ad

Kamis, 23 April 2015

Kegalauan Seorang Menteri Atas Kritik



Pada status FB-nya, bernada galau sedikit nyinyir, beberapa hari lalu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago menulis, Kritik obyektif ada kriterianya. Sumber data atau pernyataan utk kritik obyektif tidak layak diambil dari orang kecewa krn tdk mencapai keinginan pribadi. Orang yg terancam keluar dari zona nyaman krn perubahan yg sedang dibuat, juga tidak layak menjadi sumber kritik obyektif. Data dan narasumber obyektif dan pernyataan kritis itu ada kriterianya. Sumber kritik harus sumber yg bisa dipertanggung-jawabkan. Bahkan, ketika sdh menemukan narasumber obyektif pun, jumlah narsum obyektif itu tidak cukup hanya satu. Itu cara menyusun kritik yg benar. Syarat tulisan opini juga begitu. Harus ada dasar faktual dan data yg cukup. (Pesan khusus utk majalah Tempe).
Sebagai sosok yang berkarir di dunia kampus dan penelitian sosial, Menteri Andrinof wajar-wajar saja menyampaikan kegundahannya. Karena, memang begitulah premis yang berlaku dalam upaya atau langkah menjuruskan ke pemikiran ilmiah. Dan itu pula materi yang acap diterima mahasiswa sebelum menyusun skripsi, tesis dan disertasi.
Tapi, ketika berhadapan dengan dunia pers atau jurnalistik, apa yang yang diutarakan Menteri Andrinof terasa sedikit membuat jengah. Pers tentu punya pertimbangan tersendiri ketika mengambil narasumber. Dan, bila mengacu pada etika jurnalistik, manakala menurunkan sebuah berita pers mesti meng-cover dua pihak (cover both side) sehingga muncul berita yang berimbang (obyektif).
Tentu berbeda standar jika yang diturunkan adalah sebuah tulisan kolom, opini atau artikel dari seseorang, lantaran tanggung jawab penuh di tangan penulis. Dapat saja si penulis menabrak-nabrak pakem sehingga kerap muncul sebuah polemik antar-pakar atau antar-penulis di media massa.   
Bukan maksud aku membela penerbitan media massa. Terlebih banyak media massa sekarang yang partisan. Tapi sekadar mengingatkan betapa pentingnya kritik yang datang dari siapa pun. Entah datang dari orang yang terganggu zona kenyamanannya, dari orang sakit hati, orang berseberangan ideologi, atau dari orang berbeda akidah sekalipun.
Di tengah pemerintahan yang acap membuat kebijakan publik yang membingungkan dan mencekik rakyat tentu sangat mungkin pemerintah yang tengah berjalan menjadi sasaran kritik. Bagaimana tidak meneriakkan kritik kalau sebuah kebijakan yang sudah ditanda-tangani Presiden tiba-tiba ditarik kembali gara-gara sang Presiden merasa tidak tahu isi naskah kebijakan yang disodorkan oleh para pembantunya. Apakah kritik terhadap kebijakan semacam ini perlu pendekatan ilmiah-akademis? Betapa lama media harus menunggu sampai kritik obyektif ala Menteri Andrinof, sementara media dihadapkan pada deadline pemberitaan.   
Tanpa bermaksud mengkritik Menteri Andrinof, aku hanya ingin mengajak segenap pejabat agar tidak alergi terhadap kritik. Ada baiknya kita belajar pada ucapan Khalifah Umar bin Khattab bahwa, Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku.Banyak orang hanya butuh sanjungan asal bapak senang. Mari kita revolusi mental semacam ini. Bahwa kritik senantiasa dibutuhkan, untuk melecut kinerja yang lebih profesional, amanah dan berkah. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)

catatan: dimuat oleh koran WARTA KOTA edisi 17 April 2015 pada rubrik citizen journalism.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar