ad

Minggu, 24 Maret 2013

Nestapa TKI (5)


EMPAT
BERCERMIN PADA NEGARA LAIN


Belajarlah sampai ke negeri China.

(Kata bijak Rasulullah Muhammad SAW)


Dalam berbagai kesempatan saya senantiasa menandaskan, ”Muliakan dan lindungilah TKI kita, niscaya akan membawa kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, apa salahnya marilah kita bercermin dari beberapa negara yang melindungi dan memuliakan para TKI-nya sebagai pembelajaran.
Pelajaran dari kemajuan negara lain itu sangatlah penting untuk kita petik buah akal-budi yang berkembang di sana dan kita jadikan sebagai bahan pembelajaran agar kita bisa menjadi jauh lebih baik. Bukankah Sang Nabi, Rasulullah Muhammad SAW, juga telah menitahkan dengan kata-kata bijak yang maknanya begitu dalam, ”Belajarlah sampai ke negeri China”. Artinya, Rasulullah menghimbau kepada kita supaya tidak hidup seperti katak di dalam tempurung. Untuk itu, agar dapat meraih kemajuan khususnya di bidang pengelolaan TKI yang bisa dikatakan di negeri ini masih amburadul, tidak salahnya kita bercermin pada beberapa negara lain yang jauh lebih baik. Mulai dari proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan hingga pemulangan.
Salah satu negara yang telah menerapkan sistem dan manajemen tenaga kerja ke luar negeri yang tertata apik adalah Filipina. Sekadar pengetahuan, sebenarnya Indonesia dan Filipina sama-sama sebagai negara yang banyak mengirim warganya untuk bekerja di luar negeri. Terutama, ke negara-negara kaya dan maju seperti Arab Saudi, Jepang dan Amerika Serikat. Yang membedakan, pemerintah Filipina sangat konsen dengan nasib rakyatnya yang bekerja di luar negeri sementara negeri kita bisa saya katakan nyaris tidak memberi perhatian. Negeri (pemerintah) kita sangat acuh dan tidak peduli terhadap nasib warganya yang bekerja di manca negara. Bahkan, kalau saya bandingkan dan perhatikan, manajemen penempatan dan pengiriman tenaga kerja Filipina itu jauh lebih baik, tertata dan tersistem dibandingkan manajemen tenaga kerja Indonesia. Bagi saya ini suatu hal yang tidak dapat dipungkiri karena ini merupakan suatu hal yang sudah diketahui khalayak orang banyak bahwa itulah citra buruk negara Indonesia, serta citra baik pemerintah Filipina dalam hal perlindungan tenaga kerja.

Alasan kenapa pemerintah Filipina sangat serius dan konsen serta sangat memuliakan warganya yang bekerja di luar luar negeri, karena mereka hampir setiap tahun menyumbang devisa yang tidak kecil bagi perekonomian negara. Rata-rata mereka mampu menyumbang devisa sebesar hampir 20 miliar dolar AS dalam setahun. Bahkan devisa yang diperoleh dari warganya ini menjadi penyumbang terbesar dari seluruh devisa yang dihasilkan oleh pemerintah Filipina. Jadi jangan heran kalau tenaga kerja asal Filipina itu menjadi "anak emas" di negerinya. Sementara di Indonesia, sumbangan devisa yang bersumber dari TKI itu belum mencapai 7 miliar dolar AS setahun (www.blogspot.com).

Pemerintah Filipina menyadari betul penghasilan warganya yang bekerja di negara lain itu sangat mendukung perekonomian negara. Sebab itu, pemerintah Filipina (negara) menyadari pula bahwa negara wajib memberikan perlindungan maksimal kepada warganya tersebut. Mulai dari perekrutan hingga kembali ke Bayan Ko ’negeriku’. Bahkan untuk melindungi mereka pemerintah Filipina menempatkan atase perburuhan dan mendirikan crisis center (pusat pengaduan) di negara-negara di mana tenaga kerja Filipina mengadu nasib. Terbukti, atase perburuhan dan mendirikan crisis center benar-benar memberikan kenyamanan dan keamanan bagi tenaga kerja Filipina. Dengan demikian mereka bisa bekerja dengan tenang dan baik sehingga memperoleh hasil yang baik pula.

Lebih dari itu, untuk melindungi warganya yang bekerja di negara lain, tahun 1982 pemerintah Filipina membuat suatu lembaga khusus. Namanya Philippine Employment Overseas Agency (PEOA). PEOA merupakan lembaga yang berada di bawah Dewan Pengawas yang diketuai Secretary of Labor Employment. Dan di antaranya bertugas, pertama, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Filipina agar tidak dieksploitasi oleh majikan atau perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja (PJTK) di negara mana pun mereka berada. Kedua, mendorong ketenaga-kerjaan di negara-negara yang melakukan praktik terbaik. Ketiga, mengatur agen-agen penyalur jasa tenaga kerja. Keempat, menyelenggarakan pendidikan bagi calon tenaga kerja luar negeri dan memelihara sebuah sistem informasi pasar pekerja yang selalu diperbarui. Kelima, mengeluarkan sertifikasi PJTK yang memenuhi persyaratan. Termasuk pula mengeluarkan pelarangan terhadap PJTK yang melakukan pelanggaran atau penipuan terhadap tenaga kerja. Sertifikasi ini dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban pengesahan terhadap setiap kontrak kerja yang akan ditanda-tangani oleh para calon tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa isi kontrak tidak akan merugikan para tenaga kerja, terutama dalam hal upah dan fasilitas yang dijanjikan. Tanpa adanya stempel dari POEA jangan harap PJTK atau calon tenaga kerja dapat keluar dari negaranya.
Guna melindungi warganya yang bekerja di negara lain, pemerintah Filipina juga dikenal amat tegas terhadap PJTK yang ketahuan melakukan upaya pemerasan  terhadap calon tenaga kerja yang ingin bekerja di negeri orang. Menurut laporan tahunan POEA, tidak kurang dari 497 kasus yang dilakukan PJTK dibawa ke pengadilan. Bahkan beberapa di antara PJTK tersebut ada yang sampai dihukum seumur hidup. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, PEOA juga gencar berkampanye dan memberikan himbauan kepada warganya, terutama bagi mereka yang ingin bekerja di negara lain agar bersikap hati-hati dan selektif terhadap perusahaan pengerah jasa tenaga kerja.
Yang menarik, sebelum warga Filipina diberangkatkan ke negara lain untuk bekerja, mereka terlebih dulu diwajibkan membayar fee kepada POEA. Besaran fee sekitar 100 dolar AS atau setara dengan Rp900.000 per orang. Uang ini dapat diambil kembali bila kelak mereka gagal berangkat dengan alasan apapun. Biaya ini belum termasuk pengurusan dokumen seperti paspor, visa, asuransi kecelakaan, kesehatan, dan surat keterangan dari kepolisian.
Mengenai biaya yang harus dikeluarkan calon tenaga kerja dibuat secara transparan. Setiap calon tenaga kerja dapat mengetahui dan melihat di setiap kantor PJTK atau POEA. Dan PJTK hanya bisa mendapatkan uang jasa dari setiap tenaga kerja yang jumlahnya tidak boleh melebihi satu bulan dari upah si pekerja berdasarkan kontrak yang telah ditanda-tangani. Itupun umumnya dibayar secara angsuran saat pekerja telah ada dan bekerja di negara tujuan.
Perhatian pemerintah Filipina tidak sampai di situ saja. Pemerintah Filipina memperhatikan sampai detil-detil si pekerja di tempat kerjanya. Pemerintah mendata dengan baik mulai dari alamat di mana dia bekerja, siapa nama majikannya, batas waktu kontrak dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk terus bisa memantau keberadaan para pekerja di negeri orang lain. Dan saya mau mengatakan bahwa pehatian seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Pemerintah Filipina, tapi sudah menjadi standar perlakuan pemerintah negara lain seperti Bangladesh dan India. Yang membedakan, selain mendata keberadaan tenaga kerja di luar negeri, Pemerintah Filipina juga mewajibkan setiap tenaga kerja mengirimkan US$100 per bulan kepada keluarga yang mereka tinggalkan. Jika mereka tidak memenuhi kewajiban tersebut, perwakilan negara segera mengecek di mana keberadaan si pekerja tersebut. Ketika sudah diketahui keberadaannya, dan mereka berdalih karena lupa atau ada alasan lain, mereka akan dikenai sanksi.
Jumlah uang US$100 per bulan memang termasuk relatif kecil bagi tenaga kerja asal Filipina. Sebab, seorang tenaga kerja Filipina menerima upah terendah sekitar US$1.000 per bulan atau US$12 ribu per tahun. Ya wajar saja jika gaji mereka besar, karena kualitas tenaga kerja asal Filipina itu jauh lebih baik dan mereka rata-rata mampu serta fasih berbahasa asing, terutama Inggris. Mereka tidak sekadar bermodalkan bahasa “Salam Sejahtera” atau “Assalammualaikum” saja. Lantaran saking kecilnya, uang itu biasanya lebih banyak dimasukkan ke dalam amplop bersama surat dan dikirim melalui pos udara, ketimbang transfer melalui bank.
Dalam memberikan perlindungan pada warganya yang bekerja di luar negeri, rasanya, pemerintah kita tertinggal jauh dibandingkan dengan kepedulian pemerintah Filipina. Sungguh beruntung tenaga kerja asal Filipina. Mereka benar-benar diperhatikan secara serius dan dimuliakan oleh pemerintahnya. Mulai dari orientasi sebelum keberangkatan bahkan sampai pembelaan bila menghadapi kasus hukum di negara tempat mereka bekerja. Saya akan memberikan ilustrasi menarik tentang bagaimana cara pemerintah Filipina termasuk negara lain seperti Sri Langka dan Vietnam dalam menangani kasus-kasus atau permasalahan warganya yang bekerja di negara lain.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu sekitar 400 tenaga kerja Filipina melakukan pemogokan di salah satu perusahaan garmen di Brunei Darussalam. Mereka mogok kerja karena menuntut kenaikan upah sesuai dengan perjanjian kontrak yang ditanda-tangani di negaranya sebelum berangkat. Perundingan dalam kasus ini bisa dibilang berjalan alot dan berlangsung hampir seminggu tanpa hasil, meski kedutaan Filipina dan pejabat setempat dilibatkan dalam perundingan. Karena masalah ini tidak kunjung usai, akhirnya Wakil Presiden Filipina Teofisto Guingona sengaja terbang dari negaranya untuk menengahi konflik yang semakin memanas itu.
Bayangkan untuk menangani kasus ini saja, seorang wakil presiden merasa wajib dan mau turun tangan langsung mencoba menengahi kasus pemogokan warganya di negeri orang lain. Ya, meski akhirnya tidak terjadi kesepakatan antar kedua negara dan pekerja Filipina memilih pulang ke negaranya. Dan dalam pemulangannya pun para pekerja mereka tidak harus terlunta-lunta menunggu sarana transportasi. Sebab, pemerintah Filipina telah bekerjasama dengan maskapai penerbangannya untuk mengangkut warganya pulang.
Kasus lainnya, pada tahun 1995 Pemerintah Filipina juga telah secara mati-matian membebaskan seorang warga negaranya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Singapura yang terancam hukuman mati di tiang gantungan lantaran dituduh melakukan pembunuhan terhadap rekannya seprofesi (Republika, 27 Maret 1995). Menanggapi kejadian ini, reaksi pemerintah dan rakyat Filipina ketika itu bisa dikatakan sangatlah maksimal karena sempat meruncingkan atau terjadi pemutusan hubungan diplomatik di antara kedua negara tersebut. Begitu pula ketika mencuat kasus Sarah Balabagan dan Flor Contemplacion yang diancam hukuman mati di Negeri Jiran Singapura. Segenap kekuatan politik luar negeri Filipina dikerahkan untuk membebaskan mereka. Bahkan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo sempat mengancam hendak memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura. Ya memang, Pemerintah Filipina adalah pemerintah yang tak segan-segan mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara penempatan yang tidak memperlakukan warganya secara adil dan bermartabat.
Demikian juga ketika tenaga kerja asal Filipina menghadapi masalah yang sama di Malaysia. Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo ketika itu langsung turun langsung melakukan langkah-langkah yang proaktif. Beliau benar-benar tampil dengan sigap membela warga negaranya. Mulai dari menelepon Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad agar menghentikan pemulangan tenaga kerjanya dan menjemput langsung mereka yang datang, hingga melalui stasiun televisi nasional dengan nada sedih beliau menyerukan kepada rakyatnya agar membantu dan mendoakan saudara-saudara mereka yang bernasib kurang baik tersebut (Media Indonesia, 03 September 2002). Perlu diketahui juga di Arab Saudi, kalangan diplomat Filipina sangat disegani dan ditakuti oleh kalangan pejabat Saudi. Pasalnya, para diplomat Filipina ini umumnya dikenal sangat berani, tegas dan tidak kenal kompromi apabila terjadi abuse pada tenaga kerjanya. Sementara, kalangan diplomat kita yang ada di Arab Saudi lebih sering tidak peduli dengan berbagai keluhan para TKI/TKW yang datang setiap hari ke KJRI Jeddah. Alih-alih mau meneruskan keluhan itu ke pihak Saudi, pihak KJRI malas atau enggan menemui TKI/TKW yang datang.

Perhatian dan pembelaan mati-matian terhadap warganya yang bekerja di luar negeri juga pernah dilakukan oleh Pemerintah Sri Langka. Yaitu, ketika pekerjanya yang bernama LT Ariyawathi pulang dalam keadaan mengenaskan. LT Ariyawathi adalah wanita berusia 49 tahun asal Sri Lanka yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi. Selama bekerja di Arab Saudi ia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari majikannya. Hampir setiap hari ia disiksa dan bahkan yang paling menyedihkan ia sempat dipaku dan ditusuk dengan 24 buah paku/jarum di sekujur tubuhnya. Semula tak ada seorang pun yang mengetahui kasus ini, kecuali LT Ariyawathi sendiri. Jejak  penyiksaan ini baru ketahuan setelah Ariyawathi pulang ke negeri asalnya, Sri Lanka. Beberapa hari setelah sampai di Sri Langka ia mengeluh kesakitan di sekujur tubuhnya. Lalu ia dirujuk agar dibawa dan diperiksa di Rumah Sakit Kamburupitiya yang terletak sekitar 160 km dari ibukota Colombo.
Setiba di Rumah Sakit Kamburupitiya, tim dokter yang memeriksa LT Ariyawathi merasa terkejut. Karena, ketika tubuh Ariyawathi di-rontgen dengan sinar X terlihat adanya 24 buah paku/jarum yang masih menancap di tubuhnya. Paku dan jarum yang berukuran 2,5 cm hingga 5 cm ini menancap di tangan, lutut, kaki, bahkan di dekat mata LT Ariyawathi. Sebagian paku-paku yang tertancap di sekujur tubuhnya itu --antara lain tertanam di sekitar mata atau keningnya-- ditancapkan oleh majikannya dengan cara dipukul dengan palu. Sedangkan paku lainnya ditancapkan ke tubuh Ariyawathi setelah terlebih dulu paku itu dipanaskan. Majikannya menyiksa LT Ariyawathi dengan dalih sebagai hukuman karena ia mengeluhkan beban kerja yang terlalu berat. Dalam proses pemakuan, majikan perempuan memanaskan paku-pakunya dan sang majikan laki-laki yang menancapkan lalu memakunya ke sekujur tubuh Ariyawathi. Yang lebih menyesakkan lagi, sudah disiksa layaknya binatang, ibu tiga anak ini dibayar tidak sesuai dengan jangka waktu selama bekerja di Arab Saudi. Alasannya, sebagian gaji Ariyawathi digunakan oleh majikannya untuk membeli tiket penerbangan pulang ke Sri Lanka.
Dr Keerthi Satharasinghe, dokter yang ketika itu memeriksa LT Ariyawathi, mengatakan wajar saja LT Ariyawathi kesulitan dan merasa kesakitan saat berjalan, karena masih tertanam dua paku di lutut dan dua paku di pergelangan kakinya. Dalam operasi yang berlangsung selama 3 jam tersebut, tim dokter berhasil mengeluarkan 13 paku dan 5 jarum. Mereka hanya mengambil paku dan jarum yang ada di kaki dan kepalanya. Sementara enam jarum di tangannya tak bisa diambil karena dikhawatirkan operasi akan merusak sistem saraf tangan.
Mengetahui perlakuan yang tidak manusiawi ini, pihak Pemerintah Sri Lanka (dalam hal ini Kementerian Luar Negeri Sri Lanka) langsung turun tangan dengan melaporkan kasus tindak kekerasan ini kepada Pemerintah Arab Saudi. Supaya pihak Arab Saudi memberikan kompensasi dan bantuan kepada LT Ariyawathi dan si pelaku segera ditangkap serta dikenakan hukuman yang setimpal.
 
Hal yang sama juga pernah dilakukan Pemerintah Vietnam. Yakni, sewaktu tahun 2007 lalu ada kasus sekitar 200 pekerja asal Vietnam yang bekerja di sebuah pabrik garmen di Jalan Kampung Jawa, Kuala Lumpur, Malaysia, melakukan aksi mogok kerja. Mereka mogok karena ingin menuntut kenaikan gaji. Sebab, upah yang diterima saat itu dirasa terlalu rendah dan tidak sesuai dengan perjanjian kontrak kerja. Mereka mengaku hanya digaji 30 ringgit Malaysia setiap bulan setelah dikurangi beragam pembayaran, termasuk membayar agen. Karena dikhawatirkan masalah ini akan semakin memanas, Pemerintah Vietnam tidak mau tinggal diam. Tanpa berlama-lama, akhirnya pejabat dari Kedutaan Besar Vietnam turun langsung melakukan negosiasi dengan perwakilan pekerja dan pemilik perusahaan serta Departemen Tenaga Kerja Malaysia.
Saya menilai cara kerja para pejabat Filipina, Sri Langka dan Vietnam tadi sungguh patut kita contoh. Mulai dari sikap caring mereka terhadap rakyatnya yang bekerja di negara lain, sikap pembelaan terhadap rakyatnya yang bermasalah, sikap ketegasan dan sekaligus keberanian menanggung risiko demi membela nyawa warganya. Di Filipina dan Sri Langka, termasuk di negara lain seperti Bangladesh dan Vietnam, nyawa seorang warganya yang bekerja di negara lain itu sama mahalnya dengan nyawa seorang politisi bahkan setara dengan nyawa seorang Presiden. Saya menilai Ini memang satu hal yang mustahil terjadi di negara kita. Jangankan wakil presiden, pejabat setingkat menteri pun hanya berani berkoar di dalam negeri sambil mengkambing-hitamkan pemerintah negara lain tanpa melakukan tindakan konkret apapun ketika mendengar atau melihat TKI menghadapi persoalan.
***
Dari Filipina, Sri Langka dan Vietnam, ada baiknya kita juga belajar ke India dan Hongkong. Sebab, India dan Hongkong juga dikenal sebagai negara yang cukup berhasil melindungi dan menangani pelayanan dan perlindungan warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Mari kita simak kisah berikut. Suatu ketika empat pekerja migran asal India tewas terpanggang setelah sebuah pabrik sekaligus toko tekstil tempat mereka bekerja hangus dilalap si jago merah. Pabrik yang terletak di Johor, Malaysia, ini diduga dibakar secara sengaja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya wadah berisi empat liter bensin yang berada di lokasi kebakaran. Walaupun ketika peristiwa terjadi, pihak berwenang sendiri masih belum dapat mengidentifikasi keempat korban kebakaran karena kondisi mayat yang hangus terbakar dan menyulitkan pihak kepolisian untuk mengetahui identitas para korban. Tapi pihak pemilik toko, Mutu Veeraya, mengakui kalau dua korban yang tewas tersebut merupakan pekerjanya yang berasal India. Sedangkan dua orang lainnya adalah teman dari karyawannya yang juga sama-sama berasal dari India.
Mengetahui kejadian tersebut, Pemerintah India tak tinggal diam. Pemerintah India turun langsung dalam upaya menyelesaikan perkara ini. Pemerintah India menginginkan pihak Malaysia bertanggung-jawab atas kematian warganya dengan cara menuntaskan dan segera menyelidiki kasus ini supaya diketahui siapa pelaku pembakaran pabrik tersebut dan segera diberi hukuman setimpal  (www.okezone.com).
Perlindungan Pemerintah India terhadap warganya yang bekerja di luar negeri boleh dikatakan cukup memadai. Sebagai gambaran umum, tenaga kerja India di luar kini negeri berjumlah sekitar 5 juta orang. Sekitar 90% di antaranya bekerja di negara-negara kawasan Teluk dan Timur Tengah. Tenaga kerja India ini sebagian besar (sekitar 70%) merupakan pekerja formal, seperti di bekerja sektor jasa (perhotelan, perbankan, dan pendidikan), sektor kesehatan (dokter dan perawat), dan sektor industri (teknisi). Kemudian pekerja semi formal sebanyak 20% yang meliputi sektor konstruksi (pekerja proyek) dan sektor transportasi (sopir bis dan taksi). Sedangkan sisanya 10% di sektor informal, yakni pembantu rumah tangga atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Setiap tahun mereka mampu menyumbang devisa sekitar US$12–15 miliar.
Untuk melindungi warganya yang bekerja di negara lain dari hal-hal yang tidak diinginkan, Pemerintah India --melalui Ministry of Overseas Indian Affairs (MOIA-Departemen Luar Negeri India)-- memayungi mereka dengan menerbitkan Undang-Undang Ketenaga-kerjaan. Awalnya kementerian yang mengurus para pekerja migran India ini dibentuk pada Mei tahun 2004 dengan nama The Ministry of Non-Resident Indians. Seiring dengan perjalanan waktu, pada September 2004 lembaga ini berganti nama menjadi Ministry of Overseas Indian Affairs (MOIA). Sampai saat ini Pemerintah India sudah memberlakukan kurang lebih 55 Undang-Undang Ketenagakerjaan Pusat dan 100 Undang-Undang Ketenagakerjaan negara bagian.
Di antara ratusan UU tersebut, terdapat yang namanya Undang-undang Pabrik. Sebuah Undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah India khusus untuk melindungi tenaga kerja yang bekerja di sektor domestik. Semula Undang-undang ini berisi tentang pemberlakuan 48 jam kerja dalam sepekan. Namun, dalam perkembangannya, pada tahun 2005 dilakukan perubahan terhadap Undang-undang ini dengan menambahkan pasal tentang aturan yang membolehkan pekerja wanita untuk bekerja pada shift malam. Dari jam 10.00 malam sampai 06.00 pagi. Dengan syarat harus tetap ada jaminan perlindungan keamanan. Undang-undang ini juga menyempurnakan aturan mengenai bekerja di luar 9 jam per hari (sampai jam 10 malam) dan bekerja pada hari libur nasional. Bekerja di kedua waktu ini dihitung sebagai lembur dan harus dibayar dua kali lipat dari upah normal. Selain upah, mereka juga diberikan tunjangan (keluarga dan kesehatan). Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai ketentuan gaji minimum, waktu cuti dan kepastian perlindungan hukum dari negara tujuan hingga akses informasi dari negara asal dan negara tempat mereka bekerja.
Pemerintah India juga yang menerbitan peraturan yang diberi nama Undang-undang Pekerja Anak-anak tahun 1986. Dalam Undang-Undang ini diatur bahwa anak-anak yang berusia masih di bawah 14 tahun dilarang bekerja. Dan hanya warga India yang telah berusia 30 tahun-lah yang diperbolehkan bekerja ke luar negeri. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir kasus-kasus eksploitasi tenaga kerja, terutama yang bekerja di sektor informal, seperti pekerja pembantu rumah tangga.
Sementara untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja India yang bermasalah, Ministry of Overseas Indian Affairs telah membentuk suatu badan bernama Indian Community Welfare Fund (ICWF - Dana Kesejahteraan Masyarakat India). ICWF inilah yang kemudian bertugas dan berfungsi memberikan biaya kehidupan tenaga kerja India bermasalah. Seperti untuk pembiayaan incidental atau biaya transportasi pengangkutan jenazah apabila tidak ada pihak sponsor yang bertanggung-jawab atau keluarga si tenaga kerja tidak mampu menanggung seluruh pembiayaannya. Juga untuk memberikan bantuan tiket kepulangan bagi tenaga kerja yang telantar, bantuan biaya pengobatan, dan biaya bantuan hukum bagi tenaga kerja yang menghadapi masalah hukum.
Perlindungan secara optimal warga negara yang bekerja di luar negeri diberikan pula oleh Pemerintah Hongkong. Bahkan selain pemerintahnya begitu memuliakan dan melindungi warganya yang bekerja di luar negeri, Pemerintah Hongkong tidak pernah membeda-bedakan dan menghargai setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh warganya maupun warga negara lain yang bekerja di Hongkong. Sekalipun si pekerja hanyalah seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Semuanya memperoleh perlakuan yang  sama dari negara. Salah satu bukti adalah dengan adanya Undang-undang (UU) Ketenaga-kerjaan Hongkong (Employment Ordinance). UU ini mengatur antara lain, pertama, PRT diakui sebagai tenaga kerja sebagaimana tenaga kerja lain yang bekerja di pabrik, kantor, dan sektor lainnya. Sehingga, PRT dan majikan harus menjalankan hubungan kerja secara profesional, di mana keduanya mesti taat pada aturan kerja yang diterapkan oleh pemerintah. Dengan adanya UU ini, majikan tidak dapat memperlakukan PRT sesuka hatinya.

Kedua, PRT tidak boleh digaji di bawah upah minimum (under payment). PRT yang digaji di bawah upah minimum dapat memperkarakannya di pengadilan. Beberapa kali hal ini memang terjadi. Namun, ketika kasus pengupahan di bawah standar ini sampai ke meja hijau sebagian besar dimenangkan oleh si pekerja (PRT). Majikan maupun agen yang kalah di pengadilan dikenakan sanksi dan wajib membayar denda yang cukup besar kepada PRT.

Ketiga, PRT mempunyai hak untuk libur satu hari dalam sepekan. Pada umumnya mereka mengambil hari Sabtu atau Minggu. Pada hari libur tersebut, majikan dilarang mempekerjakan PRT tanpa upah tambahan. Jika hal ini terjadi, maka mereka dapat pula memperkarakannya secara hukum. Hari libur seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh para PRT untuk berkumpul dengan PRT sedaerah atau jalan-jalan. Atau hak libur satu hari dalam sepekan ini banyak dimanfaatkan PRT yang menjadi aktivis buruh migran untuk melakukan penyadaran-penyadaran hak sosial maupun politik pada komunitasnya. Misalkan melalui penyelenggaraan diskusi, seminar, training, kongres, aksi massa, pernyataan sikap, pengiriman artikel ke media massa, penyebaran buletin dan selebaran, atau dengan memanfaatkan kegiatan lain mulai peragaan busana hingga majelis taklim.  

Keempat, PRT mempunyai hak untuk berorganisasi. Tidak mengherankan bila jumlah organisasi yang dikelola oleh BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja sebagai PRT di Hongkong mencapai kurang lebih 38 organisasi. Mulai dari organisasi sosial, seni, budaya, sampai perkumpulan agama. Beberapa organisasi yang secara khusus memperjuangkan hak-hak PRT Indonesia adalah ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia), IMWU (Indonesian Migrant Workers Union), GAMMI (Gerakan Aliansi Migran Muslim Indonesia), Persatuan BMI Tolak Overcharging (Pilar), dan Kotkiho (Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong). Selain organisasi-organisasi sosial tersebut, ada lagi organisasi agama semacam majelis taklim seperti Al-Fattah, Al-Fadilah, Al-Istiqamah, An-Nisa, Akhwat Gaul, Al-Ukhuwah, Al-Ikhlas, Nur Muslimah Satin, Az-Zuhriyah, Al-Atki, Darul Mustakim dan Birrul Walidain. Bahkan, ada pula organisasi bertaraf internasional seperti International Migrant Alliance (IMA), sebuah aliansi internasional yang beranggotakan organisasi dan serikat buruh migran dari berbagai negara.

Jelas UU tersebut sangat bermanfaat bagi warga Hongkong dan warga negara lain yang bekerja di Hongkong, terkhusus yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menurut hemat saya, sepantasnya kita banyak belajar dari negara lain seperti Hongkong, yang memandang PRT sebagai pekerja yang mulia yang mesti dihargai dan dihormati hak-haknya.

***


KITA memang harus banyak belajar pada sistem dan manajemen pengelolaan tenaga kerja oleh negara-negara yang telah berhasil menata sistem dan manajemen tenaga kerja secara apik dan baik. Selain soal perlindungan tenaga kerja sebagaimana yang telah saya paparkan di atas, kita juga bisa memetik pelajaran dari sisi manajemen  pendidikan dan pelatihan calon-calon tenaga kerja yang akan dikirim ke manca negara. Mengapa? Karena di negara-negara lain seperti Filipina, India, Banglades dan Sri Langka biasanya, sebelum diberangkatkan bekerja ke luar negeri, pemerintah setempat mewajibkan para calon tenaga kerja terlebih dulu harus mendapatkan atau memperoleh pelatihan peningkatan berbagai macam keahlian dan keterampilan di Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan batas waktu minimal 200 jam atau setara dengan 21 hari. Dan apabila mereka belum genap 21 hari mengikuti pelatihan, mereka tidak akan memperoleh sertifikat kompetensi kerja. Pihak imigrasi pun tidak boleh mengeluarkan paspor dan kedutaan tidak boleh memberikan visa apabila si calon tenaga kerja belum lengkap mengikuti pelatihan 21 hari di BLK yang ditunjuk.

Sementara di Indonesia, calon tenaga kerja hanya masuk BLK satu hari saja bisa langsung dinyatakan lulus. Kejadian ini bukan tidak diketahui oleh pemerintah kita. Sebab yang mengeluarkan sertifikat kompetensi kerja adalah lembaga pemerintah, yakni Lembaga Serfikasi Profesi (LSP) yang ditunjuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dengan pelatihan yang alakadarnya atau cuma untuk memenuhi persayaratan formal, wajarlah bila kualitas TKI kita relatif rendah dibandingkan tenaga kerja dari negara lain. Mereka juga tampak kurang siap bekerja di negeri orang. Secara umum calon TKI menjadi tidak tahu –apalagi memahami-- hak dan kewajiban selama bekerja di luar negeri.

Pemerintah negara-negara lain menyadari betul betapa sulitnya seseorang bersaing di kancah global tanpa didukung oleh pelatihan SDM yang baik. Karena itu, bagi mereka, pelatihan peningkatan kualitas sumber daya manusia bukan semata-mata formalitas belaka. Bagi warga yang ingin bekerja di negara lain benar-benar harus mengikuti pelatihan peningkatan kualitas diri. Pemerintah negara lain tidak ingin melihat warganya menjadi bulan-bulanan majikan atau pemberi kerja lainnya gara-gara kualitas sumber daya manusia yang rendah. Dengan kata lain, mereka tak ingin warga negaranya tak memiliki posisi tawar yang baik di mata pemberi kerja yang dapat berdampak pada redahnya devisa yang masuk ke negara.

Selama mengikuti pelatihan di BLK, mereka terlebih dahulu akan menerima pelajaran tentang bagaimana tata cara bekerja yang baik dan benar pada bidang yang akan mereka geluti nanti. Sekadar contoh, jika seseorang akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, maka mereka akan dibekali pengetahuan tentang bagaimana tata cara membersihkan rumah, memasak, mencuci, menyetrika dan sebagainya dengan baik dan benar. Selain itu, mereka akan memperoleh bimbingan khususnya soal bahasa dan adat istiadat negara yang akan dituju. Juga memperoleh pendidikan mental, psikologi dan cara menghadapi majikan yang bertindak semena-mena serta tidak pula menerima pembekalan tentang hak dan kewajiban seorang tenaga kerja yang bekerja di negeri orang. Dengan materi pelatihan semacam itu, paling tidak nantinya mereka tidak bingung lagi dan bisa mengetahui serta mempraktikkan hal–hal yang akan ditemui di tempat kerjanya kelak. Dan bisa menguasai minimal 200 kata bahasa negara setempat.

Bahkan di Vietnam, sebelum diberangkatkan ke luar negeri, calon pekerja asal Vietnam ini --selain memperoleh bekal keterampilan dan kemampuan memahami bahasa serta adat istiadat masyarakat di mana mereka akan bekerja-- juga dibekali dan diwajibkan belajar bahasa Inggris selama 2 hingga 3 bulan. Karena, Pemerintah Vietnam menganggap bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sudah mengglobal atau dimengerti oleh banyak orang di berbagai belahan dunia. Maka dari itu, kalau kita melihat atau memperhatikan para tenaga kerja asal Vietnam itu mayoritas menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa di negara mana mereka akan bekerja.

Ya, walaupun ada sebagian dari mereka yang belum fasih, namun minimal mereka dapat mengerti dan mempunyai dasar untuk mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris dan bahasa negara di mana mereka kelak bekerja. Dan yang tidak kalah penting, sebelum diberangkatkan ke negeri orang, para calon tenaga kerja asal Vietnam ini dibekali pula pengetahuan tentang sistem perbankan, asuransi dan seluk beluk peraturan di bandara --baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sebab, kalau mereka tidak dibekali pengetahuan tentang hal-hal seperti ini bisa menjadikan tenaga kerja terlihat bodoh dan mudah dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung-jawab yang ujung-ujungnya hanya untuk mencari keuntungan semata.

Lebih jauh lagi, karena negara Vietnam dan saya yakin juga negara-negara yang lain, menyadari betul kalau negara yang membutuhkan tenaga kerja seperti Jepang, Arab Saudi, dan Amerika Serikat umumnya merupakan negara-negara yang lebih maju perekonomiannya, sehingga mayoritas penduduknya akan lebih mampu membeli produk-produk peralatan rumah tangga dan elektronik yang lebih canggih dan modern. Sebab itu, para calon tenaga kerja asal Vietnam, India dan Filipina, sebelum diberangkatkan mereka dituntut dan dibekali pengetahuan serta praktik tentang bagaimana cara mempergunakan peralatan berteknologi modern (seperti alat pengisap debu listrik [vacuum cleaner], mesin cuci listrik, alat penanak sekaligus penghangat nasi magic jar, setrika, dan lain-lain) yang nantinya disediakan oleh majikan untuk bekerja. Dengan dibekali pengetahuan dan seringnya mempraktikkan alat-alat kerja yang serba modern tadi, secara otomatis calon tenaga kerja mereka akan menguasai dan mahir dalam menggunakan peralatan tersebut.

Kemudian dari sisi manajemen pemulangan tenaga kerja, kita pun harus bercermin pada negara lain yang telah secara manusiawi memperlakukan warganya yang baru pulang dari bekerja di luar negeri. Mengapa? Sebab negara lain tadi memperlakukan  setiap pekerja yang pulang dari di luar negeri benar-benar sangat istimewa. Mereka selalu disambut bak pahlawan oleh pemerintah (negara). Kalau tidak berlebihan, mereka diperlakukan layaknya seorang raja atau ratu. Selasar karpet merah dibentangkan sebagai penghormatan dan kebanggaan dalam menyambut kedatangan para pahlawan devisa ini. Bahkan, kalau kita perhatikan, ketika sampai di bandara mereka tidak perlu merasa ketakutan akan adanya perlakuan yang kurang baik oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab. Mereka selalu tersenyum dan merasa aman dengan barang bawaannya.

Sementara di Indonesia, pada saat TKI pulang dari luar negeri dan tiba di Tanah Air, sampai detik ini, saya belum pernah melihat ada semacam bentangan karpet merah dari pemerintah (negara) sebagai sebuah tanda penghormatan dan kebanggaan menyambut kedatangan pahlawan devisa itu. Bila saya amati saat mereka sampai di terminal bandara, tak pernah terlihat senyum sumringah dari wajah mereka. Yang terlihat cuma wajah kebingungan karena mereka tidak tahu mesti naik apa untuk sampai ke kampung halamannya. Bahkan, saya kerapkali melihat mimik mereka seperti orang ketakutan. Ya, wajar saja karena terminal bandara yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada TKI, justru menjadi ajang berbagai pelanggaran hukum atau kriminalitas (pemerasan, perampokan, pelecehan seksual, sampai penghilangan nyawa) terhadap para TKI. Bisa dibilang kini terminal-terminal bandara menjadi momok yang menakutkan bagi para TKI kita. Yang lebih parah lagi, apabila ada TKI yang menjadi korban kriminalitas, mereka dibiarkan pulang dalam kondisi telantar dan/atau dalam kondisi yang mengenaskan. Mulai dari kondisi fisik yang cacat, kejiwaan terganggu hingga mereka meninggal dunia (pulang dalam peti mati) akibat siksaan majikan di negara penempatan.

Dari apa yang telah saya gambarkan di atas, tidak dapat dipungkiri kalau negara-negara lain telah memiliki sistem dan manajemen tenaga kerja yang lebih baik, rapih dan terjamin dibandingkan negeri kita, Indonesia. Sistem dan manajemen yang mereka terapkan tidak amburadul, semrawut dan tumpang tindih. Mulai dari hukum, kelembagaan hingga teknis sudah relatif sistemik dan sesuai kaidah manajemen bisnis tenaga kerja yang baik. Modern dan transparan.

Dari paparan tadi, banyak hal yang harus dilakukan pemerintah kita untuk mengurangi (bila tidak bisa menghilangkan) keruwetan masalah tenaga kerja. Sudah saatnya negeri ini mengubah pola pikir bahwa urusan atau permasalahan TKI itu bukan hanya tugas dan tanggung jawab Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) saja. Masalah TKI adalah urusan nasional atau bersama yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari masyarakat kita, pemerintah daerah (RT/RW, lurah, camat), Kementerian Hukum dan HAM (Imigrasi), Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri melalui kedubes atau konjen setempat, hingga Presiden.

Sebab itu untuk menata sistem dan manajemen TKI diperlukan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah. Intinya, semua harus bertanggung-jawab secara penuh atas hak-hak dan martabat anak bangsanya yang berjuang di negeri orang karena negaranya sudah kesulitan menyediakan lapangan kerja. Kalaupun akan dibuat badan seperti POEA di Filipina, harus ada kejelasan dalam masalah kewenangan dan tugas-tugas yang akan dikerjakan nanti. Jangan sampai membentuk institusi baru yang tujuannya bagus di atas kertas, namun tidak punya kemampuan dalam menghadapi kasus-kasus tenaga kerja.

Perlindungan kepada para pahlawan keluarga dan pahlawan devisa di Indonesia terlihat demikian rendah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa anak bangsa yang bernama TKI itu masih terabaikan dan diabaikan oleh pemerintah (negara). Dengan mata-kepala sendiri, saya melihat masih begitu banyak pejabat pemerintah yang berwenang dan bertanggung-jawab terhadap TKI justru merasa ”najis” dan ”jijik” untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada para TKI di luar negeri, saudara sesama anak bangsa itu, ketika ada masalah atau kasus yang menimpa mereka.

Lalu, bagaimana dengan proses dan pola perekrutan dan penempatan TKI? Setali tiga uang. Juga masih amburadul. Berbagai praktik mafia sertifikasi kompetensi kerja asli tapi palsu (aspal) atau tidak melalui prosedur resmi, termasuk percaloan paspor, dari waktu ke waktu semakin bebas dan leluasa berkeliaran. Para mafia itu dengan mudah menawarkan sertifikasi kompetensi kerja aspal dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan biaya mengikuti pelatihan 200 jam sampai mendapatkan sertifikat kompetensi kerja resmi dan sesuai prosedur. Walhasil, begitu banyak calon TKI yang tertipu. Kalau pun kemudian mereka benar-benar ditempatkan bekerja di luar negeri, maka mereka tidak memiliki kompetensi kerja yang jelas. Status mereka pun adalah TKI tidak resmi alias ilegal. Dari sekitar 6 juta TKI yang bekerja di luar negeri, tercatat sekitar 2 juta TKI merupakan pekerja tanpa dokumen resmi. (Kompas, 30 Desember 2009)

Bagaimana pula dengan kelembagaan yang berwenang dan bertanggung-jawab terhadap perlindungan dan nasib TKI? Sama saja. Semrawut dan tumpang tindih. Kelembagaan jaminan sosial, misalnya, justru lebih banyak mengambil keuntungan dari TKI dengan dalih asuransi. Konsep perlindungan TKI selama bekerja di luar negeri belum sesuai dengan semangat dan realita di lapangan. Konsep perlindungan TKI masih terus dijadikan ajang mencari uang (komersial) dengan dalih asuransi. Pada tahun 2008, HIMSATAKI memperkirakan Rp365 miliar klaim asuransi yang tidak dibayarkan kepada sekitar 16.000 orang TKI. Karena itu, sebagian TKI kemudian enggan mengajukan klaim lantaran prosesnya rumit dan berbelit. Ada juga yang tidak mengklaim karena sudah telanjur pulang kampung. Begitulah karakter yang kurang terpuji lainnya dari bangsa ini. Ungkapan “kalau bisa dipersulit mengapa harus dibuat mudah” seakan sudah menjadi motto kerja para pejabat atau aparatur pemerintah di negeri ini.

                                               
***

Artikel Pendukung:

Nyawa TKI Setara Presiden
Pada tahun 2008, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Asia dan Timur Tengah mencapai 4,3 juta orang dan dalam setahun mengirim rata-rata US$1.000 per orang. Dana yang masuk setidaknya mencapai US$4,3 miliar atau kurang dari Rp43 triliun setiap tahunnya. Belum ada pemutakhiran data di tahun 2010. Tetapi jika dua tahun terakhir diasumsikan terdapat kenaikan, sehingga total TKI mencapai 4,8 juta orang, secara otomatis pemasukan devisa juga meningkat. Katakanlah Rp48 triliun. Itu sama dengan pemasukan Rp4 triliun per bulan.
Mengikuti alur pikir itu, semua patut mendukung pengiriman TKI ke luar negeri. Kalau perlu dicanangkan tekad pencapaian TKI sebanyak 5% (11 juta orang) dari total jumlah penduduk yang mencapai sekitar 220 juta. Bila perlu melalui pengiriman TKI, dunia akan mengenal “Overseas Indonesian”. Bukan hanya “Overseas Chinese” atau China Perantauan. Namun, Kementerian Tenaga Kerja perlu mengubah paradigma. Melalui sistem basis data yang dikelola secara profesional keberadaan TKI di luar negeri juga secara terus menerus dimonitor.
Tidak boleh terjadi sebagaimana kesan selama ini, bahwa pemerintah baru “bergerak” setelah ada TKI meninggal dunia. Untuk “bergerak” pun masih harus menunggu laporan LSM dan media massa. Selama ini seolah saling menunggu atau lepas tanggung jawab. Kementerian yang dianggap paling bertanggung-jawab hanyalah Kementerian Tenaga Kerja. Sementara Kementerian Luar Negeri seolah cuma mengurus keperluan pejabat. Keperluan TKI pantang diurus sebab bukan pejabat.
Lebih menyedihkan lagi ada pejabat atau diplomat yang menganggap TKI tidak wajib diurus karena menggunakan paspor biasa (hijau) dan bukan biru (dinas). Betapa tidak, ada TKI yang jenazahnya terpaksa terkatung-katung gara-gara pejabat Kemlu RI di negara tersebut tidak bersedia turun tangan.
Padahal, pengiriman TKI perlu menjadi salah satu strategi penting pembangunan bangsa. Sebab, pada akhirnya yang dituju adalah menekan jumlah pengangguran. Juga bagaimana caranya agar hasil keringat TKI dapat dinikmati keluarganya Tanah Air. Duit TKI jika masuk ke rumah-rumah tangga kecil di pedesaan, menjadi kekuatan ekonomi yang cukup dahsyat.
Menarik kita ikuti ungkapan Menteri Luar Negeri Filipina di era Presiden Marcos, Pacifico Castro penghargaan yang cukup berarti terhadap warganya yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Negara itu pada 1985 memiliki tenaga SDM di luar negeri sebanyak satu juta orang. Mereka tidak hanya menjadi pembantu rumah tangga, tetapi juga pengemudi, tukang kebun dan satpam. Setiap satu orang Filipina yang bekerja di luar negeri wajib mengirimkan US$100 per bulan kepada keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman. Pemerintah memantau apakah tenaga kerja yang dikirim secara resmi oleh agen di Manila itu memenuhi kewajibannya atau tidak. Sekalipun tidak ada sanksi yang berat, tetapi seorang tenaga kerja yang “lupa” mengirim uang bulanan, bakal dikenai sanksi. Agen dan pemerintah saling mendukung.
“Filipina tidak seperti penilaian Bank Dunia dan IMF. Sudah sejak tahun 1980 Bank Dunia dan IMF mengatakan Filipina akan bangkrut. Tetapi kenyataan berbicara lain. Kami tetap survive,” papar Menlu Castro. Mengapa? Karena, dolar dari tenaga kerja di luar negeri yang masuk ke pasar-pasar di kampung tidak terdeteksi ahli keuangan dan juga tidak tercatat di bank. “Tapi dolar liar itulah yang menghidupi masyarakat banyak,” ujar Castro, kepada INILAH.COM, di Bandung 25 tahun lalu, saat hadir di peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika (1955-1985).
Konsep Filipina ini bisa jadi sudah usang dan belum tentu relevan dengan keadaan masa sekarang. Tetapi yang menjadi pertanyaan tidak bisakah pemerintah kita membuat konsep yang jelas yang mampu menangani dan melindungi dalam penempatan dan pengiriman  TKI? Jangan-jangan semua pengerah tenaga kerja cuma ‘asal kirim’ TKI tanpa kontrol. Sebab sejauh ini yang terdengar dari soal TKI baru sebatas hal-hal yang memusingkan kepala. Nyaris tidak ada kabar baik.
TKI yang meninggal akibat kekerasaan tangan majikan sejauh ini menjadi kisah sedih di akhir hayat. Belum pernah terjadi kematian seorang TKI secara tragis mampu membangkitkan empati dan semangat persatuan nasional. Seperti yang terjadi pada nasib seorang pembantu asal Filipina di Singapura beberapa tahun lalu. Filipina nyaris memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Singapura. Karena rakyat Filipina menganggap Singapura bertanggung-jawab atas kematian seorang tenaga kerja Filipina. Di Filipina nyawa seorang tenaga kerja sama mahalnya dengan nyawa seorang politisi bahkan setara dengan seorang Presiden.
Sumber: www.inilah.com (Selasa, 30 Maret 2010)



Majikan Arab Tancapkan 24 Paku ke PRT
Pasangan suami-istri Arab Saudi menyiksa Pembantu Rumah Tangga (PRT) mereka asal Sri Lanka, LT Ariyawathi, hanya gara-gara si pembantu mengeluhkan beban kerja yang terlalu berat. Pasangan itu menyiksa pembantu tersebut dengan menancapkan 24 paku/jarum di tangan, kaki, dan dahi wanita itu. Hampir dua juta orang Sri Lanka mencari pekerjaan di luar negeri tahun lalu (2009) dan sekitar 1,4 juta orang, sebagian besar pembantu, bekerja di Timur Tengah. Banyak dari mereka mengeluhkan pelecehan seksual atau penyiksaan fisik.
LT Ariyawathi, seorang ibu tiga anak yang berusia 49 tahun, pulang ke negerinya, pada hari Jumat tanggal 27 Agustus 2010, setelah lima bulan bekerja di Arab Saudi. Keluarganya baru menyadari apa yang terjadi pada dirinya ketika ia mengeluhkan rasa sakit dan kemudian mereka membawanya ke dokter, kata sejumlah pejabat Biro Tenaga Kerja Luar Negeri Sri Lanka. "Majikan dan istrinya memalu 24 paku ke tubuhnya ketika ia mengeluhkan beban pekerjaan yang berat," kata Kalyana Priya Ramanayake, sekretaris media di biro tersebut.
Ariyawathi dibawa ke rumah sakit untuk menjalani operasi pengeluaran paku dari tubuhnya, yang kata pembantu itu ditancapkan ke tubuhnya ketika benda-benda itu dalam keadaan panas. Pemeriksaan dengan sinar-X menunjukkan bahwa paku-paku dengan panjang satu hingga dua inci itu berada di tangan dan kakinya serta satu paku di dahinya.
Biro Tenaga Kerja Luar Negeri membahas masalah itu dengan Jaksa Agung. Sementara Kementerian Luar Negeri Sri Lanka membahas masalah itu dengan Pemerintah Arab Saudi.

Sumber: www.kompas.com (Jum’at, 27 Agustus 2010)


 

4 Tewas dalam Kebakaran Pabrik

Empat pekerja migran asal India tewas terpanggang setelah sebuah toko tekstil tempat mereka bekerja hangus terbakar. Pabrik yang terletak di Johor, Kuala Lumpur, Malaysia, ini diduga dibakar secara sengaja. "Kebakaran tersebut diduga berasal dari api yang disulut secara sengaja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya wadah berisi empat liter bensin berada di lokasi kebakaran," menurut wakil kepala pemadam kebakaran wilayah Johor, Syukor Sani Hashim.
Sementara pihak berwenang sendiri masih belum dapat mengidentifikasi keempat korban kebakaran. Kondisi mayat yang hangus terbakar menyulitkan pihak kepolisian untuk mengetahui identitas para korban. Pemilik toko Mutu Veeraya mengakui, jika dua korban yang tewas tersebut merupakan pekerjanya. Sedangkan kedua orang lain yang juga tewas, menurut Veeraya, merupakan teman dari karyawannya.
Sumber: www.okezone.com (Rabu, 10 Maret 2010)

Ratusan Pekerja Migran Vietnam di Malaysia Mogok Kerja

Sekitar 200 pekerja migran asal Vietnam yang bekerja di sebuah pabrik garmen yang berlokasi di Jalan Kampung Jawa, Kuala Lumpur, Malaysia, menggelar aksi mogok kerja. Mereka menuntut kenaikan gaji, karena upah yang diterima saat ini dirasa terlalu murah. Para pekerja asal Vietnam itu mengaku gaji yang mereka terima setiap bulan hanya sebesar 30 ringgit Malaysia setelah dikurangi beragam pembayaran termasuk membayar agen. Namun, menurut juru bicara Departemen Tenaga Kerja, mereka tiap bulan menerima upah sebesar 700 hingga 800 ringgit.

Lantaran kesal tuntutan mereka tidak mendapat respons, ratusan pekerja migran Vietnam itu menolak untuk masuk ke pabrik di Jalan Kampung Jawa. Mereka memutuskan untuk berleha-leha di kantin menunggu hasil negosiasi yang dilakukan antara perwakilan mereka dengan pemilik perusahaan. Negosiasi antara perwakilan pekerja dengan pemilik perusahaan itu juga dihadiri pejabat dari Kedutaan Besar Vietnam serta Departemen Tenaga Kerja Malaysia. Sayangnya, media yang meliput aksi mogok massal itu tak diizinkan memasuki areal pabrik garmen itu.

Sementara itu, seorang juru bicara Departemen Tenaga Kerja Malaysia mengungkapkan, memanasnya situasi yang menyebabkan para pekerja migran asal Vietnam menolak masuk pabrik itu dipicu kesalah-pahaman. Menurut dia, para pekerja asal Vietnam merasa gaji yang diterimanya sangat jauh berbeda dengan pekerja yang memiliki keahlian. Tingginya kesenjangan gaji yang mereka peroleh itu telah memicu ketidak-senangan karena mereka merasa diperlakukan secara tidak adil. "Kami telah meminta Kedutaan Besar Vietnam untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada mereka," ujar pejabat yang tak disebutkan identitasnya itu. Dia juga membantah pernyataan para pekerja yang mengaku hanya dibayar 30 ringgit per bulan. Menurutnya, gaji para pekerja imigran Vietnam itu mencapai 700 hingga 800 ringgit.

Tiga tahun lalu, sempat juga dikabarkan sebanyak Rp4,5 triliun gaji pekerja imigran asal Indonesia, yang masuk secara ilegal, tertahan di Malaysia. Besaran jumlah tersebut merupakan gaji dari sekitar 850 ribu orang TKI ilegal yang belum dicairkan oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka. Gaji yang tertahan itu belum dibayarkan selama tiga bulan, mulai September hingga Desember 2004, dengan perhitungan tiap buruh migran digaji 726 ringgit Malaysia.

Sumber: Republika (29 Oktober 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar