ad

Sabtu, 25 Juni 2016

Jual Kulit Harimau Sumatera, Residivis di Aceh Ini Diganjar 3 Tahun Penjara



Polda Aceh saat menunjukkan barang bukti kulit harimau yang berhasil ditangkap dari pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh, 17 Maret 2016. Foto: Junaidi Hanafiah

Pengadilan Negeri Bireuen memvonis Maskur, seorang residivis kejahatan satwa di Aceh, penjara 3 tahun, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa yaitu 2,5 tahun penjara. Maskur terbukti menjual kulit dan tulang dua anak harimau sumatera yang dibunuhnya dengan cara diracun, di kebun miliknya di Linge, Aceh Tengah, Aceh.
“Ini vonis tertinggi yang pernah dijatuhkan pengadilan di Aceh untuk pelaku kejahatan satwa,” urai Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU), yang dihubungi paska sidang putusan kasus perdagangan harimau di Bireuen, Rabu (22/6/2016).
Persidangan itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Effendi, SH, MH, serta hakim anggota Mukhtaruddin SH dan Rahma Novatiana SH serta jaksa penuntut umum Eko, SH dan Dede, SH.
Maskur terbukti melanggar pasal 21 junto pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dalam pertimbangan hakim, hukuman Maskur diperberat karena warga Takengon itu pernah melakukan kejatan serupa tahun 2014. Ia pernah divonis Pengadilan Takengon 1 tahun 4 bulan penjara, denda Rp10 juta, dan subsider 2 bulan.
Bersamaan dengan Maskur, hakim juga memvonis seorang warga Bireuen bernama Agus Salim dengan hukuman penjara 2 tahun, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan penjara. Agus ditangkap polisi di Cot Gapu, Bireuen pada 17 Maret 2016 saat menerima dua lembar kulit harimau dan tulang-tulangnya dari Maskur.
Saat penangkapan, Maskur sempat melarikan diri, namun akhirnya menyerahkan diri kepada polisi. Agus Salim adalah seorang penadah dan dia berencana akan menjual kulit dan tulang harimau itu ke penampung yang lebih besar. Atas vonis ini baik jaksa dan kedua terpidana tidak melakukan banding.


Pemusnahan barang bukti satwa liar yang dilakukan di Banda Aceh, Senin 23 Mei 2016. Foto: Chik Rini

WCU mengapresiasi putusan hakim di Aceh ini karena lebih baik, yang rata-rata pelaku kejatan satwa hanya dihukum kisaran 1 tahun. Vonis di Aceh ini juga diikuti oleh vonis kasus perdagangan harimau di Bengkulu yang memberi hukuman 4 tahun penjara untuk pelaku.
“Kami mendesak hasil proses pengadilan kejahatan satwa di Aceh dan Bengkulu ini bisa diikuti oleh hakim-hakim di pengadilan lain terutama hakim di Pengadilan Negeri Tanggerang yang kerap memvonis ringan para pelaku penyelundupan satwa ke luar negeri sehingga tidak memberi efek jera,” kata Irma.
WCU selama ini aktif membantu aparat penegak hukum, membongkar kasus-kasus kejahatan satwa di Indonesia. “Dari 26 kasus kejahatan satwa yang pernah kami eksekusi, 6 diantaranya adalah  perdagangan dan perburuan harimau sumatera yang terjadi di Aceh dan Jakarta. Sebanyak 6 orang sudah pernah divonis dengan barang bukti 4 lembar kulit harimau,” papar Irma.
Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan subspesies yang masih tersisa di Indonesia. Dua subspesies lainnya yang pernah ada yaitu harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah sebelumnya. Harimau sumatera adalah satu dari 25 spesies terancam punah yang populasinya ditargetkan meningkat sebesar 10 persen. Dasar acuannya adalah, kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati. Sumber: Presentasi Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar