ad

Jumat, 26 Desember 2014

PREMANISME: KUTUKAN ORDE BARU

(Catatan Ringan Tentang Gejala Premanisme Kontemporer)

Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu. ” (Soeharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Dalam Ramadhan K.H.)
Argumentasi  Soeharto Diatas  Menunjukan Bahwa Kejahatan Harus Ditumpas Tanpa Belas Kasih, Memang Demikian Realitasnya. Melalui Operasi yang Dinamakan "Operasi Clurit" Berhasil Memangkas para Pengganggu Kenyamanan Bermasyarakat -Kajian Kriminologi KritisInteraksionis-  Sampai Pada Tingkat yang Memuaskan, Setidaknya pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang (Preman) di antaranya tewas akibat luka tembakan-  Kondisi ini berlanjut sampai tahun 1985.(Kompas 2 Dec 2011) . Menurut Penulis Operasi Ini Merupakan Kebijakan Paling Brilian yang Dirintis Rezim Orde Baru Dari Serangkaian kebijakan yang di Anggap tidak Berpihak kapada rakyat Tertindas. Penembak Misterius (PETRUS) Begitulah Para Pemberantas Patologi Sosial Ini Sering Disebut, Dengan Memanfaatkan Legalitas Operasi Celurit, Petrus Menjadi Agenda Sisipan paling Mujarab di tengah Keruwetan Sosial Masyarakat Ibukota yang Terlanjur Terkontaminasi Debu Kriminalitas. Faedah yang Kemudian Di Rasakan Masyrakat Pada Era ini Sungguh Memuaskan. Anda Tidak Perlu takut Untuk Pulang Larut Malam Ketika Melewati Tanah Abang, Begitu Pun Ketika Anda Mengantri Di ATM Kampung Melayu, Jakarta .Tentunya Tidak Perlu Teralalu Was-Was Terhadap Kondisi Sekitar. Berbanding Terbalik Ketika 2 Hal yang saya Contohkan di atas Terjadi Di Era Ini ( 90-Milenium) ,Bisa dipastikan Takkan Selamat dari Incaran Preman-Preman Kehausan.
Aman, Damai, Tentram itulah Kesan yang bisa ditangkap ketika "Kebijakan" Petrus ini Di Laksanakan, Bahkan Ketua MPR/DPR Amir Machmud Era 80-an Mendukung “Diskresi” Ini Dengan Bergumam "Setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan".(Sinar Harapan, 21 Juli 1983) . Bukan Tanpa Kritik Mantan Wakil Presiden RI Adam Malik Mengecam Keras Tindakan ini Dengan Menyatakan "Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti", Hujatan yang tak jauh berbeda Juga Datang Dari Para Penggiat HAM Diantarnya Adnan Buyung Nasution Berucap "Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah. Kesan yang dapat ditangkap dari para pengkritik kebijakan ini adalah Mereka menginginkan harus adanya proses hukum (Peradilan) dari Negara, dan tidak seharusnya Main Tembak Ditempat karena Dirasa Bertentangan Dengan Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia. Sekali Lagi Bertentangan Dengan HAM.  Pertanyaan yang Kemudian Timbul Di Permukaan Adalah Apakah Korban Dari Tindakan Premanisme Akhir-Akhir Ini Bukan Tumbal Dari  Pelanggran HAM,? Dimulai dari tertangkapnya John Kei, tersangka kasus dugaan pembunuhan bos PT Sanex Steel, lalu dilanjutkan dengan penyerangan ,Mem-babi-buta di RSPAD Gatot Subroto, Dsb. apabila Kita Mengkaji Hal Ini Secara Parsial tentunya tidak Fair. Maka  Asumsi Sementara yang akan Lahir dari Proses ini Adalah Segerombolan Pemuda yang Berwatak Premanis Berperawakan tidak Humanis, Mengobrak -Abrik Tatanan Kedamaian Masyarakat, Membajak Ketentraman Rakyat, Dan Memecah Persatuan Bangsa, Dilindungi Oleh HAM.
 Yang Dimaksud Dilindungi Oleh Ham Adalah Tindakan Kriminal Mereka yang Berulang-Ulang Di Anggap  Sebagai Tindak Pidana Biasa Kemudian Di Blending dengan Criminal Justice System (Paradilan) Di Negeri Ini yang Krisis Kejujuran Serta Moral, Paling Tinggi Implikasi Hukum yang akan Di Dapatkan Para Preman ini Tidak Jauh Berbeda Dengan Hukuman Seorang Pencuri ayam. Padahal Kejahatan yang Dilakukan Menurut Penulis  Sudah Tergolong Extra Ordinary Crime Karena Telah Mengganggu Ketentraman  Hidup Orang Banyak (Menjurus Ke Terorisme). Setidaknya dalam LEVIATAN Karya Thomas Hobbes negara diberikan kekuasaan untuk meneror warganya sendiri demi menjamin keberlangsungan hidup mereka (warga negara lainnya). Hal Serupa Juga Bisa Dilihat Dalam Pemikiran Pemikir Rusia Nikolai Gavrilovich Chernyshevsky (1849) yang Merupakan Pelopor Reformasi Rusia Menurut Chernyshevsky “orang (Negara) harus Bertindak Demi dan Untuk Kepentingan yang lebih besar yaitu Masyarakat” Dalam Konteks Ini Represif Merupakan Kata Paling  Tepat, Untuk Mewujudkan Utilitarianisme Ala Chernyshevsky dan Melindungi Kepentingan Orang Banyak.  Pengadilan Sudah Tidak Menjadi Ukuran Tegaknya Hukum, Fakta yang terjadi Di Lapangan Memang Demikian, maka perlu penanganan khusus. Penting kiranya merumuskan  strategi Penanganan Extra dalam Pemberantasan Premanisme di Indonesia, Apalagi Semakin Modernnya Modus Operandi  Tindak Pidana Tersebut diantaranya Bermodus Industrialisasi Kapitalis (Penagihan Hutang-DebtCollector, Pengelola Club Hiburan Dsb). Kriminolog UI Irvan Olii mengungkapkan Pendapat mengejutkan. Menurutnya, premanisme di Indonesia sudah menjadi budaya dan tidak akan dapat diberantas. Terpikir Untuk Menimbang Kembali Eksistensi PETRUS di Era Reformasi. Ah... Mungkin Inilah Kutukan Orde Baru.
Tulisan ini diterbitkan oleh Harian Radar Halmahera (Jawa Post Group) sekitar bulan April tahun 2012. Dan Juga salah satu Tema di dalam Buku Kumpulan  Tulisan "Potret Hukum dan Demokrasi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar