ad

Kamis, 04 Desember 2014

Pemerintah Anggap Penguji UU Perbankan Keliru

Pemerintah meminta agar permohonan ini ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

Pemerintah Anggap Penguji UU Perbankan Keliru
Perwakilan pemerintah diwakili Dirjen PP, Wicipto saat menyampaikan jawaban atas permohonan pengujian UU Perbankan, Selasa (2/12). Foto: Humas MK
    Pemerintah menganggap pemohon penguji Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) telah keliru memahami permasalahan keperdataan yang dialaminya. Sebab, eksekusi pencairan sesuai penetapan No. 07/Del/2013/PN Jakpus jo putusan No. 1485/Pdt.G/2008/PN Jakpus tertanggal 3 Maret 2014 atas harta milik termohon eksekusi di Bank DKI memiliki hukum acara tersendiri.
“Tentu ini menggiring pemohon pada penafsiran yang berbeda apabila memaknai keliru permasalahan keperdataan ke dalam lingkup hukum pidana,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi saat memberi tanggapan pemerintah dalam sidang pengujian UU Perbankan dan KUHP di ruang sidang MK, Selasa (2/12).       
Penjelasan pasal itu berbunyi, “Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.”
Dia menegaskan penetapan sita eksekusi itu masuk dalam ruang lingkup keperdataan. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya upaya perlawanan terhadap penetapan eksekusi atau penetapan pengadilan seperti diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR. Karena itu, jika termohon eksekusi tidak melaksanakan eksekusi, seharusnya diupayakan menempuh upaya hukum (perlawanan) itu.
Menurut pemerintah, upaya pemohon membawa permasalahan keperdataan ke dalam lingkup pidana hanya akan menunjukkan pemaksaan diterapkannya Pasal 231 ayat (3) KUHP. Sebab, Pasal 231 ayat (3) KUHP dimaksudkan mengatur ancaman hukuman kepada si penyimpan yang melakukan atau membantu melakukan kejahatan seperti diatur Pasal 231 ayat (1), (2) KUHP.
“Sebenarnya Pasal 231 KUHP tidak membedakan antara penyitaan barang yang bersifat polisionil (pidana), penyitaan yang diperintahkan oleh hakim (conservatoir) atau penyitaan eksekutorial,” katanya.      
Namun, dasar pemahaman yang tidak menyeluruh antara lingkup perdata dan pidana ini dikhawatirkan hanya bentuk justifikasi atas kriminalisasi hukum oleh pemohon. “Kehendak pemohon ini justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” katanya.
Meski begitu, pemerintah berkeyakinan seraya berharap akan sikap profesional aparat penegak hukum dalam hal ini penyelidik Polri dalam menerapkan Pasal 231 (3) KUHP ini, sehingga apa yang diminta pemohon dapat diakomodir. Sebab, bagaimanapun Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) KUHP sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Jadi sudah seharusnya permohonan ini ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima,” harapnya.            
Seorang Pedagang Emas di Pasar Mayestik Jakarta Selatan, Suhaemi Zakir mempersoalkan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) KUHP gara-gara pernah mengalami musibah kehilangan emas seberat 10 kilogram. Pasalnya, laporan pemohon kepada kepolisian dan Otoritas Jasa Keuangan tidak ditindaklanjuti lantaran penjelasan pasal itu dianggap tidak jelas dan multitafsir. Karenanya, pemohon meminta tafsir kedua pasal itu.
Sebelumnya, pemohon menggugat Pasar Mayestik yang telah membongkar tokonya pada malam hari. Pembongkaran tersebut menyebabkan emas sebanyak sepuluh kilogram yang berada di toko milik pemohon hilang. Akhirnya, pemohon memenangkan gugatan tersebut yang menghukum Pasar Mayestik membayar ganti rugi atas hilangnya emas tersebut. Lalu, proses pembayaran tersebut diperintahkan melaui rekening milik Pasar Jaya yang ada di Bank DKI.
Pada 7 Maret 2014 lalu, PN Jakarta Pusat  melaksanakan eksekusi pencairan sesuai dengan penetapan pengadilan tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekusi pencairan pembayaran sepuluh kilogram emas tersebut tidak berhasil dilakukan. Sebab, Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan dana tersebut sepanjang pihak juru sita pengadilan membawa surat perintah pemindahbukuan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku pemilik rekening. Bank DKI mengklaim pencairan dana tersebut belum sesuai ketentuan hukum perbankan.
Tak terima, pemohon melaporkan Bank DKI kepada Kepolisian atas tuduhan Pasal 216 KUHP, Pasal 231 KUHP, dan Pasal 49 UU Perbankan. Namun, laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh Kepolisian akibat Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan dianggap tidak jelas maknanya. Alasan yang sama juga dipakai OJK untuk tidak menindaklanjuti laporan pemohon tersebut. Pemohon menganggap seharusnya pegawai bank yang tidak melaksanakan perintah pengadilan harus dikenai sanksi pidana karena tidak menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar