ad

Jumat, 01 Mei 2015

Negeri Penuh Ironi



SATU  hal menarik ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan kritik di hadapan para kepala negara dan kepala pemerintahan yang mengikuti perhelatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta belum lama ini. Bahwa Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional bertindak tidak adil terhadap negara-negara berkembang. Sayangnya, kritik seakan menjadi blunder manakala Presiden Joko Widodo meminta para menteri terkait untuk mencari pinjaman (baca: utang) ke dua organisasi keuangan dunia tersebut. Entah blunder, paradoks atau sebuah ironi.
Dari waktu ke waktu, siapapun presidennya, utang terus saja menggunung. Kini utang Indonesia sudah mencapai ribuan triliun rupiah. Utang tersebut sepertinya dipelihara terus-menerus oleh pemerintah. Tidak ada ada di benak mereka bagaimana agar utang lunas secepatnya. Yang ada di benak sebagian besar mereka, bagaimana kekuasaan itu bertahan atau dilanjutkan oleh keturunan atau orang yang sekelompok dengannya. Di tengah lilitan utang yang banyak, ada begitu banyak kekayaan Negara kita yang jumlahnya ribuan kali lipat dari jumlah utang. Tetapi tragis dan ironis, kekayaan kita itu dengan mudahnya disedot penjarah asing. Aksi penjarah asing tersebut cukup gampang, mereka cukup memberikan dukungan kekuasaan kepada para pengkhianat bangsa.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah menjadi negara besar yang maju dan rakyatnya sejahtera. Namun, di tingkat Asia Tenggara saja posisi kita di bawah Singapura yang miskin sumber daya alam dengan luas wilayah lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang melimpah di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam diekspor ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada harga jual untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar biasa untuk mengejar perolehan devisa yang pada akhirnya hanya mendatangkan kerusakan ekosistem alam yang disusul dengan bencana (banjir;longsor).
Negara pun mendekati kebangkrutan. Pemerintah seolah tidak memiliki kemampuan lagi mencetak duit, selain memeras pajak dari rakyat, karena ekspor sudah bukan lagi turun tapi nyungsep. Dolar yang menguat terhadap Rupiah membuat perekonomian Indonesia jalan di tempat, bahkan terjerembab. Banyak pegusaha me-hold dulu investasi, karena situasi politik yang kacau balau, dan makin maraknya korupsi, serta tidak adanya kepastian hukum.
Menurut Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak, Sasmita, 70 persen stuktur APBN dibiayai dari pajak. Ironisnya, dana untuk membiayai APBN itu bukan dari wajib pajak konglomerat, tapi pajak rakyat jelata. Karena, wajib pajak besar baru itu 20 persen yang tertagih.
Sungguh ironis. Pajak disedot dari rakyat jelata dan hukum pun hanya tegak untuk rakyat miskin. Lihatlah kasus seorang nenek yang ketahuan menyimpan beberapa batang kayu jati yang akhirnya divonis satu tahun penjara dan denda Rp500 juta. Miris rasanya melihat praktik hukum di negeri ini
Ironi ini tidak terlepas dari ulah para penguasa (termasuk aparatur pajak) dan penegak hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim) yang seenaknya sendiri memainkan pasal-pasal undang-undang yang berlaku.
Di kepolisian berlaku adagium:
lapor kehilangan kambing justru harus mengeluarkan ongkos senilai seekor sapi.
Lalu di kalangan advokat:
Maju tak gentar membela yang bayar.
Lantas di tangan jaksa:
Wani piro mengubah tuntutan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Dan di palu hakim:
Sediakan segepok uang buat peroleh vonis paling ringan.
Untuk keluar dari ironi, kita harus mengeluarkan oknum-oknum penegak hukum memperjual-belikan pasal-pasal hukum demi pundi-pundi pribadi. Kita harus akhiri era kekuasaan rekening gendut di sejumlah oknum polisi hitam. Kita mesti akhiri anekdot pangkat boleh brigadir tapi penghasilan jenderal. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar