Pada Tahun 1963, dr. Sahardjo dalam pidato pengukuhan gelar
Honoris causa di Universitas Indonesia membuat suatu sejarah baru dalam sistem
kepenjaraan Indonesia mengemukakan “Bahwa Narapidana itu adalah orang yang
tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk berotobat, yang dalam
keberadaannya perlu mendapat pembinaan. Selanjutnya dikatakan tobat tidak dapat
dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak
berbahagia didunia dan akhirat” (Barda Nawawi Arief, 1998: 68)
Memahami fungsi lembaga pemasyarakatan yang dilontarkan
Sahardjo sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai proses. Dengan
dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan jelas terjadi perubahan
fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti
sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang
diterapkan bagi Narapidana (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 1990, Departemen
Kehakiman) meliputi:
Pembinaan berupa
interaksi langsung, bersifat kekeluargaan antara Pembina dan yang dibina.
Pembinaan yang
bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan.
Pembinaan
berencana, terus menerus dan sistematika.
Pembinaan
kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernagara,
intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.
Tujuan pembinaan Narapidana selanjutnya dikatakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para Narapidana dan anak
didik yang berada di dalam LAPAS atau RUTAN.
Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara, hingga saat
ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana
fisik yang memakai bangunan peninggalan Hindia Belanda, untuk dalam
berinteraksi dengan penghuni lain sangat dekat sehingga tidak menutup
kemungkinan berkumpulnya pelanggar hukum dengan berbagai karakteristik masa
pidana yang harus dijalani dan sangat memungkinkan mereka saling bertukar
pengalaman mengenai cara-cara melakukan kejahatan yang lebih canggih.
Isu disekitar tukar pengalaman diantara sesama Narapidana,
mengisyarakatkan bahwa tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan
interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. Bagian penting
dari mempelajari tingkah laku kriminal tersebut, termasuk didalamnya teknik
melakukan kejahatan dan motivasi atau dorongan. Dorongan tertentu ini
dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan, menyukai atau
tidak menyukai. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatan terhadap
peraturan perundang-undangan lebih suka melanggar daripada mentaati.
Memahami teori tersebut, maka tepat kalau LAPAS potensial
dan strategis sebagai tempat berinteraksi antara Narapidana berpengalaman
dengan Narapidana pemula. Hal ini dimungkinkan pada saat berlangsung suatu
acara maupun kegiatan pembinaan. Oleh karena itu, semakin lama berada di
penjara semakin mungkin seseorang itu menjadi terpenjara. Hal ini sangat
relevan sebagaimana dikemukakan oleh
Muladi (1998:56), bahwa “pertama, sub kultur penjahat yaitu apabila Narapidana
mengikuti kehidupan yang ada di penjara. Kedua, sub kultur pencuri yaitu
apabila Narapidana menghayati kultur jahat dari luar. Dan ketiga, sub kultur
yang benar yaitu apabila Narapidana mengikuti norma yang benar.”
Memahami budaya umum yang berkembang di penjara bertujuan
untuk mengetahui proses sosialisasi Narapidana, khususnya hubungan antara apa
yang dialami selama menjalani hukuman serta keterkaitan dia dengan dunia luar.
Kehendak Narapidana untuk tetap mengikuti pola-pola yang diinginkan oleh
Pembina sering berbenturan dengan apa yang dilihat dan dialami selama
berinteraksi dengan sesama darapidana.
Dalam hal ini Narapidana yang menjalani hukuman lebih lama,
sering memanfaatkan Narapidana yang menjalani pidana lebih singkat untuk
dijadikan sahabat yang menguntungkan agar tidak mematuhi peraturan. Hal lain
yang memungkinkan LAPAS itu sebagai sekolah kejahatan disebabkan oleh banyaknya
bekas Narapidana setelah berada di masyarakat melakukan kembali kejahatan
sehingga dicap sebagai residivis.
Dalam hukum pidana kita terdapat jenis pidana yang bersifat
menghilangkan kemerdekaan bergerak dari terpidana yaitu pidana penjara. Hal ini
terdapat dalam ketentuan pasal 10 KUHP. Tujuan dari pidana penjara sendiri
menurut Saharjdo,SH dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa dalam
ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963 adalah sebagai
berikut: “Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya
kemerdekaan bergerak,membimbing terpidana agar bertobat,mendidik supaya ia
menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan
singkat tujuan pidana adalah kemasyarakatan”. Jadi, di sini jelas bahwa dalam
pelaksanaan pidana penjara tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan saja
melainkan juga harus disertai dengan pembinaan terhadap para terpidana dan
pembinaan ini merupakan hal terpenting untuk orientasi ke depan. Sejak tahun
1964 penjara bagi suatu tempat untuk menjalankan pidana penjara sudah diganti
dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Perubahan ini memiliki hubungan
dengan gagasan Dr. Saharjo untuk menjadikan LP bukan sebagai suatu tempat yang
semata-mata menghukum dan menderitakan orang. Akan tetapi suatu tempat untuk
membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar
setelah menjalani pembinaan di LP dapat menjadi orang dan dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakat.
Menurut Mohamad Suhardi dalam perspektif sosiologis,
kejahatan merupakan tindakan menyimpang individu sebagai hasil dari interaksi
menyimpang individu itu di tengah masyarakatnya. Dari perspektif ini perlu
dikembangkan sebuah teori pembinaan terhadap narapidana sebagai pelaku
kejahatan, yaitu teori penyatuan kembali interaksi narapidana tersebut secara
wajar dengan nilai-nilai positif masyarakatnya/reintegrasi social (Nasib
Penjara Kita, Kompas 3 Oktober 2005) Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya
kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak
pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga
yang berfaedah di dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya sangat tidak mudah
mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam praktek di lapangan banyak menemui
kendala dan hambatan diantaranya masih banyak ditemukan berbagai bentuk
kekerasan serta diskriminasi di Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan tersebut
mengakibatkan tujuan pidana penjara di negara kita kurang dapat terwujud secara
efektif.
Dalam menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
menurut ketentuan pelaksanaan dari Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja atau
menjalankan pekerjaan bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar
Lembaga Pemasyarakatan, kecuali bagi.
a. Narapidana yang dipidana penjara seumur hidup
b. Narapidan wanita
c. Narapidana yang menurut pemeriksanaan dokter dengan
pertimbangan tertentu tidak dapat bekerja di luar Lembaga Pemasyrakatan.
Selain ketentuan tersebut narapidana penjara dapat juga
tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan, yakni
jika dalam putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu hakim tidak
memperbolehkan narapidana untuk bekerja di luar LP.
Secara umum proses pembinaan narapidana dengan Sistem
Pemasyarakatan Indonesia terdiri atas 4 (empat) tahap. Dalam tahap pertama
lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana;
sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang
bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa
pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan,
pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama satu bulan. Di
sini para narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian diantaranya :
a. Pembinaan kesadaran beragama
b. pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d. pembinaan kesadaran hukum.
Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga
pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.
Pada tahap kedua dimana narapidana tersebut dianggap sudah
mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih
banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium
security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini
adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada
peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga. Tahap ini dilakukan setelah
narapidana menjalani 1/3 sampai ½ masa pidana. Di sini narapidana mendapatkan
pembinaan kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masing-masing
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha
industri/Pertanian/Perkebunan dengan teknologi madya/ tinggi.
Tahap ketiga selanjutnya ialah tahap asimilasi yang
dilakukan setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak
berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada bagian ini
pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah
(medium security). Bagian kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama
sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan ini narapidana sudah
memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat
atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar