ad

Sabtu, 16 Maret 2013

PAPUA yang SARAT KEPENTINGAN (3)


PAPUA YANG KAYA RAYA
MODAL DASAR MELANGKAH KE MASA DEPAN


Kita harus mempertahankan kelestarian alam di Papua ini, bukan saja untuk kepentingan generasi kita, tetapi juga untuk generasi-generasi yang akan dating

Susilo Bambang Yudhoyono
(Presiden Republik Indonesia)


Wilayah Tanah Papua, tanah yang diberkati Tuhan (the blessed land), laksana mutiara di timur Indonesia. Lingkungan wilayah Tanah Papua, pulau terluas di persada ini, bak kidung agung sebuah orkestra alam yang melantunkan syair-syair merdu dan gerakan yang harmonis tentang kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan di muka bumi. Wilayah Tanah Papua selalu memancarkan sejuta pesona dan menyimpan beragam kekayaan. Di dalam perut Bumi Cenderawasih, sang burung dari surga itu, terkandung limpahan tambang minyak bumi, gas alam, batubara, uranium, nikel, tembaga, perak dan emas.

Kemudian, di permukaan tanah wilayah Papua, pesona pemandangan alam yang begitu indah yang amat memanjakan mata. Gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa dengan salju abadi bagai relief terpahat di dinding bumi. Juga, kehidupan beragam flora dan fauna yang memperkaya anak manusia yang mendiami. Lalu, lautnya yang luas mengitari daratan dengan berjuta-juta hasil perikanan dan udang, serta karang dan kehidupan biota yang menarik hati.

Panorama Papua semakin lengkap dengan keberadaan anak manusia dengan beragam etnik atau suku beserta nilai-nilai sosial-budaya dan peradabannya. Lebih dari itu, Papua pun memiliki mutiara terpendam yang selama ini praktis belum diberdayakan, yakni potensi wisata sejarah yang bernilai jejak historis tinggi dan berkelas dunia. Wilayah Tanah Papua pernah menjadi ajang perang dahsyat antara pasukan Sekutu dan balatentara Jepang semasa Perang Dunia II.

Kemilau pesona dan keagungan ciptaan Tuhan di Tanah Papua bisa dilihat di Kawasan Teluk Cenderawasih, yang meliputi wilayah Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Yapen Waropen, Nabire, Teluk Wondama dan Manokwari. Selain tersimpan kekayaan beraneka hasil tambang, hutan produksi penghasil kayu, peternakan dan perkebunan, Teluk Cendrawasih juga memiliki sejumlah produk wisata (Obyek dan Daya Tarik Wisata, ODTW) yang begitu eksotik dan naturalistik. Mulai dari destinasi wisata sejarah, wisata rohani, wisata bahari, ekowisata, hingga wisata budaya.

Luas Tanah Papua 421.981 Km2 (22 % dari luas Indonesia). Wilayahnya menempati setengah (bagian barat) Pulau New Guniea. Membujur dari barat ke timur (Sorong-Jayapura) sepanjang 1.200 Km2. Dari utara ke selatan (Jayapura–Merauke) sejauh 736 Km2. Papua adalah Tanah yang diberkati Tuhan (the blessed land). Tanah Papua, pulau terluas dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini selalu memancarkan sejuta pesona dan menyimpan beragam kekayaan. Ibu pertiwi pun bangga dengan Sang Putera Fajar ini. Kandungan kekayaan alam perut Bumi Cenderawasih cukup untuk cadangan devisa satu abad lagi.

Menjejakkan kaki di Bandara Sentani (Jayapura) lalu menuju ke pusat Kota Jayapura, kita akan benar-benar disuguhi pemandangan alam yang memancarkan kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di Tanah Papua. Sepanjang perjalanan, kita akan melewati Abepura dan Kota Raja. Kita ditakjubkan oleh perbukitan yang mengandung emas dan aneka tambang lainnya. Juga hamparan hutan dan Danau Sentani dengan kekayaan ikan endemiknya. Bagi kalangan bisnis dan investor, ada sejuta inspirasi dan obsesi ekonomis di situ.

Hal serupa juga bisa kita rasakan tatkala kita mendarat di Bandara Frans Kaisiepo (Biak), lalu dilanjutkan ke Serui (Yapen Waropen), Manokwari atau Nabire di kawasan Teluk Cenderawasih dengan pelayaran lalut. Elok nian pemandangan laut di sana. Atau kita ‘terbang’ dari Timika ke Wamena di bagian tengah, tempat terbujurnya “pegunungan emas” Jayawijaya. Pun manaka kita berpesiar di Merauke, pintu gerbang selatan dataran rendah Tanah Papua yang amat potensial untuk agroindustri. Tak salah, bila Papua disebut-sebut sebagai lumbung pangan dan energi Indonesia masa depan karena ragam kekayaannya yang demikian besar.

Sungguh, Tuhan Yang Maha Kasih telah menunjukkan cinta-Nya kepada bangsa Indonesia. Sebuah karunia kekayaan alam sebagai modal kejayaan suatu negeri, jika dikelola dengan baik dan amanah. Tuhan telah memberikan sejuta potensi, yang sudah selayaknya bukan cuma untuk disyukuri, namun harus dikelola sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Sebuah tantangan bagi anak negeri untuk menggali dan mengolah serta mengelola kekayaan alam Tanah Papua. Seberapa besar potensi alam Papua, mari kita lihat satu per satu berikut.
Pertambangan. Tanah Papua merupakan pulau yang terbentuk dari endapan (sedimentation) benua Australia dan pertemuan/tumbukan antara lempeng Asia (Sunda Shelf) dan lempeng Australia (Sahul Shelf) serta lempeng Pasifik. Tumbukan kedua lempeng tersebut lalu mengangkat endapan dari dasar laut Pasifik yang paling dalam ke atas permukaan laut sehingga menjadi sebuah daratan baru. Akibat dari adanya endapan tersebut, Tanah Papua banyak mengandung bahan galian golongan A, B dan C seperti emas, perak, tembaga, aluminium, batu kapur dan uranium.
Tumbukan lempeng itu juga mengangkat fosil makhluk hidup yang kemudian membentuk bahan bakar fosil seperti minyak, gas bumi dan batubara. Perairan Papua yang merupakan bagian dari perairan laut Indonesia, membujur dari barat hingga timur, sangat kaya sumberdaya energi dan mineral. Indonesia memiliki 60 cekungan besar yang mengandung minyak dan gas di lepas pantai. Sebanyak 11 cekungan sudah berproduksi, yakni Cekungan Sumatera Utara, Cekungan Sunda, Cekungan Jawa Timur, Cekungan Bone, Cekungan Kutai, Cekungan Seram, Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni. Dua cekungan yang teakhir berada di wilayah Papua.
Untuk mengekplorasi Cekungan Bintuni maka dibuatlah proyek LNG Tangguh di Desa Tanah Merah, Kecamatan Babo, Kabupaten Merauke. Sedangkan pembangunan kilang di kawasan Teluk Bintuni dilakukan oleh British Petroleum (BP) Indonesia. Lapangan dengan cadangan raksasa gas alam cair, kala itu oleh Presiden Soeharto diberi nama ”Tangguh” --yang semakin mengkukuhkan Indonesia sebagai eksportir gas alam cair terbesar di dunia.
Sejak 2008, BP Indonesia mulai mengeksplorasi gas alam (LNG) Tangguh di daerah (kini - Kabupaten) Teluk Bintuni. Diprediksi, cadangan gas alamnya mencapai 23,7 triliun kaki kubik (TCF). BP Indonesia Tangguh akan memproduksi LNG sekitar 7,65 juta ton per tahun selama 20 tahun. Teluk Bintuni juga mengandung minyak bumi sekitar 45 juta barel.  
Di Pantai Utara Salawati (Kabupaten Raja Ampat) diperkirakan terdapat potensi deposit cadangan minyak bumi sekitar 200 juta barel, yang dapat dieksploitasi selama 20 tahun (Fere dan Rumere, 2006). Saat ini hak pengusahaan tambang minyak di wilayah tersebut dipegang oleh PT Pearl Oil Salawati Papua. Jauh sebelumnya, di tahun 1930-an, wilayah (kini Kabupaten Sorong Selatan, Distrik Teminabuan) terdapat perusahaan Belanda, Nederlandsch Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM), yang mengeksplorasi minyak bumi.
Di wilayah Tanah Papua, membujur pegunungan yang bukan saja berpanorama indah, tapi kaya tambang tembaga, emas dan perak. Penelitian menunjukkan bahwa pegunungan itu merupakan ’harta karun’ tiada tara di dalam perut bumi. Sangat bernilai ekonomis tinggi, buat modal kemajuan Papua di masa depan. Pegunungan yang oleh suku-suku di Papua dianggap ’ibu’ (dikeramatkan), mau tidak mau ’perut gunung’ itu dieksplorasi dan dieksploitasi untuk dikeluarkan bijih-bijih tembaga, emas, perak dan sejenisnya.
Di tahun 1528, seorang pelaut Spanyol bernama Alvaro De Saavedra yang berlayar ke Mexico sempat singgah di pesisir pantai utara Papua. Ketika itu Alvaro De Saavedra melihat pasir kuarsa bercampur emas di Korido (sekarang Ibukota Kabupaten Supiori). Alvaro De Saavedra memberi nama wilayah yang disinggahinya Isla Del Oro (Island of Gold) atau Pulau Emas. Makanya sejak dahulu, Tanah Papua menjadi obyek rebutan berbagai bangsa di dunia karena kelimpahan sumberdaya alamnya.

Kekayaan alam tambang Tanah Papua mulai terpublikasi ketika pada tahun 1936 seorang geolog bernama Jean Jaques Dozy melakukan ekspedisi pencarian minyak bumi di Pegunungan Tengah. Jean Jaques Dozy menemukan sebuah bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 meter yang kaya akan unsur tembaga. Dia lantas mengambil sampel untuk dikirim ke Universitas Leiden di Negeri Belanda. Jean Jaques Dozy kemudian menamakan bukit tersebut Erstberg, yang artinya gunung bijih. Kala itu, laporan ekspedisi tersebut sebenarnya dianggap tidak berguna. Hanya tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja hingga berdebu di perpustakaan Belanda.

Di tahun 1959, sebuah perusahaan tambang bernama Freeport Sulphur yang beroperasi di Kuba, nyaris bangkrut, lantaran terjadi pergantian kekuasaan di Kuba. Pengapalan hasil tambang nikel produksi perdananya terkena imbasnya akibat ketegangan politik yang terjadi ketika itu. Di tengah situasi yang penuh ketidak-pastian itu, pada Agustus 1959, Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Dalam pertemuan itu, dengan berapi-api, Jan van Gruisen bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Erstberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis oleh Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Selain memaparkan tentang keindahan panorama alamnya, dalam laporan ekpedisi itu, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang melimpah. Kandungan biji tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Erstberg itu terhampar di atas permukaan tanah, tidak tersembunyi di dalam tanah.
                                   
Mendengar cerita itu, Forbes Wilson sangat antusias. Dia pun segera melakukan perjalanan ke Irian Barat, untuk mengecek kebenaran cerita tersebut. Selama beberapa bulan, Forbes Wilson yang juga pakar pertambangan itu melakukan survei dengan seksama atas Gunung Erstberg dan wilayah sekitarnya. Hasil penelitian itu lalu ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar. Dan, untuk memperolehnya tidak perlu menggali lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.

Bila dilihat dari udara, saat diterpa sinar matahari, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Sebab, selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata dipenuhi pula bijih emas dan perak. Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Dia memperkirakan Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun bisa kembali modal. Wilson pun bergerak cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menandatangani kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi Gunung Erstberg.

Lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan hampir sama seperti di Kuba. Sekitar tahun 1962-1963 terjadi perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat. Hubungan Indonesia dan Belanda memanas. Presiden Soekarno mulai menerjunkan pasukan di Irian Barat untuk memaksa Belanda hengkang dari wilayah Tanah Papua. Dampak dari sikap Belanda mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali.

Ketika terjadi pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru tahun 1966, para pimpinan Freeport berusaha mencari akses buat mendekati elit kekuasaan Orde Baru. Adalah Julius Tahija, seorang petinggi di perusahaan eksplorasi minyak bumi Caltex, yang mempertemukan Forbes Wilson dengan Ibnu Soetowo, yang waktu itu Menteri Pertambangan dan Perminyakan.

Di tahun 1967 lahir Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang menjadi pintu masuk bagi investasi di Indonesia. Lantas, masuklah Freeport sebagai perusahaan pertambangan asing pertama. Kontrak karyanya ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 April 1967. Freeport memegang hak eksklusif untuk mengelola daerah konsesi 10x10 Km2 atau seluas 100 Km2 di sekitar Gunung Erstberg. Diperkirakan terdapat 2,5 miliar ton batuan bijih tembaga dan emas di sana.
Lalu beroperasilah pertambangan modern pertama Freeport di gletser Gunung Jayawijaya, tepatnya di Gunung Bijih. Desember 1967, dimulailah pengeboran untuk studi kelayakan. Studi baru selesai tahun 1969, kemudian dilanjutkan ke tahap konstruksi tahun 1969-1972. Guna membangun konstruksi, Freeport menggandeng perusahaan AS, Bechtel.
Pada 1972 kali pertama dilakukan pengapalan konsentrat tembaga ke Hibi, Jepang. Sejak itu, mulai babak baru Papua menjadi pengekspor konsentrat tembaga. Produksi Freeport saat itu mencapai 8.000 ton bijih/hari. Lalu meningkat 18.000 ton bijih/hari. Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dolar AS per tahun.
Selama rentang waktu 1967–1988, Freeport menemukan sejumlah endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur, zona tengah (Intermediate Ore Zone /IOZ), zona dalam (Deep Ore zone /DOZ) dan Dom. Tahun 1988, Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang cukup ekonomis, dengan cadangan lebih dari 400 Metrik Ton (MT) yang merupakan endapan tunggal terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan investasi yang cukup besar. Sehingga, diperlukan adanya jaminan perpanjangan kontrak karya.
Sebab itu, pada 30 Desember 1996, ditandatangani perpanjangan kontrak karya Freeport dengan Pemerintah Indonesia. Dalam kontrak perpanjangan ini, obyek penambangan dibagi menjadi 2 blok, yaitu Blok A yang merupakan daerah kontrak karya lama dan Blok B seluas 1,9 juta ha. Wilayah eksploitasi Freeport bertambah 154 kali (menjadi 2,6 juta hektar). Cadangan bijih tambang Freeport pun melesat menjadi 768 juta MT dengan produksi rata-rata 66.000 ton per hari.
Tidak heran bila mulai 1996 terjadi “booming” investasi pertambangan di wilayah Tanah Papua. Hingga akhir tahun 2000, terdapat 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3 perusahaan di bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Tanah Papua.

Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman. George A. Maley memaparkan bahwa tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia. Sedangkan bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia.
                                                                                                       
George A. Maley menulis berdasarkan data tahun 1995. Data itu menunjukkan bahwa di areal itu  tersimpan cadangan bijih tembaga senilai 40,3 miliar dolar AS dan masih akan menguntungkan selama 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis kalau biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Hingga akhir 2003, seluruh cadangan Grasberg (berikut cadangan bawah tanah di sekitar kawasan Grasberg-Erstberg) mencapai 2,6 miliar ton bijih dengan kandungan 39,7 miliar pounds tembaga dan 46,6 juta ons emas, dengan produksi 240.000 MT bijih per hari. Ini belum termasuk cadangan perak yang juga amat melimpah.
Kini, Grasberg telah disulap menjadi kawasan pertambangan super modern, lengkap dengan sarana dan prasarana serta teknologi paling mutakhir, yang melibatkan 15.000-20.000 orang pekerja. Juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas mutakhir laiknya sebuah kehidupan kota modern. Oleh Presiden Soeharto, kawasan itu dinamakan Tembagapura.
Produksi emas PT Freeport Indonesia tahun 2009 sekitar 2,785 juta troy ounces. Tembaga sekitar 1,596 miliar pounds. Freeport merencanakan pemrosesan bijih di pabrik pengolahan sebanyak 235.000 ton per hari dengan kadar tembaga 0,9 persen dan emas 0,9 gram per ton. Bijih tersebut berasal dari tambang terbuka Grasberg sebanyak 155.000 ton per hari dan bawah tanah 80.000 ton per hari.

Pengolahan bijih ini akan menghasilkan konsentrat dengan kadar tembaga rata-rata 26,5 persen dan kadar emas 24,7 gram per ton. Setelah tahun 2015 tambang di Freeport akan berubah menjadi tambang bawah tanah. Dengan cadangan yang ada, setelah 2015 akan lebih ekonomis dengan tambang bawah tanah.

Status cadangan terbukti bijih per 31 Desember 2008 sebanyak 2,66 miliar ton dengan kadar tembaga rata-rata 1,01 persen, kadar emas rata-rata 0,89 gram/ton, dan kadar perak rata-rata 4,26 gram/ton. Sementara itu, jumlah kandungan logam secara keseluruhan terdiri dari tembaga sebanyak 59,3 miliar pounds, emas sebanyak 76,1 juta troy ounces dan perak sebanyak 365,3 juta troy ounces. Cadangan terbukti ini berasal dari Grasberg, DOZ/Ertsberg Stockwork Zone, Deep Mill Level Zone, Big Gossan, dan Kucing Liar. Saat ini, sebanyak 41 persen dari total konsentrat yang dihasilkan buat memenuhi kebutuhan domestik. Sisanya, diekspor ke Swedia, Jerman, Finlandia, Bulgaria, China, Filipina, Korea, India, Jepang, dan Spanyol.
Potensi tambang lain, seperti batubara diprediksi sekitar 6,3 juta ton, tersebar di Kabupaten Manokwari yang meliputi Distrik Horna (besar potensi 4.000.000 ton), Distrik Muturi (20.202.000 ton), dan Distrik Tembuni (6.240.500 ton). Batubara terdapat pula di Kabupaten Sorong: Distrik Aifat (30.000.000 ton), Kota Sorong (35.000.000 ton); Distrik Salawati dan Distrik Seget  (75.000.000 ton). Lalu di Kabupaten Teluk Bintuni sekitar 14,3 juta ton, tersebar di Distrik Bintuni, Distrik Tembuni, Distrik Babo dan Distrik Arandai.
Kemudian potensi tambang mika, bahan pembuatan kaca, sekitar 150 juta MT, tersebar misalnya di Teluk Wondama-Distrik Wasior Utara 90,11 juta metrik ton. Batu gamping di atas areal seluas 190.000 hektar, pasir kuarsa seluas 75 hektar (potensi hasil 21,5 juta ton), lempung sebanyak 1,2 juta ton, marmer sebanyak 350 juta ton dan granit sebanyak 125 juta ton. Pasir besi, nikel dan krom juga melimpah ruah di Tanah Papua.
Lalu tambang uranium. Mengenai kandungan uranium di tanah Papua, kita bisa merujuk kabar dari peta-peta uranium di seluruh dunia. Secara internasional sudah diketahui negara-negara mana yang memiliki kandungan uranium yang meyakinkan atau signifikan. Dan Indonesia tidak termasuk dalam kategori negara yang punya cadangan uranium yang meyakinkan itu. Uranium adalah bahan bakar reaktor nuklir dan senjata nuklir yang nilainya jauh lebih tinggi dibanding emas. Penambangan uranium memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan.

Sebuah laporan mengagetkan dari seorang anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua, Yan Permenas Mandenas. Mandenas menyatakan bahwa secara diam-diam PT Freeport Indonesia telah memproduksi uranium sejak awal 2010. Freeport telah mengambil kekayaan alam di Papua ini selain emas. Dari laporan anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua yang digali dari para karyawan dan beberapa masyarakat ini diketahui bahwa, selain berupa konsentrat, Freeport juga mengeruk uranium.

Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) Sonny Keraf melihat selama ini apa yang dilakukan Freeport tidak transparan. Dan pemerintah tidak tegas dan serius. Bahwa Freeport mendapatkan konsesi memang benar, tapi harus ada koridor, laporan yang transparan untuk mengetahui apa saja mineral yang digali, seberapa banyak emas yang dihasilkan, dan adakah energi lainnya.

Potensi lainnya adalah sumber energi listrik dari derasnya arus aliran sungai. Wilayah Tanah Papua banyak dialiri sungai yang arusnya sangat potensial untuk dijadikan sumber pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tim ahli dari Jepang, diperkirakan belasan sungai berpotensi sebagai pembangkit listrik. Antara lain Sungai Mamberamo 9.932 Megawatt (MW), Sungai Eilanden 2.291 MW, Sungai Tuuga 1.625, Sungai Waranai 1.583 MW, Sungai Digul 1.522 MW, Sungai Kasi  593 MW, Sungai Kamundan 461 MW, Sungai Sebyar 458 MW, Sungai Aiman 309 MW, Sungai Siriwo 310 MW dan Sungai Otokwa 297 MW.
 
Kehutanan. Sekitar 90 persen daratan wilayah Tanah Papua berupa hutan tropis yang sangat lebat, karena berada pada jalur garis khatulistiwa. Luas hutan di Papua mencapai 39.370.496,12 hektar. Alokasi fungsi hutan terbagi atas hutan konservasi seluas 6.436.923,05 hektar, hutan lindung 9.395.088,50 hektar, hutan produksi tetap 9.607.246,57 hektar, hutan produksi terbatas 2.862.848 hektar, dan hutan yang dapat dikonversi 8.855.158 hektar, hutan suaka alam dan pelestarian alam seluas 1.885.323 hektar, dan hutan lainnya seluas 327.909 hektar.

Secara fisik, total potensi hutan di Papua cukup besar. Namun kurang ekonomis lantaran potensi per hektar sangat rendah,  yakni 35 m³/ha untuk jenis komersial dan 61 m³/ha untuk semua jenis. Selain potensi per hektar sangat rendah, sebagian besar kayunya terdiri dari jenis-jenis yang belum dikenal di pasaran (belum komersial) serta  keadaan topografinya sangat berat. Sebagian besar wilayah Tanah Papua tidak terdapat sungai yang dapat dijadikan sarana angkutan sehingga biaya eksploitasinya sangat mahal.

Sebab itu, berkenaan dengan pengelolaan hutan produksi lestari, diperlukan perencanaan yang disusun berdasarkan pada kondisi potensi hutan yang ada. Dengan demikian perhitungan potensi hutan bersama-sama dengan perhitungan kawasan hutan mempunyai peran yang sangat vital dalam perencanaan pengelolaan hutan produksi.

Belantara hutan Tanah Papua dipadati lebih dari 1.000 spesies tanaman.  Lebih dari 150 varietas merupakan tanaman komersial. Jenis-jenis hasil hutan kayu yang dimanfaatkan dikelompokkan: Kelompok Meranti yang terdiri dari Matoa (Pometia spp.), Merbau (Instia spp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Kenari (Canarium spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Resak (Vatica spp.), Pulai (Alstonia spp.), Damar (Agathis spp.), Araucaria (Araucaria spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Batu (Shorea spp.), Mangga hutan (Mangifera spp.), Celthis (Celthis spp.), dan Kayu Cina (Podocarpus spp).

Kelompok Campuran yang terdiri dari Ketapang, Binuang, Bintangur, Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, dan Pala Hutan. Kelompok Kayu Indah yang meliputi jenis Dahu (Dracontomelon spp.), Linggua (Pterocarpus spp.), dan Kuku. Selain itu masih ada kayu merbau alias kayu besi dengan kualitas terbaik yang terhampar di lahan sekitar enam juta hektar --di mana setiap hektar menyimpan potensi kayu merbau sekitar 13,65 meter kubik.

Potensi kayu ini sudah dimanfaatkan/diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan industri pengolahan kayu. Pada 2005, beroperasi 25 perusahaan pemegang IUPHHK/HPH yang berlokasi di delapan kabupaten (Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama) dengan dominasi lokasi operasi di Kabupaten Kaimana dan Teluk Bintuni.

Total areal pengusahaan hutan (HPH) seluas 3.545.400 hektar. Dari 25 perusahaan itu, 3 perusahaan beroperasi dengan skala di atas 6.000 m³/tahun dan berskala di bawah 6.000 m³/tahun sebanyak 15 perusahaan. Produk kayu olahan yang dihasilkan adalah chip wood, plywood, block board, dan sawmill.

Selain berburu, masyarakat Papua memiliki kebiasaan berkebun dan hidup berpindah-pindah (nomaden), yakni ‘berburu’ kayu gaharu hingga ke pedalaman hutan, melibatkan seluruh anggota keluarga. Kayu gaharu dari Distrik Assue (Kabupaten Mappi) sangat mahal, bisa mencapai Rp10 juta per kilogram karena kualitasnya sangat baik.

Perkebunan. Di wilayah Tanah Papua terhampar berbagai perkebunan. Dari 5.584.360 hektar lahan yang ada, tak kurang dari 160.547 hektar sudah dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar (PB). Artinya, potensi perkebunan terbentang di berbagai wilayah.

Tanah Papua sangat bagus untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Struktur tanah dan iklimnya cocok. Total potensi lahan yang bisa ditanami kelapa sawit mencapai 3-4 juta hektar. Seluas 885.140 hektar sudah dibuka dan tersebar di 19 kabupaten. Tapi, sampai saat ini, realisasi tanam baru mencapai 32.071 hektar.  

Saat ini ada beberapa perusahaan perkebunan sawit yang telah berdiri dan beroperasi di Papua. Yakni, PT Tunas Sawa Erma yang membuka lahan di Boven Digoel seluas 14.500 hektar (realisasi tanam 8.700 hektar) dan PT Korindo Group yang diperkirakan pada tahun 2005 dan 2006 produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO sebesar 42.934.117 ton. Lalu PT Sumber Indah Perkasa milik Sinar Mas Group di Jayapura seluas 6.510 hektar dengan realisasi tanam 882 hektar.

PT Sinar Kencana Inti Perkasa membuka lahan di Jayapura seluas 15.644 hektar (realisasi tanam 10.189 hektar), PT Perkebunan Nusantara II memiliki luas lahan 57 ribu hektar di Kabupaten Keerom dengan realisasi tanam 10.700 hektar. PT Bumi Irian Perkasa menguasai lahan 2000 hektar di Kabupaten Keerom dengan realisasi tanam 1.400 hektar serta PT Merauke Sawit Jaya dengan luas lahan 35.297 hektar dan realisasi tanam 200 hektar.

Komoditas perkebunan lain yang cukup potensial di wilayah Papua adalah coklat dan kopi. Di wilayah Jayapura, Manokwari dan Yapen Waropen terhampar pohon coklat yang merupakan salah satu komoditas potensial daerah itu sejak jaman kolonial Belanda. Kemudian, tanaman kopi rakyat jenis Arabika juga diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda di Yapen Waropen. Masyarakat di Yapen Waropen sejak tahun 1970-an mulai mencampur kopi dan coklat untuk minuman sehari-hari secara tradisional. Luas perkebunan coklat 2.600 hektar dan kopi 1.500 hektar berada di Yapen Waropen.

Perkebunan kopi juga terhampar di Kabupaten Mappi seluas 2.860 hektar  dengan produksi 6,5 ton per tahun. Lalu perkebunan kelapa seluas 1.140 hektar dengan produksi 393 ton per tahun, serta perkebunan karet seluas 1.587 hektar dengan produksi 26 ton per tahun.  

Secara umum, komoditas unggulan perkebunan di Tanah Papua di tahun 2005 dengan total produksi 12.347 ton. Terdiri dari kelapa sawit dengan produksi 31.021 ton, coklat-kakao dengan produksi 11.363 ton, kopi Arabika produksi 2.583 ton, buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%) dan karet dengan total produksi 1.458 ton.

Pertanian. Berdasarkan atlas arahan tata ruang pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, wilayah Tanah Papua memiliki 17,3 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian. Sekitar 7,2 juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan sawah, 4,1 juta ha untuk pertanian tanaman semusim lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk tanaman perkebunan dataran rendah.

Iklim di Papua umumnya relatif basah. Variasi hujan cukup besar (1.500-5.000 mm/tahun). Berdasarkan sistem klasifikasi agroklimat, wilayah Tanah Papua terdiri atas berbagai zona agroklimat yang masing-masing wilayahnya potensial untuk pengembangan berbagai jenis tanaman. Misalnya, potensial wilayah untuk pengembangan kelapa sawit seluas 6,3 juta ha, karet 0,43 juta ha, kopi 5,92 juta ha, kelapa 6,23 juta ha, kapas 251 ribu ha, dan tebu 940 ribu ha. Wilayah potensi padi sawah seluas 1,8 juta ha, tersebar di  Kabupaten Merauke 614,9 ribu ha, Jayapura 389,2 ribu ha dan Yapen Waropen 217,5 ribu ha.

Luas areal sawah dan bukan sawah mencapai sekitar 42.198.100 ha atau sekitar 12 % dari seluruh luas wilayah Tanah Papua. Lahan sawah beririgasi teknis seluas 3.845 ha pada 2006 dan beririgasi nonteknis 3.696 ha. Total saluran irigasi primer mencapai 1.984 Km, irigasi sekunder 23,45 Km dan irigasi tersier 4,25 Km. Sawah-sawah tersebut dapat menghasilkan 61.922 ton padi (2006), sedikit meningkat dibanding dua tahun sebelumnya yang mencapai 61.750 ton (2004).

Pada saat Panen Raya Padi di Merauke, 5 April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap: ”Merauke menjadi sentra pertumbuhan baru, bukan hanya untuk padi, tetapi juga untuk sektor lainnya.” Presiden juga berpesan, ... ketika terjadi pertumbuhan sawah, pertumbuhan tebu, pertumbuhan kelapa sawit, nantinya pendidikan, tenaga kerja dan lain-lain, tolong sekali lagi diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraan penduduk asli sehingga betul-betul terjadi kesetaraan yang baik. Dengan demikian dapat meningkatkan persaudaraan dan harmoni di antara semua warga yang ada di daerah ini.”

Di Merauke, kini dikembangkan kawasan khusus usaha pertanian skala luas yang telah diresmikan Menteri Pertanian Suswono pada 11 Agustus 2010. Program bertajuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau food estate itu diperkirakan akan mampu memasok bahan pangan buat kebutuhan nasional.

Pada awal pengembangannya, MIFEE diharapkan dapat meningkatkan produksi komoditas pangan secara nasional. Sampai tahun 2014 mendatang, food estate diperkirakan mampu memasok 1,95 juta ton padi, 2,02 juta ton jagung, 167 ribu ton kedelai, 64 ribu ekor sapi ternak, 2,5 juta ton gula, dan 937 ribu ton kelapa sawit (crude palm oil/CPO) per tahun.

Dengan bergulirnya program MIFEE, Merauke diharapkan tak hanya menjadi lumbung pangan nasional, melainkan juga mampu tampil sebagai lumbung pangan dunia. Untuk itu, semua pihak, baik daerah maupun pusat, harus mendukung secara penuh pelaksanaan food estate.

Selain mewujudkan ketahanan pangan nasional, pengembangan food estate Merauke akan pula mengoptimalkan fungsi lahan cadangan yang cukup luas yang selama ini menjadi lahan tidur. Perubahan lahan-lahan tidur menjadi lahan produktif itu akan memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokal dan menggerakkan perekonomian daerah, terutama para investor lokal.

Kendati sudah menentukan kawasan-kawasan yang akan dibuka menjadi areal pertanian baru, pemerintah tetap memperhatikan masalah lingkungan dan sosio-kultural sebelum memberi izin kepada pihak ketiga untuk usaha pertanian skala luas di Merauke. Tanah-tanah sakral, tanah adat, dan lahan untuk pelestarian lingkungan tidak akan diganggu gugat. Lahan yang digunakan untuk food estate harus clear dari masalah lingkungan hidup dan sosio-kultural setempat.

Di wilayah Papua Barat, tahun 2006 tercatat areal panen seluas 9.663 ha. Jumlah produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 34.157 ton dan produksi beras giling 32.497 ton. Dengan begitu rerata produktivitasnya 3,368 ton/ha. Untuk komoditas jagung tahun 2006 tercatat areal panen seluas 4.046 ha dengan jumlah produksi 5.052 ton. Sedangkan untuk komoditas kedelai, pada 2006 tercatat luas areal panen 9.884 ha dengan jumlah produksi 11.811 ton dan rata-rata produksi 12 ton per hektar.
 
Lalu produksi tanaman pangan masyarakat Papua, yakni ubi kayu. Pada 2005 luas tanam di Kabupaten Asmat mencapai 15,88 hektar, luas panen mencapai 13,65 hektar, dan produksi mencapai 28,66 ton. Kemudian ubi jalar, luas tanam 10,78 hektar, luas panen 10,10 hektar, dan produksi tercatat 18,18 ton. Pun demikian produksi ubi kayu di wilayah Kabupaten Mappi sebanyak 66,5 ton dari lahan seluas 8,35 hektar.
Perikanan dan Kelautan. Di peta bumi, terlihat Tanah Papua dikelilingi lautan luas. Tanah Papua sejatinya memiliki hasil laut yang banyak, karena berada di Samudera Pasifik yang amat luas. Salah satu kawasan laut yang memiliki sumberdaya ikan cukup potensial adalah perairan Laut Arafuru. Beragam jenis udang penaeid dan jenis ikan demersal tersedia di sana. Banyak perusahaan perikanan yang berpangkalan di Sorong dan Ambon melakukan perluasan penangkapan ikannya ke daerah ini (Merauke, Tual, Benjina dan Bitung).
Usaha penangkapan udang di perairan Laut Arafuru berlangsung sejak tahun 1970-an. Tahun 1984 tingkat pengusahaan udang menunjukkan kecenderungan yang tinggi. Kawasan perairan Laut Arafuru mampu memberikan kontribusi sekitar 30% dari total ekspor ikan Indonesia setiap tahun.
Sumberdaya ikan dan udang yang melimpah di perairan Laut Arafuru lantaran ketersediaan rantai makanan yang melimpah secara alami. Di sana ada dua bentuk basis rantai makanan yang berupa basis plankton, yakni arah tingkatan trofik yang merupakan plankton (ikan kecil) sebagai makanan ikan demersal/pelagis. Kemudian basis detritus, yaitu arah tingkatan trofik organisme pemakan detritus-sedenter/udang-ikan demersal.

Tahun 2001 yang lalu, nilai potensi tangkap lestari di perairan Laut Arafuru mencapai 43 ribu ton udang dan 200 ribu ton ikan demersal. Dengan dukungan 1.000 kapal pukat yang beroperasi saat ini, tidak mustahil hasil penangkapan ikan demersal dan udang bisa melampaui angka 300 ribu ton per tahun.

Berdasarkan hasil riset dan penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Laut tahun 2006, ditemukan 228 spesies mewakili 101 famili yang tergolong dalam 10 kelompok sumberdaya. Di antaranya ikan hiu (Shark), ikan pari (Rays), ikan pelagis, ikan demersal, cumi-cumi (Cephalopoda), udang, kepiting, kekerangan (Shell) dan beberapa biota invertebrata. Kelompok ikan demersal merupakan hasil tangkapan paling banyak yang mencapai 58,89 %, kemudian disusul ikan pelagis 11,36%, kepiting 9,88%, udang 7,80 % dan lainnya kurang dari 4%.

Kelompok ikan demersal yang tertangkap terdiri dari 135 spesies yang tergolong dalam 61 famili. Hasil tangkapan tersebut didominasi famili ikan petek (Leiognathidae) terutama jenis Leiognathidae bindus yang mencapai 19,57% dan famili ikan tiga waja (Scaidae) terutama jenis Otolithes rubber sekitar 11,41%.

Sedangkan tangkapan kelompok ikan krutase terdiri dari udang (shrimp) dan kepiting (crab). Jenis udang yang tertangkap meliputi 19 species yang mewakli 7 famili dan tangkapan yang tertinggi famili udang Peneidai yang mencapai 86,23%. Di mana jumlah terbanyak adalah jenis udang Metapenaopsis sp dan Tranchipenaeus asper. Pada kelompok sumberdaya kepiting yang ditangkap berasal dari 11 spesies.

Perkembangan armada penangkapan dari tahun ke tahun menunjukkan gelagat meningkat yang berbeda menurut jenis alat dan ukuran. Sebagian besar armada yang beroperasi di sana adalah perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal skala industri. Sedangkan kapal motor didominasi oleh armada berukuran 5 gross ton (GT).

Sebagian besar industri perikanan menggunakan alat tangkap yang berupa pukat udang dan pukat ikan. Setelah tahun 2000, jumlah armada pukat udang cenderung menurun. Namun ukuran rata-rata kapal mengalami peningkatan dari 128 GT pada tahun 1992 menjadi 139 GT pada tahun 2006. Berbeda dengan jumlah armada ikan yang cenderung bertahan pada kisaran 750 armada pada tahun 2006.

Kenyataan di lapangan saat ini, kondisi Sumberdaya Ikan (SDI) di Laut Arafuru menunjukkan gejala penangkapan berlebih (over fishing). Kondisi inilah yang melatar-belakangi dilaksanakannya Kegiatan Forum Arafuru pada tanggal 7 Juni 2007 di Hotel Bidakara, Jakarta. Secara spesifik Forum Arafuru menggambarkan kondisi SDI di perairan Laut Arafuru.

Rekomendasi Forum Arafuru: laju penangkapan ikan demersal di wilayah-wilayah utama mengalami penurunan terutama di wilayah Digoel dan Aru, indeks biodiversitas mengalami penurunan terutama di Perairan Digoel, jenis ikan demersal bernilai ekonomis tinggi di area paparan (shelf) mengalami penurunan, serta SDI pelagis dan demersal di area sepanjang tubir (slope) yang sebagian besar merupakan kawasan "untrawlable" belum dimanfaatkan secara optimal.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, Forum Arafuru memberikan beberapa alternatif dalam pengelolaan perikanan di Laut Arafuru, antara lain: pertama, penataan jalur/zona penangkapan. Kedua,  tidak dikeluarkan (penataan) izin penangkapan baru (status quo) untuk sementara waktu. Ketiga, proteksi area "trawlable" di beberapa perairan pantai yang secara ekologis kualitasnya telah menurun atau diketahui sebagai "nursery ground" melalui pemasangan terumbu/rumah ikan buatan ataupun close-open season.

Keempat, pengembangan alat tangkap rawai dasar, bubu, dan set net, sebagai alat tangkap "low energy input fishing technology" untuk mengeksploitasi sumberdaya di sekitar slope, reefs dan ridge. Kelima, pemberdayaan nelayan lokal (perikanan rakyat) melalui peningkatan infrastruktur dan kelembagaan (Majalah Demersal edisi Juli 2007).

Kota Sorong merupakan kota dengan jumlah produksi hasil ikan terbesar yaitu 32.135,7 ton per tahun. Kemudian (Kabupaten) Teluk Wondama sebesar 1.448,0 ton per tahun. Ikan cakalang merupakan jenis ikan yang paling banyak ditangkap yaitu sebesar 19.471,7 ton.  Sedangkan ikan Lidan dan ikan Lomei adalah jenis ikan dengan jumlah tangkapan terkecil yaitu sebesar 54,1 ton pada tahun 2005.
Di sektor perikanan, laut-laut di seputar Papua memiliki kekayaan berbagai jenis ikan, mulai dari pelagis besar, kecil, kerapu, udang, teripang, kerang, dan cakalang. Potensi lestari perikanan Papua sebesar 1.524.800 ton per tahun. Perikanan darat sebesar 268.100 ton/tahun (belum termasuk potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut dan tambak yang diperkirakan sebesar 1.663.200 ha).
Produksi perikanan tahun 2005 mencapai 209.210,3 ton, meningkat 13,29% dibanding produksi 2004 yang hanya mencapai 180.612,4 ton. Dari produksi perikanan, 95,83% merupakan hasil produksi perikanan laut dengan nilai produksi selama 2005 mencapai Rp2.215 miliar atau menurun 44,86% dibanding 2004 yang mencapai Rp2.451 miliar.
Sejak 2005 telah dibangun Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Kabupaten Sorong, Teluk Wondama dan Kabupaten Raja Ampat. Juga tengah dikembangkan perikanan budidaya seperti budidaya teripang di Kabupaten Teluk Wondama dan Fak-Fak; budidaya ikan kerapu di Kabupaten Sorong; budidaya rumput laut di Kabupaten Raja Ampat; budidaya kepiting di Kabupaten Kaimana; dan pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II).
Perairan di Teluk Bintuni menyimpan sumberdaya ikan dan udang dengan kepadatan 1.059 ton per Km2 dan 0,041 ton per Km2. Jenis yang banyak dimanfaatkan adalah udang galah, dengan tingkat produksi mencapai 150 ton per bulan. Potensi laut di Teluk Wondama sangat kaya, dengan hamparan terumbu karang dan ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Di kedua teluk itu terdapat jenis ikan tuna, ikan pelagis, ikan demersal, teripang dan lobster. Di tahun 2002 diperoleh 6.000 ton ikan tuna, 3.000 ton ikan pelagis, 1.500 ton ikan demersal, dan 14 ton teripang.

Hasil olahan dari laut yang lain, di antaranya 1,32 ton lobster beku, 0,05 ton sirip hiu, dan 5,07 ton minyak hati ikan cucut. Komoditi udang secara komersial juga diusahakan oleh PT Avona Mina Lestari di Kabupaten Kaimana untuk ekspor ke Jepang dan China. Sumberdaya laut lainnya adalah ikan kakap putih, kakap merah, kakap hitam, kerapu, bawal hitam, bawal putih, manyung, teri, kembung, tenggiri, sirip hiu, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut. Sedangkan perikanan darat arealnya mencapai sekitar 5.200 m2. Dari luas areal itu didapat 37,11 ton ikan perairan umum dan 35,34 ton ikan hasil budidaya air tawar.
Produksi perikanan Papua yang berorientasi ekspor adalah udang, tuna/cakalang, pelagis, demersal, ikan campur dan hasil olahan. Daerah industri-produksi perikanan laut misalnya di Kota Sorong (PT Usaha Mina), Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fak-Fak, dan Kabupaten Raja Ampat.
Budidaya laut di Tanah Papua kini telah berkembang dengan baik. Contohnya budidaya teripang dan rumput laut di Kabupaten Biak Numfor, Sorong dan Yapen Waropen. Kerang mutiara dan budidaya ikan dalam keramba (kurungan) tersebar di Sorong dan Fak-Fak. Sasaran kegiatan budidaya laut ditujukan pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau rawan gizi. Diutamakan pada keluarga nelayan yang tinggal di pesisir pantai dengan rumah berlabuh, sehingga pekarangan laut dapat dimanfaatkan buat kurungan ikan (keramba) sebagai hasil sampingan/kegiatan istri dan anak para nelayan itu sendiri. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Peternakan. Di Tanah Papua, peternakan juga berkembang dengan baik. Lahan yang luas dan tersedianya pakan ternak menumbuh-sumburkan peternakan yang ada. Jumlah populasi ternak besar dan kecil selama tahun 2005 umumnya mengalami peningkatan. Ternak kerbau pada 2005 naik 14,54% dari 1.131 ekor pada 2004 dan naik lagi menjadi 1.292 ekor pada tahun 2006.
Lalu, ternak kuda dari 1.576 ekor pada 2004 menjadi 1.501 ekor pada 2005 lalu meningkat menjadi 2.061 ekor pada 2006. Kenaikan persentase dialami ternak sapi (8,6%), kambing (5,37%) dan babi (19,50%). Pada tahun 2006, tercatat populasi sapi potong berjumlah 29.126 ekor, jumlah pemotongan per tahun 30.167 ekor, produksi daging sapi 657 ton/tahun dan rata-rata kepemilikan 4 ekor. Kambing dengan jumlah produksi 18.144 ekor dan jumlah produksi 100,98 ton/tahun dan babi sebanyak 35.977 ekor dengan jumlah produksi 571,96 ton/tahun. Populasi ternak kecil, antara lain ayam kampung naik 18,99%, ayam pedaging naik 90% dan ayam ras petelur meningkat 19,58%.
Lalu unggas, meliputi ayam buras dengan jumlah populasi 534.845 ekor, ayam petelur sebanyak 367.243 ekor/tahun dengan jumlah produksi telur sebanyak 289,67 ton/tahun dan jumlah peternak 35.000 peternak serta rata-rata kepemilikan per peternak 10 ekor/kk, ayam ras pedaging sebanyak 465.765 ekor/tahun dengan jumlah produksi telor sebanyak 33.587 ton/tahun dan jumlah peternak 55.211 peternak serta rata-rata kepemilikan per peternak 80 ekor/kk, itik sebanyak 94.511 ekor/tahun dengan jumlah produksi telur sebanyak 23.251 ton/tahun dan jumlah peternak 409,33 butir/tahun serta rata-rata kepemilikan per peternak 4 ekor/KK.
Dan kekayaan alam Papua yang tak boleh dilupakan adalah sagu. Di Papua, secara turun-temurun warga masyarakatnya mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok. Tuhan maha adil dan penuh kasih. Sang Maha Pencipta jagat raya ini menumbuh-suburkan pohon sagu di wilayah Tanah Papua.

Dalam bahasa Latin, sagu disebut Metroxylon. Sagu merupakan tanaman yang tumbuh dan tersebar di kawasan Asia Tenggara, Melanesia, beberapa pulau di kawasan Mikronesia dan Polynesia. Sagu diperkirakan berasal dari Papua dan Maluku (McClatchey dkk, 2004). Hutan sagu di Papua mencapai luas sekitar 1.200.000 ha dan budidaya sagu sekitar 14.000 ha. Tersebar di daerah Salawati, Terminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi dan Sentani. Diperkirakan sebaran alami Sagu Papua menempati 53% dari potensi sagu dunia dan mencapai 96% dari potensi sagu Indonesia (Flach,1997:21).

Sebagai tanaman pangan, sagu memiliki kandungan karbohidrat tertinggi (>80%) dibandingkan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung dan ketela pohon. Sagu mempunyai peluang besar sebagai sumber bahan baku proses produksi biofuel (Numberi, 2008). Biofuel adalah sumber energi alternatif masa depan yang ramah lingkungan. Setiap batang sagu menghasilkan sekitar 100 Kg tepung, setelah diolah akan menghasilkan 25 liter etanol.

Indonesia, dengan Lahan Sagu Abadi di Papua, sudah selayaknya tampil sebagai produsen biofuel berbahan baku pati sagu. Dengan lahan sagu abadi, Papua pun harus tampil menjadi industri produsen biofuel yang dikelola secara profesional oleh putra-putri bangsa Indonesia. Sebuah modal dasar dari kekayaan alam untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat Papua.

Melukiskan kekayaan alam Tanah Papua, sepantasnya rasa syukur kita semakin bertambah. Sumber daya alam yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi setiap hari dari bumi pertiwi seakan tiada habis-habisnya. Masih banyak sumber kekayaan alam yang belum dieksploitasi dan akan menjadi warisan generasi masyarakat Papua di kemudian hari.

Hanya sangat disayangkan, Tanah Papua yang kaya raya akan sumber daya alam belum diberdayakan secara optimal, adil, arif dan bijaksana demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat-masyarakat Papua. Eksploitasi tambang tembaga, emas dan perak oleh perusahaan asing malah ditengarai menimbulkan kerusakan lingkungan. Limbah berupa tailing yang dibuang rata-rata 260.000 ton hingga 291.000 ton per hari amat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Ibu pertiwi yang memayungi wilayah nusantara pun menangis. Pesta pora ekspatriat asing yang mengangkangi kekayaan alam Tanah Papua semakin tamak saja. Rakyat Papua yang bertempat tinggal di sekitar lokasi pertambangan hanya bisa memandangi lalu-lalang truk-truk pengangkut emas, tembaga dan perak dari pegunungan yang mereka angggap ‘ibu’. Praktis, mereka tidak tersentuh sedikitpun dari sisi ekonomi. Mereka masih beraktivitas sehari-hari ke hutan mencari makan dan mencari sesuatu yang dianggap berharga untuk dijual di pasar.

Sungguh keadilan yang dirasakan rakyat-masyarakat Papua kian hari dirasakannya makin jauh. Gegap gempita suara peralatan tambang di Tanah Papua seakan tidak mempedulikan rakyat-masyarakat Papua. Benar adanya pepatah berbunyi, “ayam mati (bukan hanya kelaparan) di lumbung padi”. Itulah keadaan sebenarnya yang harus membuka mata, hati dan pikiran bangsa Indonesia.

Rakyat masyarakat Papua masih hidup dalam keterbelakangan. Bahkan bisa dikatakan hidup selalu dalam kemiskinan. Baik kemiskinan di bidang pendidikan maupun ekonomi. Rakyat-masyarakat yang masih berdiam di pegunungan dan masih memperkukuh kesukuannya bahkan jauh dari jangkauan pembangunan manusia itu sendiri. Mereka masih hidup dalam keterbelakangan, bahkan bisa dikatakan belum mengenal baca dan tulis. Laporan Biro Pusat Statistik (2006) menunjukkan 47,99% dari total 2,4 juta jiwa penduduk Papua tergolong miskin.

Padahal, sumber daya alam yang melimpah ruah di dalam perut Bumi Cenderawasih sejatinya dapat dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat-masyarakat Papua itu sendiri. Rakyat-masyarakat Papua harus menjadi subyek pembangunan sumber daya manusia itu sendiri. Mereka harus menikmati kekayaan alam yang melimpah dengan makin meningkatnya indeks pembangunan manusia. Bayangkan saja, Tanah Papua yang kaya raya, Indeks Pembangunan Manusianya paling rendah di Indonesia. ***


Boks Tulisan
Destinasi Wisata Dunia,
Kidung Agung Bumi Cenderawasih

Selain kekayaan alam, wilayah Tanah Papua pun kaya akan ragam sosial-budaya. Ribuan suku yang mendiami wilayah pegunungan, daratan dan pesisir Papua mempunyai aneka ragam sosial-kultural yang unik dan berbeda-beda. Sosial-kultural suku yang mendiami pegunungan sudah tentu berbeda dibandingkan sosial-kultural suku yang mendiami daratan dan pesisir. Tanah Papua makin eksotik dan menampakkan keaneka-ragaman yang sejatinya merupakan anugerah dari Tuhan Sang Maha Pencipta.
Keragaman sosial budaya yang ada telah menjadikan Tanah Papua bukti kasih Tuhan Sang Maha Pengasih. Bahwasanya keaneka-ragaman suku yang tercermin pada kekayaan sosial-kultural itu menunjukkan agar tiap-tiap suku yang ada itu saling mengenal, saling berinteraksi dan saling menjalin tali silaturahim. Buktinya, di Tanah Papua yang eksotik itu suku-sukunya mempunyai acara adat yang mengikatkan talisilaturahmi antar suku, baik suku yang ada di pegunungan, daratan maupun pesisir. Dan, kekayaan itu menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Tanah Papua yang didiami ratusan suku tentu saja mempunyai obyek wisata cagar budaya. Di antaranya cagar budaya sejumlah suku asli Sekar di Kaimana, Suku Sough Meyakh di Manokwari, dan Suku Wamesa di Teluk Wondama. Setiap suku memiliki kekayaan tradisi dan bahasa berbeda satu dengan lainnya. Cagar budaya itulah yang mengukuhkan Bumi Cenderawasih sebagai terjemahan penciptaan Tuhan, di mana diciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sungguh jelas, indah dan agung jika diresapi keanekaragaman yang ada di wilayah Tanah Papua.
Tapi pesona wiata Tanah Papua tidak cuma datang dari kekayaan sosial-kultural. Seudah sejak lama mengundang decak kagum masyarakat dunia. Beragam potensi wisata seakan memperkukuh jati diri Papua sebagai Tanah Yang Diberkati Tuhan. Tanah yang indah sekaligus memiliki potensi ekonomis yang tinggi dan strategis. Dari potensi wisata, bisa kita bagi menjadi ekowisata, wisata bahari dan sejarah.
Daya tarik utama pariwisata wilayah Tanah Papua terletak pada ecotourism, terutama alam tropis dengan keaneka-ragaman spesies dan keindahan biotanya, baik flora maupun fauna. Keberadaan berbagai taman nasional, cagar alam, suaka alam dan kekayaan flora dan fauna baik di daratan (terestrial) maupun di air (akuatik) serta perkampungan tradisional dan cagar budaya etnikal ini merupakan aset wisata alam untuk dikembangkan sebagai salah satu obyek dan atraksi di berbagai daerah tujuan wisata.

Dan Papua layak mengusung konsep ekowisata sebagai inti paradigma pariwisata modern. Konsep ekowisata diusung untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan kerusakan lingkungan akibat aktivitas wisata. Konsep ekowisata berwawasan pelestarian lingkungan, kepedulian terhadap budaya lokal dan pemanfaatan potensi alam yang bertanggung-jawab. Hal itu karena wisatawan yang akan melakukan tour ekowisata berasal dari berbagai latar belakang ilmu mulai dari peneliti, lembaga atau institusi sampai kepada peminat fotografi alam liar dan pecinta lingkungan.

Dengan konsep ekowisata, kepentingan wisatawan yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu mulai dari peneliti, lembaga atau institusi sampai kepada peminat fotografi alam liar dan pecinta lingkungan bisa terakomodasi dengan baik. Dengan konsep ekowisata, nilai jual berbagai obyek wisata makin tinggi serta makin bagus dalam promosi ke mancanegara. Setidaknya, dengan konsep ekowisata, penataan manajemen obyek wisata semakin profesional.

Ekowisata yang ada di Tanah Papua. Ekowisata hutan yang menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna akan banyak diminati oleh para ilmuwan untuk obyek penelitian. Ada Taman Nasional Wasur yang merupakan salah satu kawasan pelestarain alam yang memiliki keanekaragaman potensi SDA yang sangat kompleks baik itu ditinjau dari sudut pandang kenakeragaman hayati maupun keragaman budaya etnikal. Sehingga memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai basis ekowisata di Papua Selatan.

Obyek ekowisata Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih pun tak kalah unik. Kawasan ini menjadi salah satu kawasan andalan kepariwisataan yang berpotensi untuk dikembangkan lebih baik lagi. Letak geografis yang strategis di tepi barat Samudera Pasifik, menjadikan kawasan Teluk Cenderawasih merupakan gerbang utama untuk memasuki persada nusantara.

Di kawasan Teluk Cenderawasih terdapat Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih yang merupakan taman laut terluas di Indonesia serta taman wisata laut berstandar internasional. Keanekaragaman satwa di kawasan ini berupa 200 jenis coral (karang), 355 jenis ikan, 153 jenis moluska, 5 jenis reptil, 3 jenis mamalia air dan 37 jenis burung. Potensi wisatanya meliputi wisata mangrove, penangkaran rusa, wisata pantai, sumber air panas, diving, observasi burung Jinai Mas, observasi lumba-lumba dan ikan paus.

Di kawasan itu terdapat pula Taman Laut Padaido. Di situ terdapat 17 pulau yang masih sangat bagus kondisi terumbu karangnya dan layak dijadikan sebagai destinasi penyelaman (diving destination) yang menawan hati. Demikian pula Taman Laut Pulau Rani-Mapia yang memiliki sangat banyak karang merah (gorgonion) serta sebaran terumbu yang alami dan indah. Terakhir, Taman Laut Pulau Meos-Indi yang begitu indah dengan sebaran terumbu karang keras. Di sekitar pulau ini (Pom dan Srewen) bisa dijumpai berbagai jenis burung Cenderawasih.

Dari Teluk Cendrawasih ke arah barat menuju wilayah (kini Kabupaten) perairan laut Raja Ampat. Raja Ampat kaya akan keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove dan pantai tebing berbatu yang indah. Keunikan spesies yang tinggi dengan ditemukannya 1.104 jenis ikan, 669 jenis moluska dan 537 hewan karang semakin mengukuhkan Raja Ampat sebagai lokasi warisan dunia (world herritage site) oleh Pemerintah Indonesia.

Raja Ampat dikenal sebagai salah satu dari 10 obyek wisata menyelam terbaik di dunia. Pesona dan kekayaan alam bawah laut menjadi andalan (Kabupaten) Raja Ampat menembus persaingan dunia pariwisata di Indonesia dan dunia. Kawasan ini dikenal sebagai pusat sumber daya alam tropis terkaya di dunia. Dan, kini Raja Ampat sangat dikenal wisatawan luar negeri. Meskipun infrastrukturnya belum memadai, Raja Ampat mampu menyedot wisatawan mancanegara sebanyak 5 ribu orang pada 2009.

Setelah menyaksikan keindahan panirama bawah laut Raja Ampat, kita bisa menikmati panorama senja di Pantai Kaimana yang berpasir putih. Sangat orang begitu terkesima dengan panorama senja di Pantai Kaimana. Sampai-sampai ada seniman bernama Surni Warkiman menciptakan lagu kenangan berjudul ”Senja di Kaimana” yang dipopulerkan oleh penyanyi Alfian. Di Kaimana kita dapat pula menyaksikan situs-situs prasejarah.

Panorama pantai yang tak kalah indah lainnya dapat kita lihat di Pantai Fak-Fak. Selain dihiasi terumbu karang dengan biota lautnya yang indah, di sini ada pemandangan langka di mana kita bisa menyaksikan spesies ikan duyung. Lalu Pantai Tanjung Kasuwari di Sorong juga sangat menarik untuk dinikmati. Udaranya sejuk, pasirnya putih serta air lautnya yang jernih.
Kemudian Pantai Holtekamp. Di hari Raya Idul Fitri, warga kota Jayapura selalu memadati Pantai Holtekamp yang merupakan satu lokasi tujuan wisata favorit. Pemandangannya indah dan ombaknya bagus. Tempat rekreasi lainnya adalah Tanah Tinggi (Kabupaten Boven Digoel) yang berada di tepian Sungai Ampera. Berpanorama sangat elok. Lokasi ini merupakan tempat pengasingan Bung Hatta, sang proklamator kemerdekaan RI.
Tanah Papua terlihat semakin penuh pesona dengan keberadaan kawasan cagar alam. Misalnya kawasan cagar alam pegunungan Arfak di Manokwari, dengan kekayaan kupu-kupu sayap burung (bird-wing butterfly) dari spesies Ornithoptera-spp dan Trides-spp yang diklaim beberapa peneliti telah langka keberadaannya di pegunungan itu. Wisatawan yang pernah datang meneliti dan mengamati burung dan kupu-kupu itu berasal dari Belanda, Jepang, Cina, Perancis dan Eropa Timur.

Di wilayah (kini Kabupaten) Tolikara terdapat Cagar Alam dan Taman Nasional Lorenz serta Gunung Timoini di mana terdapat fauna dan flora yang dilindungi. Pun Hutan Lindung Gunung Meja dan kawasan hutan mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni tak kalah indahnya. Begitu pula Hutan Wisata Bariat (Sorong Selatan) yang penuh daya tarik.
Gunung Jaya Wijaya yang berselimut salju, dan indahnya panorama Danau Sentani, Danau Anggi Giji, Danau Anggi Gita, Danau Ayamaro, Danau Uter (Sorong Selatan) serta Air Terjun Kohin (Sorong Selatan) seakan wujud kidung Sang Maha Pencipta.
Tanah Papua juga merupakan wilayah dalam lintasan sejarah dunia. Ada obyek-obyek wisata yang mengandung nilai sejarah. Misalnya Goa Jepang (Japanese Cave atau dalam bahasa Biak disebut Abyau Binsari) di Biak. Goa itu pernah digunakan sebagai benteng pertahanan tentara Jepang di tahun 1943. Lalu ada Pulau Owi, saksi bisu Perang Dunia II. Pulau tersebut dijadikan landasan utama untuk mematahkan kekuatan 11.000 balatentara Jepang yang bertahan di goa-goa yang saling berhubungan.

Kita pun dapat berwisata rohani ke Pulau Mansinam, di mana setiap tanggal 5 Februari dilaksanakan ritual peringatan masuknya Injil di Tanah Papua. Ribuan orang Papua berziarah ke pulau bersejarah ini. Di pulau ini terdapat Tugu Injil Masuk Papua, dengan sebuah prasasti berbahasa Belanda dan bahasa Numfor.
Kini pekerjaan kita adalah bagaimana membenahi berbagai sarana penunjang kepariwisataannya. Misalnya pengembangan infrastruktur (fasilitas umum jalan, bandar udara, program sosialisasi sadar wisata, dan program promosi budaya) agar gerak langkah Papua menjadi salah satu destinasi wisata dunia bisa terwujud. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar