Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Choky Ramadhan mengatakan menurunnya jumlah pengaduan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat tidak percaya pada sistem pengawasan yang selama ini berlaku. Entah itu melalui Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan atau Komisi Kejaksaan.
Ditegaskan Choky, sistem pengawasan yang ideal itu harus memenuhi beberapa faktor. Pertama, akuntabel yang artinya masyarakat dapat memantau perkembangan dari pengaduan yang telah mereka sampaikan. Kedua, imparsialitas yang artinya pengawasan harus bebas dari konflik kepentingan. Ketiga, komitmen pimpinan.
“Untuk itu bersamaan dengan momen pergantian pemerintahan, kita harus ikut menyumbang kriteria Jaksa Agung yang ideal agar pengawasan jaksa bisa berjalan lebih efektif,” ujar Choky dalam acara diskusi “Memperkuat Kejaksaan Kita” di Jakarta, Sabtu (20/9).
Menurut Choky, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan jaksa sangat disayangkan. Dia mengingatkan betapa besar kewenangan jaksa dalam proses penegakan hukum. Jika kewenangan yang besar ini tidak dibarengi dengan pengawasan yang efektif, maka akan muncul jaksa-jaksa nakal.
Untuk itu, Choky mengimbau masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam mengawasi perilaku jaksa. Menariknya, MaPPI FHUI mencoba merangkul kalangan anak muda untuk terlibat dalam pengawasan jaksa. Dalam acara diskusi “Memperkuat Kejaksaan Kita”, MaPPI FHUI berhasil mengumpulkan puluhan anak muda yang sebagian besar ‘anak kuliahan’.
Arief Azis, Communication Director www.change.org, sebuah laman yang memfasilitasi penggalangan petisi publik, berpendapat wacana publik terkait Kejaksaan tidak terlalu terdengar. Berbeda dengan Kepolisian, pengadilan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu buktinya, menurut Arief, adalah belum pernah ada orang yang menggalang petisi yang berkaitan dengan Kejaksaan.
“Hakim pernah disorot, Kapolri juga pernah disorot, tetapi Kejaksaan belum pernah,” papar Arief.
Untuk itu, Arief mengusulkan agar wacana publik seputar Kejaksaan mulai diangkat, misalnya melalui petisi online di www.change.org. Menurut dia, petisi online bisa dibuat berdasarkan kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Dia mencontohkan kasus perseteruan Polri dan KPK yang populer disebut kasus Cicak vs Buaya.
“Kasus Cicak vs Buaya selalu menjadi contoh sukses tentang kekuatan gerakan sosial dalam konteks penegakan hukum,” ujar Arief.
Co-Founder Provocative Proactive, Pangeran Siahaan berpendapat kalangan anak muda dapat berperan dalam pengawasan jaksa dengan mengoptimalkan teknologi internet. Perkembangan media sosial yang begitu pesat di Indonesia, menurut Pangeran, juga akan sangat bermanfaat. Tantangannya, kata dia, adalah bagaimana mengemas isu-isu hukum yang identik dengan suatu hal yang serius tetapi tetap bisa menjadi populer.
“Semua isu itu seksi, tinggal tergantung apa bajunya saja, bagaimana mengemasnya itu yang penting,” ujarnya memberikan tips. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar