Hari Kemerdekaan
Republik Indonesia menjadi momen penting bagi para narapidana. Karena, hari itu
negara berbagi remisi buat napi –termasuk napi koruptor. Tapi, tak semua napi
koruptor beroleh berkah remisi.
================
Seolah terasa kurang adil
bagi mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar, dan mantan anggota DPR Angelina Sondakh yang di Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia (12 Agustus) tidak memperoleh hadiah remisi
dasawarsa.
Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Yasonna H Laoly mengaku tidak memberikan hadiah remisi kepada
narapidana tindak pidana korupsi kelas ‘kakap’ seperti mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar, mantan anggota DPR Angelina Sondakh dan Gunernur
(non-aktif) Banten Ratu Atut Chosiah. Karena, jelas Laoly, pemberian remisi
dasawarsa koruptor-koruptor kelas berat tersebut masih dalam kajian mendalam
tentang sinkronisasi remisi dasawarsa dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99
Tahun 2012.
Tidak semua koruptor besar
tidak beroleh remisi. Kementerian Hukum dan HAM ternyata memberikan remisi
kepada narapidana kasus korupsi seperti Gayus Tambunan, Deviardi, Neneng
Sriwahyuni, Kosasih Abbas dan Muhammad Nazaruddin.
" Gayus dapat remisi
berdasarkan PP 28 (PP 28 tahun 2006), tidak berdasarkan PP 99 (PP 99 tahun
2012), karena sebelum ada PP 99 sudah masuk. Kalau Nazar, Deviardi, Neneng,
Kosasih Abas dapat remisi karena ada rekomendasi dari KPK," jelas Laoly
awal pekan lalu.
Mantan bendahara umum Partai
Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menjadi narapidana kasus korupsi wisma atlet
SEA Games 2011 mendapatkan remisi sebanyak satu bulan.
Sang istri Neneng Sri Wahyuni
adalah narapidana kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans).
Selanjutnya Deviardi adalah
pelatih golf yang menjadi narapidana kasus korupsi penerimaan suap di Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas),
Kosasih Abbas adalah mantan Kepala Subdirektorat Energi Terbarukan di
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral sebagai narapidana kasus korupsi proyek pengadaan Solar
Home System.
Lebih lanjut Yasonna
mengatakan pemberian rekomendasi itu lantaran keempat orang menjadi Justice
Collaborator. Dan direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
Hingga saat pemberian remisi
dalam rangka Hari Kemerdekaan, jelas Yasonna, ada sekitar 115 ribu narapidana
yang berhak mendapat remisi kemerdekaan. Dari jumlah itu, 848 di antaranya
adalah narapidana koruptor yang tengah masuk dalam kajian, untuk diberikan
remisi atau tidak.
Salah satu syarat memperoleh
remisi dasawarsa, kata Yasonna, adalah bentuk hadiah dari negara dengan
berkelakuan baik dan diberikan untuk seluruh narapidana, terkecuali koruptor
dan narapidana kasus sindikat narkoba. Alasannya, korupsi dan narkoba masih
menjadi persoalan besar di negara ini. Untuk sementara ini, Kemenkumham mengaku
tunduk pada remisi bagi mereka yang berkelakuan baik, tidak pada remisi
dasawarsa karena sifatnya hadiah negara.
“Napi korupsi itu ada sekitar
2 ribuan orang, 848 secara khusus tengah dikaji dan belum pasti mendapat
remisi. Sebenarnya tiap dasawarsa itu semua napi dapat, kecuali narapidana
mati, seumur hidup dan melarikan diri,” jelas Yasonna. Remisi dasawarsa telah
diberikan mulai 1955, 1965, 1975 sampai 2015.
Keseluruhan tahun ini,
Kemenkumham memberikan remisi bebas yang berlaku bagi mereka yang mendapat
Remisi Dasawarsa (RD II) sebanyak 2.931 orang, dan bebas karena mendapat Remisi
Umum (RU II) sebanyak 2.750 orang. Sementara itu yang mendapatkan Remisi
Dasawarsa (RD I) sebanyak 113.987 orang. Sedangkan yang mendapatkan Remisi Umum
(RU I) sebanyak 75.805 orang.
Berdasarkan data Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan tercatat per 13 Agustus 2015, jumlah penghuni di 477
Lapas/Rutan se-Indonesia mencapai 173.057 orang yang terdiri dari narapidana
berjumlah 118.405 orang dan tahanan berjumlah 54.652 orang.
Narapidana tindak pidana
korupsi di seluruh Indonesia berjumlah 2.786 orang. Narapidana tindak pidana
korupsi berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2006 yang memperoleh remisi sebanyak 517
orang dan narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012
yang memperoleh remisi karena telah memenuhi persyaratan --di antaranya telah
membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan justice
collaborator-- sebanyak 1.421 orang.
Kemudian narapidana tindak
pidana korupsi yang masih membutuhkan pengkajian dan pendalaman menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak 848 orang.
Menghemat anggaran
Pemberian remisi kepada
sekitar 115 orang narapidana rupanya berdampak penghematan anggaran negara
terutama dari pengurangan dana makan narapidana. Kepala Subdit Komunikasi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadiprabowo
mengatakan asumsi penghematan lantaran banyak jumlah napi yang bakal mendapat
remisi. "Negara akan menghemat anggaran Rp115 miliar apabila memberikan
remisi dasawarsa kepada 118 ribu narapidana," kata Akbar kepada pers.
Akbar menjelaskan,
penghitungan angka tersebut didapat dari hilangnya biaya makan tiap napi yang
mendapatkan remisi dalam tiga kategori. Kategori pertama, untuk 76.979 napi
dengan pidana berat yang mendapatkan remisi selama tiga bulan. Apabila dikali
biaya makan Rp 14 ribu per hari maka menghemat Rp99,96 miliar. Biaya tersebut
digunakan untuk tiga kali makan.
Kategori kedua, napi dengan
pidana sedang atau dua sampai tiga tahun. Jumlah napi dalam kategori ini adalah
9.391 orang. Mereka mendapatkan remisi selama 60 hari. Apabila dihitung dengan
biaya makan para napi yang saban hari dianggarkan Rp14 ribu, maka pemerintah
menghemat Rp7,88 miliar.
Untuk kategori ringan, yakni
napi dengan pidana selama satu hingga dua tahun berjumlah 17.818 orang. Mereka
akan mendapatkan remisi selama 30 hari. Alhasil negara menghemat sebesar Rp2,99
miliar. (*)
ICW: Perlu Pengetatan Remisi
Koruptor
Menanggapi pemberian remisi kepada
koruptor, Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) menentang sikap
pemerintah. Peneliti ICW Lalola Easter berpendapat perlu ada pengetatan seleksi
pemberian remisi untuk para koruptor.
"Beberapa syarat
sepatutnya tetap diberlakukan terhadap tindak pidana luar biasa seperti
korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat, dan kejahatan
transnasional, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012," ujar Lalola.
Pasal 34A ayat 1 dan Pasal
34B ayat 2 dalam aturan tersebut menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi
secara kumulatif oleh napi kasus korupsi untuk mendapat remisi yakni berstatus
sebagai justice collaborator, sudah melunasi pidana pengganti dan denda,
serta mendapat pertimbangan tertulis dari lembaga yang menangani perkaranya.
"Syarat-syarat tersebut
sepatutnya berlaku dalam pemberian remisi dasawarsa, karena secara hirarki
peraturan hukum dan dari waktu pembentukan peraturan, PP Nomor 99 Tahun 2012
lebih tinggi posisinya dan lebih baru dibanding Keppres Nomor 120 Tahun
1955," ucap Lalola.
Memang terasa tidak adil
kalau para koruptor demikian mudah memperoleh remisi, terlebih remisi
dasawarsa. "Untuk remisi dasawarsa, semua narapidana dapat, kecuali terpidana
mati, seumur hidup, dan yang melarikan diri. Tidak ada persyaratan untuk
mendapatkannya," kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadiprabowo.
Hal senada disampaikan oleh Kepala
Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY Dwi Agus Prasetyo. “Tak ada lagi
pembedaan remisi. Semua dapat. Jangan ada polemik yang koruptor, pengedar
narkotik, tidak dapat remisi,” ujar Dwi saat ditemui pers usai menghadiri acara
Penyerahan Satyalancana Karya Satya dan Surat Keputusan Remisi di Bangsal
Kepatihan Yogyakarta, pekan lalu. Dan, dari perolehan remisi dasawarsa ini, ada
dua terpidana koruptor di DIY yang langsung bebas kembali ke tengah-tengah
masyarakat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar