PAPUA YANG KAYA RAYA
MODAL DASAR MELANGKAH KE MASA DEPAN
Kita
harus mempertahankan kelestarian alam di Papua ini, bukan saja untuk
kepentingan generasi kita, tetapi juga untuk generasi-generasi yang akan dating
Susilo Bambang
Yudhoyono
(Presiden Republik
Indonesia)
Wilayah
Tanah Papua, tanah yang diberkati Tuhan (the blessed land), laksana
mutiara di timur Indonesia. Lingkungan wilayah Tanah Papua, pulau terluas di
persada ini, bak kidung agung sebuah orkestra alam yang melantunkan syair-syair
merdu dan gerakan yang harmonis tentang kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan
di muka bumi. Wilayah Tanah Papua selalu memancarkan sejuta pesona dan
menyimpan beragam kekayaan. Di dalam perut Bumi Cenderawasih, sang burung dari surga itu,
terkandung limpahan tambang minyak bumi, gas alam, batubara, uranium, nikel, tembaga, perak
dan emas.
Kemudian, di permukaan
tanah wilayah Papua, pesona pemandangan alam yang begitu indah yang amat
memanjakan mata. Gunung-gunung yang menjulang tinggi ke
angkasa dengan salju abadi bagai relief terpahat
di dinding bumi. Juga, kehidupan beragam flora dan fauna yang memperkaya anak
manusia yang mendiami. Lalu, lautnya yang luas mengitari daratan dengan
berjuta-juta hasil perikanan dan udang, serta karang dan kehidupan biota yang
menarik hati.
Panorama Papua
semakin lengkap dengan keberadaan anak manusia dengan beragam etnik atau suku
beserta nilai-nilai sosial-budaya dan peradabannya. Lebih dari itu, Papua pun
memiliki mutiara terpendam yang selama ini praktis belum diberdayakan, yakni potensi
wisata sejarah yang bernilai jejak historis tinggi dan berkelas dunia. Wilayah
Tanah Papua pernah menjadi ajang perang dahsyat antara pasukan Sekutu dan
balatentara Jepang semasa Perang Dunia II.
Kemilau pesona dan
keagungan ciptaan Tuhan di Tanah Papua bisa dilihat di Kawasan Teluk Cenderawasih,
yang meliputi wilayah Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Yapen Waropen, Nabire,
Teluk Wondama dan Manokwari. Selain tersimpan kekayaan beraneka hasil tambang,
hutan produksi penghasil kayu, peternakan dan perkebunan, Teluk Cendrawasih
juga memiliki sejumlah produk wisata (Obyek dan Daya Tarik Wisata, ODTW) yang
begitu eksotik dan naturalistik. Mulai dari destinasi wisata sejarah, wisata
rohani, wisata bahari, ekowisata, hingga wisata budaya.
Luas Tanah Papua
421.981 Km2 (22 % dari luas Indonesia). Wilayahnya menempati setengah (bagian
barat) Pulau New Guniea. Membujur dari barat ke timur (Sorong-Jayapura)
sepanjang 1.200 Km2. Dari utara ke selatan (Jayapura–Merauke)
sejauh 736 Km2. Papua adalah Tanah yang diberkati Tuhan (the blessed
land). Tanah Papua, pulau terluas dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini selalu memancarkan sejuta pesona dan menyimpan beragam
kekayaan. Ibu pertiwi pun bangga dengan Sang Putera Fajar ini. Kandungan kekayaan
alam perut Bumi Cenderawasih cukup untuk cadangan devisa satu abad lagi.
Menjejakkan
kaki di Bandara Sentani (Jayapura) lalu menuju ke pusat Kota Jayapura, kita
akan benar-benar disuguhi pemandangan
alam yang memancarkan kebesaran dan kemuliaan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di Tanah
Papua. Sepanjang perjalanan, kita akan melewati Abepura dan Kota Raja. Kita
ditakjubkan oleh perbukitan yang mengandung emas dan aneka tambang lainnya. Juga hamparan hutan
dan Danau Sentani dengan kekayaan ikan
endemiknya. Bagi kalangan
bisnis dan investor, ada sejuta inspirasi dan obsesi ekonomis di situ.
Hal serupa juga bisa kita rasakan tatkala kita mendarat di Bandara Frans Kaisiepo
(Biak), lalu dilanjutkan ke Serui (Yapen Waropen), Manokwari atau Nabire di kawasan Teluk Cenderawasih dengan pelayaran lalut. Elok nian pemandangan laut di sana. Atau kita
‘terbang’ dari Timika ke Wamena di bagian tengah, tempat terbujurnya
“pegunungan emas” Jayawijaya. Pun manaka kita berpesiar di Merauke, pintu
gerbang selatan dataran rendah Tanah Papua yang amat potensial untuk agroindustri.
Tak salah, bila Papua disebut-sebut sebagai lumbung pangan dan energi Indonesia
masa depan karena ragam kekayaannya yang demikian besar.
Sungguh, Tuhan Yang
Maha Kasih telah menunjukkan cinta-Nya kepada bangsa Indonesia. Sebuah karunia
kekayaan alam sebagai modal kejayaan suatu negeri, jika dikelola dengan baik
dan amanah. Tuhan telah memberikan sejuta potensi, yang sudah selayaknya bukan cuma
untuk disyukuri, namun harus dikelola sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat
Indonesia. Sebuah tantangan bagi anak negeri untuk menggali dan mengolah serta
mengelola kekayaan alam Tanah Papua. Seberapa besar potensi alam Papua, mari
kita lihat satu per satu berikut.
Pertambangan. Tanah Papua merupakan pulau yang terbentuk dari endapan
(sedimentation) benua Australia dan pertemuan/tumbukan antara lempeng
Asia (Sunda Shelf) dan lempeng Australia (Sahul Shelf) serta lempeng Pasifik. Tumbukan
kedua lempeng tersebut lalu mengangkat endapan dari dasar laut Pasifik yang
paling dalam ke atas permukaan laut sehingga menjadi sebuah daratan baru.
Akibat dari adanya endapan tersebut, Tanah Papua banyak mengandung bahan galian
golongan A, B dan C seperti emas, perak, tembaga, aluminium, batu kapur dan
uranium.
Tumbukan lempeng itu juga mengangkat fosil
makhluk hidup yang kemudian membentuk
bahan bakar fosil seperti minyak, gas bumi dan
batubara. Perairan Papua yang merupakan
bagian dari perairan laut Indonesia, membujur
dari barat hingga timur, sangat kaya sumberdaya energi dan mineral. Indonesia
memiliki 60 cekungan besar yang mengandung minyak dan gas di lepas
pantai. Sebanyak 11 cekungan sudah berproduksi, yakni Cekungan Sumatera
Utara, Cekungan Sunda, Cekungan Jawa Timur, Cekungan Bone, Cekungan Kutai,
Cekungan Seram, Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni. Dua cekungan yang teakhir berada di wilayah Papua.
Untuk mengekplorasi
Cekungan Bintuni maka dibuatlah proyek LNG Tangguh di Desa Tanah Merah,
Kecamatan Babo, Kabupaten Merauke. Sedangkan pembangunan kilang di kawasan
Teluk Bintuni dilakukan oleh British Petroleum (BP) Indonesia. Lapangan
dengan cadangan raksasa gas alam cair, kala itu oleh Presiden Soeharto diberi nama
”Tangguh” --yang semakin mengkukuhkan Indonesia
sebagai eksportir gas alam cair terbesar di dunia.
Sejak 2008, BP Indonesia
mulai mengeksplorasi gas alam (LNG) Tangguh di daerah (kini - Kabupaten) Teluk Bintuni. Diprediksi,
cadangan gas alamnya mencapai 23,7 triliun kaki kubik (TCF). BP Indonesia Tangguh
akan memproduksi LNG sekitar 7,65 juta ton per tahun selama 20
tahun. Teluk Bintuni juga mengandung minyak bumi sekitar 45 juta barel.
Di Pantai Utara Salawati (Kabupaten Raja Ampat)
diperkirakan terdapat potensi deposit cadangan minyak bumi sekitar 200 juta barel, yang dapat dieksploitasi selama 20 tahun (Fere dan Rumere, 2006). Saat ini hak pengusahaan tambang minyak di wilayah tersebut
dipegang oleh PT Pearl Oil Salawati Papua. Jauh sebelumnya, di tahun 1930-an, wilayah (kini Kabupaten Sorong Selatan, Distrik Teminabuan) terdapat perusahaan
Belanda, Nederlandsch
Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM), yang mengeksplorasi minyak bumi.
Di wilayah Tanah Papua, membujur
pegunungan yang bukan saja berpanorama indah, tapi kaya tambang tembaga, emas dan perak. Penelitian
menunjukkan bahwa pegunungan itu merupakan ’harta karun’ tiada tara di dalam perut bumi. Sangat bernilai
ekonomis tinggi, buat modal kemajuan Papua di masa depan.
Pegunungan yang oleh suku-suku di Papua dianggap ’ibu’ (dikeramatkan), mau
tidak mau ’perut gunung’ itu dieksplorasi dan dieksploitasi untuk dikeluarkan bijih-bijih tembaga,
emas, perak dan sejenisnya.
Di tahun 1528, seorang pelaut Spanyol bernama Alvaro De
Saavedra yang berlayar ke Mexico sempat singgah di pesisir pantai utara Papua.
Ketika itu Alvaro De Saavedra melihat pasir kuarsa bercampur emas di Korido
(sekarang Ibukota Kabupaten Supiori). Alvaro De Saavedra memberi nama
wilayah yang disinggahinya Isla Del Oro
(Island of Gold) atau Pulau Emas. Makanya sejak dahulu, Tanah Papua
menjadi obyek rebutan berbagai bangsa di dunia karena kelimpahan
sumberdaya alamnya.
Kekayaan alam tambang Tanah Papua mulai terpublikasi ketika pada tahun 1936 seorang geolog bernama Jean Jaques Dozy melakukan ekspedisi pencarian minyak bumi di Pegunungan Tengah. Jean Jaques Dozy menemukan sebuah
bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 meter yang kaya akan unsur
tembaga. Dia lantas mengambil sampel untuk dikirim ke
Universitas Leiden di Negeri Belanda. Jean Jaques Dozy kemudian menamakan bukit
tersebut Erstberg, yang artinya gunung bijih. Kala itu, laporan
ekspedisi tersebut sebenarnya dianggap tidak berguna. Hanya tersimpan selama bertahun-tahun
begitu saja hingga berdebu di perpustakaan Belanda.
Di tahun 1959, sebuah perusahaan tambang bernama
Freeport Sulphur yang beroperasi di Kuba, nyaris bangkrut, lantaran terjadi
pergantian kekuasaan di Kuba. Pengapalan hasil tambang nikel produksi
perdananya terkena imbasnya akibat ketegangan politik yang terjadi ketika itu. Di tengah
situasi yang penuh ketidak-pastian itu, pada Agustus 1959, Direktur
Freeport Sulphur Forbes Wilson melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana
East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Dalam pertemuan itu, dengan berapi-api, Jan van Gruisen bercerita bahwa dirinya
menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Erstberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang
ditulis oleh Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Selain memaparkan
tentang keindahan panorama alamnya, dalam laporan ekpedisi itu, Jean Jaques
Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang melimpah. Kandungan biji
tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Erstberg itu terhampar di atas
permukaan tanah, tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar cerita itu, Forbes Wilson sangat antusias. Dia pun segera
melakukan perjalanan ke Irian Barat, untuk mengecek kebenaran cerita tersebut.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson yang juga pakar pertambangan itu melakukan survei dengan seksama atas
Gunung Erstberg dan wilayah sekitarnya. Hasil
penelitian itu lalu ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of
Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun
terbesar. Dan, untuk memperolehnya tidak perlu menggali
lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.
Bila dilihat dari udara, saat diterpa sinar matahari, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan. Wilson juga
mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Sebab, selain dipenuhi
bijih tembaga, gunung tersebut ternyata dipenuhi pula bijih emas dan perak.
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung
Tembaga. Dia memperkirakan Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga
tahun bisa kembali modal. Wilson pun bergerak cepat. Pada 1 Februari 1960,
Freeport Sulphur menandatangani kerjasama dengan East Borneo Company untuk
mengeksplorasi Gunung Erstberg.
Lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan hampir sama seperti di Kuba.
Sekitar tahun 1962-1963 terjadi perubahan eskalasi politik atas
tanah Irian Barat. Hubungan Indonesia dan Belanda memanas. Presiden Soekarno
mulai menerjunkan pasukan di Irian Barat untuk memaksa Belanda hengkang dari wilayah Tanah Papua. Dampak
dari sikap Belanda mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama
dengan East Borneo Company mentah kembali.
Ketika terjadi pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru tahun 1966, para pimpinan
Freeport berusaha mencari akses buat mendekati elit kekuasaan Orde Baru.
Adalah Julius Tahija, seorang petinggi di perusahaan eksplorasi minyak bumi Caltex, yang mempertemukan Forbes Wilson dengan Ibnu Soetowo, yang waktu itu Menteri Pertambangan
dan Perminyakan.
Di tahun 1967 lahir Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang menjadi pintu masuk bagi investasi di Indonesia. Lantas, masuklah Freeport sebagai perusahaan pertambangan
asing pertama. Kontrak karyanya ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 April 1967. Freeport
memegang hak eksklusif untuk mengelola daerah konsesi 10x10 Km2
atau seluas 100 Km2 di sekitar Gunung Erstberg. Diperkirakan
terdapat 2,5 miliar ton batuan bijih tembaga dan emas di sana.
Lalu beroperasilah pertambangan modern pertama Freeport di
gletser Gunung Jayawijaya, tepatnya di Gunung Bijih. Desember 1967, dimulailah
pengeboran untuk studi kelayakan. Studi baru selesai tahun 1969, kemudian dilanjutkan ke tahap
konstruksi tahun 1969-1972. Guna membangun konstruksi,
Freeport menggandeng perusahaan AS, Bechtel.
Pada 1972 kali pertama dilakukan pengapalan konsentrat tembaga ke Hibi, Jepang. Sejak itu,
mulai babak baru Papua menjadi pengekspor konsentrat tembaga. Produksi
Freeport saat itu mencapai 8.000 ton bijih/hari. Lalu meningkat 18.000 ton
bijih/hari. Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan
menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dolar AS per tahun.
Selama rentang waktu 1967–1988, Freeport menemukan sejumlah
endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur, zona tengah (Intermediate Ore Zone /IOZ), zona dalam (Deep Ore zone /DOZ) dan Dom. Tahun 1988,
Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang
cukup ekonomis, dengan cadangan lebih dari 400 Metrik Ton (MT) yang merupakan
endapan tunggal terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan
investasi yang cukup besar. Sehingga, diperlukan adanya
jaminan perpanjangan kontrak karya.
Sebab itu, pada 30 Desember 1996, ditandatangani
perpanjangan kontrak karya Freeport dengan Pemerintah Indonesia. Dalam kontrak perpanjangan ini, obyek penambangan dibagi menjadi 2 blok, yaitu Blok A yang merupakan
daerah kontrak karya lama dan Blok B seluas 1,9 juta ha. Wilayah
eksploitasi Freeport bertambah 154 kali (menjadi 2,6 juta hektar). Cadangan
bijih tambang Freeport pun melesat menjadi 768 juta MT dengan produksi
rata-rata 66.000 ton per hari.
Tidak heran bila mulai 1996 terjadi “booming” investasi
pertambangan di wilayah Tanah Papua. Hingga akhir tahun 2000,
terdapat 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3
perusahaan di bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Tanah Papua.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis buku
berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman. George A. Maley memaparkan bahwa
tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia. Sedangkan
bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia.
George A. Maley menulis berdasarkan data tahun 1995. Data itu menunjukkan bahwa di areal itu tersimpan cadangan bijih tembaga senilai 40,3 miliar dolar AS
dan masih akan menguntungkan selama 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan
bangga juga menulis kalau biaya produksi tambang emas dan tembaga
terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Hingga akhir 2003,
seluruh cadangan Grasberg (berikut cadangan bawah tanah di sekitar kawasan
Grasberg-Erstberg) mencapai 2,6 miliar ton bijih dengan kandungan 39,7 miliar pounds tembaga dan 46,6
juta ons emas, dengan produksi 240.000 MT bijih per hari. Ini belum termasuk
cadangan perak yang juga amat melimpah.
Kini, Grasberg telah
disulap menjadi kawasan pertambangan super modern, lengkap dengan sarana dan
prasarana serta teknologi paling mutakhir, yang melibatkan 15.000-20.000 orang
pekerja. Juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas
mutakhir laiknya sebuah kehidupan kota modern. Oleh
Presiden Soeharto, kawasan itu dinamakan Tembagapura.
Produksi emas PT Freeport Indonesia tahun 2009 sekitar 2,785 juta troy
ounces. Tembaga sekitar 1,596 miliar pounds. Freeport merencanakan pemrosesan
bijih di pabrik pengolahan sebanyak 235.000 ton per hari dengan kadar tembaga
0,9 persen dan emas 0,9 gram per ton. Bijih tersebut berasal dari tambang
terbuka Grasberg sebanyak 155.000 ton per hari dan bawah tanah 80.000 ton per
hari.
Pengolahan bijih ini akan menghasilkan
konsentrat dengan kadar tembaga rata-rata 26,5 persen dan kadar emas 24,7 gram
per ton. Setelah tahun 2015 tambang di Freeport akan berubah menjadi tambang
bawah tanah. Dengan cadangan yang ada, setelah 2015 akan lebih ekonomis dengan tambang
bawah tanah.
Status cadangan terbukti bijih per 31 Desember 2008 sebanyak 2,66 miliar
ton dengan kadar tembaga rata-rata 1,01 persen, kadar emas rata-rata 0,89
gram/ton, dan kadar perak rata-rata 4,26 gram/ton. Sementara itu, jumlah
kandungan logam secara keseluruhan terdiri dari tembaga sebanyak 59,3 miliar
pounds, emas sebanyak 76,1 juta troy ounces dan perak sebanyak 365,3 juta troy
ounces. Cadangan terbukti ini berasal dari Grasberg, DOZ/Ertsberg Stockwork
Zone, Deep Mill Level Zone, Big Gossan, dan Kucing Liar. Saat ini, sebanyak 41
persen dari total konsentrat yang dihasilkan buat memenuhi kebutuhan domestik.
Sisanya, diekspor ke Swedia, Jerman, Finlandia, Bulgaria, China, Filipina,
Korea, India, Jepang, dan Spanyol.
Potensi tambang lain, seperti batubara diprediksi
sekitar 6,3 juta ton, tersebar di Kabupaten Manokwari yang meliputi Distrik Horna (besar potensi 4.000.000 ton), Distrik Muturi (20.202.000
ton), dan Distrik Tembuni (6.240.500 ton). Batubara terdapat
pula di Kabupaten Sorong: Distrik Aifat (30.000.000 ton), Kota Sorong
(35.000.000 ton); Distrik Salawati dan Distrik Seget (75.000.000 ton). Lalu di Kabupaten Teluk
Bintuni sekitar 14,3 juta ton, tersebar di Distrik Bintuni, Distrik Tembuni, Distrik Babo dan Distrik Arandai.
Kemudian potensi tambang mika, bahan pembuatan kaca, sekitar 150 juta MT, tersebar misalnya
di Teluk Wondama-Distrik Wasior Utara 90,11 juta metrik ton. Batu gamping di
atas areal seluas 190.000 hektar, pasir kuarsa seluas 75 hektar (potensi hasil
21,5 juta ton), lempung sebanyak 1,2 juta ton, marmer sebanyak 350 juta ton dan
granit sebanyak 125 juta ton. Pasir besi, nikel dan krom juga melimpah ruah di
Tanah Papua.
Lalu tambang uranium.
Mengenai kandungan uranium di tanah Papua,
kita bisa merujuk kabar dari peta-peta uranium di seluruh dunia. Secara
internasional sudah diketahui negara-negara mana yang memiliki kandungan
uranium yang meyakinkan atau signifikan. Dan Indonesia tidak termasuk dalam
kategori negara yang punya cadangan uranium yang meyakinkan itu. Uranium adalah
bahan bakar reaktor nuklir dan senjata nuklir yang nilainya jauh lebih tinggi
dibanding emas. Penambangan uranium memiliki dampak yang sangat besar terhadap
lingkungan.
Sebuah laporan mengagetkan dari seorang anggota Komisi C Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Papua, Yan Permenas Mandenas. Mandenas menyatakan bahwa secara diam-diam PT Freeport
Indonesia telah memproduksi uranium sejak awal 2010. Freeport telah mengambil kekayaan alam
di Papua ini selain emas. Dari laporan anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Papua yang digali dari para karyawan dan beberapa masyarakat ini diketahui bahwa, selain berupa konsentrat, Freeport juga mengeruk
uranium.
Menteri
Lingkungan Hidup era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) Sonny Keraf melihat selama ini apa yang
dilakukan Freeport tidak transparan. Dan pemerintah tidak tegas dan serius. Bahwa Freeport mendapatkan konsesi memang
benar, tapi harus ada koridor, laporan yang transparan untuk mengetahui apa
saja mineral yang digali, seberapa banyak emas yang dihasilkan, dan adakah energi lainnya.
Potensi lainnya adalah sumber energi listrik dari derasnya arus aliran sungai. Wilayah Tanah Papua banyak
dialiri sungai yang arusnya sangat potensial untuk dijadikan sumber pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tim
ahli dari Jepang, diperkirakan belasan sungai berpotensi sebagai pembangkit
listrik. Antara lain Sungai Mamberamo 9.932 Megawatt (MW),
Sungai Eilanden 2.291 MW, Sungai Tuuga 1.625, Sungai Waranai 1.583 MW, Sungai
Digul 1.522 MW, Sungai Kasi 593 MW, Sungai
Kamundan 461 MW, Sungai Sebyar 458 MW, Sungai Aiman 309 MW, Sungai Siriwo 310
MW dan Sungai Otokwa 297 MW.
Kehutanan. Sekitar 90 persen daratan wilayah Tanah Papua berupa
hutan tropis yang sangat lebat, karena berada pada jalur garis khatulistiwa. Luas
hutan di Papua mencapai 39.370.496,12 hektar. Alokasi fungsi hutan terbagi atas
hutan konservasi seluas 6.436.923,05 hektar, hutan lindung 9.395.088,50 hektar,
hutan produksi tetap 9.607.246,57 hektar, hutan produksi terbatas 2.862.848 hektar,
dan hutan yang dapat dikonversi 8.855.158 hektar, hutan suaka alam dan
pelestarian alam seluas 1.885.323 hektar, dan hutan lainnya seluas 327.909 hektar.
Secara fisik, total potensi hutan di Papua cukup besar.
Namun kurang ekonomis lantaran potensi per hektar sangat rendah, yakni 35 m³/ha untuk jenis komersial dan 61
m³/ha untuk semua jenis. Selain potensi per hektar sangat rendah, sebagian besar kayunya
terdiri dari jenis-jenis yang belum dikenal di pasaran (belum komersial) serta keadaan topografinya sangat berat. Sebagian besar wilayah Tanah Papua tidak terdapat
sungai yang dapat dijadikan sarana angkutan sehingga biaya eksploitasinya
sangat mahal.
Sebab itu, berkenaan dengan pengelolaan hutan
produksi lestari, diperlukan perencanaan yang disusun berdasarkan pada kondisi
potensi hutan yang ada. Dengan demikian perhitungan potensi hutan bersama-sama
dengan perhitungan kawasan hutan mempunyai peran yang sangat vital dalam
perencanaan pengelolaan hutan produksi.
Belantara hutan Tanah Papua dipadati lebih dari 1.000 spesies tanaman. Lebih dari 150 varietas merupakan tanaman
komersial. Jenis-jenis hasil hutan kayu yang
dimanfaatkan dikelompokkan: Kelompok Meranti yang terdiri dari Matoa (Pometia
spp.), Merbau (Instia spp.), Mersawa (Anisoptera
spp.), Kenari (Canarium spp.), Nyatoh (Palaquium
spp.), Resak (Vatica spp.), Pulai (Alstonia
spp.), Damar (Agathis spp.), Araucaria (Araucaria
spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Batu (Shorea spp.), Mangga hutan (Mangifera
spp.), Celthis (Celthis spp.), dan Kayu Cina (Podocarpus
spp).
Kelompok Campuran yang terdiri dari Ketapang, Binuang, Bintangur,
Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, dan Pala Hutan. Kelompok Kayu Indah yang meliputi jenis Dahu (Dracontomelon spp.), Linggua (Pterocarpus
spp.), dan Kuku. Selain itu masih ada kayu merbau alias
kayu besi dengan kualitas terbaik yang terhampar di
lahan sekitar enam juta
hektar --di mana setiap hektar menyimpan potensi kayu merbau sekitar 13,65 meter
kubik.
Potensi kayu ini sudah dimanfaatkan/diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) dan industri pengolahan kayu. Pada 2005, beroperasi 25 perusahaan
pemegang IUPHHK/HPH yang berlokasi di delapan kabupaten (Fak-Fak, Kaimana,
Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, dan Teluk
Wondama) dengan dominasi lokasi operasi di Kabupaten Kaimana dan Teluk Bintuni.
Total areal pengusahaan hutan (HPH) seluas 3.545.400 hektar. Dari 25
perusahaan itu, 3 perusahaan beroperasi dengan skala di atas 6.000 m³/tahun dan
berskala di bawah 6.000 m³/tahun sebanyak 15 perusahaan. Produk kayu olahan yang dihasilkan adalah chip wood,
plywood, block board, dan sawmill.
Selain berburu,
masyarakat Papua memiliki kebiasaan berkebun dan hidup berpindah-pindah (nomaden), yakni ‘berburu’ kayu gaharu hingga ke
pedalaman hutan, melibatkan seluruh anggota keluarga. Kayu gaharu dari Distrik
Assue (Kabupaten Mappi) sangat mahal, bisa mencapai Rp10 juta per kilogram
karena kualitasnya sangat baik.
Perkebunan. Di wilayah Tanah Papua terhampar berbagai perkebunan. Dari 5.584.360 hektar
lahan yang ada, tak kurang dari 160.547 hektar sudah dimanfaatkan untuk
perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar (PB). Artinya, potensi
perkebunan terbentang di berbagai wilayah.
Tanah Papua sangat bagus untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.
Struktur tanah dan iklimnya cocok. Total potensi lahan yang bisa ditanami
kelapa sawit mencapai 3-4 juta hektar. Seluas 885.140 hektar sudah dibuka dan tersebar di 19 kabupaten. Tapi, sampai saat ini, realisasi tanam baru
mencapai 32.071 hektar.
Saat ini ada beberapa perusahaan perkebunan sawit yang telah berdiri dan beroperasi di Papua. Yakni, PT Tunas Sawa Erma yang membuka lahan di
Boven Digoel seluas 14.500 hektar (realisasi tanam 8.700 hektar) dan PT Korindo Group
yang diperkirakan pada tahun 2005 dan 2006 produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO sebesar
42.934.117 ton. Lalu PT Sumber Indah Perkasa milik Sinar Mas Group di Jayapura seluas
6.510 hektar dengan realisasi tanam 882 hektar.
PT Sinar Kencana Inti Perkasa membuka lahan di Jayapura seluas 15.644 hektar (realisasi tanam
10.189 hektar), PT Perkebunan Nusantara II memiliki luas
lahan 57 ribu hektar di Kabupaten Keerom dengan realisasi tanam 10.700 hektar. PT Bumi
Irian Perkasa menguasai lahan 2000 hektar di Kabupaten Keerom dengan realisasi tanam
1.400 hektar serta PT Merauke Sawit Jaya dengan luas lahan 35.297 hektar dan realisasi tanam 200
hektar.
Komoditas perkebunan
lain yang cukup potensial di wilayah Papua adalah coklat dan kopi. Di wilayah Jayapura, Manokwari dan Yapen
Waropen terhampar pohon coklat yang merupakan salah satu komoditas potensial
daerah itu sejak jaman kolonial Belanda. Kemudian, tanaman kopi rakyat jenis Arabika juga
diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda di Yapen Waropen. Masyarakat di Yapen
Waropen sejak tahun 1970-an mulai mencampur kopi dan coklat untuk minuman
sehari-hari secara tradisional. Luas perkebunan coklat 2.600 hektar dan kopi
1.500 hektar berada di Yapen Waropen.
Perkebunan kopi juga terhampar di Kabupaten Mappi seluas 2.860 hektar dengan produksi 6,5 ton per tahun. Lalu perkebunan kelapa seluas 1.140 hektar dengan produksi 393 ton
per tahun, serta perkebunan karet seluas 1.587
hektar dengan produksi 26 ton per tahun.
Secara umum, komoditas unggulan perkebunan di Tanah Papua di tahun 2005 dengan
total produksi 12.347 ton. Terdiri dari kelapa sawit dengan produksi
31.021 ton, coklat-kakao dengan produksi 11.363 ton,
kopi Arabika produksi 2.583 ton, buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%)
dan karet dengan total produksi 1.458 ton.
Pertanian. Berdasarkan atlas arahan tata ruang pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, wilayah Tanah Papua memiliki
17,3 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian. Sekitar 7,2 juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan sawah, 4,1 juta ha untuk
pertanian tanaman semusim lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk tanaman perkebunan
dataran rendah.
Iklim di Papua umumnya relatif basah. Variasi hujan cukup besar
(1.500-5.000 mm/tahun). Berdasarkan sistem klasifikasi agroklimat, wilayah
Tanah Papua terdiri atas berbagai zona agroklimat yang masing-masing wilayahnya
potensial untuk pengembangan berbagai jenis tanaman. Misalnya, potensial wilayah untuk pengembangan kelapa sawit seluas 6,3 juta
ha, karet 0,43 juta ha, kopi 5,92 juta ha, kelapa 6,23 juta ha, kapas 251 ribu
ha, dan tebu 940 ribu ha. Wilayah potensi padi sawah seluas 1,8 juta ha, tersebar
di Kabupaten Merauke 614,9 ribu ha,
Jayapura 389,2 ribu ha dan Yapen Waropen 217,5 ribu ha.
Luas areal sawah dan bukan sawah mencapai
sekitar 42.198.100 ha atau sekitar 12 % dari seluruh luas wilayah Tanah Papua. Lahan sawah beririgasi teknis seluas 3.845 ha pada 2006 dan
beririgasi nonteknis 3.696 ha. Total saluran irigasi primer mencapai 1.984 Km, irigasi sekunder
23,45 Km dan irigasi tersier 4,25 Km. Sawah-sawah tersebut dapat menghasilkan
61.922 ton padi (2006), sedikit meningkat dibanding dua tahun sebelumnya
yang mencapai 61.750 ton (2004).
Pada saat Panen Raya Padi di Merauke, 5 April 2006, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berharap: ”Merauke menjadi sentra pertumbuhan baru, bukan hanya untuk
padi, tetapi juga untuk sektor lainnya.” Presiden juga berpesan, “... ketika terjadi
pertumbuhan sawah, pertumbuhan tebu, pertumbuhan kelapa sawit, nantinya
pendidikan, tenaga kerja dan lain-lain, tolong sekali lagi diperhatikan dan
ditingkatkan kesejahteraan penduduk asli sehingga betul-betul terjadi kesetaraan yang baik. Dengan demikian dapat
meningkatkan persaudaraan dan harmoni di antara semua warga
yang ada di daerah ini.”
Di Merauke, kini dikembangkan kawasan khusus usaha pertanian skala luas
yang telah diresmikan Menteri Pertanian Suswono pada 11 Agustus
2010. Program bertajuk Merauke Integrated
Food and Energy Estate (MIFEE) atau food estate itu diperkirakan akan mampu memasok bahan
pangan buat kebutuhan nasional.
Pada awal pengembangannya, MIFEE diharapkan
dapat meningkatkan produksi komoditas pangan secara nasional. Sampai
tahun 2014 mendatang, food estate diperkirakan mampu memasok 1,95 juta
ton padi, 2,02 juta ton jagung, 167 ribu ton kedelai, 64 ribu ekor sapi ternak,
2,5 juta ton gula, dan 937 ribu ton kelapa sawit (crude palm oil/CPO) per tahun.
Dengan bergulirnya program MIFEE, Merauke diharapkan tak hanya menjadi
lumbung pangan nasional, melainkan juga mampu tampil sebagai lumbung pangan dunia. Untuk itu, semua
pihak, baik daerah maupun pusat, harus mendukung secara penuh pelaksanaan food
estate.
Selain mewujudkan ketahanan pangan nasional, pengembangan food estate Merauke
akan pula mengoptimalkan fungsi lahan cadangan yang cukup luas yang
selama ini menjadi lahan tidur. Perubahan lahan-lahan tidur menjadi lahan
produktif itu akan memberi nilai tambah ekonomi bagi
masyarakat lokal dan menggerakkan perekonomian daerah, terutama para investor
lokal.
Kendati sudah menentukan kawasan-kawasan
yang akan dibuka menjadi areal pertanian baru, pemerintah tetap memperhatikan
masalah lingkungan dan sosio-kultural sebelum memberi izin kepada pihak ketiga
untuk usaha pertanian skala luas di Merauke. Tanah-tanah sakral, tanah adat,
dan lahan untuk pelestarian lingkungan tidak akan diganggu gugat. Lahan yang
digunakan untuk food estate harus clear dari masalah lingkungan
hidup dan sosio-kultural setempat.
Di wilayah Papua Barat, tahun 2006 tercatat areal panen seluas 9.663 ha. Jumlah
produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 34.157 ton dan produksi beras
giling 32.497 ton. Dengan begitu rerata produktivitasnya
3,368 ton/ha. Untuk komoditas jagung tahun 2006 tercatat areal panen seluas 4.046 ha dengan
jumlah produksi 5.052 ton. Sedangkan untuk komoditas kedelai, pada
2006 tercatat luas areal panen 9.884 ha dengan jumlah produksi 11.811 ton dan
rata-rata produksi 12 ton per hektar.
Lalu produksi tanaman pangan masyarakat Papua, yakni ubi kayu. Pada 2005 luas tanam di Kabupaten Asmat mencapai 15,88 hektar,
luas panen mencapai 13,65 hektar, dan produksi mencapai 28,66 ton. Kemudian ubi
jalar, luas tanam 10,78 hektar, luas panen 10,10 hektar, dan produksi tercatat
18,18 ton. Pun demikian produksi ubi kayu di wilayah Kabupaten Mappi sebanyak 66,5 ton dari lahan
seluas 8,35 hektar.
Perikanan
dan Kelautan. Di peta bumi, terlihat Tanah Papua
dikelilingi lautan luas. Tanah Papua sejatinya memiliki hasil laut yang banyak,
karena berada di Samudera Pasifik yang amat luas. Salah satu kawasan laut yang memiliki sumberdaya ikan cukup
potensial adalah perairan Laut Arafuru. Beragam jenis udang penaeid dan jenis ikan
demersal tersedia di sana. Banyak perusahaan perikanan yang berpangkalan di
Sorong dan Ambon melakukan perluasan penangkapan ikannya ke daerah ini
(Merauke, Tual, Benjina dan Bitung).
Usaha penangkapan
udang di perairan Laut Arafuru berlangsung sejak tahun
1970-an. Tahun 1984 tingkat pengusahaan udang menunjukkan kecenderungan yang
tinggi. Kawasan perairan Laut Arafuru mampu memberikan kontribusi
sekitar 30% dari total ekspor ikan Indonesia setiap tahun.
Sumberdaya ikan dan udang yang melimpah di perairan Laut Arafuru lantaran
ketersediaan rantai makanan yang melimpah secara alami. Di sana ada dua bentuk
basis rantai makanan yang berupa basis plankton, yakni arah tingkatan trofik
yang merupakan plankton (ikan kecil) sebagai makanan ikan demersal/pelagis. Kemudian basis detritus, yaitu arah tingkatan
trofik organisme pemakan detritus-sedenter/udang-ikan demersal.
Tahun 2001 yang lalu, nilai potensi tangkap lestari di perairan Laut Arafuru mencapai 43 ribu ton udang dan 200 ribu ton ikan
demersal. Dengan dukungan 1.000 kapal pukat yang beroperasi saat ini,
tidak mustahil hasil penangkapan ikan demersal dan udang bisa melampaui angka
300 ribu ton per tahun.
Berdasarkan hasil riset dan penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan
Laut tahun 2006, ditemukan 228 spesies mewakili 101 famili yang tergolong dalam
10 kelompok sumberdaya. Di antaranya ikan hiu (Shark), ikan
pari (Rays), ikan pelagis, ikan demersal, cumi-cumi (Cephalopoda), udang, kepiting,
kekerangan (Shell) dan beberapa biota invertebrata. Kelompok ikan
demersal merupakan hasil tangkapan paling banyak yang mencapai 58,89 %, kemudian
disusul ikan pelagis 11,36%, kepiting 9,88%, udang 7,80 % dan
lainnya kurang dari 4%.
Kelompok ikan demersal yang tertangkap terdiri dari 135 spesies yang
tergolong dalam 61 famili. Hasil tangkapan tersebut didominasi famili ikan
petek (Leiognathidae) terutama jenis Leiognathidae
bindus yang mencapai 19,57% dan famili ikan tiga waja (Scaidae) terutama
jenis Otolithes rubber sekitar 11,41%.
Sedangkan tangkapan kelompok ikan krutase terdiri dari udang (shrimp)
dan kepiting (crab). Jenis udang yang tertangkap meliputi 19 species yang
mewakli 7 famili dan tangkapan yang tertinggi famili udang Peneidai yang
mencapai 86,23%. Di mana jumlah terbanyak adalah jenis udang Metapenaopsis sp dan Tranchipenaeus asper. Pada kelompok
sumberdaya kepiting yang ditangkap berasal dari 11 spesies.
Perkembangan armada penangkapan dari tahun ke tahun menunjukkan gelagat meningkat yang berbeda
menurut jenis alat dan ukuran. Sebagian besar armada yang beroperasi di sana
adalah perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal skala industri. Sedangkan
kapal motor didominasi oleh armada berukuran 5 gross ton (GT).
Sebagian besar industri perikanan menggunakan alat tangkap yang berupa
pukat udang dan pukat ikan. Setelah tahun 2000, jumlah armada pukat udang
cenderung menurun. Namun ukuran rata-rata kapal mengalami peningkatan dari 128
GT pada tahun 1992 menjadi 139 GT pada tahun 2006. Berbeda dengan jumlah armada
ikan yang cenderung bertahan pada kisaran 750 armada pada tahun 2006.
Kenyataan di lapangan saat ini, kondisi Sumberdaya Ikan (SDI) di Laut Arafuru
menunjukkan gejala penangkapan berlebih (over fishing). Kondisi inilah
yang melatar-belakangi dilaksanakannya Kegiatan Forum
Arafuru pada tanggal 7 Juni 2007 di Hotel Bidakara, Jakarta. Secara spesifik
Forum Arafuru menggambarkan kondisi SDI di perairan Laut Arafuru.
Rekomendasi Forum Arafuru: laju penangkapan ikan demersal di
wilayah-wilayah utama mengalami penurunan terutama di wilayah Digoel dan Aru, indeks
biodiversitas mengalami penurunan terutama di Perairan Digoel, jenis ikan
demersal bernilai ekonomis tinggi di area paparan (shelf) mengalami penurunan, serta SDI pelagis dan demersal di area
sepanjang tubir (slope) yang sebagian besar merupakan kawasan "untrawlable"
belum dimanfaatkan secara optimal.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, Forum Arafuru memberikan beberapa
alternatif dalam pengelolaan perikanan di Laut Arafuru, antara lain: pertama,
penataan jalur/zona penangkapan. Kedua, tidak dikeluarkan (penataan) izin penangkapan
baru (status quo) untuk sementara waktu. Ketiga, proteksi area "trawlable"
di beberapa perairan pantai yang secara ekologis kualitasnya telah menurun atau
diketahui sebagai "nursery ground"
melalui pemasangan terumbu/rumah ikan buatan ataupun close-open season.
Keempat, pengembangan alat
tangkap rawai dasar, bubu, dan set net, sebagai alat tangkap "low
energy input fishing technology" untuk mengeksploitasi sumberdaya di
sekitar slope, reefs dan ridge. Kelima, pemberdayaan
nelayan lokal (perikanan rakyat) melalui peningkatan infrastruktur dan
kelembagaan (Majalah Demersal edisi
Juli 2007).
Kota Sorong merupakan kota dengan jumlah produksi hasil ikan terbesar yaitu
32.135,7 ton per tahun. Kemudian (Kabupaten) Teluk Wondama sebesar 1.448,0 ton
per tahun. Ikan cakalang merupakan jenis ikan yang
paling banyak ditangkap yaitu sebesar 19.471,7 ton. Sedangkan ikan Lidan
dan ikan Lomei adalah jenis ikan dengan jumlah tangkapan terkecil yaitu sebesar
54,1 ton pada tahun 2005.
Di sektor perikanan, laut-laut di seputar Papua memiliki
kekayaan berbagai jenis ikan, mulai dari pelagis besar, kecil, kerapu, udang,
teripang, kerang, dan cakalang. Potensi lestari perikanan Papua
sebesar 1.524.800 ton per tahun. Perikanan darat
sebesar 268.100 ton/tahun (belum termasuk potensi lahan untuk pengembangan
budidaya laut dan tambak yang diperkirakan sebesar 1.663.200 ha).
Produksi perikanan
tahun 2005 mencapai 209.210,3 ton, meningkat 13,29% dibanding produksi 2004
yang hanya mencapai 180.612,4 ton. Dari produksi perikanan, 95,83% merupakan
hasil produksi perikanan laut dengan nilai produksi selama 2005 mencapai
Rp2.215 miliar atau menurun 44,86% dibanding 2004 yang mencapai Rp2.451 miliar.
Sejak 2005 telah
dibangun Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Kabupaten Sorong, Teluk Wondama dan
Kabupaten Raja Ampat. Juga tengah dikembangkan perikanan budidaya seperti
budidaya teripang di Kabupaten Teluk Wondama dan Fak-Fak; budidaya ikan
kerapu di Kabupaten Sorong; budidaya rumput laut di Kabupaten Raja Ampat;
budidaya kepiting di Kabupaten Kaimana; dan pengelolaan Terumbu Karang (Coremap
II).
Perairan di Teluk Bintuni menyimpan sumberdaya ikan dan udang dengan
kepadatan 1.059 ton per Km2 dan 0,041 ton per Km2. Jenis yang banyak
dimanfaatkan adalah udang galah, dengan tingkat produksi mencapai 150
ton per bulan. Potensi laut di Teluk Wondama sangat kaya, dengan
hamparan terumbu karang dan ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Di kedua teluk
itu terdapat jenis ikan tuna, ikan pelagis, ikan demersal, teripang dan lobster. Di
tahun 2002 diperoleh 6.000 ton ikan tuna, 3.000 ton ikan pelagis, 1.500 ton
ikan demersal, dan 14 ton teripang.
Hasil olahan dari laut yang lain, di antaranya 1,32 ton lobster
beku, 0,05 ton sirip hiu, dan 5,07 ton minyak hati ikan cucut. Komoditi udang
secara komersial juga diusahakan oleh PT Avona Mina Lestari di Kabupaten Kaimana
untuk ekspor ke Jepang dan China. Sumberdaya laut lainnya adalah ikan kakap putih,
kakap merah, kakap hitam, kerapu, bawal hitam, bawal putih, manyung, teri,
kembung, tenggiri, sirip hiu, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut. Sedangkan
perikanan darat arealnya mencapai sekitar 5.200 m2. Dari luas areal itu didapat
37,11 ton ikan perairan umum dan 35,34 ton ikan hasil budidaya air
tawar.
Produksi perikanan
Papua yang berorientasi ekspor adalah udang, tuna/cakalang, pelagis,
demersal, ikan campur dan hasil olahan. Daerah industri-produksi perikanan
laut misalnya di Kota Sorong (PT Usaha Mina), Kabupaten Manokwari, Kabupaten
Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fak-Fak, dan Kabupaten
Raja Ampat.
Budidaya laut di Tanah Papua kini telah berkembang dengan baik. Contohnya budidaya teripang
dan rumput laut di Kabupaten Biak Numfor, Sorong dan Yapen Waropen. Kerang mutiara dan
budidaya ikan dalam keramba (kurungan) tersebar di Sorong
dan Fak-Fak. Sasaran kegiatan
budidaya laut ditujukan pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau
rawan gizi. Diutamakan pada keluarga nelayan yang tinggal di pesisir pantai dengan rumah berlabuh, sehingga pekarangan laut dapat dimanfaatkan buat kurungan ikan (keramba) sebagai hasil sampingan/kegiatan istri dan anak para nelayan
itu sendiri.
Peternakan.
Di Tanah Papua, peternakan juga berkembang
dengan baik. Lahan yang luas dan tersedianya pakan ternak menumbuh-sumburkan
peternakan yang ada. Jumlah populasi ternak besar dan kecil selama
tahun 2005 umumnya mengalami peningkatan. Ternak kerbau pada 2005 naik 14,54% dari
1.131 ekor pada 2004 dan naik lagi menjadi 1.292 ekor pada tahun 2006.
Lalu, ternak kuda
dari 1.576 ekor pada 2004 menjadi 1.501 ekor pada 2005 lalu meningkat menjadi
2.061 ekor pada 2006. Kenaikan persentase dialami ternak sapi (8,6%), kambing
(5,37%) dan babi (19,50%). Pada tahun 2006, tercatat populasi sapi potong
berjumlah 29.126 ekor, jumlah pemotongan per tahun 30.167 ekor, produksi daging
sapi 657 ton/tahun dan rata-rata kepemilikan 4 ekor. Kambing dengan jumlah
produksi 18.144 ekor dan jumlah produksi 100,98 ton/tahun dan babi sebanyak
35.977 ekor dengan jumlah produksi 571,96 ton/tahun. Populasi ternak kecil,
antara lain ayam kampung naik 18,99%, ayam pedaging naik
90% dan ayam ras petelur meningkat 19,58%.
Lalu unggas, meliputi
ayam buras dengan jumlah populasi 534.845 ekor, ayam petelur sebanyak 367.243
ekor/tahun dengan jumlah produksi telur sebanyak 289,67 ton/tahun dan jumlah
peternak 35.000 peternak serta rata-rata kepemilikan per peternak 10 ekor/kk,
ayam ras pedaging sebanyak 465.765 ekor/tahun dengan jumlah produksi telor
sebanyak 33.587 ton/tahun dan jumlah peternak 55.211 peternak serta rata-rata
kepemilikan per peternak 80 ekor/kk, itik sebanyak 94.511 ekor/tahun dengan
jumlah produksi telur sebanyak 23.251 ton/tahun dan jumlah peternak 409,33
butir/tahun serta rata-rata kepemilikan per peternak 4 ekor/KK.
Dan kekayaan alam
Papua yang tak boleh dilupakan adalah sagu. Di Papua, secara turun-temurun warga masyarakatnya
mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok. Tuhan maha adil dan penuh kasih. Sang Maha Pencipta jagat raya ini menumbuh-suburkan pohon sagu di wilayah Tanah Papua.
Dalam bahasa Latin, sagu disebut Metroxylon. Sagu merupakan tanaman yang tumbuh dan tersebar di kawasan Asia Tenggara, Melanesia,
beberapa pulau di kawasan Mikronesia dan Polynesia. Sagu diperkirakan berasal dari Papua
dan Maluku (McClatchey dkk, 2004). Hutan sagu di Papua mencapai
luas sekitar 1.200.000 ha dan budidaya sagu sekitar 14.000 ha. Tersebar
di daerah Salawati, Terminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui,
Waropen, Membramo, Sarmi dan Sentani. Diperkirakan sebaran alami Sagu Papua
menempati 53% dari potensi sagu dunia dan mencapai 96% dari potensi sagu
Indonesia (Flach,1997:21).
Sebagai tanaman pangan, sagu memiliki kandungan karbohidrat tertinggi
(>80%) dibandingkan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung dan ketela
pohon. Sagu mempunyai peluang besar sebagai sumber bahan baku
proses produksi biofuel (Numberi, 2008). Biofuel adalah sumber energi
alternatif masa depan yang ramah lingkungan. Setiap batang sagu menghasilkan
sekitar 100 Kg tepung, setelah diolah akan
menghasilkan 25 liter etanol.
Indonesia, dengan Lahan Sagu Abadi di Papua, sudah selayaknya
tampil sebagai produsen biofuel berbahan baku pati sagu. Dengan lahan sagu
abadi, Papua pun harus tampil menjadi industri produsen biofuel yang dikelola secara profesional oleh
putra-putri bangsa Indonesia. Sebuah modal dasar dari kekayaan alam untuk
mewujudkan kemakmuran masyarakat Papua.
Melukiskan kekayaan
alam Tanah Papua, sepantasnya rasa syukur kita semakin bertambah. Sumber daya
alam yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi setiap hari dari bumi pertiwi
seakan tiada habis-habisnya. Masih banyak sumber kekayaan alam yang belum
dieksploitasi dan akan menjadi warisan generasi masyarakat Papua di kemudian
hari.
Hanya sangat
disayangkan, Tanah Papua yang kaya raya akan sumber daya alam belum
diberdayakan secara optimal, adil, arif dan bijaksana demi kemajuan dan
kesejahteraan rakyat-masyarakat Papua. Eksploitasi tambang tembaga, emas dan
perak oleh perusahaan asing malah ditengarai menimbulkan kerusakan lingkungan. Limbah berupa tailing
yang dibuang rata-rata 260.000 ton hingga 291.000 ton per hari amat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Ibu
pertiwi yang memayungi wilayah nusantara pun menangis. Pesta pora ekspatriat
asing yang mengangkangi kekayaan alam Tanah Papua semakin tamak saja. Rakyat Papua yang bertempat tinggal di
sekitar lokasi pertambangan hanya bisa memandangi lalu-lalang truk-truk pengangkut emas, tembaga
dan perak dari pegunungan yang mereka angggap ‘ibu’. Praktis, mereka tidak
tersentuh sedikitpun dari sisi ekonomi. Mereka masih beraktivitas sehari-hari
ke hutan mencari makan dan mencari sesuatu yang dianggap berharga untuk dijual
di pasar.
Sungguh
keadilan yang dirasakan rakyat-masyarakat Papua kian hari dirasakannya makin
jauh. Gegap gempita suara peralatan tambang di Tanah Papua seakan tidak
mempedulikan rakyat-masyarakat Papua. Benar adanya pepatah berbunyi, “ayam mati
(bukan hanya kelaparan) di lumbung padi”. Itulah keadaan sebenarnya yang harus
membuka mata, hati dan pikiran bangsa Indonesia.
Rakyat
masyarakat Papua masih hidup dalam keterbelakangan. Bahkan bisa dikatakan hidup
selalu dalam kemiskinan. Baik kemiskinan di bidang pendidikan maupun ekonomi.
Rakyat-masyarakat yang masih berdiam di pegunungan dan masih memperkukuh
kesukuannya bahkan jauh dari jangkauan pembangunan manusia itu sendiri. Mereka
masih hidup dalam keterbelakangan, bahkan bisa dikatakan belum mengenal baca
dan tulis. Laporan Biro Pusat Statistik (2006) menunjukkan 47,99% dari total
2,4 juta jiwa penduduk Papua tergolong miskin.
Padahal,
sumber daya alam yang melimpah ruah di dalam perut Bumi Cenderawasih sejatinya dapat dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat-masyarakat Papua itu
sendiri. Rakyat-masyarakat Papua harus menjadi subyek pembangunan sumber daya manusia itu sendiri. Mereka harus
menikmati kekayaan alam yang melimpah dengan makin meningkatnya indeks
pembangunan manusia. Bayangkan saja, Tanah Papua yang kaya raya, Indeks
Pembangunan Manusianya paling rendah di Indonesia. ***
Boks Tulisan
Destinasi Wisata Dunia,
Kidung Agung Bumi Cenderawasih
Selain kekayaan alam,
wilayah Tanah Papua pun kaya akan ragam sosial-budaya. Ribuan suku
yang mendiami wilayah pegunungan, daratan dan pesisir Papua
mempunyai aneka ragam sosial-kultural yang unik dan
berbeda-beda. Sosial-kultural suku yang mendiami pegunungan sudah tentu
berbeda dibandingkan sosial-kultural suku yang mendiami daratan dan pesisir. Tanah Papua makin
eksotik dan menampakkan keaneka-ragaman yang sejatinya merupakan anugerah
dari Tuhan Sang Maha Pencipta.
Keragaman sosial
budaya yang ada telah menjadikan Tanah Papua bukti kasih Tuhan Sang Maha Pengasih. Bahwasanya keaneka-ragaman suku yang tercermin pada kekayaan sosial-kultural itu menunjukkan agar tiap-tiap suku yang
ada itu saling mengenal, saling berinteraksi dan saling menjalin tali silaturahim. Buktinya, di Tanah
Papua yang eksotik itu suku-sukunya mempunyai acara adat yang mengikatkan
talisilaturahmi antar suku, baik suku yang ada di pegunungan, daratan maupun
pesisir. Dan, kekayaan itu
menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Tanah Papua yang
didiami ratusan suku tentu saja mempunyai obyek wisata cagar budaya. Di antaranya cagar budaya sejumlah suku asli Sekar di Kaimana, Suku Sough Meyakh di
Manokwari, dan Suku Wamesa di Teluk Wondama. Setiap suku
memiliki kekayaan tradisi dan bahasa berbeda satu dengan lainnya. Cagar budaya
itulah yang mengukuhkan Bumi Cenderawasih sebagai terjemahan penciptaan Tuhan,
di mana diciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling
mengenal. Sungguh jelas, indah dan agung jika diresapi keanekaragaman yang ada
di wilayah Tanah Papua.
Tapi pesona wiata Tanah Papua tidak cuma datang
dari kekayaan sosial-kultural. Seudah sejak lama mengundang decak kagum masyarakat dunia. Beragam potensi
wisata seakan memperkukuh jati diri Papua sebagai Tanah Yang Diberkati Tuhan.
Tanah yang indah sekaligus memiliki potensi ekonomis yang tinggi dan strategis.
Dari potensi wisata, bisa kita bagi menjadi ekowisata, wisata bahari dan sejarah.
Daya tarik utama pariwisata wilayah Tanah Papua terletak pada ecotourism, terutama alam tropis
dengan keaneka-ragaman spesies dan keindahan biotanya,
baik flora maupun fauna. Keberadaan berbagai taman nasional, cagar alam, suaka alam dan kekayaan flora
dan fauna baik di daratan (terestrial) maupun di air (akuatik) serta
perkampungan tradisional dan cagar budaya etnikal ini merupakan aset wisata
alam untuk dikembangkan sebagai salah satu obyek dan atraksi di berbagai daerah
tujuan wisata.
Dan Papua layak mengusung konsep ekowisata sebagai inti
paradigma pariwisata modern. Konsep ekowisata diusung untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan
kerusakan lingkungan akibat aktivitas wisata. Konsep ekowisata berwawasan
pelestarian lingkungan, kepedulian terhadap budaya lokal dan pemanfaatan
potensi alam yang bertanggung-jawab. Hal itu karena wisatawan yang akan
melakukan tour ekowisata berasal dari berbagai latar belakang ilmu mulai dari
peneliti, lembaga atau institusi sampai kepada peminat fotografi alam liar dan
pecinta lingkungan.
Dengan konsep ekowisata, kepentingan wisatawan yang berasal dari berbagai latar
belakang ilmu mulai dari peneliti, lembaga atau institusi sampai kepada peminat
fotografi alam liar dan pecinta lingkungan bisa terakomodasi dengan baik.
Dengan konsep ekowisata, nilai jual berbagai obyek wisata
makin tinggi serta makin bagus dalam promosi ke mancanegara. Setidaknya, dengan
konsep ekowisata, penataan manajemen obyek wisata semakin profesional.
Ekowisata yang ada di Tanah Papua. Ekowisata hutan yang menjadi rumah bagi beragam flora dan
fauna akan banyak diminati oleh para ilmuwan untuk obyek penelitian. Ada Taman Nasional
Wasur yang merupakan salah satu kawasan pelestarain alam yang memiliki
keanekaragaman potensi SDA yang sangat kompleks baik itu ditinjau dari sudut
pandang kenakeragaman hayati maupun keragaman budaya etnikal. Sehingga memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai
basis ekowisata di Papua Selatan.
Obyek ekowisata Taman Nasional Laut
Teluk Cenderawasih pun tak kalah unik. Kawasan ini
menjadi salah satu kawasan andalan kepariwisataan yang berpotensi untuk
dikembangkan lebih baik lagi. Letak geografis yang strategis di tepi barat
Samudera Pasifik, menjadikan kawasan Teluk Cenderawasih merupakan gerbang utama
untuk memasuki persada nusantara.
Di kawasan Teluk Cenderawasih terdapat Taman Nasional Laut Teluk
Cenderawasih yang merupakan taman laut terluas di Indonesia serta taman wisata
laut berstandar internasional. Keanekaragaman satwa di kawasan ini berupa
200 jenis coral (karang), 355 jenis ikan, 153 jenis
moluska, 5 jenis reptil, 3 jenis mamalia air dan 37 jenis burung. Potensi
wisatanya meliputi wisata mangrove, penangkaran rusa, wisata
pantai, sumber air panas, diving, observasi burung Jinai Mas, observasi
lumba-lumba dan ikan paus.
Di kawasan itu terdapat pula Taman Laut Padaido. Di situ terdapat 17
pulau yang masih sangat bagus kondisi terumbu karangnya dan layak dijadikan
sebagai destinasi penyelaman (diving destination) yang menawan hati. Demikian pula Taman Laut Pulau
Rani-Mapia yang memiliki sangat banyak karang merah (gorgonion) serta sebaran
terumbu yang alami dan indah. Terakhir, Taman Laut Pulau Meos-Indi yang begitu
indah dengan sebaran terumbu karang keras. Di sekitar pulau ini (Pom dan
Srewen) bisa dijumpai berbagai jenis burung Cenderawasih.
Dari Teluk Cendrawasih ke arah barat menuju wilayah (kini Kabupaten)
perairan laut Raja Ampat. Raja Ampat kaya akan keanekaragaman
terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove dan pantai tebing berbatu
yang indah. Keunikan spesies yang tinggi dengan ditemukannya 1.104 jenis ikan,
669 jenis moluska dan 537 hewan karang semakin mengukuhkan Raja Ampat sebagai lokasi warisan dunia (world
herritage site) oleh Pemerintah Indonesia.
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu dari 10 obyek wisata menyelam terbaik
di dunia. Pesona dan kekayaan alam bawah laut menjadi andalan (Kabupaten) Raja
Ampat menembus persaingan dunia pariwisata di Indonesia dan dunia. Kawasan ini
dikenal sebagai pusat sumber daya alam tropis terkaya di dunia. Dan, kini Raja Ampat sangat dikenal wisatawan luar negeri. Meskipun infrastrukturnya belum memadai, Raja Ampat mampu
menyedot wisatawan mancanegara sebanyak 5 ribu orang pada 2009.
Setelah menyaksikan keindahan panirama bawah laut Raja Ampat, kita bisa menikmati panorama
senja di Pantai Kaimana yang berpasir putih. Sangat orang begitu
terkesima dengan panorama senja di Pantai Kaimana. Sampai-sampai ada seniman bernama Surni Warkiman menciptakan lagu kenangan berjudul ”Senja di Kaimana” yang dipopulerkan oleh penyanyi Alfian. Di Kaimana kita dapat pula menyaksikan
situs-situs prasejarah.
Panorama pantai yang tak kalah indah lainnya dapat kita lihat di Pantai Fak-Fak. Selain dihiasi terumbu karang dengan biota
lautnya yang indah, di sini ada pemandangan langka di mana kita bisa menyaksikan spesies ikan duyung. Lalu Pantai Tanjung
Kasuwari di Sorong juga sangat menarik untuk dinikmati. Udaranya
sejuk, pasirnya putih serta air lautnya yang jernih.
Kemudian Pantai
Holtekamp. Di hari Raya Idul
Fitri, warga kota Jayapura selalu
memadati Pantai Holtekamp yang merupakan satu lokasi tujuan wisata favorit. Pemandangannya indah dan ombaknya bagus.
Tempat rekreasi lainnya adalah Tanah Tinggi (Kabupaten Boven Digoel) yang berada di tepian
Sungai Ampera. Berpanorama sangat elok. Lokasi ini merupakan tempat pengasingan Bung
Hatta, sang proklamator kemerdekaan RI.
Tanah Papua terlihat semakin penuh pesona dengan keberadaan
kawasan cagar alam. Misalnya kawasan cagar alam pegunungan Arfak di Manokwari,
dengan kekayaan kupu-kupu sayap burung (bird-wing butterfly) dari
spesies Ornithoptera-spp dan Trides-spp yang diklaim beberapa
peneliti telah langka keberadaannya di pegunungan itu. Wisatawan yang pernah datang meneliti dan
mengamati burung dan kupu-kupu itu berasal dari Belanda, Jepang, Cina, Perancis dan Eropa
Timur.
Di wilayah (kini Kabupaten) Tolikara terdapat Cagar Alam dan Taman Nasional
Lorenz serta Gunung Timoini di mana terdapat fauna dan flora yang dilindungi. Pun Hutan Lindung Gunung
Meja dan kawasan hutan mangrove Cagar Alam Teluk Bintuni tak kalah indahnya. Begitu pula Hutan Wisata Bariat
(Sorong Selatan) yang penuh daya tarik.
Gunung Jaya Wijaya
yang berselimut salju, dan indahnya panorama Danau Sentani, Danau Anggi Giji, Danau
Anggi Gita, Danau Ayamaro, Danau Uter (Sorong Selatan) serta Air Terjun Kohin (Sorong
Selatan) seakan wujud kidung Sang Maha Pencipta.
Tanah
Papua juga merupakan wilayah dalam lintasan sejarah dunia. Ada obyek-obyek
wisata yang mengandung nilai sejarah. Misalnya Goa Jepang (Japanese Cave atau dalam bahasa Biak disebut
Abyau Binsari) di Biak. Goa itu pernah digunakan
sebagai benteng pertahanan tentara Jepang di tahun 1943. Lalu ada Pulau Owi,
saksi bisu Perang Dunia II. Pulau tersebut dijadikan landasan utama untuk
mematahkan kekuatan 11.000 balatentara Jepang yang bertahan di goa-goa yang saling
berhubungan.
Kita pun dapat berwisata rohani ke Pulau
Mansinam, di mana setiap tanggal 5 Februari dilaksanakan ritual peringatan masuknya
Injil di Tanah Papua. Ribuan orang Papua berziarah ke pulau bersejarah ini. Di
pulau ini terdapat Tugu Injil Masuk Papua, dengan sebuah
prasasti berbahasa Belanda dan bahasa Numfor.
Kini pekerjaan kita adalah bagaimana membenahi
berbagai sarana penunjang kepariwisataannya. Misalnya pengembangan infrastruktur
(fasilitas umum jalan, bandar udara, program sosialisasi sadar wisata, dan program promosi
budaya) agar gerak langkah Papua menjadi salah satu destinasi wisata dunia bisa
terwujud. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar