MERADANG DI TENGAH KELIMPAHAN
“Papua
is a place of great natural beauty and abundan natural resources.
It
has great potensials for tourism and for economic development.”
(Cameron R. Hume, Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia 2007-2010)
Lingkungan Hidup Wilayah Tanah Papua
laksana sebuah Kidung Agung yang memuat syair-syair indah yang melukiskan
kemuliaan dan keagungan ciptaan Tuhan di muka bumi. Alamnya yang indah,
udaranya yang bersih dan penduduknya yang kebanyakan masih hidup menyatu dengan
alam, telah menarik perhatian mereka yang merindukan keseimbangan lingkungan (ecological equilibrium) di abad modern
dewasa ini. Lagu Senja di Kaimana
ciptaan Surni Warkiman yang dinyanyikan oleh Alfian dan lagu Dari Ombak Besar ciptaan Ds. I.S. Kijne
menggambarkan keagungan kidung alam tersebut. Gunung-gunungnya tinggi menjulang
ke langit dengan ukuran raksasa dan berpuncak salju abadi merupakan keajaiban
alam di kawasan tropis. Pada tahun 1623, Jan Carstensz, sambil berlayar
sepanjang pantai selatan Papua, telah merekam sebuah puncak tertutup salju,
yang sekarang menjadi daerah pertambangan PT Freeport Indonesia. Rekaman
Carstensz diperolok-olok oleh orang-orang di Eropa karena dia berceritera
tentang adanya salju di khatulistiwa, yang ketika itu dianggap sebagai sesuatu
yang mustahil.
Wilayah Tanah Papua yang akrab dijuluki “Bumi
Cenderawasih” berkat adanya burung dari Tanah Surga itu kini didiami kurang
lebih 270 sub-etnik yang berbicara dan hidup dalam beraneka ragam bahasa dan
kebudayaan. Keanekaragaman hayati Papua juga telah menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara “Megabiodiversity” di dunia. Artinya, Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki tumbuhan berkayu, serangga, amphibia,
reptilia, burung dan mamalia yang ragamnya sangat banyak.
Wilayah Tanah Papua sangat kaya sumberdaya alam
dan belum banyak dirambah aktivitas manusia serta sangat menjanjikan peluang
untuk dikembangkan, demi kesejahteraan segenap penduduknya. Wilayah pulau
terluas di Indonesia ini diselimuti pula oleh belantara hutan dan dikelilingi
laut dengan keanekaragaman biota serta berjuta hektar tanah yang cocok buat
pertanian. Wilayah Tanah Papua memang laksana “Tanah yang Diberkati” (the
blessing land).
Di dalam perut Bumi Papua tersimpan berbagai harta kekayaan alam seperti minyak bumi,
gas alam, batubara, uranium, nikel, tembaga, emas dan perak, yang bernilai
ekonomi sangat tinggi apabila dikelola secara baik. Penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport
Indonesia di Papua merupakan kekayaan nasional yang memiliki keunggulan
komparatif; dapat dilihat dari kandungan Grasberg dengan cadangan tembaga dan
emas terbesar dibanding tambang manapun di dunia ini.
Segala keagungan, kebesaran dan kekayaan lingkungan hidup Wilayah Tanah
Papua serta penduduknya yang sangat unik di dunia, merupakan kekayaan dan keberkahan yang paling hakiki bagi
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kekayaan yang harus dilestarikan dan
dikembangkan dalam suatu pola pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), sebagai modal dasar pembangunan kepariwisataan yang dapat
dikembangkan demi kesejahteraan bangsa yang merdeka dan berdaulat, aman dan
damai di tengah-tengah kemajuan peradaban sekarang ini.
Jika menilik sejarah, Papua, negeri burung
surga di ujung timur Nusantara ini ternyata sudah menjadi primadona dan dikenal
sejak lama oleh bangsa-bangsa Eropa. Bagi para
pelaut, Pulau Papua yang dijuluki the
blessed land ini sudah tidak asing lagi dan telah dikenal sejak lama. Hal
ini dapat ditelusuri dari catatan-catatan kamar dagang Belanda atau yang lebih
dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
yang memberi petunjuk kepada orang-orang Majapahit lewat kapal-kapal penyusur
pantai yang telah melakukan hubungan dengan Papua Barat. Buku-buku Cina kuno pun
menyatakan hal yang sama mengenai pengalaman orang-orang Cina yang pernah melakukan
kontak dengan penduduk pulau tersebut. Sejarah
mencatat bahwa bangsa Eropa pertama yang menghampiri
(tidak mendarat) Pulau Papua adalah Bangsa Portugis pada tahun 1512 yang
kemudian memasukkan Papua ke dalam peta penjelajahannya. Nama yang patut diingat di antara para pelaut Portugis tersebut adalah
Jorge de Menzenes dan Antonio D'Abreu.
Kemudian pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes, seorang
pelaut berkebangsaan Spanyol menghampiri pulau ini dengan menyusuri indahnya
deburan pantai Papua dengan kapalnya yang terkenal, Sint Juan. Ketika itu dia
datang dari Pulau Tidore dalam
pelayarannya menuju Meksiko. Orang-orang Spanyol inilah yang kemudian tercatat
dalam sejarah berperan memberi nama Nova Guinea (Guinea Baru) kepada Pulau
Papua. Penamaan ini diberikan mengingat pantai-pantai
di sepanjang Papua memiliki kesamaan dengan pantai yang ada di Guinea, sebuah negara
di Afrika Barat yang berbatasan langsung dengan Samudera Atlantik. Semenjak
saat itulah banyak pelaut Eropa mulai berdatangan dan berlayar ke Papua sekitar tahun 1600-1700 dengan misi pencarian emas dan kulit
pohon Gaharu yang diperlukan untuk bahan dasar wewangian.
Adalah Sir Alfred Russell
Wallace, ilmuwan besar yang terkenal dan begitu legendaris dengan penemuan Garis
Wallace-nya yang telah mempopulerkan Papua di mata dunia pada abad 19. Wallace (meninggal tanggal 7 November 1913 saat
berumur 90
tahun) dikenal sebagai seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli
antropologi dan ahli biologi dari Britania Raya. Dia banyak melakukan
penelitian lapangan, di mana untuk pertama kalinya dilakukan di Sungai Amazon
di tahun 1846 saat dia masih berusia 23 tahun dan dilanjutkan di Kepulauan Nusantara. Selama delapan tahun
(1854-1862) dia
menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Dari penjelajahan itu, dia
lantas membukukannya ke dalam sebuah catatan yang cukup
terkenal yang kemudian diberi judul
The Malay Archipelago. Selama melakukan ekspedisi di wilayah
Nusantara, diperkirakan, dia telah menempuh jarak tidak kurang dari 22.500
kilometer, melakukan 60-70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan
125.660 spesimen fauna yang meliputi 8.050 spesimen burung, 7.500 spesimen
kerangka dan tulang aneka satwa, 310 spesimen mamalia, serta 100 spesimen
reptil. Selebihnya, mencapai 109.700 spesimen serangga, termasuk kupu-kupu yang
paling disukainya.
The Malay Archipelago
karya Wallace berkisah tentang perjalanannya
di sepanjang pulau-pulau Nusantara. Selama ekspedisinya itu, Wallace bertemu
dengan beragam masyarakat dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan
Papua serta menulis berbagai langgam kehidupan
sosial dan budaya mereka secara lebih rinci.
Di antara sejumlah pembahasan mengenai masyarakat dan keadaan alam Indonesia yang begitu detail, salah satunya adalah mengenai pengembarannya ke The New Guinea atau yang sekarang kita sebut Papua Barat. Wallace datang ke Teluk Dorey (sekarang Manokwari) dalam usahanya meneliti keberadaan spesies burung surga (paradise birds) atau yang di Indonesia dikenal dengan sebutan burung Cenderawasih. Kisah ini secara lengkap dia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul Sailing To Guinea dan Paradise Birds are Getting Fewer.
Di antara sejumlah pembahasan mengenai masyarakat dan keadaan alam Indonesia yang begitu detail, salah satunya adalah mengenai pengembarannya ke The New Guinea atau yang sekarang kita sebut Papua Barat. Wallace datang ke Teluk Dorey (sekarang Manokwari) dalam usahanya meneliti keberadaan spesies burung surga (paradise birds) atau yang di Indonesia dikenal dengan sebutan burung Cenderawasih. Kisah ini secara lengkap dia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul Sailing To Guinea dan Paradise Birds are Getting Fewer.
Berkat
keunikan dan pemuatan fakta-fakta baru seputar kehidupan di Nusantara, Profesor
Sangkot Marzuki, Ketua Yayasan Wallace, dalam acara bedah buku Wallace
berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia
dan Alam, di Jakarta, Jum`at 16 April 2010, mengatakan bahwa hampir
sekitar 1.000 buku edisi pertama The Malay Archipelago yang
diterbitkan oleh Macmillan and Company, London, pada tahun 1869 habis dalam
beberapa bulan. "Total ada 10 edisi yang diterbitkan selama Wallace hidup.
Dan buku itu menjadi buku bersejarah karena satu-satunya buku yang terus
dicetak ulang selama 1,5 abad selain kitab suci," tuturnya.
Wallace, setelah puluhan
tahun mengembara ke seantero jagad raya, ternyata tidak bisa menyembunyikan
kekagumannya pada
Tanah Papua yang disinggahinya. Suatu waktu, Wallace pernah menuturkan
perasaannya tentang Papua: “Pulau Papua mempunyai lebih banyak obyek alam yang
sangat indah dan baru bagi dunia ilmu pengetahuan dibandingkan dengan belahan
dunia manapun …” (Hikoyabi, Hana S., Ketua MRP [Majelis Rakyat Papua] pada sambutan
Lokakarya: “Land Tenure dan Hutan Papua” di Hotel Sentani Indah, 17-18
Juli 2009).
Selama di Nusantara inilah Wallace berhasil
mendapatkan teori yang berperan penting dalam kajian penyebaran flora dan fauna
di Asia dan Australia. Hasil penelitiannya di Nusantara inilah yang kemudian
menghasilkan teori yang terkenal dengan sebutan Garis Wallace. Sebuah garis
hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian
barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan
berhubungan dengan spesies Australia. Garis ini dinamakan atas Alfred Russel
Wallace, yang menyadari perbedaan yang jelas pada saat dia berkunjung ke Hindia
Timur pada abad ke-19. Garis ini melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo dan
Sulawesi; dan antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Adanya garis ini
juga tercatat oleh Antonio Pigafetta tentang perbedaan biologis antara Filipina
dan Kepulauan Maluku, tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada 1521.
Garis ini lalu diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh
Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia lalu ditentukan secara
berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna. Garis ini lalu dinamakan
"Wallace-Weber".
Selain hamparan laksana
taman surga yang begitu indah dengan jutaan potensi, Papua juga memiliki posisi
yang sangat strategis dalam episentrum Asia-Australia dan Dunia. Hal ini bisa
dibuktikan dengan membaca seputar sejarah Perang Dunia II di kawasan Asia
Pasifik, khususnya di Wilayah Tanah Papua. Adalah Douglas MacArthur yang memandang
betapa pentingnya posisi strategis Papua ketika itu. Kisah heroik MacArthur
dimulai sesudah serangan atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl
Harbor yang dilakukan oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1941, pasukan Dai
Nippon Jepang bergerak dan menguasai hampir seluruh wilayah yang diidamkan
sebagai “Persemakmuran Asia Raya”, kecuali Cina Selatan. Setelah menduduki
Pulau Jawa, pasukan Jepang diperintahkan untuk memutuskan garis pertahanan dan
garis perhubungan antara Amerika Serikat dan Australia di Kepulauan Pasifik
Selatan. Pasukan Jepang lantas merajalela menguasai seluruh wilayah Kepulauan
Nusantara.
Pada musim semi 1944,
Jenderal Douglas MacArthur, panglima tertinggi di wilayah kawasan Asia-Pasifik, memulai
penyerangan untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah diduduki Jepang.
MacArthur mengembangkan strategi “loncat
katak” (leapfrog strategy), dengan memanfaatkan kekuatan yang
lebih hebat di laut maupun udara, yang selalu meloncat beberapa ratus kilometer
lebih jauh menduduki satu pulau ke pulau yang lainnya, di mana di situ juga
terdapat (dan dibangun jika belum ada) sebuah landasan pesawat terbang. Dengan
cara seperti itu, dia berhasil mengepung garnisun-garnisun Jepang yang besar
jumlahnya, kemudian sukses mengisolasi dan mengurung mereka (pasukan Jepang).
Dua puluh hari kemudian,
persisnya pada tanggal 27 Mei 1944, dengan strategi “loncat katak” pasukan
Sekutu pimpinan Jenderal Douglas MacArthur berhasil melakukan pendaratan di
Biak, Papua. Di situ, terjadi pertempuran sangat sengit antara pasukan Sekutu
dan pasukan Jepang yang memiliki 11.000 tentara di Pulau Biak. Pertempuran di
Biak merupakan salah satu pertempuran yang paling sengit selama perang, di mana
tentara Sekutu menggunakan dinamit dan bahan bakar diesel untuk mengusir
tentara Jepang dari dalam goa-goa. Hanya 220 orang tentara Jepang yang selamat.
Kemudian, pada tanggal 20 Juni 1944 landasan pacu pesawat di Mokmer-Biak jatuh
ke tangan pasukan Sekutu. Tanggal 2 Juli 1944, terjadi pendaratan dari udara
oleh pasukan Sekutu di Pulau Numfor dan pada tanggal 30 Juli 1944 di Sausapor
yang berada di bagian atas wilayah Kepala Burung Papua. Sejarah mencatat bahwa pertempuran di Papua itu
akhirnya menjadi tempat di mana Jepang harus mengaku kalah terhadap Amerika
setelah melalui berbagai pertempuran hebat lainnya.
Berkat prestasinya itu, MacArthur diusulkan mendapatkan
kenaikan pangkat menjadi Jenderal Bintang Lima. Usul kenaikan pangkat ini baru
disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada bulan Desember 1944 dan
pengukuhannya dilaksanakan di Filipina. Dijuluki ”American Caesar”
karena prestasi-prestasi perang yang cemerlang, Jenderal Douglas MacArthur
berhasil dengan cepat menundukkan pihak Jepang. Strateginya memanfaatkan Pulau
Biak, Papua, dengan taktik loncat katak membuktikan betapa strategisnya posisi
dan peran Papua saat itu sebagai gerbang masuk Asia-Pasifik.
Penulis hanya bisa
mengucap syukur bagimu Tuhan yang senantiasa memberkati wilayah Tanah Papua, bumi dengan sejuta pesona alam,
nilai-budaya dan potensinya. Sudah barang tentu semua itu sesungguhnya adalah
diberikan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang diperuntukkan bagi kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat di seluruh wilayah Tanah Papua, masyarakat yang dikenal memiliki adat-istiadat, sistem
sosial dan budaya yang paling unik di dunia itu. Tidak terkecuali, rahmat dan
berkah dari Tuhan yang diberikan untuk masyarakat Papua tadi adalah juga demi
kemajuan dan kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
tercinta ini.
Rasa syukur yang
seharusnya diiringi oleh semangat dan kerja keras. Bahwa, anugerah dari Tuhan
Yang Maha Pencipta yang tidak ternilai harganya tadi sudah semestinya dikembangkan dalam wujud yang nyata.
Dikembangkan agar mempunyai nilai tambah (added value) bagi masyarakat
di wilayah Tanah Papua
maupun bagi Bangsa dan NKRI. Bukan apa-apa, Tuhan sendiri tidak akan mengubah
nasib seseorang atau masyarakat, apabila seseorang atau masyarakat tersebut
tidak mau mengubah nasibnya. Mengubah nasib itu sendiri, antara lain, dilakukan
dengan bekerja keras untuk mengolah dan mengembangkan Sumber Daya Alam (SDA)
yang diberikan Tuhan Yang Maha Kasih. Dengan diolah dan
dikembangkan, tentunya, pemberian Tuhan Yang
Maha Kuasa yang begitu besar tadi akan benar-benar bermanfaat dan bernilai
tambah, sehingga masa depan masyarakat di seluruh wilayah Tanah Papua serta Bangsa dan NKRI menjadi lebih
baik, cerah dan berpengharapan.
Sebuah negeri yang diberkati Tuhan. The
blessing Islands. Itulah Papua, yang telah diberkati dengan segenap potensi
SDA (Sumber Daya Alam) yang sungguh berlimpah-ruah. Melimpah-ruah di darat,
melimpah-ruah pula di air. Ada rempah-rempah, serta kekayaan flora dan faunanya
yang menghiasi seantero daratan Papua, bumi burung surga itu. Sedangkan potensi
beraneka jenis barang tambang menjadi “bongkahan emas” di hampir semua tanah
Papua, provinsi yang juga disebut mutiara hitam ini.
Sungguh, wilayah
Tanah Papua, tanah yang diberkati oleh Tuhan (the blessed land) itu,
laksana mutiara di timur Indonesia. Lingkungan alam pulau terluas di persada
Nusantara tersebut, bak kidung agung sebuah orkestra
kehidupan alam yang melantunkan syair-syair dan bait-bait yang merdu dan
meneduhkan hati, serta gerakan harmonis saling bertautan tentang keindahan,
kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Begitu mempesona dan
sungguh kaya Wilayah Tanah Papua. Maka dari itu, dapat dimaklumi, apabila orang
sekelas Cameron R. Hume, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia 2007-2010, pun begitu mengagumi keindahan dan potensi alam yang
terhampar di Wilayah Tanah Papua. Kata Cameron R. Hume, “Papua is a place of
great natural beauty and abundan natural resources. It has great potensials for
tourism and for economic development.”
Cameron R. Hume memang benar. Setiap
jengkal wilayah Tanah Papua sungguh memiliki nilai
kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan ekologis yang tinggi. Di dalam perut Bumi
Cenderawasih (sang burung dari surga itu) misalkan,
terkandung beraneka potensi tambang yang begitu melimpah-ruah. Mulai dari
minyak dan gas bumi (migas), batubara, nikel, tembaga, perak, emas hingga
uranium yang diburu oleh dunia untuk energi nuklir. Potensi tambang di wilayah
Tanah Papua memang layaknya jamrud di timur Indonesia. Sedangkan di permukaan
tanah, terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa dengan salju
abadinya. Bagai putri salju yang sedang tertidur lelap.
Juga, sungai-sungai yang mengalir berkelok-kelok dengan sejuta potensi air
tawarnya. Bak ular naga emas yang sedang melata. Tidak terkecuali, hutan-hutan
rimbun-lebat dengan aneka tanaman dan tumbuhan serta flora dan
fauna. Ibarat taman nirwana nan penuh mempesona.
Tidak
hanya keindahan alam dan posisinya yang amat strategis, lebih dari itu Papua juga dikenal dunia karena
kelimpahan kekayaan alamnya
yang bernilai ekonomis tinggi. Artinya, Papua sesungguhnya memiliki
modal pembangunan berupa Sumber Daya Alam (SDA, economic capital) yang sangat besar. Baik di darat maupun di laut. Mulai dari pertambangan, kehutanan,
perkebunan, pertanian, kelautan-perikanan hingga pariwisata. Papua pun
sebenarnya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM, human capital) yang cukup potensial untuk memberdayakan dan mengolah SDA menjadi bernilai tambah
tinggi. Papua juga memiliki kekayaan nilai-nilai sosial-budaya sebagai wujud
khazanah dan kearifan masyarakat setempat atau peradaban (social-cultural capital) yang unik dan luhur yang terkristal dari
perjalanan panjang Papua, yang sejatinya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam
pembangunan Papua.
Papua pun dikitari
oleh laut dan samudera luas dengan berjuta-juta sumber daya ikan dan udang,
serta karang dan kehidupan biota (flora dan fauna laut). Layaknya ratna mutu
manikam. Panorama pesona alam dan potensi yang begitu melimpah-ruah itu semakin
aduhai dan kian menawan dengan keberadaan dan eksistensi adat-istiadat, sistem
sosial dan budaya dari beragam etnik atau suku beserta nilai-nilai sosial-budaya
serta peradabannya yang luhur dan adi luhung. Tidak percaya, segeralah datang
ke pulau “mutiara hitam”. Pasti Anda akan dibuat takjub dan tidak akan
mengedipkan mata barang sejenak pun. “Don’t
forget, seeing is believing. Papua is a wonderful island.”
Walau demikian, ada yang patut disayangkan, ternyata Papua menyimpan
sebuah ironi. Provinsi yang boleh dikata paling kaya ini sekaligus menyandang
predikat provinsi termiskin. Papua berkelimpahan
sumber daya alam. Freeport, tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ada di
sini. Papua juga memiliki kilang LNG Tangguh, lapangan gas terbesar di dunia.
Kekayaan hutan berikut biodiversitas dan plasma nutfahnya luar biasa. Namun
mayoritas rakyatnya masih bergelut dengan kemiskinan akut.
Memang, dalam
konstelasi sejarah pembangunan daerah dan nasional, potensi-potensi tersebut
kurang diberdayakan (kalau tidak boleh disebut masih terabaikan). Akibatnya,
perjalanan pembangunan di wilayah Tanah Papua menjadi tidak integratif dan
tidak menuai hasil yang berarti, selain masing-masing pelaku pembangunan
(pemerintah, investor dan masyarakat) tampak berjalan sendiri-sendiri sesuai
kepentingannya. Apa boleh buat, sejarah panjang Papua hanya diwarnai dengan
keterbelakangan dan kemiskinan masyarakatnya. Dalam era global sekarang ini, rakyat-masyarakat
Papua justru tersisih dan terpinggirkan.
Kualitas SDM Papua tetap seperti pungguk yang merindukan bulan. SDA Papua terus
terkuras dan harmoni lingkungan alam di ujung kerusakan yang serius.
Rakyat-masyarakat Papua pun hidup dalam khazanah dan kearifan lokal
yang semakin pudar dimakan modernisasi jaman. Bagi rakyat-masyarakat Papua, wilayah
Tanah Papua seakan menjadi tanah yang gersang yang tidak lagi diberkati oleh
Tuhan Yang Maha Kasih.
Terlihat bahwa
selama kebijakan otonomi khusus dijalankan belum mampu mengurangi jumlah
penduduk miskin di Papua secara signifikan. Padahal,
pemberlakuan kebijakan otonomi khusus ini mendapatkan dana khusus yang jumlahnya
semakin meningkat sejak 2002 sampai 2010. Dalam
perkembangannya, pemberian dana otonomi khusus, di luar ketiga dana
perimbangan, belum menunjukkan dampak positif terhadap penanggulangan
kemiskinan di Papua.
Sungguh memprihatinkan. Setelah sekian lama arus investasi dan
modal mengalir di Papua, ternyata kehadiran itu tidak berbanding lurus dengan
pesatnya peningkatan kesejahteraan warganya, terutama masyarakat asli Papua.
Yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka justru tersingkir dan cuma menjadi penonton, bahkan korban.Jika menilik Kajian Ekonomi
Regional Triwulan II Tahun 2009 yang dilakukan Bank Indonesia di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat, kinerja ekonomi makro dan mikro di kedua wilayah
tersebut dinilai cenderung membaik. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua
mencapai angka mendekati 4 persen dan Provinsi Papua Barat mendekati 6 persen.
Salah satu
penopang kinerja makroekonomi itu adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan
belanja pemerintah yang cenderung meningkat. Hal itu memang terbukti, misalnya
jalan dan jembatan banyak dibangun di wilayah pedalaman, puskesmas baru banyak
didirikan di distrik-distrik, demikian pula gedung-gedung sekolah. Di perkotaan, ruko banyak
dibangun meski belum semua penuh terisi. Geliat sektor jasa pun turut berderak
dengan didirikannya banyak hotel baru. Semua itu menunjukkan aktivitas belanja
infrastruktur yang gencar di kedua provinsi tersebut.
Selain
itu, kinerja industri pertambangan—khususnya di Papua—menyumbang hingga lebih 60
persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua yang mencapai Rp18,94
triliun (data Badan Pusat Statistik Papua, 2009). Untuk Provinsi Papua Barat
diperkirakan pada masa mendatang laju pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat
seiring dimulainya pengapalan gas alam cair dari lapangan Tangguh di Bintuni.
Juli tahun 2008 sebanyak 136.000
meter kubik gas alam cair telah dikirim ke Korea Selatan dan itu menandai cikal
bakal lahirnya industri strategis di wilayah Indonesia bagian timur.
Kehadirannya diharapkan mampu memberikan efek domino bagi kinerja perekonomian
di wilayah tersebut. Tahun 2010, dua provinsi itu akan mengelola total lebih dari Rp31 triliun dana yang
berasal dari APBN.
Capaian
itu tentu tidak mengherankan. Apalagi di Papua, PT Freeport Indonesia memang
memberikan kontribusi ekonomi luar biasa besar. Juru bicara PT Freeport Indonesia, Mindo Pangaribuan,
mengatakan, nilai investasi perusahaan tambang itu mencapai lebih 6 miliar
dollar AS. Tercatat,
kontribusi ekonomi tahun 2008 mencapai angka 1,2 miliar dollar AS, yang terdiri
dari pembayaran pajak, royalti, dan dividen. Total sejak penandatanganan
kontrak karya kedua pada tahun 1992, kontribusi ekonomi perusahaan tersebut kepada
Pemerintah Indonesia mencapai lebih dari 8 miliar dollar AS. Jumlah itu belum termasuk manfaat langsung yang dinikmati lebih
dari 12.000 karyawan lokal di Timika atau mencapai 20.000 karyawan jika
ditambah dengan karyawan dari perusahaan subkontrak yang bekerja di PT Freeport
Indonesia. Di Provinsi Papua Barat, kehadiran British Petroleum di Tangguh
dengan nilai investasi mencapai 5 miliar dollar AS dan menyerap 10.000 tenaga
kerja juga dinilai akan mampu menggerakkan efek domino terhadap kinerja ekonomi
setempat.
Namun, di
tengah membaiknya kinerja ekonomi itu dan derasnya arus investasi di Papua dan
Papua Barat, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua tahun 2009 menunjukkan, hingga Maret 2009
tercatat jumlah penduduk Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai lebih dari 760.000 atau setara dengan 37,53 persen total jumlah
penduduk Papua.
Jumlah itu
meningkat lebih dari 27.000 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2008 yang mencapai lebih 733.000
orang. Meskipun dalam empat tahun terakhir data Survei Sosial Ekonomi Sosial
menunjukkan penurunan, persentase penduduk miskin di Papua masih dalam kisaran
30 hingga 40 persen. Tidak hanya itu, dari parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Papua pun berada di urutan ke-33 dari 33 provinsi di
Indonesia. Arus investasi, modal, dan pembangunan di Papua belum sepenuhnya
mengangkat taraf hidup masyarakat Papua. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka
justru makin jatuh miskin karena
kehilangan aset penopang hidup, yaitu hutan.
Laporan
BPS Maret 2010 bahkan menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Papua sebesar
761.620 jiwa (36,80%), sedangkan di Papua Barat pada periode yang sama sebesar
256.250 jiwa (34,88%). Total penduduk miskin di kedua provinsi tersebut pada
bulan Maret 2010 sebesar 1.017.870 jiwa. Dibandingkan dengan penduduk miskin
pada tahun 2002 ketika awal kebijakan otonomi khusus dijalankan yang berjumlah
984.000 jiwa (41,80%), berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 33.870 jiwa.
Tingkat kemiskinan Papua juga jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 13,33%.
Di sektor
perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit yang menerapkan sistem inti dan
plasma, umumnya masyarakat asli Papua berhadapan dengan gegar budaya, terutama
dalam pola bercocok tanam. Mereka yang sebelumnya hidup dalam pola meramu
tiba-tiba dihadapkan pada pola bercocok tanam baru dengan orientasi industri.
Di beberapa wilayah perkebunan, seperti di Kabupaten Keerom, Klamono, dan Kabupaten Sorong, masyarakat asli perlahan-lahan
tersisih dan kehilangan lahan garapan. Hal itu tak hanya melahirkan kesenjangan
ekonomi dengan kelompok pendatang, tetapi juga marjinalisasi. Apalagi jika
perkebunan itu dibuka tanpa plasma.
Hutan-hutan
ulayat terus dibabat dan masyarakat asli kian terasing dari tanah mereka
sendiri. Pokok-pokok sagu diganti dengan tunas-tunas kelapa sawit dan
masyarakat menjadi buruh di tanah mereka sendiri. Dengan rencana pemerintah
pusat menjadikan Papua sebagai lahan terakhir sumber lumbung pangan Indonesia
dan dunia, kepekaan terhadap masalah sosial yang mungkin timbul harus lebih
tinggi. Bukan hanya dilihat sebagai lahan yang subur dan kaya, bumi Papua harus
diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh antara alam dan masyarakatnya.
Sebelum muncul ekses lebih jauh dan mumpung masyarakat Papua masih membuka
ruang dialog, kepentingan masyarakat asli harus masuk dalam prioritas
pembangunan.
Pemerintah
hendaknya jangan menutup telinga dari ”teriakan” sebagian rakyat Papua yang
minta keadilan. Dalam pandangan sebagian orang Papua, kondisi sekarang sangat
keterlaluan. Perusahaan asing dengan mudahnya mengeruk emas bernilai miliaran
dollar AS. Mereka beroperasi di bawah jaminan keamanan penuh dari aparat.
Sementara pada saat orang Papua sendiri mengais sisa-sisa pertambangan tersebut
malah dicegah dan dilarang, bahkan ditembaki aparat keamanan.
Perlakuan ini
sungguh amat menyakitkan hati dan merendahkan martabat bangsa. Bagaimana bisa
pemerintah dan aparat negara bertindak seperti serigala bagi rakyatnya sendiri
dan menghamba bagaikan budak kepada perusahaan asing? Bukankah alasan rasional
bergabungnya manusia atau kelompok manusia ke dalam suatu negara adalah untuk
memelihara hak hidup dan kehidupan mereka? Bagaimana bisa pemerintah
menempatkan diri berhadapan dengan rakyatnya dalam rangka melindungi bisnis
kapitalis asing.
Keuntungan
pemerintah pun amat kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diraup oleh PT
Freeport-McMoRan misalnya. Dilihat dari jumlah saham saja sudah tidak
signifikan. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham, bandingkan
dengan saham yang dimiliki PT Freeport-McMoRan sebesar 81,28 persen. Itu pun
pemerintah harus menjadi tameng PT Freeport-McMoRan. Di sisi lain, rakyat Papua
tidak memiliki saham sama sekali. Mereka hanya diberi belas kasihan sebesar 1
persen dari keuntungan. Bayangkan, rakyat lokal yang secara turun-temurun
mendiami daerah itu sekarang hanya menjadi pengemis yang hidup dari belas
kasihan yang diberikan orang asing, yang menjadi kaya dan meraksasa dari hasil
tambang daerah itu sendiri. Adalah wajar jika pada akhirnya muncul kecemburuan
dan amarah.
Untuk meredakan
kecemburuan dan kemarahan rakyat Papua, pemerintah perlu menunjukkan kepedulian
yang tulus terhadap kesengsaraan mereka sekarang seraya mengusahakan kemakmuran
dan kesejahteraan. Karena itu, tidak cukup hanya dengan pemberian 1 persen
keuntungan bagi rakyat lokal. Pemerintah perlu mengusahakan agar rakyat daerah
tersebut turut memiliki saham, misalnya, 10 persen. Hal ini dimungkinkan karena
pemerintah memiliki otoritas penuh terhadap seluruh wilayah Republik, termasuk
wilayah pertambangan di Papua. Meskipun sudah terikat kontrak, bukan berarti
pemerintah kehilangan kedaulatan di wilayah tersebut. Dengan memiliki saham,
rakyat tidak perlu menjadi pengemis di tanahnya sendiri. Mereka akan berada di
posisi yang setara dengan PT Freeport McMoRan dan pemerintah. Teknisnya, tentu
saja tidak seluruh rakyat duduk dalam kepemilikan, melainkan lembaga-lembaga
tertentu representasi rakyat Papua, misalnya lembaga-lembaga adat, MRP, DPRD,
dan pemerintah daerah.
Penulis jadi
teringat sebuah cerita di salah satu surat kabar nasional tentang seorang mama
(ibu) asal Papua, dengan tas tradisional di pundak, berjalan-jalan mengelilingi
Kota Jakarta. Ia terkagum-kagum memandang deretan gedung pencakar langit yang
megah. Pemandangan yang begitu asing dari habitat Papua itu menggumpalkan
amarah yang membara dalam dirinya. Saking tak tertahankan lagi, ibu itu
berteriak lantang, "Pemerintah Indonesia telah memindahkan gunung-gunung
dan bukit-bukit dari Papua ke Jakarta. Kini rakyat Papua hanya mengais
sisa-sisa limbah dan tinja yang ditinggalkan setelah gunung, bukit, hutan, dan
sungai dihancurkan."
Kisah ini
menggambarkan bukti nyata kegelisahan anak manusia yang tidak tahan menyaksikan
sebuah kesenjangan yang menganga di antara segelintir orang yang kebetulan
memiliki kuasa dan uang untuk berperan dalam pembangunan dengan misi membangun
kesejahteraan, tapi fakta menggambarkan bahwa rakyat sebagai pemilik sah tanah
ini begitu asing dari proyek nasional yang bernama pembangunan itu.
Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dalam sosok pemikiran seorang ibu
sederhana asal Papua menggambarkan tragedi kesenjangan itu, sementara rakyat di
Papua khususnya dan timur Indonesia umumnya masih tertatih dalam genangan
lumpur kemiskinan, kemelaratan, dan ketertinggalan.
Sebuah
realita-fakta yang sejatinya tidak perlu terjadi. Sebuah kenyataan yang hanya
merugikan semua pihak. Tidak ada yang diuntungkan. Sebab itu, langkah solusi
dengan cara “duduk bersama” dan “bergandeng tangan bersama” harus segera
ditumbuhkan dan dikembangkan. Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam
perencanaan, proses, implementasi dan pengawasan, serta penikmatan atas
hasil-hasil pembangunan. Pembangunan daerah juga harus menjaga kelestarian dan
keseimbangan lingkungan hidup (keadilan ekologi), menjadikan hak-hak
rakyat-masyarakat, serta menjadikan nilai-nilai sosial-budaya dan
khazanah-kearifan masyarakat setempat sebagai landasannya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar