ad

Jumat, 14 September 2012

Di Ujung Tembok Stasiun (Akhir Tragis Seorang PSK)


oleh budi sucahyono

Hati Ivon sungguh berbinar
Dipandanginya wajah bayi itu
Raut suci tanpa noda
Terlahir ke dunia
Ivon tersenyum
senyum kebahagiaan

Sejenak lalu Ivon melahirkan
Setelah melewati masa sembilan bulan
penuh rasa getir dan pahit
harus berjuang sendiri
Masa kandungan tiga bulan
penanam benih di rahimnya
pergi tanpa pesan
apalagi warisan
nestapa di depan mata

Masa yang berat
Ivon harus menanggung
akibat pergaulan bebas
tanpa akad
tanpa ikat

Detik-detik melahirkan
antara hidup dan maut
jabang bayi keluar dari rahimnya
di tengah malam sunyi
bilik bersalin nan sederhana
bayi lelaki yang tampan
Tanpa ayah menyambut

Dalam diary-nya Ivon menulis:
”Telah lahir ke dunia buah hatiku
Bayi mungilku yang sehat
Tangisan kerasnya membuatku bangga
Wajahnya memberikan kesejukan
Aku beri nama Agung
Seperti kumelihat keagungan Tuhan
Dia membuatku bahagia
Akan kucintai dan sayangi
Selama-lamanya ... selama hayatku ...”

Sejak SMP Ivon selalu mencurahkan isi hati
di buku harian
Curahan suka
duka
keluh kesah
gundah gulana
kecewa
juga marah

bersama bayinya
Ivon kembali ke rumah petak
Di kampung padat kumuh
Bertetangga erat sesama
senasib sepenanggungan

Tiada gunjingan
Tiada pula bisik-bisik
Tiada rahasia
Tetangga mafhum
Ivon adalah orang tua tunggal

Sejak mengandung
Ivon sudah tinggal di tempat itu
Di rumah petak nan sempit
Orang mengenal
Ivon perempuan mandiri
Berdiri di atas kaki sendiri
Tak merepotkan sanak keluarga
Tak mengemis pada orang lain
Semua dijalaninya sendiri

Suatu ketika ia menulis:
”Hidupku memang merana
selalu terbentur gagal
Mungkin ini sudah takdirku
yang harus aku jalani
Entah sampai di ujung sana
Jangan-jangan tanpa ujung ...”

Tak seorang pun tahu jalan hidupnya
Kita cuma bisa menjalani
Hari kemarin
Saat ini
Esok hari
Lusa
Bulan depan
dan seterusnya ...
Tak bisa lari dari kenyataan ...

***

Ivon bukan wanita beruntung
Sekolahnya tak tamat SMP
Kedua orang-tuanya bercerai
Ibunya sudah kabur
ketika Ivon berusia tiga tahun
ia kehilangan belas kasih ibunda
dibesarkan sang ayah

Kehidupan sang ayah morat-marit
Setiap hari hanya menjajakan suara
dengan gitar tua
di terminal
di kaki lima
Kadang
dari rumah ke rumah

Ivon terlantar
Sang ayah kawin lagi
Ibu tiri jua tak peduli
Besar tanpa perhatian
Lari dan lari
Ia ingin bebas bagai burung terbang
Mencari makan sendiri
Menantang marabahaya
Di belantara yang tak ramah

Ditinggalkannya bangku sekolah
Menjelajah dunia malam
Berlabuh di tempat bilyar1)
Menemani tamu lelaki

Banyak pria jatuh hati
Tanpa rasa cinta sejati
Cinta main-main
Cinta satu malam

Wanita punya satu cinta
Cinta pertama
Cinta sejati

Ivon terlalu belia
merasakan desir cinta
pada satu lelaki, Ariawan
Ia ingin berikan cinta itu

Sayang, keduanya tak mungkin bersatu
Ariawan dari keluarga terpandang
Terpisah sekat menjulang
Orang tua Ariawan menampik
Ivon hanyalah gadis dari keluarga berantakan

Cinta Ivon terlalu mendalam
Seperti ia tulis dalam diary-nya:
”Hanya satu lelaki yang kucintai
Dalam hidupku
Ingin kucurahkan jiwa ragaku padanya
Ingin aku menjadi belahan jiwanya
Apa daya
cintaku bertepuk sebelah tangan
Ariawan ... maaf kita tak berjodoh
Mungkin kelak di alam lain kita bisa
bersatu ...”

Satu demi satu lelaki singgah di hati Ivon
yang terlanjur beku

Ivon beranjak dewasa
Untuk bisa menerima seseorang
Datang seorang lelaki
mengisi kekosongan hati

Hari demi hari berjalan
Hati kedua insan kuat memagut
Jauh menyelusup
melampaui sekat-sekat moral

Ivon telat datang bulan
Si lelaki gamang
menatap masa depan
Perut Ivon membuncit
Si lelaki makin gamang
Dia tinggalkan Ivon
Pergi tanpa janji
Ivon lelah mencari

Ivon cuma bisa kesal-menyesal
Tumpahkan pada buku diary:
”Malang nian nasibku
Lelaki yang kupercaya
lepas tanggung jawab
Dia pergi meninggalkanku
Menanam benih di rahimku
Aku tak bisa membalas
Entah lah
Biarlah karma yang bicara
Mudah aku terpedaya
Nasi telah jadi bubur
Sesal kemudian tak berguna
Menangis tak beri solusi
Aku akan pelihara janin ini
Kubesarkan buah hatiku nanti
seorang diri ...”

***

Hari berbilang hari
Bulan berganti bulan
Lima bulan sudah
Ivon memberikan kasih sayang
pada si mungil Agung
tak terlewatkan barang sedetik

Harga-harga melonjak
Biaya hidup terus membubung
Menjepit kehidupan Ivon
Utang-utang menggunung
Biaya
persalinan belum lunas2)
Penghidupan di pekerjaan kandas
Tempat bilyar tutup lantaran bangkrut
Beban hidup mencekik

Tapi ia tak mau mengemis pada bapaknya
apalagi minta bantuan ibu tirinya
Ia tak mengiba pada tetangga
Pikirannya sungguh pendek
Ia putuskan:
menjajakan diri
menjual tubuh
menggadaikan kehormatan

”Maafkan anakku, mama pergi setiap malam
Mama tak mendampingimu tidur
Mama harus bekerja
Maafkan mama anakku
Hanya ini yang bisa mama lakukan
Untuk kita bertahan hidup
Maafkan mama anakku ...”
Tulis Ivon di lembar diary-nya

Kala hari mulai gelap
Ivon siap berdandan
gincu merah di bibirnya
bedak tebal menutup wajahnya
rambut tergerai
rok mini menggoda syahwat
lekuk tubuh dan belahan dada
sepatu hak tinggi terlihat seksi
dan parfum penggoda selera
Merona dan menantang

Ia menggendong bayi Agung sepuasnya
Sebelum dititipkan pada tetangga
Dikecupnya lagi kening anaknya
Sebelum melangkah pergi

Setengah was-was
Ivon menetapkan langkah
menelusuri remang-remang
gemerlap malam Jakarta
Penjaja seks bertebaran di sudut-sudut kota
Sejak Lokres Kramat Tunggak ditutup3)
Wanita malam ada di jalan
panti pijat, hiburan malam, karaoke, spa,

Ivon si pendatang baru
bebas mangkal di mana saja
tanpa terikat mucikari

Satu malam ia mangkal di Cawang
Malam lain di ujung tembok stasiun
Lain malam sudah berada di Bongkaran4)

Dalam keremangan malam
Senyum menggoda lelaki yang lewat
Ditemani sebatang rokok
diselipkan di sela jemarinya
Kadang dihisapnya dalam-dalam
Menunggu pria hidung belang

Pengalaman pertama Ivon
tak tahu dunia remang-ramang malam
menghambur tanpa arah
Memburu lelaki berkantong tebal
yang ingin syahwat sesaat

Petualangan malam hingga dini hari
Berpindah-pindah tempat mangkal
dari satu ujung jalan ke ujung jalan
warung remang yang satu ke warung remang
kadang tiga pria dalam semalam
kadang pula pulang tangan hampa

***

Sepasang mata nanar memandang
Sudah beberapa hari lelaki itu menguntit
Sejak kedatangan Ivon
setiap malam di ujung tembok stasiun  
Didekatinya Ivon
Setengah menghardik lelaki itu minta jatah
takut bukan alang-kepalang
lembaran rupiah melayang
jatah preman stasiun

Malam berulang
Lelaki itu minta jatah
Ivon menampik
Lembaran rupiah belum di tangan

Lelaki itu berang
Tangannya melayang
mendarat di pipi merah Ivon
Ivon menangis

Malam kembali berulang
Lelaki itu bertambah kasar
Tak ada yang membela Ivon
Bertahan seorang diri

Lebam membiru
membekas di wajahnya
Tetangga bertanya-tanya
Ivon diam meraih bayinya
Ia menangis memeluk
Tak berkata-kata

Ia bercakap dengan bayinya
”Maafkan mama nak ...
Mama mengambil jalan salah ...”
Diciumi wajah bayinya
Mata berkaca-kaca
letih dan perih
suram dan kelam

Curahan hati di diary:
”Dunia memang kejam buatku
Apa yang salah dengan diriku?
Semalam aku dipukuli
Kemarin malam aku ditampar
Esok malam aku ...
Kesusahan dan derita selalu menderaku
Tuhan, tunjuki jalan hambamu ini
Aku tak ingin seperti ini
Kuingin kembali ke jalan-Mu”

Ivon memandangi bayinya
Dikecupnya terus
Air mata membasahi
Wajah bayinya

***

Ivon ingin malam ini malam terakhir
menjelajah malam kelam
Esok hari yang cerah
Hijrah dari temaram lampu jalanan

Jam sepuluh malam
Belum satu pun lelaki menghampiri
Malam kian sepi
Merambat dinihari
Ivon ingin pulang
Menjumpai buah hati

Niatnya urung
Lelaki itu kembali
Tak bersahabat
Ivon tak ada lembaran rupiah

Lelaki itu berang
Ivon melawan
tak mau disakiti

Lelaki itu bertambah kalap
Tangan dan kakinya bertindak
Ivon menjerit
Meronta

Lelaki itu menarik Ivon
ke tempat sepi
di balik tembok stasiun
Mengacungkan senjata tajam
seraya mengancam

Ivon berteriak kuat
Suaranya ditelan sepi malam
Dalam diam perempuan jalang
berjuang sendiri

Lelaki itu panik
Menusuk ulu hati Ivon
mengerang kesakitan
lamat-lamat
rintihan melemah
Ivon bersimbah darah
Tersungkur

Lelaki itu berkelebat
dalam bayang-bayang malam

***

Pagi yang cerah itu gempar
Sesosok mayat wanita5)
berbaju bunga-bunga merah
Tergeletak di parit
Di ujung tembok stasiun
Kabar menyebar

Ivon tak pernah kembali ke rumah
Meninggalkan bayinya yang terus menangis
dan sebuah diary ...


---------------------
1)Kisah ini terinspirasi oleh peristiwa tragis yang menimpa Rani (28)  di sebuah pub di Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, NTT, Mei 2012.

2)Biaya melahirkan di Jakarta tidaklah murah. Tarif melahirkan normal (3 Hari – 2 Malam) dengan Bidan mencapai Rp1,4 juta, rinciannya: Jasa Medis Rp400.000; Jasa Paramedis, Alkes, Kamar Bersalin Rp350.000; Kamar Perawatan (3 Hari x Rp200.000) = Rp600.000; dan Administrasi Rp50.000.

3) Lokasi Resosialisasi (Lokres) Pekerja Seks Komersil (PSK) Kramat Tunggak, Jakarta Utara, mulai beroperasi tahun 1970 setelah dikeluarkannya SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca. 7/1/13/1970. Semula lokalisasi ini hanya memiliki 300-an PSK dan 76 germo. Seiring berjalannya waktu, jumlah PSK terus bertambah. Saat ditutup pada 31 Desember 1999 (dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 6485 Tahun 1998), jumlah PSK di sini mencapai 1.615 orang, dengan 258 orang mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.

4) Kendati telah berulang-kali ditertibkan, keberadaan Pekerja Seks Komersial (PSK) tak pernah hilang dari kawasan Bongkaran Jalan Jembatan Tinggi, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Keberadaan para penjaja seks itu tetap makin ramai, seiring dengan semaraknya warung-warung dadakan di sekitar lokalisasi prostitusi tidak resmi tersebut.
Para PSK berpenampilan seronok itu biasanya menjajakan diri dengan berjejer di atas jembatan sejak sekitar pukul 19.00 sampai dinihari. Jumlah mereka belakangan bertambah banyak dengan memanfaatkan warung-warung di sekitar lokasi sebagai tempat mangkal. Kondisi ini jelas mengganggu warga sekitar, karena suara dentuman musik yang berbunyi keras bercampur dengan aroma minuman keras, membuat suasana lingkungan menjadi tidak nyaman.

5)Kisah tragis pembunuhan PSK di lokasi-lokasi prostitusi tidak resmi senantiasa berulang dan berulang. Di sana, seks, alkohol dan narkotika menjadi ‘tiga serangkai’ yang melahirkan kultur kekerasan dan premanisme. Lalu, PSK pun pihak yang paling lemah dan rentan ekspolitasi. Ada kisah getir Sarah (Pondok Gede, Jaktim) yang di akhir Oktober 2010 dihabisi orang yang sakit hati terhadap dirinya; tragedi Rina (Sikka, NTT) yang Mei 2012 lalu dibunuh pelanggannya yang marah gara-gara diminta tambahan ongkos kencan; cerita duka Warkem (23) yang dibunuh seorang anak baru gedhe lantaran merasa terpaksa; dan masih banyak lagi deret panjang kisah semacam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar