Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama pena Hamka terpilih menjadi
anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah
Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah
Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di
Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari
karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.
Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan
dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde
Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan
penulisan Tafsir Al-Azhar.
Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan
beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de
ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung
hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman
dan Allah jadi pelindung sejati.
Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka
menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut
kutipan lengkapnya.
“Inspektur polisi
yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang
difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu
masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya
pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan
saya.
Dia masuk dengan muka
garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal
kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang
garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba
kegarangan itu mulai menurun.
Setelah menanyakan
apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan
lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya
dan dia berkata: ‘Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah
dahulu malam ini,’ ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak
jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang
usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan.
Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalaman dengan saya sambil
menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat!
Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu
adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau
sampai maksimum bisa mati.
Demikian jawaban
polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak
sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat
kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata
anak itu.”
Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di
dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika
Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian.
Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.
(Prof Dr Yunahar Ilyas, www.republika.co.id, Sabtu, 26 November 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar