Selain mati diburu, satwa liar yang dilindungi acap menjadi obyek
koleksi orang-orang berduit atau sedikit punya kuasa. Sebab itu, banyak gajah
mati tak lagi bergading atau siamang mengisi kebun binatang mini milik seorang
pejabat.
==============
Sejumlah warga Desa Naga
Timbul, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,
melihat sejumlah satwa liar yang dilindungi berada di kebun binatang mini di
sekitar kantor desa. Mereka lantas melapor ke pihak yang berwenang. Dan Satuan
Polisi Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Balai Besar Konservasi
Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, pertengahan Maret lalu langsung
meluncur ke lokasi. Benar, petugas SPORC menemukan dan lalu menyita sejumlah
satwa dilindungi. Rupanya tidak hanya di satu lokasi, tapi di dua lokasi.
Pertama, penyitaan sejumlah
satwa dilindungi di Desa Naga Timbul, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang.
Dari sini, SPORC mengamankan dua siamang, satu seruli, dan satu kakaktua jambul
kuning milik Kepala Desa, U Daulay.
Lokasi kedua, di Kelurahan
Pulo Brayan, Kecamatan Medan Barat, Medan, petugas menyita dua elang dan dua
siamang. Satwa-satwa ini dipelihara dekat Kantor Lurah Pulo Brayan. Sang Lurah,
S Susilo, dianggap bertanggung-jawab atas kepemilikan tanpa izin ini. Seluruh
satwa diamankan di Markas SPORC Deli Serdang.
Sebagaimana dilanisr Mongabay.com, Hendra Ginting, Komandan
SPORC Brigade Macan Tutul, mengatakan, penyitaan satwa dari dua lokasi ini dilakukan
setelah pihaknya mendapatkan informasi ada oknum aparatur negara memelihara
binatang dilindungi tanpa izin.
Bersama Joko Iswanto, Kepala
Seksi Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan BBKSDA Sumut, Hendra Ginting terjun
ke lokasi. Setelah itu mereka langsung menyita. Kondisi satwa cukup
memprihatinkan, hidup dalam kandang sempit.
Ginting mengatakan, akan ada
penyidikan apakah satwa-satwa ini murni dipelihara, atau menjual lagi. “Kita
masih pendalaman, apakah murni untuk dipelihara, atau sengaja dipajangkan untuk
dijual.”
Keadaan satwa yang ditemukan
di dua lokasi tadi masih lumayan. Nasib tragis tiga ekor orangutan yang ditemukan mati terbakar di lahan perkebunan yang
sengaja dibakar di Jalan Arif Rahman Hakim, Gang Makmur, Kelurahan Belimbing, Bontang Barat, Bontang,
Kalimantan Timur, awal Maret lalu. Kematian primata ini terungkap setelah
diposting seseorang di media sosial dengan melampirkan foto-foto yang cukup
tragis. Terlihat jelas tiga orangutan dengan ukuran berbeda tergeletak dengan
kondisi badan hangus terbakar.
Kasus ini menjadi perhatian serius setelah diberitakan
sejumlah media internasional. Pemerintah yang tidak ingin dikecam karena gagal
melindungi satwa liar langsung mendorong polisi menyidik kasusnya.
Kapolres Bontang AKBP Hendra Kurniawan mengaku sudah memeriksa
11 saksi, termasuk pemilik lahan. Mereka sedang mendalami apakah tiga bangkai
itu memang mati terbakar atau ada faktor lain sebelum ditemukan mati dalam
kondisi hangus. Sejauh ini penyidik belum
menetapkan tersangka. "Kalau terbukti ada unsur kesengajaan, pelaku
kena pasal berlapis. Undang-undang Konservasi SDA dan Ekosistemnya, juga
tentang Instruksi Presiden terkait pelarangan pembakaran lahan," kata
Hendra.
Kabid Humas Polda Kaltim AKBP Fajar Setiawan
menjelaskan lahan yang dibakar itu dulunya komplek permukiman warga. Karena
sudah lama tidak ditempati, kawasan itu sering didatangi orangutan untuk
mencari makan. Sejauh ini belum ada laporan konflik yang melibatkan manusia
dengan orangutan.
Direktur Operasional Centre for Orangutan Protection
(COP), Ramadhani, memastikan ketiga orangutan itu berjenis kelamin betina.
Berdasarkan pemeriksaan gigi dan teksturnya, diyakini orangutan itu
masing-masing berusia 20 tahun, 10 tahun dan bayi yang usianya belum setahun.
Ramdhani mengungkapkan bahwa ketiga hewan itu
tergeletak di atas lahan perkebunan milik warga. Dia mengaku sedikit terlambat
mengetahui kematian ini, karena ketika mengecek ke lokasi, ketiga bangkai orangutan
itu sudah dikubur. "Kami terlambat. Yang mengubur Balai Taman Nasional
Kutai dan Polresta Bontang," kata Ramdhani belum lama ini.
Ketiga bangkai itu, kata dia, dikubur dalam satu
lubang yang berjarak 15 meter dari lokasi kematian. Saat ini kuburan itu sudah
dibongkar untuk kepentingan visum oleh polisi. COP juga sudah menyediakan
dokter khusus untuk mengautopsi ketiga bangkai orangutan itu.
Selain menyediakan dokter, dia menyarankan polisi
mendatangkan saksi ahli. Menurutnya, keterangkan saksi ahli sangat perlu untuk
mengetahui kebiasaan hidup sosial orangutan. Sebab, sampai kini keberadaan orangutan
di lahan yang terbakar masih misterius. Setahu dia, orangutan akan lari bila
melihat api dan asap. Seandainya tidak ada pohon sebagai penopang lari, orangutan
dikenal cukup cepat bila berada di darat. "Di Bontang cukup minim konflik
antara orangutan dan manusia. Nanti saksi ahli bisa menjelaskan kenapa orangutan
bisa ke lahan pribadi warga," ujarnya.
Kepala Balai Taman Nasional Kutai, Erly Sukrismanto,
membenarkan pihaknya langsung mengubur ketiga bangkai itu tak lama setelah
ditemukan. Penguburan itu dilakukan setelah olah TKP dilakukan polisi. Alasan
utama penguburan karena kondisi ketiga bangkai itu sudah membusuk yang rentan
menularkan penyakit.
Ketiga bangkai orangutan itu ditemukan di dekat
kawasan PT Pupuk Kaltim atau sekitar hutan lindung Bontang. DiIa menduga ada
unsur kesengajaan pada kematian orangutan itu. "Pemilik lahan membantah
membakar ataupun menyuruh orang. Tapi di lokasi ada temuan ini sengaja dibakar.
Inilah yang masih ditelusuri polisi," ungkapnya.
Kasus ini harus dijadikan pelajaran semua pihak. Ke
depannya, Erly meminta siapapun yang ingin membakar lahan harus melapor ke
Dinas Kehutanan atau instansi terkait lainnya. Sebab, saat ini masih banyak
satwa langka dan dilindungi yang hidup di kawasan Taman Nasional Kutai.
Hal senada disampaikan Yahya Rayadin dari Pusat
Penelitian HutanTropis Universitas Mulawarman, Samarinda. Dia menilai wajar
banyak kecurigaan kalau ketiga hewan itu sengaja dibakar. Menurut analisisnya,
masyarakat di areal perkebunan kini cenderung memandang orangutan sebagai hama.
Hewan ini dituding sebagai penyebab kerusakan tanaman kelapa sawit. Karena
tidak memiliki pemahaman tentang perilaku hewan ini, warga masyarakat cenderung
mengusirnya dengan cara membunuh.
"Sekarang tinggal pemerintah membentuk satgas di
level pemerintah daerah. Satgas ini salah satu tujuan memberi pemahaman tentang
prilaku satwa yang dianggap mengganggu. Biar masyarakat tahu apa yang harus
diperbuat," kata Yahya.
Dia berharap satgas yang dibentuk tidak sekadar
formalitas. Satgas ini harus diisi orang profesional yang mau bekerja dan
mengerti tentang satwa. Ditekankannya, tidak ada alasan pemerintah menolak
pembentukan satgas ini karena sudah diatur dalam Permen Kehutanan Nomor 48
Tahun 2008.
Ke depan satgas ini tentu tidak hanya memberi
pemahaman tapi juga harus mampu mendidik warga masyarakat yang mengoleksi
satwa-satwa yang dilindungi. Seperti
pada kasus di Sumatera Utara, Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit
(WCU), mengatakan, saatnya pemilik satwa dilindungi diproses hukum hingga ke
pengadilan. “Jangan sebatas penyerahan, kecuali pemilik datang menyerahkan secara
sukarela,” katanya.
Ia mengatakan, jika bicara hukum ekonomi, semua
terjadi karena banyak permintaan. Jadi, harus ada keseriusan menuntaskan kasus
sampai meja hijau, bukan hanya penyitaan.
Selama ini, pemilik menyerahkan, tanpa ada proses
hukum. Satwa sitaan masuk pusat rehabilitasi atau BKSDA. Pemilik tidak
bertanggungjawab. “Ini akan terus terjadi, tak ada efek jera.”
Kuncinya, harus ada ketegasan dalam menegakkan aturan
–baik terhada mereka yang mengoleksi tanpa izin maupun mereka yang membunuh
dengan alasan apapun. (Zainul Arifin Siregar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar