(tulisan ini ada di WARTA KOTA, 11 Mei 2015 halaman 7)
Ini kisah tentang tahta dan panggilan. Aku
meyakini betul adanya tiga panggilan Tuhan pada umat-Nya, yakni adzan, haji dan
maut. Panggilan adzan senantiasa berkumandang lima kali sehari. Sedangkan
panggilan haji, datang pada orang-orang mampu. Dan panggilan maut hanya datang
sekali pada setiap insan, kita tak berhak menolak.
Ya, panggilan haji, datang pada orang-orang
mampu dan yang dimampukan. Tersebutlah Tarmin –dia biasa disapa akrab
kawan-kawannya. Sejak muda Tarmin berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
terakhir sampai di golongan 4-A. “Rasanya tak mungkin,
bahkan sampai mati, saya bisa naik haji ke Tanah Suci,” ujar
Tarmin sekali waktu.
“Haji itu
kan panggilan, kalau Allah berkehendak, siapapun tak bisa menghalangi,” ucapku membesarkan hati Tarmin.
Lama aku tak bersua Tarmin, karena kami
tinggal berjauhan, bahkan berseberangan pulau. Sampai satu ketika aku bertemu
Tarmin di Jakarta. Dengan wajah berbinar Tarmin bercerita ihwal status haji
yang kini disandangnya. Ditambah lagi jabatannya sebagai pelaksana tugas (Plt) kepala
dinas pada sebuah pemerintahan kabupaten. “Dua tahun
lalu, bersyukur, saya bisa berangkat ke Tanah Suci atas jasa baik Pak Bupati.
Saya tidak mengeluarkan ongkos sedikit pun,” ucap
Tarmin.
Tarmin yang merasa terpanggil ini ternyata
dimampukan untuk berangkat ke Tanah Suci.
“Tak berapa lama sepulang dari Baitullah, saya diangkat
menjadi pelaksana tugas kepala dinas, sebuah jabatan yang tak pernah saya
duga-duga dalam karir sebagai PNS,” ujar Tarmin saat
kami bersua di Jakarta.
Tarmin berkisah, “Lalu,
tidak berapa lama pula, berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam
pertemuan para kepala dinas, Pak Bupati berpesan agar kami menguatkan
pemerintahan yang sedang berjalan. Jangan sampai pemerintahan berhenti karena
banyak kepala dinas yang kurang mendukung program pembangunan daerah.”
Pilkada tinggal menghitung hari. Tarmin pun
dipanggil Pak Bupati. “Mulai hari ini Pak Tarmin bukan
lagi Plt, tapi sudah resmi menjabat kepala dinas. Saya mohon Pak Tarmin tidak
lupa pesan saya waktu pertemuan dengan para kepala dinas,”
ucap Pak Bupati sembari menyerahkan surat pengangkatan Tarmin sebagai kepala
dinas.
“Baik Pak
Bupati, saya siap mendukung program Bapak,” ujar Tarmin
penuh takzim.
Kira-kira sebulan menjelang Pilkada,Tarmin
dilantik dan menerima tongkat estafet kepala dinas. Dalam acara pelantikan,
sekali lagi, Pak Bupati menekankan pesannya, “Saya
berharap semuanya tetap solid sampai waktunya tiba.”
Malam hari usai pelantikan, Tarmin mengundang makan
malam segenap jajaran dinas yang dipimpinnya. Di hadapan para kepala bidang,
kepala seksi, dan semua staf dinas, Tarmin mengulang pesan Pak Bupati, “Mari kita jaga kekompakan menjelang Pilkada.”
Semua staf dinas mafhum betul apa yang
dikatakan Tarmin. Sampai waktunya tiba pemungutan suara Pilkada kabupaten di
wilayah pedalaman itu. Singkat cerita, Pak Bupati kembali memenangi kompetisi
Pilkada untuk periode kali kedua. Bahkan, Pak Bupati menang telak, sekitar 60%
suara pemilih mencontreng gambarnya, dan sekitar 40 suara tersebar di empat
pasangan cabub-cawabup yang lain.
Tarmin sumringah. Di tengah pesta kemenangan
Pak Bupati, Tarmin tiba-tiba lemas, ambruk. Dia langsung dibawa ke rumah sakit.
Dokter yang memeriksa mendiagnosis bahwa Tarmin terkena kanker darah. Tak lama
berselang dalam perawatan intensif, Tarmin dijemput sang maut.
Salah seorang anggota tim sukses lawan politik
Pak Bupati berujar pendek, “Itulah ganjaran orang yang
mempermainkan panggilan suci dengan politik praktis.”
Maaf, aku tidak dalam posisi menilai apa yang telah
dan pernah dilakukan Tarmin. Aku serahkan saja penilaian itu kepada Tuhan. Semoga
Tarmin memenuhi panggilan haji mabrur dan panggilan maut yang khusnul khatimah.
(Budi N. Soemardji, orang pinggiran
Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar