ad

Selasa, 09 Februari 2016

Andal Investor Reklamasi Teluk Benoa Dipertanyakan


Ada distorsi antara reklamasi dan revitalisasi. Teluk Benoa perlu revitalisasi, bukan reklamasi. Karena reklamasi tidak termasuk revitalisasi.
=============

Rapat publik penilaian Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal) tentang rencana reklamasi Teluk Benoa pada Jumat (29/1) pekan lalu di Kantor Gubernur Bali berlangsung tegang sekaligus riuh,. Rapat diwarnai interupsi dari warga penolak reklamasi, yang kurang ditanggapi pimpinan rapat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di luar gedung, ribuan warga menggelar unjuk rasa yang dikoordinir Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Mereka, seperti dilansir Mongabay, membentuk barisan sepanjang satu kilometer mengelilingi Lapangan Renon. Mereka menegaskan penolakannya. Mereka bergantian berorasi dan dijaga puluhan polisi yang membarikade pintu gerbang Kantor Gubernur Bali.

Dari catatan Mongabay, sedikitnya ada 36 orang yang berbicara dalam forum untuk publik menilai Amdal versi investor dari PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) sebagai pemrakarsa utama dan PT Dinamika Atria Raya yang mengurus penambangan pasir di Lombok. Namun kurang dari 10 orang yang mendapat waktu untuk mengkritisinya. Belum ada keputusan apakah Amdal ini layak atau tidak, hanya diminta merevisi.

Menurut rencana, reklamasi dilakukan untuk membuat 12 pulau seluas 638 hektar sebagai kawasan wisata dan hunian. Material yang dibutuhkan batu dan pasir laut. Investor mengutip Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1329/2014 untuk legalitas penambangan pasir di Lombok yang merupakan daerah pariwisata dan juga pertambangan.

Reklamasi Teluk Benoa dilakukan dengan mengacu Perpres No.51/2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45/2011. Perpres 51 ini dikeluarkan mantan Presiden SBY beberapa bulan sebelum lengser untuk mengubah peraturan sebelumnya yang menyatakan Teluk Benoa kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan umum.

Dosen Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar, I Ketut Sudiarta, menyebut kajian mengenai dampak penting kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut  yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, tidak berdasarkan atas pengetahuan dan prinsipprinsip pengelolaan pesisir terpadu.

Pertama, terang Sudiarta, judul rencana kegiatan tidak sesuai dengan deskripsi kegiatan. Judul rencana kegiatan adalah “Rencana Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut” sedangkan dari deskripsi kegiatan tergambar ada rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Menurut Sudiarta, bila yang dimaksud “revitalisasi” dalam konteks  kepariwisataan,  yaitu “revitalisasi daya tarik wisata” sebagaimana PP No.50/2010 tentang RIPPARNAS maka reklamasi (pengurugan) tidak termasuk ke dalam strategi revitalisasi.

Sedangkan jika mengacu kepada definisi “revitalisasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi berarti “proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali”. “Apa yang mau dihidupkan atau digiatkan kembali terhadap ekosistem Teluk Benoa?” katanya mengkritisi.

Dia berargumen dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dan UU No.1/2014 tentang Perubahan Atas UU No.27/2007 sebagai pijakan hukum reklamasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil tidak dikenal istilah “revitalisasi”.

Sudiarta mengingatkan paradigma pengelolaan wilayah pesisir yang dikenal dengan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal management). Indonesia sudah mengadopsinya dengan melahirkan UU No. 27/2007. Bali sendiri sudah juga mengadopsinya sejak tahun 2000 dengan ditetapkannya Bali sebagai National ICM Demonstration Site of Indonesia, kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan PEMSEA.

“Bali mempunyai pengetahuan atau kearifan lokal tentang ICM, yaitu Nyegara Gunung, terang pria yang juga membuat riset modeling dampak reklamasi bersama Conservation International (CI) Indonesia ini.

Konsep Nyegara  Gunung adalah roh Perda No.16/2009 di mana Bali sebagai satu kesatuan wilayah provinsi dan sebuah pulau kecil dikelola berdasar prinsip satu pulau, satu perencanaan, dan satu pengelolaan. Hal ini kerap diwacanakan pemimpin daerah Bali, tapi tidak diimplementasikan.

Ada catatan soal analisis ekosistem dan risiko kebencanaan dari I Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia dan I Made Kris Adi Astra --seorang analis cuaca. Keduanya hadir dalam rapat.

Dalam rekomendasi Iwan, kesesuaian lokasi dari rencana kegiatan sangat dipaksakan, cuma mengacu pada Perpres  dan merusak tatanan hukum di tingkat daerah terutama terkait dengan peraturan daerah (Perda) rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini jelas menimbulkan ketidak-pastian hukum yang bisa menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Perda RTRW yang telah disusun dengan susah payah akhirnya harus berubah hanya karena ada Perpres baru untuk mengubah status konservasi Teluk Benoa.

Perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap Teluk Benoa, demikian kata Iwan, tidak dipahami oleh investor. Argumennya Teluk Benoa merupakan kawasan sedang rusak dengan tingginya tingkat sedimentasi sehingga perlu direvitalisasi. “Padahal masyarakat Bali melihat sebagai kawasan ekologi dan kawasan suci penting, dibuktikan dengan indeks keaneka-ragaman hayati yang tinggi,” terangnya.

Kemudian soal pengurugan, dalam Andal tidak ada penjelasan untuk memastikan tidak akan ada air keruh yang masuk ke perairan Serangan, Sanur dan Tanjung Benoa hingga Nusa Dua yang sangat berpotensi membunuh ekosistem perairan seperti rumput laut dan terumbu karang di kawasan itu. Dalam catatannya, Iwan menerangkan pada tahap konstruksi tidak dijelaskan mengenai kebutuhan air bersih. Padahal Bali sedang menghadapi krisis air bersih untuk minum dan Subak.

Disebutkan dalam Andal terganggunya lalu lintas laut oleh kegiatan penambangan pasir laut dianggap sebagai dampak tidak penting, padahal area yang dilalui sangat luas yaitu dari lokasi pengambilan pasir hingga ke dalam Teluk Benoa.

“Tidak ada penjelasan mengenai kondisi lalu lintas di wilayah yang dilalui oleh kapal pengangkut pasir, padahal melewati selat Lombok yang relatif padat karena merupakan alur laut kelautan Indonesia (ALKI) dan selat Badung yang merupakan jalur utama transportasi laut menghubungkan Bali dan Nusa Penida,” Iwan mengingatkan.

Pihak investor yang membawa analis budaya dan agama menyebut apa yang dilakukan TWBI sesuai dengan prinsip keseimbangan lingkungan Bali, Tri Hita Karana. Jro Mangku Gede Suarjaya, Mantan Dirjen Hindu dan Budha yang mewakili kepentingan TWBI ini, menjelaskan budaya sebagai potensi utama Bali menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya sehingga terwujud hubungan timbal balik yang dinamis antara pariwisata dan kebudayaan.

Komisaris PT TWBI, Marvin Lieano, kembali meyakinkan publik bahwa reklamasi adalah solusi dari masalah sedimentasi dan sampah di kawasan ini. “Kami dan kolega di TWBI dan para konsultan mempunyai ide bagaimana caranya agar Teluk Benoa diperhatikan secara khusus agar daya saingnya meningkat. Maka revitalisasi menurut saya harus dilakukan,” ujarnya.

Konsultan TWBI, Iwan Setiawan, memaparkan teknis reklamasi. Bermuaranya masing-masing sungai ke Benoa tak akan mengalami gangguan. Kegiatan konstruksi meliputi 3 yakni ketersediaan sumber urugan, penataan alur antar pulau, dan pengurugan.

Material hasil penataan jadi bahan timbunan sekitar 10 juta meter kubik sisanya dari Selat Alas-Lombok sekitar 30 juta meter kubik. “Kita membangun pulau itu bertahap didasarkan pertimbangan sosial ekonomi. Selama 3 tahun seluruh pulau terbentuk,” tandasnya.

Pihaknya mengaku mendapat ringkasan 180 dampak yang dikaji di antaranya terumbu karang pengaruh mobilisasi pasir urug dari Selat Alas ke Teluk Benoa. Lalu kemungkinan banjir, hidrologi, serta kualitas udara dan air.

Ketua Komisi Penilai Amdal Pusat, San Afri Awang, mengatakan Amdal (proses setelah Andal) ini bukan satu-satunya soal perizinan, tapi Amdal menentukan langkah berikutnya. Ada distorsi antara reklamasi dan revitalisasi.  “Jadi kesannya kalau reklamasi selalu dalam posisi mengubah segalanya, atau dikesankan mengubah rona lingkungan secara drastis, tapi revitalisasi ini beda,” sebutnya.

Reklamasi murni, katanya, mungkin bisa mengubah bentang alam, tapi kalau revitalisasi bentang alam tidak akan terganggu. “Setuju atau tidak setuju tolong diarahkan pada substansinya. Memang proses ini yang diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan, harus kita jalankan secara tertib, santun dan bermartabat,” lanjutnya.

Wakil Ketua DPRD Bali Sugawa Korry tak mengkritik dampak buruk tapi memberi catatan jika reklamasi jadi dilakukan. Dia meminta investor mengutamakan tenaga kerja lokal, tidak menggunakan air bawah tanah dan irigasi, dan pengawasan proyek.

Sampai kini Pemkot Denpasar secara resmi menolak proyek reklamasi Teluk Benoa ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar