Sebuah
dialog
singkat mewarnai suatu peristiwa razia sepeda motor di satu sudut Jakarta yang
panas terik. Ketika, seorang pengendara motor tergeragap tiba-tiba distop
polisi. Dia merasa segala sesuatu menyangkut tertib berkendara motor di jalan
raya telah dipenuhinya. “Apa kesalahan saya Pak, baru
kali ini saya dihentikan polisi,” ucap si pengendara.
Sang polisi,
sembari terus memelototi motor demi motor yang lewat, dengan nada datar berujar,
“Lampu bapak tidak dinyalakan, sosialisasi sudah lama
dilakukan.”
“Sebaiknya
tegur dulu Pak, jangan langsung ditilang begini,” pinta
si pengendara.
“Kalau
mau debat di pengadilan nanti, saya puasa hari ini, Pak,”
ujar polisi yang melakukan razia di hari Kamis itu. Si pengendara langsung
pasrah dan menerima sepucuk surat tilang dengan sedikit ngegrundel.
***
Percakapan
pendek yang tampaknya biasa-biasa saja. Sang polisi merasa sudah saatnya
menegakkan peraturan sepeda motor harus menyalakan lampu di siang hari. Tak perlu
ada lagi kata teguran, aturan harus dipaksakan tegak sampai warga terbiasa
patuh. Tapi, di mata si pengendara motor, sang polisi bersikap kurang
bersahabat dan hanya tebang pilih karena banyak pengendara lain yang tidak
menyalakan lampu namun terus melenggang kencang. Si pengendara merasa kecewa
karena upayanya mengkritisi penegakan hukum “penyalaan
lampu sepeda motor di siang hari” dimentahkan begitu
saja dengan berlindung di balik pengadilan dan puasa sunnah hari Kamis. Terselip
sikap arogan pada diri polisi, mau menang sendiri, dan kurang elegan memberi
argumentasi. Pendek kata, emosi sang polisi demikian gampang mengembang. Lantas,
bagaimana saat polisi menghadapi peristiwa yang lebih besar dan lebih tragis
lagi. Boleh jadi emosinya akan meruap-ruap. Padahal, dalam keseharian, polisi acapkali
menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengundang emosi dan kadang sampai menguras
air mata.
Sebagai profesional
yang dilatih untuk melayani dan melindungi warga masyarakat, polisi diharapkan
mampu memelihara kesadaran emosi yang seimbang, bahkan dalam keadaan yang
paling tragis nan pahit sekalipun. Wewenang dan efektivitas polisi dalam
menangani perkara atau kejadian yang kerap begitu tragis akan dipertaruhkan
bilamana polisi tidak dapat menguasai emosi. Dalam menghadapi tragedi
kemanusiaan (sekadar contoh korban pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan mobil dan
pelecehan anak), polisi harus mampu menjaga ketenangan mereka, menjauhkan diri
dari reaksi emosional yang berlebihan (Pogrebin and Pole, 1988). Secara umum, polisi
meyakini bahwa publik berharap polisi senantiasa bersikap tenang dan tidak
takut serta mampu menangani situasi kritis secara obyektif. Standar yang menempatkan
polisi di atas warga masyarakat umum dalam mengelola emosi sering terasa berat
dan tak kenal kompromi.
Stratton (1984)
mencatat bahwa sejak awal karir sebagai penegak hukum, dalam bekerja, polisi
terbiasa menekan emosi mereka demi menjaga citra profesional di mata masyarakat
dan rekan petugas lainnya. Polisi bahkan beranggapan bahwa seberapa terampil
mengontrol emosi mereka dapat menjadi titik lemah atau bahaya bagi pekerjaan
dan berpotensi menghambat kemampuan melakukan tugas secara efektif. Jadi,
jelas, polisi kerapkali harus menyembunyikan emosi normal mereka sebagaimana dirasakan
oleh kebanyakan orang dalam menghadapi sebuah tragedi yang pada galibnya menguras
air mata. Dalam upaya menahan emosi terpendam mereka, sampai-sampai, polisi terkadang
mengembangkan manajemen yang kurang tepat dalam rasa-perasaan sesama polisi.
Akibatnya,
menurut Stratton lebih lanjut, sikap penguasaan diri yang kurang tepat ini acap berdampak negatif terhadap hubungan sosial-kemasyarakatan
seorang polisi di luar pekerjaannya. Seiring berjalannya waktu, segala
pemunculan emosi yang kurang tepat akan mengakibatkan perasaan terus tertekan
dalam diri seorang polisi. Sementara itu proses menyembunyikan perasaan
seseorang ketika reaksi emosional memuncak merupakan sesuatu yang alami (dan
diharapkan apa adanya), akan menjadi problematik tersendiri dalam mengelola
hubungan antarpribadi. Bahkan, di antara anggota polisi yang pernah mengalami
kejadian tragis dalam kehidupan pribadinya, diharapkan pula, emosi tetap
terjaga.
Ketika polisi
melawan gejolak emosi dalam situasi tragis, mereka semakin sadar atas label
negatif yang barangkali akan mereka peroleh jika mereka tidak mampu menguasai
perasaan pribadinya. Polisi akan dianggap telah terpengaruh secara emosional, bila
mereka memperlihatkan ekspresi tertentu (kemarahan atau simpati) pada korban.
Publik akan menaruh syakwasangka dan meragukan kemampuan polisi untuk bertahan
terhadap tekanan kerja. Pada sisi yang lain, polisi berharap publik tidak meragukan
dirinya untuk dapat bertindak tegas dalam situasi apapun, karena keselamatan publik
kemungkinan besar bergantung pada polisi. Kendali emosi yang seimbang pada diri
polisi menjadi hal penting agar mereka dapat diterima sebagai “polisi
yang sesungguhnya”. Sebagaimana dicatat Hochschild
(1979), individu dapat mempengaruhi pandangan petugas lain terhadap mereka
dengan memanipulasi ekspresi emosi. Polisi sering berusaha mengelola tampilan
emosi mereka dengan mengadopsi sikap memisahkan atau menjauhkan diri dari
lingkungannya. Banyak polisi enggan mengungkapkan emosi diri karena mereka beranggapan
hal itu sebagai perilaku yang kurang berkarakter (Maslach and Jackson, 1979).
Keengganan ini barangkali dihubungkan (sebagian) dengan sosialisasi dalam kultur
polisi yang menganut etika “ketangguhan”.
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa polisi menghadapi situasi yang tidak mudah untuk sekadar
menjaga keseimbangan kesadaran dan emosi. Institusi polisi harus lebih bijak
dalam memberikan penyaluran emosi para anggotanya yang sehari-hari dihadapkan pada
situasi yang semakin kriminogenik. Agar, warga masyarakat merasa tetap terayomi
dan terlindungi dalam pelayanan penuh keramahan dan santun. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar