DPR RI memasukkan Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan (RUU Sawit) dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016. Alasan pembuatan UU menurut dewan ini, demi perlindungan sawit dan menghindari intervensi asing. Berbagai kalanganpun mempertanyakan urgensi pembuatan UU ini.
”Urgensinya tak ada, kan bisa memaksimalkan UU Perkebunan,” kata Jefry Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, belum lama ini di Jakarta.
Jefry, tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Perkebunan, mengatakan, komoditas ini memang menyumbangkan pemasukan negara. Pada 2015, ekspor sawit US$18 miliar. Namun, katanya, perlu dilihat juga dampak kebakaran hutan dan sektor ini salah satu penyumbang. Belum lagi konflik lahan masyarakat, sampai ketimpangan penguasaan, semestinya jadi bahan pertimbangan.
”Konflik agraria besar di sektor sawit.”
Henry Saragih, Ketua Serikat Petani Indonesia menilai, DPR ceroboh memasukkan prolegnas RUU ini di tengah masalah perkelapasawitan belum tuntas. ”Ini malah menguntungkan investor dan mencekik kami (petani, red.).”
Kajian dangkal
Tim Advokasi Keadilan Perkebunan menilai, beberapa permasalahan sawit tak dikaji mendalam seperti kerusakan lingkungan hidup dalam tata air dan hulu sungai, perluasan tak terkontrol, isu pangan dan konflik masyarakat.
Tim advokasi terdiri dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, SPI, Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy, dan Aliansi Petani Indonesia.
”Perlu ada kesepahaman terkait sawit, baru membuat RUU,” ucap Saragih.
Marsel Andi dari SPKS menyebutkan, dalam draf RUU Perkelapasawitan, ada 41 pasal sama dengan UU Perkebunan tahun 2014. Jadi, katanya, kesan terburu-buru sangat terlihat dalam penyusunan RUU ini.
Bahkan, katanya, draf Pasal 30 dinilai mengesampingkan hak-hak petani dan masyarakat. Pasal itu menyebutkan, investor akan mendapatkan kemudahan pengurangan pajak penghasilan, pembebasan atau keringanan bea masuk impor dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Malah, bahasan masalah petani minim. Soal pemberdayaan dan perlindungan petani, akses pembiayaan, kemitraan, dan gejolak harga tandan buah segar terlewatkan. Selama ini, negara tak pernah hadir kepada petani kecil.
Bahkan, perkebunan sawit di Indonesia dikendalikan 10 perusahaan besar hingga kenaikan harga minyak tak imbang dengan peningkatan harga TBS didan kesejahteraan petani.
”Perlu ada kajian menyeluruh. Petani, komunitas dan masyarakat adat selalu besilang pendapat dengan perusahaan.”
Tim Advokasi ini mendesak DPR menghentikan pembahasan RUU ini dan merevisi UU Perkebunan yang banyak mengesampingkan hak masyarakat.
Pemerintah perlu segera audit perizinan semua perusahaan perkebunan sawit di Indonesia dan mendesak Presiden segera mengeluarkan kebijakan tertulis terkait moratorium sawit.
Lahan pangan malah jadi sawit
DPR, katanya, perlu mencermati banyak konversi lahan pangan menjadi ekspansi perkebunan sawit Berdasarkan catatan Sawit Watch, rata-rata setiap tahun 500.000 hektar lahir kebun sawit dari konversi lahan pangan.
Kondisi ini, katanya, tak sesuai semangat pemerintah Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan. Pasalnya, ekspansi sawit menggunakan lahan pertanian seperti padi, jagung dan palawija.
Dia mencontohkan, di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, 250 hektar lahan pertanian padi ladang menjadi kebun sawit. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 42.000 hektar lahan padi sonor di gambut menjadi kebun sawit dan kanal.
Firman Soebagyo, anggota Komisi IV DPR mengatakan, RUU Perkelapasawitan muncul karena memiliki keuntungan besar untuk Indonesia tetapi belum ada payung hukum. Mengenai bisnis sawit hadir dengan beragam masalah dari kerusakan lingkungan sampai konflik di masyarakat, tak menjadi pikiran buat dia.
Melalui RUU ini, dia menyebut-nyebut akan memproteksi petani yang terkena dampak monopoli perusahaan besar hingga tak bisa menjual TBS ke pabrik pengolahan. Firman menyebut-nyebut Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Komitmen ini dituding menyebabkan monopoli dan kartelisasi baru. “Menyebabkan pelemahan ekonomi pada petani kecil.” katanya. IPOP yang Firman pahami, perusahaan besar tergabung komitmen ini tak boleh menerima TBS petani-petani kecil hingga terjadi pelemahan ekonomi masyarakat petani kecil. ”Aturan swasta itu tidak boleh menjadi rujukan.”
IPOP adalah komitmen perusahaan-perusahaan sawit secara sukarela untuk beroperasi dengan memperhatikan lingkungan dan manusia (sawit berkelanjutan) ditandatangani di New York, Amerika Serikat, pada September 2014. Kesepakatan inipun kerap disebut-sebut ada berkat tekanan asing karena standar tinggi, seperti nol deforestasi, tak boleh bukan hutan, gambut, penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi dan berkarbon tinggi.
Bagi dia, komitmen-komitmen begini hanya ‘produk asing.” Lebih parah lagi, dia menyebutkan, banyak persoalan tumpang tindih aturan di negeri ini karena LSM asing. (http://www.mongabay.co.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar