ad

Rabu, 03 Februari 2016

Hutan Pesisir Selatan Rawan Pembalakan


Perum Perhutani menga­kui kawasan hutan produksi maupun hutan lindung di pesisir selatan, mulai dari Malang selatan hingga Tulungagung sangat rawan pembalakan liar.
"Luas wilayah dengan jumlah per­sonel polisi hutan perhutani tidak sebanding, sehingga pengawasannya pun tentu tidak bisa optimal," kata Ke­pala Divisi Humas dan Agraria Perum Perhutani KPH Blitar, Heri Purwanto di Blitar, Jawa Timur, Minggu.
Ia menjelaskan, di tingkat KPH Bli­tar saat ini hanya memiliki 12 personel polisi hutan mobil (polhutmob).
Sementara, katanya, luasan hutan yang ada di bawah pengawasan KPH Blitar mencapai 57 ribu hektare (ha), terbentang mulai dari daerah Kalipare, Ma­lang hingga Popoh, Tulung­agung.
Menurut Heri, ketim­pangan antara jumlah per­sonel dengan luasan wilayah hutan yang begitu luas tersebut mem­buat komposisi perbandingan tanggung jawab pengawasan dan pengamanan hutan setiap polhutmob tidak ideal.
"Dua belas personel menjaga 57 ribu ha sekaligus, sama artinya satu personel bertugas menjaga wilayah seluas 4.750 ha. Ini sangat tidak ideal," ujarnya.
Heri lalu mencontohkan sistem pe­nga­wasan dan pengelolaan hutan negara oleh Perhutani di RPH Pang­gung­kalak, Kecamatan Pucanglaban yang memiliki luas sekitar 3.500 ha.
Di areal wilayah yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung ter­sebut, Perhutani hanya menem­patkan tiga personel yang terdiri dari satu man­tri hutan dan dua mandor.
"Keterbatasan personel sementara harus menjaga wilayah seluas itu, ya 'pie maneh' (bagaimana lagi)," ujar Heri memberi gam­baran riil di lapangan.
Solusi yang ditawarkan Perhutani melalui meka­nisme pengelolaan hutan bersama masyarakat (PH­BM) menurut Heri, sebe­narnya sudah cukup solutif dalam menekan risiko pembalakan kayu hutan secara liar oleh oknum-oknum masyarakat.
Petani di dalam kawasan hutan yang diistilah sebagai pesanggem (petani peng­­garap) diberi keleluasaan untuk mengolah lahan hutan di bawah ta­naman tegakan milik Perhutani yang masih muda.
Syaratnya, pesanggem harus ikut bertanggung jawab bersama Perhutani untuk menjaga agar tidak lagi terjadi pembalakan atau pencurian kayu hutan oleh masyarakat.
Namun konsep penga­manan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ini pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan Perhutani.
"Kami akui masih ada, bahkan ba­nyak pesanggem yang nakal karena ketika diberi keleluasaan mengelola lahan hutan di bawah tana­man tegakan, ada saja yang mengganggu tegakan agar tidak tumbuh dengan baik sehingga lahan di bawahnya tetap bisa mereka olah," ungkapnya.
Sebagai langkah solusi Perhutani hanya bisa mela­kukan pembinaan de­ngan mengefektifkan fingsi LM­DH (lem­baga masyarakat desa hutan) guna mengon­trol para anggotanya dalam me­lindungi hutan.
"Silahkan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Tapi 'wite ojo diketok, ojo dico­long' (tanaman tega­kannya ja­ngan ditebang, jangan di­curi), karena tanaman po­kok­nya pun nanti kalau pa­nen petani juga mendapat sha­ring/ba­gian," kata Heri. (Ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar