ad

Kamis, 01 Agustus 2013

Polisi dan Kontrol Emosi

Sebuah dialog singkat mewarnai suatu peristiwa razia sepeda motor di satu sudut Jakarta yang panas terik. Ketika, seorang pengendara motor tergeragap tiba-tiba distop polisi. Dia merasa segala sesuatu menyangkut tertib berkendara motor di jalan raya telah dipenuhinya. Apa kesalahan saya Pak, baru kali ini saya dihentikan polisi, ucap si pengendara.
Sang polisi, sembari terus memelototi motor demi motor yang lewat, dengan nada datar berujar, Lampu bapak tidak dinyalakan, sosialisasi sudah lama dilakukan.
Sebaiknya tegur dulu Pak, jangan langsung ditilang begini, pinta si pengendara.
Kalau mau debat di pengadilan nanti, saya puasa hari ini, Pak, ujar polisi yang melakukan razia di hari Kamis itu. Si pengendara langsung pasrah dan menerima sepucuk surat tilang dengan sedikit ngegrundel.
***
Percakapan pendek yang tampaknya biasa-biasa saja. Sang polisi merasa sudah saatnya menegakkan peraturan sepeda motor harus menyalakan lampu di siang hari. Tak perlu ada lagi kata teguran, aturan harus dipaksakan tegak sampai warga terbiasa patuh. Tapi, di mata si pengendara motor, sang polisi bersikap kurang bersahabat dan hanya tebang pilih karena banyak pengendara lain yang tidak menyalakan lampu namun terus melenggang kencang. Si pengendara merasa kecewa karena upayanya mengkritisi penegakan hukum penyalaan lampu sepeda motor di siang hari dimentahkan begitu saja dengan berlindung di balik pengadilan dan puasa sunnah hari Kamis. Terselip sikap arogan pada diri polisi, mau menang sendiri, dan kurang elegan memberi argumentasi. Pendek kata, emosi sang polisi demikian gampang mengembang. Lantas, bagaimana saat polisi menghadapi peristiwa yang lebih besar dan lebih tragis lagi. Boleh jadi emosinya akan meruap-ruap. Padahal, dalam keseharian, polisi acapkali menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengundang emosi dan kadang sampai menguras air mata.
Sebagai profesional yang dilatih untuk melayani dan melindungi warga masyarakat, polisi diharapkan mampu memelihara kesadaran emosi yang seimbang, bahkan dalam keadaan yang paling tragis nan pahit sekalipun. Wewenang dan efektivitas polisi dalam menangani perkara atau kejadian yang kerap begitu tragis akan dipertaruhkan bilamana polisi tidak dapat menguasai emosi. Dalam menghadapi tragedi kemanusiaan (sekadar contoh korban pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan mobil dan pelecehan anak), polisi harus mampu menjaga ketenangan mereka, menjauhkan diri dari reaksi emosional yang berlebihan (Pogrebin and Pole, 1988). Secara umum, polisi meyakini bahwa publik berharap polisi senantiasa bersikap tenang dan tidak takut serta mampu menangani situasi kritis secara obyektif. Standar yang menempatkan polisi di atas warga masyarakat umum dalam mengelola emosi sering terasa berat dan tak kenal kompromi.
Stratton (1984) mencatat bahwa sejak awal karir sebagai penegak hukum, dalam bekerja, polisi terbiasa menekan emosi mereka demi menjaga citra profesional di mata masyarakat dan rekan petugas lainnya. Polisi bahkan beranggapan bahwa seberapa terampil mengontrol emosi mereka dapat menjadi titik lemah atau bahaya bagi pekerjaan dan berpotensi menghambat kemampuan melakukan tugas secara efektif. Jadi, jelas, polisi kerapkali harus menyembunyikan emosi normal mereka sebagaimana dirasakan oleh kebanyakan orang dalam menghadapi sebuah tragedi yang pada galibnya menguras air mata. Dalam upaya menahan emosi terpendam mereka, sampai-sampai, polisi terkadang mengembangkan manajemen yang kurang tepat dalam rasa-perasaan sesama polisi.
Akibatnya, menurut Stratton lebih lanjut, sikap penguasaan diri yang kurang tepat ini  acap berdampak negatif terhadap hubungan sosial-kemasyarakatan seorang polisi di luar pekerjaannya. Seiring berjalannya waktu, segala pemunculan emosi yang kurang tepat akan mengakibatkan perasaan terus tertekan dalam diri seorang polisi. Sementara itu proses menyembunyikan perasaan seseorang ketika reaksi emosional memuncak merupakan sesuatu yang alami (dan diharapkan apa adanya), akan menjadi problematik tersendiri dalam mengelola hubungan antarpribadi. Bahkan, di antara anggota polisi yang pernah mengalami kejadian tragis dalam kehidupan pribadinya, diharapkan pula, emosi tetap terjaga.
Ketika polisi melawan gejolak emosi dalam situasi tragis, mereka semakin sadar atas label negatif yang barangkali akan mereka peroleh jika mereka tidak mampu menguasai perasaan pribadinya. Polisi akan dianggap telah terpengaruh secara emosional, bila mereka memperlihatkan ekspresi tertentu (kemarahan atau simpati) pada korban. Publik akan menaruh syakwasangka dan meragukan kemampuan polisi untuk bertahan terhadap tekanan kerja. Pada sisi yang lain, polisi berharap publik tidak meragukan dirinya untuk dapat bertindak tegas dalam situasi apapun, karena keselamatan publik kemungkinan besar bergantung pada polisi. Kendali emosi yang seimbang pada diri polisi menjadi hal penting agar mereka dapat diterima sebagai polisi yang sesungguhnya. Sebagaimana dicatat Hochschild (1979), individu dapat mempengaruhi pandangan petugas lain terhadap mereka dengan memanipulasi ekspresi emosi. Polisi sering berusaha mengelola tampilan emosi mereka dengan mengadopsi sikap memisahkan atau menjauhkan diri dari lingkungannya. Banyak polisi enggan mengungkapkan emosi diri karena mereka beranggapan hal itu sebagai perilaku yang kurang berkarakter (Maslach and Jackson, 1979). Keengganan ini barangkali dihubungkan (sebagian) dengan sosialisasi dalam kultur polisi yang menganut etika ketangguhan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa polisi menghadapi situasi yang tidak mudah untuk sekadar menjaga keseimbangan kesadaran dan emosi. Institusi polisi harus lebih bijak dalam memberikan penyaluran emosi para anggotanya yang sehari-hari dihadapkan pada situasi yang semakin kriminogenik. Agar, warga masyarakat merasa tetap terayomi dan terlindungi dalam pelayanan penuh keramahan dan santun. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar