Kusni
Kasdut, bernama asli Waluyo, adalah seorang anak yatim dari keluarga
petani miskin di Blitar. Siapa yang tidak kenal pria ini pada era 70-an.
Ia menjalani vonis hukuman mati gara-gara sederet kasus hukum,
antaralain adalah perampokan disertai dengan pembunuhan seorang arab
kaya bernama Ali Badjened pada tahun 1960-an dan perampokan Museum
Jakarta Nasional, tepatnya tanggal 31 Mei 1961.
Suami
dari Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih, wanita keturuan indo ini dihukum
mati di depan regu tembak pada 16 Februari 1980. Sebelum dieksekusi
mati, Kusni Kasdut sempat beberapa tahun jadi buronan paling dicari oleh
aparat kepolisian dengan serangkaian aksi kejahatannya.
Kusni
Kasdut di tangkap di Semarang. Saat itu ia hendak menggadaikan permata
hasil rampokannya. Pada masanya, Kusni Kasdut dikenal sebagai spesialis
penjahat “barang antik”. Karena kejahatan itulah ia harus berurusan
dengan polisi.
Awalnya,
Kusni Kasdut termasuk salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia
masuk dalam deretan pejuang revolusi saat melawan penjajah Belanda,
termasuk orang yang turut mengusir pelaku yang mengeksploitasi warga
nusantara.
Usman,
Mulyadi dan Abu Bakar-lah yang mengundangnya bergabung dalam barisan
pasukan pejuang kemerdekaan. Subagio menggolongkannya sebagai “singa
tempur”. Kusni Kasdut diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin
pasukan dalam berperang. Namun kisah heroiknya tidak pernah dicatat oleh
sejarah.
Pasca
kemerdekaan, Kusni Kasdut memilih jalannya sendiri, yakni menjadi
pelaku kriminal. Sejumlah referensi saya dapatkan mengungkap bahwa hal
ini ia lakukan sebagai bentuk merajuk kepada pemerintah, karena jasanya
sebagai pejuang tidak dibalas dengan baik oleh pemerintah.
Ia
pernah tercatat beberapa kali mencoba menjadi TNI, namun selalu gagal.
Padahal ia punya pengalaman perang semasa revolusi 45. Bentuk penolakan
ini dilakukan karena nama Kusni Kasdut dianggap tidak pernah tercatat
dalam kesatuan. Selain itu, ia diketahui cacat fisik. Terdapat bekas
luka tembak di kaki kirinya, luka itu didapatkan saat kontak fisik
melawan Belanda.
Kusni
Kasdut menanganggap kegagalannya untuk menikmati nuansa kemerdekaan
dari hasil keringatnya dan penghidupan yang layak, seperti para pejuang
pada umumnya adalah bentuk diskriminasi. Kusni Kasdut menganggap
pemerintah seolah-olah memperlakukannya secara tidak adil.
“Habis
manis sepah dibuang” begitulah kira-kira Kusni Kasdut beranggapan
sehingga ia mencari jalannya sendiri. Kegagalan demi kegagalan
pendapatkan penghidupan yang layak serta mencari rejeki yang halal untuk
menyambung hidup anak isternya membentuk kepribadian brutalnya.
Berbekal
sepucuk pistol, Kusni Kasdut mencari keadilannya sendiri. Ia menaggap,
jalan satu-satunya untuk menghidupi anak isternya yang sudah terlantar
adalah mencari makan meski digapai dengan cara yang tidak halal.
Bersama
teman-teman seperjuangannya yang bernasib sama, Kusni Kasdut merancang
sejumlah aksi criminal. Semasa berperang Kusni Kasdut dikenal garang.
Jika mendapatkan musuh, ia tidak segan-segan membunuh. Alasannya adalah
bayang-bayang siksaan dalam penjara colonial jika tertangkap penjajah.
Kusni
Kasdut sempat dijuluki “Robin Hood” dari Indonesia. Belakangan
diketahui, hasil rampokannya itu sering dibagi-bagikan kepada rakyat
miskin. Hal tersebut dilakukannya bersama Bir Ali, pemilik nama lengkap
Muhammad Ali, yang juga mantan suami Elya Khadam, penyanyi era 60-an.
Kisah
Kusni Kasdut pernah dimuat bersambung oleh salah satu media masa di
Indonesia, sekitar tahun 1979. Tulisan tentang sepak terjang penjahat
kelas kakap ini berjudul “Kusni Kasdut”.
Bir
Ali yang senasib dengan Kusni Kasdut, yakni bekas pejuang 45,
merenggang nyawa saat aksi baku tembak dengan polisi. Bir Ali bukan
hanya sahabat, ia juga adalah tangan kanan, orang kepercayaan dan
pengikut setia Kusni Kasdut.
Pelajaran
yang dipetik dari kisah Kusni Kasdut adalah jangan pernah melupakan
jasa baik orang, meski sekecil apapun. Seseorang yang baik bisa saja
menjadi pelaku criminal jika dalam kondisi terdesak pada aspek ekonomi
(lapar).
Kusni
Kasdut adalah pahlawan saat ia bersama para pejuang kemerdekaan
lainnya. Ia adalah pahlawan yang terlupakan. Namun setelah melakukan
aksi criminal besar-besaran ia adalah penjahat di mata hokum. (Muhammad Juanda, staf LBH Progesif Kabupaten Tolitoli/sosok.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar