ad

Kamis, 25 Juli 2013

RUU KUHP: Antara Lain Tentang Santet, Zina dan Penyadapan dan Kesiapan Polri

Oleh Awaloedin Djamin

Setelah pemerintah mengajukan dua RUU ke DPR, yaitu RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), banyak tanggapan di media cetak dan media elektronik. Mengenai RUU KUHAP yang banyak disorot adalah wewenang KPK untuk penyadapan yang perlu izin Hakim Komisaris. Ini dianggap akan mengurangi kemampuan KPK dalam pemberantasan korupsi. Masalah RUU KUHAP yang berkaitan dengan Polri, misalnya tentang “penyelidikan”, “pembantu penyidik”, “koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis atas PPNS”, dan lain-lain tidak disinggung di media massa.

Penulis telah menyarankan agar melalui pakar yang menjadi Penasehat Ahli Kapolri, PP Polri dan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian (sekarang dikenal dengan Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia – ISPPI), keluarga besar Polri masih dapat mengajukan saran dan tanggapan untuk penyempurnaan RUU KUHAP, seperti yang diminta DPR dan masyarakat. Hendaknya RUU KUHAP tidak menghapus yang sudah baik dalam UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bila RUU KUHAP telah diundangkan, Polri tentu harus melaksanakannya.

UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang mengganti HIR (Herziene Inlands Reglement) dari zaman kolonial. KUHAP yang baru tersebut telah mengutamakan kepastian hukum, hak asasi manusia, hak tersangka dengan prinsip “within sight and within hearing” dalam proses penyidikan yang transparan. Alasan perbaikan dengan RUU KUHAP yang baru adalah karena Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional dan hasil studi banding ke beberapa negara, termasuk ke negara maju. Jadi, KUHAP (No. 8 Tahun 1981) bukan produk hukum kolonial seperti yang ditulis di beberapa surat kabar.

Yang memang masih merupakan warisan kolonial adalah KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht, walaupun telah banyak diubah. Falsafah Wetboek van Strafrecht adalah “vergeldingstheorie”, yang menghukum kejahatan yang dilakukan semacam “balas dendam”. Dunia demokrasi telah lama mengubah “penal institution” menjadi “correctional institution”, dari menghukum kejahatan menjadi membina si penjahat agar kembali sebagai “orang baik” di masyarakat. Menteri Kehakiman Sahardjo di masa Kabinet Djuanda mengganti istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” dengan maksud mengubah falsafah “vergeldingstheorie” menjadi “correctional institution”. Namun, selama KUHP masih berdasar pada Wetboek van Strafrecht, perubahan tersebut tidaklah mungkin. Keadaan dan mutu Lembaga Pemasyarakatan juga tidak banyak berubah, bahkan banyak yang lebih buruk daripada zaman kolonial. Memang ada beberapa perubahan dalam sistem pemasyarakatan, tetapi karena fasilitas fisik dan kemampuan personel belum memadai, maka timbul pameo “bila masuk LP sebagai penjahat teri, maka keluar menjadi penjahat kakap”, LP dianggap sebagai lembaga pembina penjahat agar lebih “pintar”.

RUU KUHP dalam Rancangan Buku kesatu, menyebut falsafah Wetboek van Strafrecht sebagai “Daad Strafrecht” dan yang baru adalah “Daad-dader Strafrecht” yang dianggap lebih manusiawi, lebih memperhitungkan “kejahatab” (daad) dan pelakunya (dader). Bila KUHP lama hanya mengenal “orang” sebagai tersangka, maka RUU KUHP akan memasukkan korporasi dapat ditindak. Kejahatan korporasi tersimpul dalam RUU KUHP. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, KUHP-nya mengancam hukumman berat bagi barangsiapa yang “menyakiti” anggota Polisi yang sedang bertugas. Gangster besar seperti Al Capone pun dikatakan lebih baik mengebom toko daripada menyakiti anggota polisi yang bertugas. Rumusan mengenai ini belum jelas di RUU KUHP. Karena pasal-pasal dalam RUU KUHP lebih banyak dari yang lama, juga nomor pasal banyak yang berubah, maka bila selama puluhan tahun seorang anggota polisi tahu tentang pasal-pasal KUHP seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, maka dengan diundangkannya RUU KUHP yang baru, anggota polisi terpaksa “mencuci kepala” dengan menghafal pasal-pasal baru.

Walaupun telah diadakan perbaikan dari Wetboek van Strafrecht, namun karena vergeldingstheorie yang melatar-belakanginya, maka vonis pengadilan tidak jelas apa menghukum kejahatan atau sudah memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk “memasyarakatkan” narapidana. Banyak suara yang menganjurkan agar koruptor dan menyalah-gunakan narkoba dihukum berat, agar ada dampak “jera”. Suara demikian tanpa disadari berpihak pada vergeldingstheorie, teori menghukum kejahatannya. Yang ramai diperdebatkandi media massa, juga oleh para pakar, antara lain dimasukkannya “santet”, “zina” atau “kumpul kebo”, “penyadapan”, dan lain-lain dalam RUU KUHP yang baru, juga unsur-unsur dalam pasal-pasal RUU KUHP. Masalah ini sempat pula dibahas dalam Indonesia Lawyers Club. Dalam tayangan tersebut, tidak ada anggota Polri yang hadir dan menanggapinya.

RUU KUHP dan RUU KUHAP adalah penting bagi Polri, selain UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh karena itu harus dipelajari oleh Polri perkembangannya, termasuk pada lembaga-lembaga pendidikan seperti Akpol, PTIK, dan Sespim karena suatu Undang-Undang dapat dipahami, bila juga diketahui sejarah lahirnya (wording-geschiedenis). Dengan demikian bila kedua RUU tersebut diundangkan, Polri telah siap untuk melaksanakannya. Hal-hal baru seperti santet, kumpul kebo, penyadapan, dan lain-lain memerlukan kemampuan penyelidikan dan penyidikan yang baru pula. Pembuktian kejahatan tersebut adalah sukar. Untuk itu disarankan agar Polri terus memperkuat Pusdik Reserse, bila perlu dengan pembaruan dengan Bundes Kriminal Amt (BKA) Jerman dan lain-lain negara. Polri adalah lembaga utama negara dalam pelaksanaan KUHP dan KUHAP.

Kekhususan hukum kepolisian, baik di KIK-UI ataupun pasca sarjana PTIK dari sekarang sudah harus membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP karena merupakan bagian hukum kepolisian yang penting. Tantangan tugas Polri akan bertambah berat di masa depan dan rakyat mengharapkan agar aparat kepolisian benar-benar profesional dalam melindungi jiwa, harta benda, dan hak-haknya. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar