fiksi
budi nugroho
Tengah malam baru saja bergeser ke dinihari. Puncak
keteganganku telah lewat. Plong rasanya. Naskah headline yang membuatku
berkerut kening sudah melewati masa pracetak. Aku pun bergegas pulang ke
rumahku yang mungil di tepian kota.
Tiba-tiba telepon di me kerjaku berdering. Tak
biasanya aku menerima telepon pada jam-jam segini. Memang, tatkala rezim Orde
Baru berjaya di tahun-tahun 1980-an sampai pertengahan 1990-an, aku kerap
mendapatkan sambungan telepon di saat-saat naskah akhir menjelang tuntas.
Biasanya si penelepon mengaku dari Kodim, Kodam, Polda atau Mabes. Dengan
sedikit teror psikis, si penelepon minta agar koranku tidak menurunkan berita
ihwal tewasnya beberapa serdadu dalam sesi latihan perang di Teluk Jakarta atau
kabar seorang pamen mengamuk di dalah satu bar di Jakarta Kota gara-gara
rebutan lahang bekingan atau seorang pamen mati di atas perut perempuan
panggilan. Aku tidak menurunkan berita-berita semacam itu. Lantaran, memang,
rekan-rekan kerjaku di lapangan tidak mendapati berita-berita dimaksud. Cuma,
aku jadi tahu, tentang kerja sampingan para oknum serdadu, latihan perang yang
jadi perang beneran, atau perintah
jenderal besar untuk merestui bintang dua yang bekas Pangdam menjadi jenderal
gubernur.
Masih disertai tekanan kejiwaan pula, suatu waktu,
aku menerima telepon supaya tidak membesar-besarkan tragedi umat Muslim di
Jakarta Utara yang cukup menghebohkan ibukota pada awal 1980-an. Terutama,
ihwal jumlah jamaah yang diberondong peluru. “Korbannya tidak sampai puluhan,
cuma beberapa jiwa,” jelas si penelepon. Namun, rekan-rekan kerjaku di lapangan
menemukan fakta berbeda. Jumlah korban sulit dipastikan, diangkut dengan truk
warna hijau bagai pindang bandeng, dikubur di pemakaman orang-orang tanpa nama.
Dan, malam itu juga, sang komandan minta bantuan mobil pemadam kebakaran untuk
menyemprot bah darah di jalanan sekitar lokasi kejadian. Lalu, jalanan pun
bersih, tak ada bekas jejak tragedi berdarah malam itu.
Masa-masa teror di balik dim, dam dan bes itu belum
terlalu lama berlalu. Malam ini, mendadak telepon di meja kerjaku berdering.
Pak Panggih kah? Pak Munir kah? Aku pikir nama-nama yang pernah akrab di
telingaku ini sudah tidak memiliki telepon berbau teror. Yah, boleh jadi
pengganti-pengganti mereka.
Pikiranku melayang ke nama-nama itu lantaran esok
pagi koranku menjual kabar mengenai perang antara pasukan khusus polisi dan
tentara sekotanya. Kabar itu dilengkapi pula dengan satu tulisan hasil liputan
mendalam seputar perjudian dan perdagangan ganja jalur Jakarta-Semarang. Inikah
penyebab telepon di meja kerjaku berdering di tengah malam? Rasa was-was
merasuki benakku. Rasa cemas menghinggapi dadaku. Sesak-menyesakkan.
Aku mencoba kuatkan diri mengangkat gagang telepon.
“Pak Nanu, ada telepon dari adik iparnya di kampung, katanya penting. Diterima
ya Pak,” kata Yono, operator telepon di kantorku. “Baik,” kataku pendek penuh
kelegaan.
“Mas Nanu, tolong segera pulang sekarang, ajak
sekalian Mbak Naning, Bimo dan Anjani,” ujar Nandang, adik isteriku, di
seberang telepon.
“Telepon langsung saja ke Mkab Naning di rumah,”
ujarku.
“Sudah Mas, tapi tidak ada yang ngangkat. Mungkin
sudah tidur.”
“Sebenarnya ada apa sih Ndang, kok harus pulang
ramai-ramai? Ini kan bukan waktunya Lebaran.”
“Bapak baru saja kondhur (terj: pulang atau wafat) Mas.”
“Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kalau begitu cepat kamu urus dan minta
bantuan ke Mas Fatoni, teman Mas Nanu yang jadi koresponden koran merangkap
pengurus masjid raya. Pokoknya mesti beres sebelum aku sampai di rumah.”
Aku segera memacu mobilku ke rumah, membangunkan
isteri dan kedua anakku. Tanpa banyak cakap, mereka langsung kuminta masuk
mobil dan membawa pakaian sekenanya. Mobil lantas kupacu ke arah Salatiga.
“Kita mau ke mana Pak?” tanya Bimo.
“Ke rumah Eyang,” jawabku singkat. “Eyang sudah
kangen sama Bimo,” tambahku menjelaskan.
Bimo memang cucu kesayangan mertuaku Djojodiguna Dipotaruno,
menurut ipar-iparku, Bimo mengingatkan mereka pada sosok Eyang Djojo (demikian
panggilan inggil oleh cucu-cucu tersayang) selagi timur. Hidung bangir, tinggi atletis dan nada suara
nan berwibawa kendati baru saja akil baliq. Banyak cewek-cewek baru gedhe
sampai tante-tante girang tergila-gila pada Bimo. Padahal, aku sebagai bapaknya
hanya berperawakan kecil, kulit item dan tak menarik lagi. Aku dapat menyunting
Jeng Naning saja sudah suatu anugerah yang luar biasa.
Cuma, yang kadang bikin aku puyeng, ulang Bimo yang
suka gonta-ganti pacar. Menganggap perempuan seperti piala saja. Dan, aku tidak
memberi contoh seperti itu. Dalam perjalanan hidupku yang telah berada di
kepala lima cuma kukenal seorang perempuan bernama Naning Kusumastuti. Itu pun
kukenal secara tidak sengaja ketika almamaterku mengadakan KKN di Dukuh
Ngrampal lebih dari seperempat abad yang lalu.
“Pak, kenapa ke rumah Eyang mesti tengah malam
begini? Apakah tidak ada waktu lain,” tanya Bimo waktu terbangun saat mengisi
bensin di Karangampel.
“Sudahlah, Eyang Kung kangen sama Bimo nggak bisa
ditunda-tunda lagi,” jawabku sekenanya. Bimo kembali pules. Perjalananku ke
Dukuh Ngrampal masih sekitar satu-setengah jam lagi. Selama ini Pak Djojodiguno
Dipotaruno tak bisa dihalang-halangi bilamana kangen pada Bimo. Dan, di saat
naluri kangen itu muncul, aku atau isteriku mesti mengantar ke rumahnya.
Padahal, Bimo tidak terlalu suka berlama-lama di
rumah Eyang Djojo. Dia agak mual saat melihat Eyang Puteri menanak nasi dengan pawon tanah liat berbahan bakar kayu.
Dia tidak bisa minum air yang dimasak Eyang Puteri dengan ceret yang pantatnya hitam legam oleh jelaga kayu bakar. Bila sudah
demikian, Eyang Djojo lalu mengajaknya ke Pasar Bunder untuk membeli air
mineral atau nasi tongseng Pak Mitro.
Rasanya waktu sudah dekat. Fajar baru saja
menyingsing. Sekali lagi aku menelepon iparku di Jakarta. Ternyata belum
bangun. Cuma pembantunya yang mengangkat. Memang, Mas Pong tidak terlampau
kaget atau sedih kala menerima kabar dariku semalam. Mas Pong hanya berujar,
“Coba besok kuusahakan berangkat dengan pesawat pertama dari Cengkareng.”
Telah lama hubungan mertuaku dengan Mas Pong
sedikit merenggang. Terlebih Mas Pong merasa sebagai anak yang dibuang.
Ditambah pula, mertuaku tak pernah menanyakan kabar cucu-cucunya di Jakarta.
Bimo semata yang selalu dibangga-banggakan manakala kami kumpul di Hari Lebaran
sekali setahun.
Semburat merah di ufuk timur. Beberapa perempuan
setengah baya Dukuh Ngrampal dengan tenggok
di punggung tampak bergegas, entah hendak ke pasar entah mau ke sawah.
Orang-orang sudah ramai di beranda dan ruang tamu rumah mertuaku. Sepertinya
rumah mertuaku tidak tidur semalaman. Jasad mertuaku masih terbujur di bangku
panjang berselimutkan kain batik.kaos oblong dan celana pendek putih masih
membalut tubuhnya. Belum ada yang menyentuh. Aku urung langsung menyalatkan jenazah
mertuaku.
Di sekeliling jenazah, tampak empat meja bundar
setinggi lutut yang biasa dipakai buat main kartu remi, kartu domino atau ceki. Aku tidak mengenal siapa saja yang
sepagi itu masih banting kartu di situ. Maklum, dalam kurun seperempat abad aku
berumah-tangga dengan Jeng Naning, aku sangat jarang berlama-lama di rumah
mertuaku. Tidak pernah lebih dari tiga hari, karena masa cutiku nggak pernah bisa diambil sekligus 12
hari.
Kucari Nandang. Rupanya dia tengah menjamu
kawan-kawannya dengan minuman cap Leo
Ndekem produksi Bekonang. “Ndang, kok belum beres, mana Mas Fatoni?”
tanyaku sedikit berusaha tenang.
“Nggak
bisa langsung Mas, mesti menunggu pagi terang.”
“Kalau begitu, cepat kamu ke rumah Mas Fatoni.”
Dalam tempo puluhan menit, Nandang sudah membawa
Mas Fatoni ke rumah mertuaku. Agak kaget Mas Fatoni melihatku berada di rumah
Pak Djojodiguno Dipotaruno. “Kenapa bengong Mas?” ujarku spontan memecah
keheningan pagi.
“Nggak
ada apa-apa, rupanya Eyang Djojo itu mertua Mas Nanu to!” Mas Fatoni seakan menyimpan rasa bersalah. “Kalau aku tahu
dari dulu, wah nggak mungkin aku
mengirim naskah feature seputar aktivitas
judi togel atau sabung ayam di kota ini. Eyang Djojo lah dedengkot dua model
judi itu di kota yang asri ini,” jelasnya kemudian.
Giliran aku yang terbengong-bengong. Belum habis
keterbengonganku yang sampai melumpuhkan pita suaraku, Mas Fatoni kembali
bercerita, “Itu yang di meja satu, Pak Pawiro yang menguasai koprok di Pasar
Bunder, lalu yang di meja dua adalah Mas Kuret yang merupakan salah satu bandar
besar togel di kota ini, di meja tiga ada Pak Wahyudi yang menguasai pilkoplo
di pusat kota dan di meja empat tampak ada Dik Sukidi yang biasa ngebosi kalangan sabung ayam di Dukuh
Karang Tengah.”
Aku makin terbengong-bengong, sampai melongo. Apa
yang Mas Fatoni ceritakan tidak berbeda dengan hasil peliputan mendalam yang
beberapa kali dikirimkan ke aku untuk mengisi pojok kanan bawah halaman satu
koranku.
“Sudahlah Mas, kita segerakan merawat jenazah Eyang
Djojo,” ujar Mas Fatoni mengoyak lamunanku.
“Baiklah.”
Aku langsung minta Nandang menyiapkan air buat
memandikan jasad Pak Dojo lengkap dengan wewangian. Lantas, Jeng Naning kuminta
secepatnya ke pasar untuk berbelanja kain mori
setelah aku mengukur-ukur jasad Pak Djojo.
Kendati aku sibuk di koran harian, aku masih
menyempatkan diri belajar soal-soal tata cara merawat dan menyalatkan jenazah.
Jadi semua urusan jenazah Pak Djojo kuusahakan sendiri dengan bantuan Mas
Fatoni yang juga ustadz di kota ini.
“Mas, Mas, perempuan setengah baya yang masih
menyisakan guratankecantikan yang baru datang itu siapa? Wajahnya kok serem
amat, seolah tak berjiwa.”
“Oh...itu bekas primadona Silir, Mas. Lihat saja
tak ada yang menyambut hangat di sini kan!”
“Terus, itu satulagi yang baru datang, lidahnya
lebih panjang daripada bibirnya, hidungnya seperti hidung Pinokio?”
“Oooo...yang itu bekas pimpinan daerah partai
politik yang suka mengumbar janji pada rakyat.”
“Lantas, itu orang yang kepalanya bagai kepala
kamping berwarna hitam itu?” Aku menunjuk seorang pelayat berbaju safari yang
baru saja duduk di kursi takziah.
“Mencium bau safarinya sih, dia mantan penguasa
kota ini yang sewaktu berkuasa selalu menunjuk kambing hitam dan menebar fitnah
pada pihak tertentu setiap kalipecah konflik horizontal ataupun vertikal di
kota ini,” jelas Mas Fatoni.
Oh, Jeng Naning telah datang dari pasar dan
langsung menyerahkan mori putih sesuai dengan ukuran yang kupesan. Aku dan Mas
Fatoni baru saja selesai memandikan jasad Pak Djojo.
“Yuk Mas, kita kafani segera agar pentakziah yang
ada dan baru datang bisa menyalatkan dan cepat dikubur,” kataku mengajak Mas
Fatoni.
“Mas Nanu, kain morinya tidak ada lagi? Mori yang
ada cuma menutup sampai mata kaki jasad Eyang Djojo.Mas Nanu nggak salah ukur?”
Ucapan Mas Fatoni menyentak benakku. Rasanya waktu ngukur tadi sudah aku lebihkan barang 50
centimeter. Dan, aku juga minta Jeng Naning agar membeli mori lebih panjang
daripada yang telah kuukur. Aku terdiam. Benakku seolah berucap, “Ketika
mertuaku pulang, semua pertanyaanku selama ini seolah terjawab sudah ...”
Semarang-Sragen,
medio 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar