Latar Belakang Permasalahan Keamanan di Papua
Papua
memang paradoksal. Bumi yang kaya namun penduduknya miskin, negeri yang damai
namun mematikan. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas
dibunuh. Trauma militerisme selama tiga dasawarsa terakhir rupanya begitu
mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang
selama Orde Baru adalah bagian dari militer. Dengan demikian kekerasan dan
pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar sedangkan kekerasan petugas terhadap
warga dianggap pelanggaran HAM. Betulkah? Apakah masyarakat yang terlalu
berprasangka yang membuat segalanya menjadi serba salah? Ataukah kita yang
belum berhasil berubah dari paramiliterisme yang senantiasa menyelesaikan
masalah dengan senjata dan kekerasan? Ataukah keduanya?
Untuk
memahami Papua tidak cukup hanya dengan empati dan ide-ide. Papua adalah sebuah
realitas yang mungkin berbeda, yang mungkin membutuhkan pemahaman, empati,
ide-ide dan kejujuran. Bagaimana kata-kata menyatu dengan perbuatan yang
dilakukan. Elite demokrasi kita berhasil membuat kita berpikir bahwa kita sudah
merdeka. Namun kita lah yang belum berhasil memikirkan makna kemerdekaan yang
kita raih. Juga makna kemerdekaan bagi Papua dalam naungan Sang Burung Garuda
dan Pancasila dengan segala konsekuensinya.
Mari
kita mulai bicarakan Papua. Bicara yang harus mengejewantahkan menjadi ide-ide
yang harus menjelma menjadi realita. Realita yang diwarnai dengan kejujuran
yang akan dibawakan dalam perilaku karena jika tidak, maka sia-sialah segala
usaha kita selama ini.
Rekomendasi PP Polri dalam Penanganan Masalah Papua
ditinjau dari Segi Kamtibmas
Berbicara
masalah keamanandi bumi Papua adalah berbicara masalah image atau kesan yang seolah-olah bahwa Papua merupakan wilayah
rawan dan penuh dengan potensi friksi/konflik baik yang bersifat horizontal (kekerasan
antar suku) dan yang bersifat vertikal (antara masyarakat dengan aparatur
negara baik aparatur keamanan maupun Pemerintah Daerah). Kondisi seperti ini
diperkuat dengan fakta terjadinya berbagai konflik yang belakangan ini terjadi,
mulai dari perang antar suku, penembakan terhadap aparatur keamanan, dan
terakhi yang masih segar dalam ingatan adalah konflik antara serikat pekerja
dengan PT. Freeport di Timika yang berimbas pada masalah Kamtibmas.
Ditinjau
dari sisi pengelolaan negara, sesungguhnya potensi-potensi konflik tersebut
juga terjadi di daerah lain seperti isu unjuk rasa di Jawa, isu kejadian di
Mesuji Lampung, kerusuhan di Ambon, dan masih banyak lagi. Namun image mengenai masalah Papua ini menjadi
berbeda mengingat Papua adalah wilayah strategis yang rawan terhadap intervensi
karena adanya kepentingan politik baik nasional maupun internasiona terutama
ditinjau dari sisi:
a.
Sejarah
bergabungnya wilayah Irian Barat ke NKRI, masih ada yang menganggap cacat hukum
dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu;
b.
Masyarakat Papua
merasa bukan termasuk rumpun Melayu tetapi termasuk ke dalam rumpun Melanesia
(kita sering menyebut bangsa Indonesia adalah rumpun Melayu);
c.
Masyarakat Papua
menganggap tindakan Polri lebih mengutamakan tindakan represif sehingga
menjauhakan hubungan emosional kemitraan Polri dengan masyarakat semakin jauh,
lebih ekstrim lagi masyarakat menganggap Polri adalah bagaikan musuh dalam
selimut;
d.
Perasaan
masyarakat Papua yang menganggap ada perlakuan diskriminatif walaupun sudah
banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat Papua;
e.
Tidak tuntasnya
penanganan kasus-kasus yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM berat sehingga
sering dijadikan isu politik yang berdampak pada masalah keamanan;
f.
Kebijakan pelaksanaan
otonomi khusus sesuai UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Papua tidak
berjalan efektif karena kendala regulasi (Perdasi dan Perdasus), kelembagaan,
aparatur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan serta pemekaran daerah yang
dipaksakan.
Faktor-faktor
di atas diduga menjadi pendorong bagi semua pihak untuk selalu memantau dan
memanfaatkan peluangg sesuai dengan kepentingannya. Karena kondisi rawan intervensi politik tersebut,
maka peristiwa-peristiwa kriminal maupun politik yang terjadi di Papua menjadi
berita yang mudah untuk diekspos secara nasional maupun internasional yang
dapat merugikan citra pemerintah RI khususnya Polri.
Dilihat
dari berbagai bentuk peristiwa yang terjadi di Papua, sebenarnya merupakan
peristiwa kriminal biasa, jumlahnya relatif kecil tidak sebanding dengan image dan gaung pemberitaannya dan pada
dasarnya dapat diselesaikan secara yuridis. Namun mengingat posisi Papua yang
sangat rawan dengan berbagai intervensi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak,
maka dalam menangani permasalahan yang muncul di Papua Polri tidak boleh
menganggap sebagai masalah biasa dan diselesaikan secara yuridis melalui
pendekatan keamanan semata tetapi diselesaikan melalui pendekatan sosiologis
(agama, budaya dan adat) dan dikomunikasikan dengan menggunakan hati nurani
bukan kekuasaan. Di sinilah pentingnya, melalui diskusi panel yang
diselenggarakan oleh PP Polri ini berusaha untuk merumuskan solusi konstruktif
dan komprehensif untuk mencari jalan keluar terhadap masalah pembinaan keamanan
di Papua. Langkah konkret yang dapat direkomendasikan antara lain:
1.
Bidang
Operasional
a.
Komunikasi
konstruktif antara Polri dengan instansi terkait dan Polri dengan masyarakat
Komunikasi konstruktif di sini adalah
proses penyamaan persepsi yang lebih bersumber pada hati nurani daripada
kekuasaan atau lebih tegasnya egosentris kekuasaan terhadap berbagai masalah
keamanan yang terjadi melalui pelibatan lembaga adat, keagamaan, organisasi
kemasyarakatan (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berbagai
forum komunikasi yang ada seperti Komite Intelijen Daerah, Forum Kerukunan Umat
Beragama, Forum Pembauran Masyarakat dan lain-lain sehingga sumbatan komunikasi
khususnya antara aparatur negara dengan “masyarakat asli” Papua dapat terbuka.
b.
Penegakan hukum
Penerapan Restorative Justice yang tidak melanggar UU Otonomi Khusus (Otsus)
untuk peradilan adat, sebagai alternatif penegakan hukum. Penereapan di sini
tidak hanya dilakukan oleh Polri dan para pihak yang terlibat, tetapi dengan
melibatkan unsur penegak hukum (criminal
justice system), di mana penyelesaian peristiwa pidana di luar pengadilan
oleh Polri harus sepengetahuan Jaksa dan mendapat persetujuan Hakim
(Pengadilan).
Penerapan Restorative Justice di wilayah Papua dipandang tepat karena restorative justice memperhatikan repon
yang lentur terhadap kejahatan, orientasi pada kepentingan program, responsif
terhadap perilaku kejahatan, kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu
dan bersepakat menyelesaikan masalah, dampak stigmasi terhadap pelaku,
keseimbangan yang harmonis, pelibatan anggota masyarakat, solusi terbaik, serta
dampak kerugian dan kebutuhan korban.
c.
Penanganan unjuk
rasa yang tidak melanggar nilai-nilai HAM
Salah satu panelis mengingatkan bahwa
negara-negara Eropa Timur jatuh karena buruh, negara-negara Amerika Latin dan
Thailand jatuh karena militer, dan pengalaman yang sudah terjadi di Indonesi,
pemerintah jatuh karena mahasiswa. Pengalaman ini menunjukkan bahwa penanganan
unjuk rasa pada umumnya khususnya terhadap unjuk rasa mahasiswa secara umum
(bukan hanya di Papua) harus dikelola dengan cermat, jangan sampai karena salah
penanganan maka justru Polri yang dianggap menjadi pemicu berkembangnya unjuk
rasa. Harus disadari, bahwa ditinjau dari psikologi massa, kegiatan unjuk rasa
cenderung mudah terjebak pada tindakan anarkis. Jika tindakan anarkis ini
dihadapi dengan respon yang berlebihan dari aparat keamanan maka akan
mengakibatkan tindakan yang semakin tidak terkendali yang berpuncak pada
situasi chaos, yang tanpa disadari
akan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan yang pada akhirnya justru
menjadi pemicu terjadinya unjuk rasa yang lebih besar dan lebih anarkis.
2.
Bidang Pembinaan
a.
Pembinaan
personel Polda Papua
Sesuai dengan UU Otsus, beberapa hal
harus dipedomani dalam hal:
1.
Penerimaan
Bintara dan Perwira Polri
Memberikan kuota tertentu pada
masyarakat asli Papua untuk menjadi Bintara dan Perwira Polri. Kebijaksanaan
dalam seleksi penerimaan memperhatikan sistem hukum yang berlaku di Papua,
budaya dan adat istiadat serta Kebijaksanaan Gubernur Papua.
2.
Pendidikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan pelatihan
Bintara Polri harus memasukkan muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi sangat
bermanfaat bagi para Bintara Polri dalam melaksanakan tugasnya, mengingat
masyarakat asli Papua terdiri dari ratusan suku bangsa dengan adat istiadat
yang berbeda pula.
3.
Penempatan
Bintara dan Perwira Polri dari Luar Papua
Penempatan personel polisi tidak hanya
memperhatikan aspek profesional kepolisian saja, tetapi harus dibekali
pengetahuan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat dan
budaya di masyarakat Papua. Dalam hal ini secara berkelanjutan Polda Papua
wajib memberikan penyegaran dan pencerahan. Di samping hal tersebut di atas,
penempatan personel di Papua juga harus mampu menghilangkan image atau kesan bahwa SDM Polri yang
ditempatkan di Papua adalah SDM bermasalah dan salah satu penyebab permasalahan
di Papua adalah bersumber dari SDM Polri yang ditugaskan di Papua. Untuk unsur
pimpinan agar melalui seleksi khusus dan ada kejelasan tentang perjalanan
karirnya.
b.
Penugasa
personel Brigade Mobil (Brimob)
Untuk menunjang keberhasilan personel
Brimob dalam menjalankan tugas di Papua, maka personel Brimob di samping
memiliki kompetensi harus diberi pembekalan tentang sistem hukum yang berlaku
di Papua, adat istiadat masyarakat Papua, dan pemahaman mengenai dampak dari
risiko kegagalan tugas yang bersumber dari perilaku yang melanggar nilai HAM
dan nilai budaya setempat.
c.
Kepemimpinan
Polri di Papua
Mengingat masyarakat Papua sebagian besar beragama
Nasrani, maka pimpinan Polri khususnya dan penegak hukum lainnya seyogyanya
dipilih personel yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kelompok masyarakat
yang beragama asrani. Untuk mendukung kebijakan ini, pejabat Polri pada semua
level organisasi seyogyanya senantiasa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan
agama khususnya peringatan hari-hari besar agama Nasrani.
Otonomi Khusus di Papua dalam Rangka Mendukung
Kamtibmas yang Kondusif
Makna
otonomi khusus bagi Papua adalah kewenangan khusus bagi Pemda Provinsi Papua
Barat untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang0undangan dalam kerangka
NKRI. Makna lainnya adalah Pemda Provinsi Papua Barat memiliki tanggung jawab
dalam meningkatkan kinerja penyelenggaraan Pemda dan mengelola kekayaan sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua. Pelaksanaan otsus
sendiri di Papua selama ini belum efektif, ada kendala dalam aspek regulasi,
kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat, manajemen pemerintahan dan
pemekaran daerah.
Perdasus
tentang pembagian dana otsus antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota hingga saat
ini belum selesai. Pelaksanaan pembagian dana otsus masih berpedoman pada
peraturan gubernur Papua sehingga sebagian masyarakat menilai belum transparan
dan belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat asli Papua. Tersendatnya
penyelesaian Perdasus tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur turut
menjadi tinjauan aspek regulasi. Sedangkan dari aspek kelembagaan adalah kurang
harmonisnya hubungan antara Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP),
Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB), dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Keberadaan MRP selama ini belum optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai representasi kultural yang memperjuangkan kepentingan masyarakat adat,
perempuan, dan agama.
Dari
aspek aparatur Pemda, meskipun telah dilakukan langkah-langkah pengembangan
kapasitas aparatur Pemda, namun belum memadai dalam mendukung peningkatan
kinerja Pemda. Perlu disusun secara komperhensif program pengembangan kapasitas
aparatur pemda dalam bentuk “program diklat” yang disertai “program pemagangan”
dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur pemda Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat. Upaya pengembangan kapasitas aparatur Pemda semakin penting
dilakukan, karena adanya peningkatan jumlah aparatur sejalan dengan bertambahnya
daerah otonom baru, yang sejak era reformasi telah bertambah menjadi 40
Kab/Kota, yang semula hanya 9 Kab/Kota. Hingga saat ini masyarakat asli Papua
belum terjangkau secara memadai dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
perekonomian, serta terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana publik,
sehingga masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian masyarakat asli Papua. Masyarakat
asli Papua merasa terisolasi, terbelakang, dan tertinggal dibandingkan dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya, baik yang berdomisili di Papua maupun di
wilayah lainnya.
Menurut
aspek manajemen pemerintahan daerah, belum terwujudnya sinergi program antara
program pemda provinsi dengan program pemda kabupaten/kotakarena belum
efektifnya koordinasi perencanaan. Belum dilaksanakan secara efektif juga
program-program pembangunan yang diamanatkan di dalam UU No. 21 Tahun 2001
khususnya pada bidang pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup, serta
kependudukan dan ketenagakerjaan yang belum banyak dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat asli Papua. Dari aspek pemekaran daerah, kebijakan moratorium
pemekaran daerah mulai berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009. Namun, usulan
pemekaran daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sampai saat ini
masih terus bertambah. Berdasarkan data yang ada saat ini, terdapat 54 usulan
pembentukan DOB yang terdiri dari 7 usulan pembentukan provinsi, 43 usulan pembentukan
kabupaten, dan 4 usulan pembentukan kota. Hingga saat ini, usuan tersebut belum
ditindaklanjuti.
Upaya Pemerintah untuk
Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
Sejak
berlakunya otsus Papua, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan otsus Papua. Upaya yang dilakukan
pemerintah, antara lain:
·
Penyelesaian
regulasi sesuai amanat UU Otsus Papua, yakni:
1.
PP No. 54 Tahun
2004 tentang Majelis Rakyat Papua (diubah dengan PP No. 64 Tahun 2008)
2.
PP No. 19 Tahun
2010 tentang Gubernur sebagai wakil pemerintah (diubah dengan PP No. 23 Tahun
2011) yang berlaku secara umum termasuk di Papua.
·
Fasilitasi
penyusunan Perdasi dan Perdasus
1.
Perdasi: 6
Perdasi sudah selesai dan 16 Perdasi belum selesai
2.
Perdasus: 3
Perdasus sudah selesai dan 10 Perdasus belum selesai
3.
Upaya
Fasilitasi: Provinsi Papua telah berkonsultasi dengan Kemendagri 4 rancangan
Perdasus dan 2 rancangan Perdasi, sedangkan Provinsi Papua Barat telah
berkonsultasi 1 rancangan Perdasus dan 1 rancangan Perdasi
4.
Kemendagri
mendorong Pemda Papua dan Papua Barat agar segera menyelesaikan Perdasi dan
Perdasus
·
Fasilitasi
penataan kelembagaan khususnya untuk pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP)
1.
Telah
diterbitkan PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Pemerintah juga telah
memfasilitasi pengisian anggota MRP periode 2005-2010.
2.
Untuk pengisian
anggota MRP 2011-2016, telah ditetapkan Kepmendagri No. 161-223 Tahun 2011
tanggal 31 Maret 2011 dan telah dipisahkan antara MRP Provinsi Papua dan MRP
Provinsi Papua Barat serta telah terpilih pimpinan masing-masing MRP.
3.
Pengangkatan
anggota DPR Papua (11 orang) juga telah difasilitasi sebagai pelaksanaan putusan
MK Nomor 116/PUU-VII/2009 melalui fasilitasi penyusunan Perdasus yang hingga
saat ini masih dalam proses di daerah.
4.
Penyelesaian
Perdasi pembentukan sekretariat MRP Provinsi Papua Barat juga turut
difasilitasi.
5.
Penguatan kelembagaan
MRP Provinsi Papua dan Papua Barat melalui program pengembangan kapasitas
terutama untuk meningkatkan pemahaman mengenai wewenang, tugas dan fungsi MRP.
·
Pengembangan
kapasitas aparatur pemda
1.
Untuk meningkatkan
kompetisi aparatur Pemda dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah dilakukan
kegiatan-kegiatan seperti Diklat, seminar, workshop, studi banding, dan
lain-lain.
2.
Mendirikan IPDN
di kota Jayapura yang diresmikan pada 9-10 Desember 2011 oleh Mendagri. Kuota
siswa/i IPDN tersebut masyoritas terdiri dari orang asli Papua sebanyak 167
siswa.i. pada kesempatan tersebut dilakukan penandatanganan MoU untuk kerja
sama pengembangan kapasitas aparatur Pemda antara pemerintah pusat dengan pemda
Provinsi Papua.
·
Pengelolaan dana
otsus untuk pembangunan Papua
1.
Pada APBD
Provinsi Papua dan Papua Barat, kontribusi dana otsus terhadap total pendapatan
yaitu Papua 49,39% dan Papua Barat 61,65%.
2.
Bila
dibandingkan dengan Provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk yang hampir
sama, perbandingan antara APBD Papua dengan Sulawesi Tenggara pada tahun 2011
sebesar 459,61%, sedangkan perbandingan antara APBD Papua Barat dengan Maluku
Utara pada tahun 2011 sebesar 467,24%.
3.
Tren alokasi
dana otsus di Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain
menunjukkan bahwa kedua provinsi tersebut mendapat perhatian lebih.
4.
Dana otsus yang
telah diberikan pemerintah jauh lebih besar (Rp 28,927 Trilliun) daripada hasil
yang diberikan Papua dan Papua Barat (Rp 18 Trilliun).
·
Penataan daerah
atau pemekaran daerah
1.
Dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat, telah dibentuk daerah otonom baru yang semula 9 kabupaten/kota
menjadi 40 kabupaten/kota (29 di Papua dan 11 di Papua Barat).
2.
Saat ini masih
dalam tahap pengkajian atas usulan pembentukan daerah otonom baru yang
berjumlah 7 provinsi dan 47 kabupaten/kota yang pelaksanaannya masih menunggu
selesainyarevisi UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur mengenai pokok-pokok
desain besar penataan daerah (desertada).
Tindak Lanjut untuk
Efektivitas Pelaksanaan Otsus Papua
Ada
sembilan langkah tindak lanjut untuk efektivitas pelaksanaan otsus Papua yang
dapat dilakukan. Pertama adalah dengan meningkatkan kemampuan jajaran Pemda,
DPRP/PB, dan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat dalam penyeenggaran
pemerintahan daerah. Kedua dapat juga dilakukan dengan memfasilitasi proses
penyelesaian Perdasus dan Perdasi termasuk Perdasus pembagian dana otsus antara
provinsi dengan kabupaten/kota. Kemudian ketiga perlu pula dilakukan penjajakan
kemungkinan adanya PNS dari Papua dan Papua Barat untuk dalam waktu tertentu
diperkerjakan di pemerintah pusat (kementerian/lembaga) atau provinsi lain,
atau sebaliknya menempatkan PNS pusat untuk peendampingan dalam hal tertentu di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Keempat, memfasilitasi percepatan proses
pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua. Kelima adalah melakukan
evaluasi tahunan pelaksanaan otsus secara komprehensif. Untuk tahun 2011
hasilnya dilaporkan pada akhir Desember 2011 dan selanjutnya akan dijadikan
bahan penyempurnaan instrumen evaluasi dan solusi kebijakan untuk efektivitas
pelaksanaan otsus Papua ke depan. Keenam, bersama instansi terkait melakukan
sosialisasi keberadaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat (UP4B). Ketujuh, membentuk tim asistensi Kemendagri dalam rangka
melakukan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan
kapasitas pemda yang mulai bertugas pada awal tahun 2012. Kedelapan, melakukan
pembinaan intensif atas penyelenggaraan pemda pada daerah otonom baru.
Terakhir, kesembillan, melakukan kajian administratif dan teknis atas usulan
pembentukan daerah otonom baru khususnya pembentukan provinsi.
Perkembangan Terakhir
Papua dan Papua Barat
Akhir-akhir
ini stabilitas keamanan di Papua kurang kondusif akibat terjadinya beberapa
peristiwa seperti perampokan, perampasana, penyanderaan, peperangan antar suku,
penembakan di puncak mulia dan di PT. Freeport, pembunuhan, dan konggres II
yang berlanjut rusuk merupakan penyebab terganggunya stabilitas keamanan di
Papua. Akar masalah yang terjadi di Papua antara lain penggunaan dana otonomi
khusus yang beelum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat asli Papua, lebarnya
kesenjangan sosial ekonomi, dan tingginya dinamika politik dalam pelaksanaan
Pilkada. Melalui koordinasi dengan instansi terkait dan pemda, Kemendagri terus
melakukan langkah-langkah penanganan masalah kamtibmas di Papua.
Rekomendasi Terkait
dengan Pembangunan
Terkait
pembangunan, rekomendasi yang bisa diberikan adalah melakukan evaluasi
pelaksanaan otsus sesuai hasil yang dicapai. Percepatan pembangunan Papua perlu
menjadi prioritas utama bagi pemerintah Indonesia. Perlu dilakukan dialog yang
konstruktif dengan para tokoh Papua untuk mendapatkan informasi atau aspirasi
terkait dengan penyelesaian konflik di Papua. Pembangunan tanah papua harus
melibatkan masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. Perlu juga menempatkan
putra daerah Papua untuk berkompetisi dalam berbagai bidang kegiatan pembangunan
di luar Papua. Tokoh agama, tokoh adat, tokoh ormas/LSM dapat dirangkul untuk
dapat menyatukan persepsi dalam membangun dan memajukan Papua dan Papua Barat.
Rekomendasi Terkait
dengan Ketenteraman dan Ketertiban Papua
Rekomendasi
yang diberikan untuk ketenteraman dan ketertiban di Papua adalah meningkatkan
kerja sama yang harmonis antara APKAM dengan pemerintah dan masyarakat dalam
memelihara ketenteraman dan ketertiban di daerah masing-masing. Perlu juga
mengutamakan dialog dalam penyelesaian setiap masalah dan meningkatkan peran
pemda dalam menyelenggarakan stabilitas keamanan nasional di daerah. Adanya
kembali kegiatan siskamling serta penyelenggaraan kewaspadaan dini, deteksi
dini, cegah dini, dan lapor cepat (kominda, FKDM) juga dapat menjadi
rekomendasi. Rekomendasi lainnya adalah membangun jati diri bangsa melalui giat
cinta tanah air dan wawasan kebangsaan serta perlunya kerja sama antara FKDM
yang dibentuk oleh Kemendagri dengan ormas kepolisian dalam melakukan deteksi
dini.
Partisipasi Tokoh Papua dalam Mendukung Kamtibmas
Undang-undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengamanatkan bahwa fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan tujuan adanya kepolisian negara adalah
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Fungsi
sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tersebut tentunya sudah
diterjemahkan dalam kebijakan dan protap pelaksanaan operasional di lapangan
oleh seluruh jajaran kepolisian termasuk oleh Kepolisian Daerah Papua. Namun
demikian, dalam tataran operasionalisasi fungsi kepolisian di lapangan sering
terjadi benturan. Benturan ini bisa terjadi karena persaingan kepentingan, atau
karena kepentingan pribadi yang mengorbankan kepentingan umum atau bahkan
kepentingan kelompok yang mempengaruhi fungsi Kepolisian.
Saya
melihat kepolisian di Papua belum melaksanakan fungsi kepolisiannya secara
benar dan profesional. Pola penanganan Kamtibmas di Papua bernuansa represif,
sehingga hubungan emosional ataupun kemitraan aparat kepolisian dengan
masyarakat semakin jauh. Masyarakat memandang polisi sebagai musuh dalam
selimut sehingga enggan melapor ke polisi apabila menemukan suatu masalah di
lingkungannya. Represifme pola penanganan Kamtibmas di Papua dapat dilihat
dalam menghadapi setiap gerakan aksi masyarakat di mana aparat yang bertugas
lebih menunjukkan arogansi, akhirnya menimbulkan kekisruhan keadaan, lalu
terjadi huru hara yang sulit terkendali, dan bahkan menimbulkan korban yang
sulit dipertanggungjawabkan siapa pelakunya.
Dalam
undang-undang No. 2 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua diamanatkan bahwa
kepolisian daerah Papua dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan sistem
hukum, budaya, adat istiadat di daerah penugasan. Demikian pula dalam
penempatan baru atau relokasi satuan Kepolisisan terkoordinasi dengan Gubernur.
Dan juga dalam hal untuk menjadi Perwira, Bintara, Tamtama Kepolisian Negara
Republik Indonesia di provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya,
adat istiadat yang diselaraskan dengan kebijakan Gubernur Provinsi Papua,
diberi kurikulum muatan lokal dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di
Provinsi Papua. Disinilah perlu dilibatkan peran tokoh Papua untuk ikut
berpartisipasi memberikan pandangan tentang sistem dan nilai-nilai kearifan
lokal kepada para Calon Perwira, Bintara, Tamtama Polri yang nantinya bertugas
di Papua.
Sudah
seharusnya kepolisian di Papua bertugas secara profesional, memahami fungsinya
sebagai pelindung, pengayom masyarakat dan sebagai penegak hukum serta
keadilan. Aparat Kepolisian sebaiknya lebih terkonsentrasi pada tugas pokoknya
melindungi dan pengamanan dalam kota dari potensi ancaman dan gangguan
kriminal, terorisme, penyebaran narkoba, ilegal logging, ilegal minning, dan
lain-lain. Tidak terjebak dalam kepentingan sempit yang mengorbankan
kepentingan umum. Jika kepolisian Papua bertugas pada tataran yang jelas dengan
pendekatan yang save power, maka akan memudahkan partisipasi peran tokoh untuk
ikut memperkuat sistem kamtibmas semakin nyata, tetapi kondisi di Papua saat
ini sangat sulit keteribatan peran para tokoh Papua. Hal ini karena kelompok
masyarakat yang dirugikan oleh aparat kepolisian semakin banyak, sehingga
sangat sulit posisi para tokoh Papua untuk berbicara kebenaran yang hakiki
kepada masyarakat. Apalagi dengan penambahan personel kepolisian dari luar
Papua, semakin membuat kisruh psikologi keamanan masyarakat Papua. Rakyat Papua
menjadi trauma ketika melihat semakin banyak aparat bersenjata hadir di
lingkunganya karena kehadirannya pasti akan menimbulkan situasi
ketidaknyamanan. Dengan kondisi seperti itu sebaiknya Pimpinan Polri harus
mengubah kebijakan, jangan lagi menambah kekuatan Polri dari luar Papua, tetapi
lebih dioptimalkan personel Polri dari Papua sendiri.
Pelaksanaan Teritorial dalam mendukung Kamtibmas di
Papua demi Kedaulatan NKRI
Doktrin
teritorial nusantara (dokternus) terdiri dari pembinaan wilayah dan pembinaan
teritorial. Pembinaan wilayah menghasilkan prosperity, sedangkan pembinaan
teritorial menghasilkan security. Sehingga ketika keduanya disatukan akan
menghasilkan strong national resilience.
Pembinaan teritorial (binter) menggunakan sistem senjata teknik (sistek) dan sistem
senjata sosial (sissos), yang tujuannya adalah membentuk kesiapan tempur dan
ketahanan mental. Binter terdiri dari operasi teritorial (opster) dan kegiatan-kegiatan
teritorial (giatter). Opster berhubungan dengan potensi pertahanan dan
bertujuan mengembalikan atau memelihara kewibawaan pemerintah, sementara
giatter berhubungan denga organ TNI, Polri dan masyarakat untuk memelihara
kekuasaan pemerintah tak terikat waktu dan ruang.
Pulau
Papua terbagi menjadi dua, bagian barat provinsi Papua, Indonesia dan bagian
timur wilayah Negara Papua New Guinea. Papua bagian barat dijajah oleh Belanda,
sedangkan bagian timur dijajah oleh Inggris dan Portugis. Belannda dengan
politik adu domba dan Inggris denga politik Commonwealth.
Menurut
Soedjati Djiwandono (1999), would we
prefer to have a single nationa-state out of this huge but almost unmanageable
archipelago. Marked by abject poverty among the majority of people, by
continued injustice, continous tension and conflicts because of seemingly
irreconcilable differences in ethnic, religious and cultural terms? Or at the
risk of being dubbed “blusphemous”, to split peacefully into 2, 3, 4, or even 5
smaller nation-states with a greater chance and hope for peace, greater
prosperity, equality and justice for all?
Usulan
yang diberikan Kodam XVII/Trikora adalah dengan pembentukan brigade infanteri
khusus, satuan tugas tempur laut, 1 flight tempur taktis dan 1 flight tempur
strategis, serta satuan radar kohanudnas.
Isu
yang berkembang di awal abad XXI adalah perihal globalisasi, hak asasi manusia,
demokrasi, dan lingkungan hidup. Kesemuanya ini bersentuhan langsung dengan
masyarakat dan masyarakat perlu tahu persis bagaimana menghadapi isu tersebut.
Kebijakan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat
Sejak
awal integrasi Papua ke dalam NKRI, harus diakui ada setitik persoalan yang
tertinggal, yaitu sejarah integrasi itu sendiri. Namun, apabila ditelusuri dan
ditera dengan akal budi dan pikiran sehat, sebenarnya hal tersebut bermula
darii latar belakang sejarah penjajahan Belanda dan keberadaan Hindia Belanda.
Apapun, sejarah juga menyatakan bahwa resolusi PBB tahun 2505 telah menempatkan
Papua dalam kedaulatan NKRI. Kalaupun kemudian di awal integrasi muncul
ketidakpuasana sebagian masyarakat Papua, hal itu manusiawi. Tetapi mengangkat
senjata untuk melakukan protes merupakan pengingkaran terhadap demokrasi,
apalagi diukur dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Yang menjadi persoalan
adalah mengapa perlawanan yang tadinya hanya dilakukan oleh TPN/OPM
tertransformasi menjadi perlawanan masyarakat? Pasti ada perlakuan yang salah
selama lebih dari 45 tahun Papua dalam administrasi pemerintahan NKRI.
Transformasi ideologi merdeka dapat digambarkan dengan:
|
1963 1998
2011
OPM
+
MSYRKT
Beberapa fenomena yang kerap terjadi saat itu adalah
sebagai berikut. Perbedaan tajam tentang permaslahan Papua di antara fraksi
yang ada. Keterlibatan pimpinan keagamaan yang meluas dalam dinamika politik di
Papua. Perbedaan tajam perspektif sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI.
Kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Pengembangan image kegagalan dan
pengembalian otsus Papua. Marjinalisasi dan ketidakberpihakan terhadap OAP. Hak
dan Tanah Ulayat. Stigmatisasi sparatisme terhadap OAP. Ketidakpuasan terhadap
penyelenggaraan keamanan di Papua. Realita penghormatan dan penegakan HAM.
Rendahnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Image pembangunan yang hanya
berorientasi ke Jakarta. Isu depopulasi OAP dan pembatasan arus migrasi ke
Papua. Perjuangan di fora internasional. Keseluruhan fenomena tersebut di atas
menghasilkan ketidakpercayaan di masyarakat (public distrust).
Kondisi integrasi di Papua sendiri tidaklah cukup
baik. Akibat inkonsistensi implementasi otsus dan kontroversi pelanggaran HAM
muncullah masalah pada integrasi sosial. Masalah ini akan menjadi ancaman
karena 1969 integrasi teritori Papua ke dalam NKRI usai. Mengapa usai? Karena dalam
sidang umum yang menghasilkan Resolusi PBB 1825 dihadiri 111 negara di mana 80
negara setuju integrasi ke dalam NKRI dan 31 negara abstain sedangkan tidak ada
negara tidak setuju.
Kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan
secara sistematis, terencana, terukur, dan sinergis dengan berbagai upaya yang
dilakukan swasta dan masyarakat untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat di Tanah Papua.
Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua
Barat. Pelaksanaannya adalah melalui peningkatan koordinasi, sinergi dan
sinkronisasi perencanaan, serta pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan
yang berasal dari berbagai sumber pendanaan dan pelaku pembangunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. Percepatan
pembangunan ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Nasional tahun 2010-2014 dan RPJM Provinsi Papua dan Papua Barat serta
memperhatikan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) pada koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Strategi
pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan pembangunan sosial ekonomi
dan sosial politik dan budaya. Dari sosial ekonomi dilakukan melalui peningkatan
hasil guna dan daya guna pelayanan publik di bidang ketahanan pangan,
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, transportasi terpadu,
infrastruktur dasar, dan pengembangan ekonomi rakyat. Sementara itu dari sosial
politik dan budaya dilakukan melalui pembangunan komunikasi yang konstruktif
antara pemerintah dan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat
bidang sosial ekonomi dapat dilakukan dengan menyusun prioritas. Untuk
ketahanan pangan, prioritaskan ketahanan pangan pada daerah rawan pangan
melalui pengembangan tanaman pangan lokal di kawasan pedesaan dan kawasan
terisolir. Sedangkan untuk penanggulangan kemiskinan, prioritaskan pada
pemberian bantuan jaminan sosial, pengembangan kapasitas dan pemberian modal
usaha bagimasyarakat tertinggal. Prioritaskan juga pengembangan kelompok usaha
tani, nelayan, perdagangan, serta usaha mikro untuk melembagakan kegiatan
produktif dan meningkatkan pendapatan warga di tingkat kampung. Dari segi
infrastruktur dasar, prioritas dapat diberikan pada dukungan pelayan
transportasi terpadu, energi, telekomunikasi, serta air bersih dan sanitasi
melalui pendekatan kawasan. Prioritas lainnya perlu diadakan pada peningkatan
pelayanan posyandu, puskesmas pembantu, puskesmas tingkat distrik, serta
peningkatan kemampuan masyarakat dalam pelayanan poskes tingkat kampung.
Peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk memastikan kegiatan
belajar dapat berjalan di seluruh wilayah kampung dengan fasilitas dan jumlah
guru yang memadai serta perlu menyiapkan pendidikan kejuruan. Affrimative action yang dapat diambil
adalah dengan program peningkatan khusus bagi pengembangan kualitas SDM putra
putri Papua dan Papua Barat baik di sektor pemerintahan daerah maupun sektor
swasta.
Percepatan bidang sosial politik dan budaya dapat
dilakukan dengan beberapa usaha. Pertama, pemetaan masalah yang menjadi sumber
perbedaan (konflik) antara Pemerintah dan masyarakat Papua baik dari aspek
politik maupun pendekatan hukum dan HAM. Kedua, pemetaan dan pendekatan
terhadap kelompok-kelompok strategis di dalam masyarakat Papua dalam rangka membangun
kesepahaman tentang masalah politik dan budaya antara masyarakat Papua dan
pemerintah. Ketiga, merumuskan rencana kebijakan politik yang memperhatikan
budaya lokal dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap
pemerintah. Keempat, mempersiapkan mekanisme dan substansi komunikasi
konstruktif antara wakil-wakil masyarakat Papua dan pemerintah dalam rangka
menyepakati penyelesaian bersama masalah-masalah sosial politik dan sosial
budaya dalam kerangka NKRI.
Terdapat program-program yang menjadi kebijakan
pendukung percepatan dan pembangunan Papua dan Papua Barat. Program pertama
adalah program penguatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengelolaan
pertahanan dengan memprioritaskan pada percepatan penyusunan RT/RW, Provinsi,
Kabupaten, dan Kota, serta pengelolaan administrasi pertahanan yang terkait
dengan hak ulayat. Program berikutnya adalah program peningkatan stabilitas keamanan
dan ketertiban terutama di daerah rawan kejahatan dan berpotensi konflik antar
kelompok masyarakat. Program lainnya adalah program penguatan kapasitas
kelembagaan dan aparatur pemerintahan daerah dan penyusunan Perdasi dan
Perdasus serta pencegahan dan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat
menjadi tanggung jawab Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
(UP4B). Tugas dari UP4B ini adalah membantu Presiden dalam melakukan dukungan
koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian
pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dukungan
yang dimaksud adalah berupa koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi perencanaan
program P4B. Koordinasi dan sinkronisasi juga dilakukan pada pendanaan program
P4B. Seain itu, perlu juga pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program P4B
serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah dan
peningkatan komunikasi konstruktif. UP4B memiliki kewenangan dalam melaksanakan
koordinasi dengan menteri, pimpinan LNK, lembaga lain, dan kepala pemerintahan
daerah dalam merencanakan rencana aksi. Kewenangan lainnya adalah mendapatkan
informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari kementerian, LNK,
pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya. Kemudian UP4B juga berwenang
memonitor, menyarankan penyelarasan program dan kegiatan serta memperbaiki
kinerja pelaksanaan kegiatan terkait dengan upaya UP4B. Memberikan alternatif
solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam penetapan program dan kegiatan
antara rencana kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
UP4B bekerja dengan visi mewujudkan masyarakat Papua
dan Papua Barat yang bermartabat dan bangga menjadi bagian integral bangsa
Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, UP4B membawa misi melaksanakan
percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat untuk mengembalikan public trust, meletakkan landasan
pembangunan yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
memberikanrekognisi dan pemihakan kepada masyarakat Papua dan Papua Barat dalam
rangka optimalisasi keberhasilan UU Otsus Papua.
Konsep yang dikembangkan oleh UP4B adalah
mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua dan Papua Barat dengan mendorong dan
memastikan percepatan pembangunan yang mengutamakan pendekatan kesejahteraan
baik melalui pembangunan di bidang sosial ekonomi maupun sosial politik dan
budaya secara serasi dan seimbang dengan memproritaskan wilayah pegunungan
tengah dan daerah terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan dibidang sosial
ekonomi dilaksanakan dengan mengkoordinasikan, mensinergiskan, mendorong dan
memastikasn serta mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik
APBN dan APBD serta program quick wins,
serta mendoron, mengkoordinasi dan memfasilitasi program pembangunan inisiatif
yang melibatkan masyarakat Indonesia khususnya di bidang pelayanan kesehatan dan
pendidikan di distrik-distrik terpilih kawasan pegunungan tengah dan daerah
terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan di bidang sosial politik dan budaya
diutamakan untuk menumbuhkembangkan dialog yang konstruktif dengan seluruh
komponen masyarakat dalam rangka membangun ownership
masyarakat baik dalam konteks NKRI maupun masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya,
UP4B memiliki prioritas di masing-masing aspek kehidupan masyarakat Papua dan
Papua Barat. Dalam tata kelola pemerintahan, prioriatas diberikan untuk
mendorong dan memastikan good governance
dapat dijalankan. Dalam pembangunan infrastruktur, diprioritaskan mendorong dan
memastikan bahwa program pembangunan infrastruktur dasar dan jalan di wilayah
Asmat untuk membuka wilayah tengah dapat berjalan. Dalam program pemihakan, mendorong
dan memastikanaffirmative action
dapat berjalan baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Dalam bidang hukum
dan HAM, mendorong dan memastikan penghormatan dan penegakkan HAM dapat
dilaksanakan, korupsi dapat dicegah dan diserahkan kepada pihak yang berwenang.
Dalam bidang pendidikan, mendorong dan memastikan program pendidikan dasar
berjalan di tingkat kampung dan pendidikan menengah berjalan di tingkat
distrik. Dalam bidang kesehatan, mendorong dan memastikan program pelayanan Pos
Kesehatan Kampung, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas di tingkat distrik dapat
berjalan. Dalam bidang politik, memastikan implementasi UU No. 21 Tahun 2001
termasuk terwujudnya Perdasus dan Perdasi; format komunikasi konstruktif
terbenutk dan menghasilkan komitmen bersama dalam membangun Papua dan Papua
Barat. Dalam bidang ekonomi, mendorong dan memastikan bahwa relasi-relasi
sosial masyarakat dapat berfungsi dan berjalan dengan bail. Dalam bidang
budaya, mendorong dan memastikan penghormatan terhadap hak ulayat dan hukum
adat dalam kehidupan bermasyarakat di Papua. Dalam bidang keamanan, mendorong
dan memastikan pengelolaan kamtibmas di Papua berjalan proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar