ad

Selasa, 23 Juli 2013

Beberapa Saran Penyempurnaan RUU KUHAP

Oleh Awaloedin Djamin

Pendahuluan  

RUU KUHAP dimaksudkan untuk memperbaiki UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang waktu diundangkannya dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang menggantikan HIR (Herziene Inlands Reglement). Penyempurnaan juga berhubungan dengan beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi dan perbandingan dengan Hukum Acara Pidana negara-negara maju, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia bagi tersangka, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum. Walaupun UU Nomor 8 Tahun 1981 telah berumur lebih dari 30 tahun, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kelemahan-kelemahan.

Kaitan Hukum Acara Pidana dengan Tugas Polri

KUHAP merupakan sistem peradilan pidana yang terpadu dan terkait dengan fungsi utama Polri yang lain dari Represif justisiil, juga yang non justisiil (diskresi), Preventif, Pre-emptif dan juga dengan Pemasyarakatan dan merupakan sistem peradilan pidana yang lebih luas dari KUHAP. Penyelidikan tidak dimasukkan dalam RUU KUHAP dan pelaksanaannya diatur oleh Polri dan instansi penyidik. Apa ini perlu dicantumkan dalam penjelasan atau tidak. Pembantu penyidik diatur oleh Polri dan instansi penyidik juga dicantumkan dalam Penjelasan.

Pasal 6 disarankan “pejabat pegawai negeri” agar dilengkapi menjadi “pejabat pegawai negeri sipil” sesuai dengan UU No. 43 Tahun 1999 yang membagi kepegawaian negara menjadi Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Sebutannya penyidik juga sudah dikenal sejak dulu sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Perlu diperhatikan agar RUU KUHAP tidak menghapus hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah dilaksanakan serta Peraturan Pemerintah yang baru mengenai “koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis atas Polsus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”.

Perlu pula dikaji keadaan  44 lembaga yang memiliki PPNS, dan hanya Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, yang masih memiliki kantor wilayah di Provinsi dan kantor kementerian di Kabupaten/Kotamadya. Yang lain tidak jelas sampai sekarang. Wewenang penyidikan pegawai negeri sipil sekiranya tidak diotonomkan. Tentang PPNS ini kiranya perlu dikaji secara seksama. UU No. 2 Tahun 2002 menugaskan Polri untuk menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Jadi tidak hanya informasi kriminal Polri, karena itu koordinasi/kerjasama dengan PPNS, TNI-AL (UU Perikanan), Kejaksaan Agung dan KPK sangat diperlukan. Sampai hari ini kita belum mempunyai informasi kriminal secara nasional, yang penting dalam pembuatan rencana preventif.

Hal lainnya adalah tentang Rutan dan tempat penyimpanan barang bukti apa tetap berjalan seperti sekarang atau tidak. Hubungan penyidik dengan penuntut umum untuk saling berkonsultasi juga harus dipehatikan. Seperti sudah dianjurkan dengan UU No. 8 Tahun 1981 untuk menghindarkan bolak-balik BAP antara Polri dan Kejaksaan. Kemudian tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Bab IX), tidak mengurangi pengawasan internal Polri atas penyidikan oleh penyidik Polri.
Agar RUU KUHAP mencapai sasaran yang diharapkannya, kiranya masukan untuk penyempurnaan hendaknya terus dibuka sebelum disahkan DPR. ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar