaran: kecelakaan, kelalaian ataukah kesengajaan.
Berikutnya, membandingkan cacatan kedua investigator dan memutuskan apakah diperlukan penyelidikan lebih lanjut. Jika dicurigai terjadi arson maka semua bukti fisik dibawa ke laboratorium kriminal dan semua catatan tertulis dan hasil wawancara diserahkan ke jaksa penuntut.
Selain itu, bilamana tim merasa yakin telah terjadi arson, investigator harus menjalin kerja sama dengan pihak lain. Misalkan mencari informasi penting mengenai asuransi ganti rugi di Property Insurance Loss Register atau dinas perizinan guna mencari tahu apakah telah terjadi pelanggaran terhadap kesehatan, listrik dan petunjuk pencegahan api. Selanjutnya tim mendiskusikan dengan jaksa penuntut untuk mengulas kemungkinan mengajukan dakwaan. Jikalau dirasa cukup bukti, jaksa penuntut menentukan bahwa telah terjadi kasus dan segera melanjutkan penyidikan dengan tim investigator arson.
Investigasi arson bukanlah pekerjaan mudah. Tahun 1991 misalkan, 11.845 biro penegak hukum di Amerika Serikat melaporkan adanya 99.784 pelanggaran arson. Berdasarkan properti, jumlah bangunan yang terkena arson sebanyak 46.478, mobil 23.595 unit dan kategori ‘lain’ 16.074. Rata-rata kerugian dalam setiap pelanggaran arson mencapai 11.980 dolar AS. Tingkat pemecahan kasus arson secara nasional sekitar 16%, kota dengan penduduk kurang dari 10.000 penduduk sekitar 25% dan kota-kota besar hanya memecahkan sekitar 15% kasus arson.
 Di tengah kecenderungan kasus kebakaran di Jakarta yang nyaris tak pernah turun dan kerap diikuti isu-isu tak sedap, sudah saatnya kita mesti memiliki tenaga-tenaga investigator arson yang andal dan menguasai benar ilmu tentang kimiawi api. Tak hanya Jakarta yang membutuhkan tenaga berkualifikasi demikian, Indonesia pun harus mendidik banyak investigator arson. Sebab, dari tahun ke tahun kita juga hampir-hampir tak berdaya menghadapi kasus-kasus kebakaran hutan. Kementerian Kehutanan hanya menargetkan penurunan luas kebakaran hutan sekitar 10% per tahun, dari 6.113,77 ha tahun 2010 menjadi 5.434,46 (2011), 4.755,16 ha (2012), 4.075,85 ha (2013) dan 3.396,54 ha (2014). Target itu akan sulit tercapai tanpa dibarengi penegakan hukum di balik kasus-kasus kebakaran dengan menghadirkan investigator arson yang andal.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar